Oleh: DR. Amir Faishol Fath
Kita
hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat,
dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan
melakukan tindakan yang tidak hanya merusak diri, melainkan juga
menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita takut untuk mentaati
Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada
resiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga
punya segudang resiko? Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah
melajang ada juga resikonya?
Hidup, bagaimanapun adalah sebuah
resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada resikonya adalah bahwa kita
tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari
dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan
kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu
ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah
kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko
pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina).
Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.
Saya
sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, padahal ia
mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan
itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk
mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari
ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai
mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya
akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk
membenarkan sikap.
Menikah itu Fitrah
Allah
Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan.
Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, dan segala sesuatu kami ciptakan
berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam, ada laki
ada perempuan. Masing-masing memerankan fungsinya sesuai dengan tujuan
utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah tersebut yang
Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. Walan tajida lisunnatillah
tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada
sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah tahwiila, dan
kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra:
77)
Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan
diri pada posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah
sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem lainnya yang
bekerja secara sempurna secara universal.
Manusia dengan
kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu
menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri.
Mengapa? Sebab, Allah swt. telah membekali masing-masing manusia dengan
fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah artinya
menentang fitrahnya sendiri.
Bila sikap menentang fitrah ini
terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung resikonya adalah
manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak
dari rahasia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga
keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang
telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa
dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.
Mungkin
ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan
tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda
bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah
berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang,
mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin
tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat
dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah
memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut
Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan
yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan
Allah.
Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini
menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika
membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang
adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina
(Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada
perzinaan adalah haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah
menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan
fitrahnya.
Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses
penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas
telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri
sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak
jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong
sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa malu
menggendong anaknya dari hasil zina.
Perhatikan bagaimanan akibat
yang harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah
diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua
manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman
yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering
tidak normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah
terpedaya oleh syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.”
Menikah Itu Ibadah
Dalam
surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat
pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini
menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari
bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih
menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah
berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia
bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits
Hasan)
Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah
kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling
melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala
yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga
moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang
yang telah menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang yang
terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa
kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada
mereka yang belum menikah.
Bila ternyata pernikahan menunjukkan
bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri
dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan
merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan
ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan
ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa
berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini
ibadah dan itupun juga ibadah.
Pernikahan dan Penghasilan
Seringkali
saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika
ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan
yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli
motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap
hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP,
motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang
akan terjadi pada kehidupan manusia?
Saya belum pernah menemukan
sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang
sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan
dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila
didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan
berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya
untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak,
mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya
diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat
Alquran.
Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa
Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah,
melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah
beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan
Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada
sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang
terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz
zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah
perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya
yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga
beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana
Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang
telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.
Memang
masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda
maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi
mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki
kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut
biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam
sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari
mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan
memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa
hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan
persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.
Mengapa?
Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan.
Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu.
Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu
fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka
miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari
Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan.
Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.
Abu
Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah
dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan
yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk
memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah,
dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’
liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).
Rasulullah
saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah
dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah
pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain
disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang
menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)
Imam
Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera,
atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid:
Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau
perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby).
Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana
Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah
dengan membangun pernikahan.
Persoalannya sekarangan, mengapa
banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin
membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah
nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian
orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya,
kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau
Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya
melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini
bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah
persyaratan utama.
Yang paling penting adalah kesiapan mental dan
kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya
yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan
berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah
itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau
tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya
tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya
dengan tanggung jawab pernikahan.
Bahkan tanggung jawab menikah
jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling
melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada
jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang
bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri.
Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh
anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya
saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.
Pernikahan dan Menuntut Ilmu
Seorang
kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru
setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir
semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya
kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.
Ada
sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta
kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua
usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya
sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan
pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan
fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu
dulu baru setelah itu menikah.
Banyak para ulama yang menikah
juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait
erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan
program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi
masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya,
menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan
penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di
dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda
pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan
hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita
sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.
Berbagai
pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam
mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil
menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung
kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk
mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah
kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan
adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya.
Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga
menegakkan rumah tungga yang Islami.
Rasulullah saw. telah
memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan.
Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan
seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani
dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai.
Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan,
melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak
perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora
fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri.
Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan
ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia
terus ditahan-tahan.
Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak
mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan.
Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak
menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu
Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua
kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab
karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah
Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada
waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama
uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat
pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.
Kesimpulan
Sebenarnya
pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui
dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak
mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar
berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang
benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya
tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.
Agar
pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian
“pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita
merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa
saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia
pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi
kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa
tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil
mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang
berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.
Perhatikan
mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani
mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak
manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam
mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita
lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka.
Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi
mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu
a’lam bishshawab.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/menikah-mengapa-takut/
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Jumat, 21 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar