Jumat, 21 Oktober 2011

Awas, Godaan Belut!

Oleh: Muhammad Nuh

Kirim Print
Bergerak dalam dakwah tak ubahnya seperti bertani. Diawali dengan kehati-hatian menyemai benih. Kemudian, dengan penuh was-was, menanamnya di areal sawah luas. Ada rasa khawatir kalau tunas-tunas muda termakan hama. Tapi kadang, kehadiran belut dan gabus bisa menggoyahkan penantian. Demi rezeki dadakan, padi muda terlantar.

Hidup dalam gerakan dakwah memang penuh tantangan. Seperti tak mau berhenti, ujian dan cobaan silih berganti menghadang. Kalau mau ditafsirkan, ujian mungkin bisa berukuran kolektif. Dan cobaan bersifat individual.

Disebut kolektif, karena cakupannya menyeluruh meliputi apa pun. Termasuk, lembaga yang menjadi payung dakwah. Bayangkan, jika sebuah lembaga yang begitu peduli dengan dakwah dicap sebagai sarang teroris. Mulailah cap buruk itu menyebar ke seluruh masyarakat. Ada yang prihatin, dan tak sedikit yang akhirnya mencibir.

Begitu pun dengan cobaan. Tanpa dakwah pun, setiap orang tak bisa luput dengan cobaan. Karena hakikat kehidupan adalah cobaan. Siapakah di antara kita yang akhirnya mampu mempersembahkan produk yang terbaik. Dan dakwah memberikan bobot tersendiri dari nilai sebuah cobaan. Apa pun bentuknya.

Lahir dan meninggal misalnya, merupakan pemandangan biasa buat masyarakat. Biasa karena setiap orang akan mengalami itu. Tapi, itu akan berbeda ketika sudut pandang menyertakan hitung-hitungan dakwah. Kelahiran bisa diartikan sebagai penambahan aset dakwah. Dan kematian berarti pengurangan pendukung dakwah. Penambahan dan pengurangan pendukung dakwah adalah bentuk lain dari anugerah dan masalah dalam dakwah.

Pendek kata, seorang aktivis dakwah tidak mungkin memisahkan antara masalah pribadi dengan masalah dakwah. Keduanya selalu berkait. Masalah mencari isteri, juga akan berdampak pada masalah dakwah. Begitu pun dengan urusan pekerjaan, lokasi tempat tinggal, dan sebagainya.

Di masa Rasulullah saw., ada seorang sahabat dari kaum Anshar yang menangkap pesatnya perkembangan Islam dengan kacamata yang keliru. Di satu sisi, ia memang bersyukur kepada Allah swt. Islam kian meluas menembus batas benua. Tapi, ketika menoleh ke diri dan keluarga, ia pun mulai terpengaruh untuk tidak lagi ikut dalam pentas perjuangan Islam. “Ah, cukuplah perjuangan saya sampai di sini. Sudah banyak kader-kader Islam yang lebih kredibel. Kini, saatnya memperbaiki ekonomi pribadi,” seperti itulah kira-kira ungkapan sang sahabat.

Saat itu juga, Allah swt. menegur. Turunlah ayat Alquran surah Albaqarah ayat 195: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat ihsanlah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.” (diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan yang lainnya yang bersumber dari Abi Ayub Al-Anshari. Menurut Tirmidzi, hadits ini shahih)

Mungkin, secara manusiawi, niat baik sahabat Rasul itu bisa dimaklumi. Wajar kalau mereka mulai menatap kemapanan ekonomi diri dan keluarga setelah sekian tahun berkorban habis-habisan buat perjuangan dakwah. Wajar kalau seorang kader perintis mulai menghitung masa depan keluarga setelah tampak masa depan Islam kian gemilang. Mungkin, dalih-dalih itu bisa dianggap wajar.

Namun, Allah swt. justru menilai niat itu sebagai sesuatu yang berat. Salah. Bahkan, menjerumuskan diri kedalam jurang kebinasaan. Allah swt. tidak menginginkan hamba-hamba-Nya yang selama ini gemar investasi pahala yang begitu besar, tiba-tiba putus untuk urusan domestik. Karena, balasan dari Allah yang telah tersiapkan jauh lebih baik dari apa yang akan mereka usahakan di dunia ini.

Firman Allah swt. dalam surah Ali Imran ayat 14, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).”

Peristiwa itu kian mengingatkan generasi dakwah pasca sahabat Rasul bahwa sulit memisahkan antara kepentingan dakwah dengan urusan pribadi. Karena di situlah nilai lebih seorang aktivis dakwah. Ia telah menjual dirinya kepada Allah swt. Dan transaksi itu mencakup bukan saja urusan potensi diri, melainkan juga segala sumber daya yang melingkupinya. Termasuk, harta dan bisnis.

Begitulah firman Allah swt. dalam surah At-Taubah ayat 111. “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh….”

Suatu ketika, ada seorang pemilik pohon kurma yang pelit dengan tetangganya. Mayang pohon ini menjulur ke rumah sang tetangga yang fakir. Setiap kali akan memetik buah, sang pemilik selalu melalui halaman si fakir. Tapi, tak satu pun kurma yang diberikan. Bahkan, kurma yang sempat terpegang anak sang tetangga yang fakir pun ia rampas. Tinggallah sang fakir menahan rasa. Hingga akhirnya, ia mengadu ke Rasulullah saw.

Rasulullah menemui sang pemilik pohon. “Maukah kau berikan pohon kurmamu itu kepadaku. Dan ganjaran pemberian itu adalah surga,” ucap Rasul. “Hanya itu? Sayang sekali, pohon kurma itu teramat baik.” Dan, sang pemilik itu pun pergi.

Tawaran Rasul tetang pohon kurma itu pun sampai ke telinga seorang sahabat yang kaya. Ia menemui Rasul. “Apakah tawaran Anda tadi berlaku juga buatku?” tanya sang sahabat. Rasul pun mengiyakan. Serentak, ia mencari sang pemilik pohon. Dan terjadilah tawar-menawar. Sang pemilik pohon berujar, “Pohon kurma itu tak akan aku jual. Kecuali, ditukarkan dengan empat puluh pohon kurma.” Awalnya, sang sahabat agak keberatan. Tapi, akhirnya ia pun setuju. Kemudian, ia menyerahkan kepemilikan pohon itu kepada Rasulullah saw. Dan, Rasul menghadiahkannya kepada si keluarga fakir.

Peristiwa itu mendapat penghargaan tersendiri dari Allah swt. Dan, turunlah surah Al-Lail. Di antara surah itu berbunyi, “…Ada pun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). Maka, Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan ada pun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka, kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan yang sukar)….” (QS. 92: 5-10)

Ujian dan anugerah akan silih berganti menghias jalan dakwah. Dan, pagar jalan itu adalah sabar dan istiqamah. Tinggal, bagaimana pilihan kita. Siapkah kita menanti panen padi dakwah yang telah kita tanam dengan waktu yang begitu lama. Atau, menjadi terpedaya dengan lambaian belut dan gabus yang menggiurkan.


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/awas-godaan-belut/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.