Oleh: Mochamad Bugi
Kita
saat ini ada di tengah arus deras pergeseran nilai sosial dalam
masyarakat kita. Pergeseran nilai sosial tampak pada kecenderungan makin
permisifnya keluarga-keluarga di masyarakat kita. Keluarga tidak lagi
dilihat sebagai ikatan spiritual yang menjadi medium ibadah kepada Sang
Pencipta. Kawin-cerai hanya dilihat sebatas proses formal sebagai
kontrak sosial antara dua insan yang berbeda jenis. Perkawinan
kehilangan makna sakral dimana Allah menjadi saksi atas ijab-kabul yang
terjadi.
Ini bertolak belakang dengan adagium yang menyatakan
keluarga adalah garda terdepan dalam membangun masa depan bangsa
peradaban dunia. Dari rahim keluarga lahir berbagai gagasan perubahan
dalam menata tatanan masyarakat yang lebih baik. Tidak ada satu bangsa
pun yang maju dalam kondisi sosial keluarga yang kering spiritual, atau
bahkan sama sekali sudah tidak lagi mengindahkan makna religiusitas
dalam hidupnya. Karena itu, Al-Qur’an memuat ajaran tentang keluarga
begitu komprehensif, mulai dari urusan komunikasi antar individu dalam
keluarga hingga relasi sosial antar keluarga dalam masyarakat.
Banyak
memang problema yang biasa dihadapi keluarga. Tidak sedikit keluarga
yang menyerah atas “derita” yang sebetulnya diciptakannya sendiri. Di
antaranya memilih perceraian sebagai penyelesaian. Kasus-kasus faktual
tentang itu ada semua di masyarakat kita. Dan, masih banyak lagi
kegelisahan yang melilit keluarga-keluarga di masyarakat kita. Namun,
umumnya kegelisahan itu diakibatkan oleh menurunnya kemampuan mereka
menemukan alternatif ketika menghadapi masalah yang tidak dikehendaki.
Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk mencari kunci yang bisa
mengokohkan bangun keluarga kita dari hempasan arus zaman yang serba
menggelisahkan. Dan, kata kunci itu adalah sakinah.
Makna Sakinah
Istilah
“sakinah” digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga.
Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun” yang berarti
tempat tinggal. Jadi, mudah dipahami memang jika istilah itu digunakan
Al-Qur’an untuk menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga
dalam suasana yang nyaman dan tenang, sehingga menjadi lahan subur untuk
tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama anggotanya.
Di Al-Qur’an ada ayat yang memuat kata “sakinah”. Pertama, surah Al-Baqarah ayat 248.
وَقَالَ
لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ
فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى
وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِي
Dan Nabi mereka mengatakan kepada
mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut
kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari
peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh
Malaikat.”
Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa
ketenangan bagi mereka. ayat di atas menyebut, di dalam peti tersebut
terdapat ketenangan –yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sakinah. Jadi,
menurut ayat itu sakinah adalah tempat yang tenang, nyaman, aman,
kondusif bagi penyimpanan sesuatu, termasuk tempat tinggal yang tenang
bagi manusia.
Kedua, al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat 4.
هُوَ
الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا
إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا ح
Dia-lah yang telah menurunkan
ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka
bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan
Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai
ketenangan yang sengaja Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin.
Ketenangan ini merupakan suasana psikologis yang melekat pada setiap
individu yang mampu melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang
hanya bisa diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat
menciptakan suasana tenang bagi orang lain.
Jadi, kata “sakinah”
yang digunakan untuk menyifati kata “keluarga” merupakan tata nilai yang
seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan keluarga
yang dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus memberikan jaminan
keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang
bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat kembali ke mana
pun anggotanya pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh
percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam
masyarakat.
Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa
akar kasus-kasus yang banyak melilit kehidupan keluarga di masyarakat
kita adalah karena rumah sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat
kembali. Suami tidak lagi menemukan suasana nyaman di dalam rumah,
demikian pula istri. Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah menemukan
suasana nyaman di luar rumah. Maka, sakinah menjadi hajat kita semua.
Sebab, sakinah adalah konsep keluarga yang dapat memberikan kenyamanan
psikologis –meski kadang secara fisik tampak jauh di bawah standar
nyaman.
Membangun Kenyamanan Keluarga
Kenyamanan dalam
keluarga hanya dapat dibangun secara bersama-sama. Tidak bisa bertepuk
sebelah tangan. Melalui proses panjang, setiap anggota keluarga saling
menemukan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Penemuan itulah yang
harus menjadi ruang untuk saling mencari keseimbangan. Makanya, keluarga
sekolah yang tiada batas waktu. Di sama terjadi proses pembelajaran
secara terus menerus untuk menemukan formula yang lebih tepat bagi kedua
belah pihak, baik suami-istri, maupun anak-orangtua.
Proses
belajar itu akan mengungkap berbagai misteri keluarga. Lebih-lebih
ketika kita akan belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan rumah
tangga. Tidak banyak buku yang memberi solusi jitu atas problema
keluarga. Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak diperoleh dari
pengalaman. Maka tak heran jika keluarga sering diilustrasikan sebagai
perahu yang berlayar melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari
pengalaman siapa pun. Pengalaman pribadi untuk tidak mengulangi
kegagalan, atau juga pengalaman orang lain selama tidak merugikan pelaku
pengalaman itu.
Masalah demi masalah yang dilalui dalam
perjalanan sejak pertama kali menikah adalah pelajaran berharga. Kita
dapat belajar dari pengalaman orang tentang memilih pasangan ideal,
menelusuri kewajiban-kewajiban yang mengikat suami-istri, atau tentang
penyelesaian masalah yang biasa dihadapi keluarga. Semuanya sulit kita
dapat dari buku. Hanya kita temukan pada buku kehidupan. Bagaimana kita
dapat memahami istri yang gemar buka rahasia, atau menghadapi suami yang
berkemampuan seksual tidak biasa. Dan masih banyak lagi masalah
keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan penyelesaiannya. Jadi,
memang tepat jika rumah tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak
henti-hentinya menghadapi badai di tengah samudra luas kehidupan.
Rumah
tangga juga dua sisi dari keping uang yang sama: bisa menjadi tambang
derita yang menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga yang
mencerahkan. Kedua sisi itu rapat berhimpitan satu sama lain. Sisi yang
satu datang pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang menyusul
kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu
saja, siapa pun berharap rumah tangga yang dijalani adalah rumah tangga
yang memancarkan pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah
tangga yang benar-benar menghadirkan atmosfir surga: keindahan,
kedamaian, dan keagungan. Ini adalah rumah tangga dengan seorang nakhoda
yang pandai menyiasati perubahan.
Rumah menjadi panggung yang
menyenangkan untuk sebuah pentas cinta kasih yang diperankan oleh setiap
penghuninya. Rumah juga menjadi tempat sentral kembalinya setiap
anggota keluarga setelah melalui pengembaraan panjang di tempat mengadu
nasibnya masing-masing. Hanya ada satu tempat kembali, baik bagi anak,
ibu, maupun bapak, yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai surga.
Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak selalu merindukan orang tua,
demikian pula sebaliknya. Betapa indahnya taman rumah tangga itu. Sebab,
yang ada hanya cinta dan kebaikan. Kebaikan inilah yang sejatinya
menjadi pakaian sehari-hari keluarga. Dengan pakaian ini pula rumah
tangga akan melaju menempuh badai sebesar apapun. Betapa indahnya
kehidupan ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa bahagianya keluarga
ketika ia hanya berwajah kebahagiaan.
Tetapi, kehidupan rumah
tangga acapkali menghadirkan hal yang sebaliknya. Bukan kebaikan yang
datang berkunjung, melainkan malapetaka yang kerap merundung. Suami
menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula sebaliknya. Anak tidak lagi
merindukan orang tua, dan orang tua pun tidak lagi peduli akan masa
depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan surga lagi yang datang,
melainkan neraka yang siap untuk membakar. Benar, orang tua tidak punya
hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan mereka hanya boleh membesarkan
raganya. Tapi raga adalah cermin keharmonisan komunikasi yang akan
berpengaruh pada masa depan jiwa dan kepribadian mereka.
Lunturnya Semangat Sakinah
Membangun
sakinah dalam keluarga, memang tidak mudah. Ia merupakan bentangan
proses yang sering menemui badai. Untuk menemukan formulanya pun bukan
hal yang sederhana. Kasus-kasus keluarga yang terjadi di sekitar kita
dapat menjadi pelajaran penting dan menjadi motif bagi kita untuk
berusaha keras mewujudkan indahnya keluarga sakinah di rumah kita.
Ketika
seseorang tersedu mengeluhkan sepenggal kalimat, “Suami saya
akhir-akhir ini jarang pulang”, tidak sulit kita cerna maksud utama
kalimatnya. Sebab, kita menemukan banyak kasus yang hampir sama, atau
bahkan persis sama, dengan kasus yang menimpa wanita pengungkap
penggalan kalimat tadi.
Penggalan kalimat di atas bukan
satu-satunya masalah yang banyak dikeluhkan istri. Masih banyak. Tapi
kalau ditelusuri akar masalahnya sama: “tidak tahan menghadapi godaan”.
Godaan itu bisa datang kepada suami, bisa juga menggedor jagat batin
istri. Karena godaan itu pula, siapa pun bisa membuat seribu satu
alasan. Ada yang mengatakannya sudah tidak harmonis, tidak bisa saling
memahami, ingin mendapat keturunan, atau tidak pernah cinta.
Payahnya,
semakin hari godaan akibat pergeseran nilai sosial semakin
menggelombang dan menghantam. Sementara, ketahanan keluarga semakin
rapuh karena ketidakpastian pegangan. Maka, kita dapati kasus-kasus di
mana seorang ibu kehilangan kepercayaan anak dan suaminya. Seorang bapak
yang tidak lagi berwibawa di hadapan anak dan istrinya. Anak yang lebih
erat dengan ikatan komunitas sebayanya. Bapak berebut otoritas dalam
keluarga dengan istrinya, serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan
hak kesetaraan di hadapan suami. Semua punya argumentasi untuk
membenarkan posisinya. Semua tidak merasa ada yang salah dengan semua
kenyataan yang semakin memprihatinkan itu.
Tapi benarkah
perubahan zaman menjadi sebab utama terjadinya pergeseran nilai dalam
rumah tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak lagi sanggup bertahan
dengan norma-norma dan jati diri keluarga kita yang asli? Bukankah orang
tua-orang tua kita telah membuktikan bahwa norma-norma yang mereka anut
telah berhasil mengantarkan mereka membentuk keluarga normal dan
berbudaya, bahkan berhasil membentuk diri kita yang seperti sekarang
ini? Lantas, kenapa kita harus larut dengan segala riuh-gelisah
perubahan zaman yang kadang membingungkan?
Transformasi budaya
memang tidak mudah, bahkan tidak mungkin, kita hindari. Arusnya deras
masuk ke rumah kita lewat media informasi dan komunikasi. Kini, setiap
sajian budaya yang kita konsumsi dari waktu ke waktu, diam-diam telah
menjadi standar nilai masyarakat kita. Ukuran baik-buruk tidak lagi
bersumber pada moralitas universal yang berlandaskan agama, tapi lebih
banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial yang dibentuk untuk tujuan
pragmatis dan bahkan hedonis. Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini
telah membentuk perilaku sosial dan menjadi anutan keluarga dan
masyarakat kita. Banyak problema keluarga yang muncul di sekitar kita
umumnya menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh semakin lunturnya
nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Masyarakat kini seolah telah
berubah menjadi “masyarakat baru” dengan wujud yang semakin kabur.
Gaya
hidup remaja yang berujung pada fenomena MBA (married by accident)
telah jadi model terbaru yang digemari banyak pasangan. Pernikahan yang
dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir setelah menemukan jalan buntu.
Sementara perceraian yang dibenci Nabi justru menjadi pilihan yang
banyak ditempuh untuk menemukan solusi singkat. Kenyataan ini merupakan
bagian kecil dari proses modernisasi kehidupan yang berlangsung tanpa
kendali etika. Akibatnya, struktur fungsi yang sejatinya diperankan oleh
masing-masing anggota keluarga tampak semakin kabur.
Seorang
anak kehilangan pegangan. Ibu-bapaknya terlalu sibuk untuk sekadar
menyapa anak-anaknya. Anak pun dewasa dengan harus menemukan jalan
hidupnya sendiri. Mencari sendiri ke mana harus memperoleh pengetahuan,
dan harus mendiskusikan sendiri siapa calon pendampingnya. Semuanya
berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah
kehilangan daya perekatnya dan masing-masing telah menemukan jalan
hidupnya yang berbeda-beda, maka bangunan “baiti jannati”, rumahku
adalah surgaku, akan semakin menjauh dari kenyataan. Itu menjadi mimpi
yang semakin sulit terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak pernah
terpikirkan. Yang ada hanyalah “neraka” yang tidak henti-hentinya
membakar suasana rumah tangga.
Satu lagi yang sering menjadi akar
bencana keluarga, yaitu anak. Dunia anak adalah dunia yang lebih banyak
diwarnai oleh proses pencarian untuk menemukan apa-apa yang menurut
perasaan dan pikirannya ideal. Dunia ideal sendiri, baginya, adalah
dunia yang ada di depan matanya, yang karenanya ia akan melakukan
pengejaran atas dasar kehendak pribadi. Akan tetapi, di sisi lain,
perkembangan psikologis yang sedang dilaluinya juga masih belum mampu
memberikan alternatif secara matang terutama berkaitan dengan standar
nilai yang dikehendakinya. Karena itu, selama proses yang dilaluinya,
hampir selalu ditemukan berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan
lingkungan tempat di mana anak itu berkembang. Di sinilah proses
bimbingan itu diperlukan, terutama dalam ikut menemukan apa yang
sesungguhnya mereka butuhkan.
Guru di sekolah ataupun orang tua
di rumah, secara tidak sadar, seringkali menjadi sosok yang begitu
dominan dalam menentukan masa depan anak. Padahal, guru ataupun orang
tua bukanlah segala-galanya bagi perkembangan dan masa depan anak.
Proses pendidikan, dengan demikian, pada dasarnya merupakan proses
bimbingan yang memerdekakan sekaligus mencerahkan. Proses seperti itu
berlangsung alamiah dalam kehidupan yang bebas dari ikatan-ikatan yang
justru tidak mendidik. Dalam kerangka seperti inilah, maka keluarga bisa
berperan sebagai lembaga yang membimbing dan mencerahkan, atau juga
sebaliknya. Jika tidak tepat memainkan peran yang sesungguhnya, bisa
saja berfungsi sebagai penjara yang hanya mampu menanamkan disiplin
semu. Anak-anak bisa menjadi manusia yang paling shalih di rumah, tetapi
menjadi binatang liar ketika keluar dari dinding-dinding rumah dan
terbebas dari pengawasan orang tua.
Dalam situasi seperti inilah,
anak mulai mencari kesempatan untuk memenuhi kebuntuan komunikasi yang
dirasakannya semakin kering dan terbatas. Sebab berkomunikasi untuk
saling menyambungkan rasa antar anggota keluarga merupakan kebutuhan
dasar yang menuntut untuk selalu dipenuhi. Konsekuensinya,
ketidaktersediaan aspek ini dalam keluarga dapat berakibat pada
munculnya ketidakseimbangan psikologi yang pada gilirannya dapat saja
mengakibatkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan sosial seperti apa
yang terjadi di masyarakat sekitar kita. Inilah di antara kerusakan
akibat lunturnya atmosfir sakinah dalam keluarga.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/keluarga-sakinah-dalam-masalah/
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Senin, 17 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar