Sabtu, 12 November 2011

Kearifan dan Kezuhudan

oleh Ustadz Abu Ridha

الثناء و هـم الزاهـد الدعـاء؛ لآن هـم العـارف ربه و هـم الزاهـد نفسه

"Konsentrasi orang 'Arif adalah puji-pujian kepada Allah sedangkan konsentrasi orang Zuhud (zahid) adalah doa. Sebab perhatian orang Arif itu tertuju kepada (keridhaan) Rabbnya dan perhatian orang Zuhud itu tertuju kepada (keshalihan) dirinya."

Ketika kearifan dan kezuhudan menyatu dalam diri seseorang, maka langkah-langkah kemajuan spiritualnya telah mencapai tahap-tahap ideal. Dengan kearifannya ia akan selalu memuji Allah Swt sebagai refleksi rasa sykurnya atas nikmat Allah yang tak terhingga yang dianugerahkan kepadanya. Dengan pujian yang tak henti-hentinya itu pula ia dimungkin dapat meraih kepuasaan Allah Swt terhadap dirinya. Dengan kezuhudannya ia akan selalu berusaha membersihkan dirinya dari segala noda yang dapat mengalingi dirinya memperoleh kecintaan-Nya dan karenanya ia dimungkinkan meraih puncak keberagaanya, yaitu keshalihan. Akhirnya, kearifan dan kezuhudan akan menenteramkan jiwa sang diri. Sedangkan ketenteraman jiwa adalah syarat untuk memperoleh panggilan-Nya. “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,. masuklah ke dalam syurga-Ku.” (QS, al-Fajr []: 27-30)

Kemajuan spiritual adalah bekal utama setiap individu dalam pengembaraannya yang panjang dan melelahkan. Kearifan dan kezuhudan merupakan sebagian tanda kemajuan spiritual seseorang. Dengan kemajuan iti ia dimungkinkan dapat tegar menghadapi berbagai deraan yang menghantam di perjalanannya. Ketegaran itu pula yang membuatnya tidak mengalami kelelahan jiwa yang menyebabkan dirinya bisa tercampak dari kemuliaannya.

Bagi orang yang menekuni jalan spiritual istilah 'Arif dan Zahid tidak asing di telinganya. Dua istilah yang populer di kalangan ahli ibadah ini mengacu pada tingkat kemajuan spiritual seseorang. Orang ‘Arif adalah orang yang dapat memandang apa yang tersirat pada sesuatu kejadian, peristiwa, keadaan, atau masalah. Dalam istilah sufi orang yang tergolong 'Arif adalah orang yang telah mengenali dirinya dan Tuhannya dengan pengenalan yang baik.

Pengenalan pada dirinya itu tidak berhenti hanya pada tingkatan psikologis melainkan juga pada penghalang-penghalangnya yang menutupi pengetahuannya terhadap eksistensi Tuhan. Oleh sebab itu orang 'Arif, dengan melalui disiplin asketik (al-mujahadah), selain mengenali dirinya sebagai hamba Allah, dengan segala kelemahan yang ada padanya, juga mampu membuka selubung kosmik yang menghalangi cahaya surga untuk menyinari jiwa dan kehidupannya. Orang yang selalu bermujahdah akan dapat terbebas dari setiap selubung yang menghalangi karunia ridha Allah dan cahaya-Nya yang terang benderang.

Orang ‘Arif lebih berkonsentrasi memuji Allah Swt demi meraaih ridha-Nya. Sedangkan esensi memuji Allah adalah sebuah pengakuan bahwa segala bentuk pujian hanyalah milik Allah. Dia adalah Pemilik segala sifat yang pantas mendapat pujian.

Pada hakikatnya, dengan memuji Allah Swt seseorang, secara spiritual, sedang berusaha melebur egosentrisitas dirinya dan mengikis habis kesombongan sang diri, Dengan ketulusan memuji Allah berarti seseorang telah menyadari sepenuhnya akan kepemilikan-Nya atas segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri.

Pengucapan pujian kepada Allah yang disertai dengan pemahaman dan keyakinan yang bertahta di hati, akan membuka ruang kesadaran baru. Yaitu kesadaran bahwa dirinya sebagai makhluk Allah yang lemah, tidak memiliki kuasa apa pun dan terhadap siapa pun. Kesadaran seperti inilah yang membuat seseorang menjadi dewasa secara ruhiah dan arif dalam memahami dan memaknai setiap peristiwa. Ia akan menjadi lebih rendah hati (tawadlu’), puas dengan hasil yang diperoleh, walaupun secara kuantitas sedikit, dan tidak menderita keluh kesah. Di sisi lain, akan lahir energi baru untuk bekerja optimal, mengerahkan segenap kemampuan untuk meraih prestasi tertinggi.

Pujian kepada Allah adalah refleksi penghambaan diri secara mutlak dan ketundukan seorang hamba kepada-Nya. Selain itu ia juga merupakan implementasi rasa syukur seorang hamba kepada Tuhannya. Oleh karena itu pujian kepada Allah tidak hanya sebagai kewajiban kemanusiaan tetapi juga menunjukkaan kualitas kesadaran tentang keharusan bersyukur seseorang terhadap segala nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya. Dengan begitu ia akan memuji Allah dalam segala ruang dan waktu. “Segala puji bagi Allah yang memelihara apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bagi-Nya (pula) sega puji di akhirat. Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS, Saba’[34]: 1)

Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Hasanah wa al-Sayyi`ah menegaskan bahwa pujian merupakan puncak syukur dan tauhid seseorang. Keduanya telah disatukan dalam induk al-Qur`an (al-Hatihah). Awalnya berisi pujian, pertengahannya berisi tauhid, dan penutupnya berisi doa. Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengutip sebuah hadits yang mengisyaratkan pujian kepada Allah sebagai indikator kemajuan spiritual manusia. Dalam hadits yang terdapat dalamm Muwaththa’ disebutkan, “Sebaik-baik yang diucapkan olehku dan oleh para nabi sebelumku adalah “Tiada Tuhan selain Allah. Tiada sekutu bagi-Nya. Milikn-Nya segala kekuasaan dan pujian. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Sementara itu Zahid (orang zuhud) adalah orang yang semata-mata taat kepada Allah dan tidak terbersit untuk menumpahkan ketaatan kepada selain-Nya. Menurut ulama salaf, zuhud ialah menanggalkan segala bentuk kecintaan dan ketergantungan kepada sesuatu untuk mencintai dan bergantung hanya kepada Allah Swt. Inti zuhud adalah tidak terpengaruh atau tidak bergantungnya hati kepada berbagai hal yang berkaitan dengan kenikmatan dan atribut duniawi.

Bagi seorang zahid, urusan dunia itu tidak ada nilai langsung jika dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat. Rasulullah Saw bersabda, ”Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir.”(HR, Bukhari). Dengan demikian dirinya tidak merasakan pengaruh apa pun terhadap dunia.

Dalam sebuah riwayat disebutkan munajat Nabi Musa As yang menyebut firman Allah yang berbunyi, ”Sesungguhnya Aku melindungi wali-wali-Ku dari kenikmatan dunia dan kesenangannya, sebagaimana penggembala yang menyayangi dan melindungi untanya dari tempat gembalaan yang membahayakannya. Sesungguhnya Aku akan menjauhkan mereka dari kesenangan dunia dan kegemerlapannya, sebaagaimana juga penggembala yang menyayangi untanya dan menjauhkan dari tempat gembalaan yang membuatnya lalai. Dan tidaklah hal itu karena kelalaian mereka terhadap-Ku melainkan supaya mereka menyempurnakan bagian mereka dari kemuliaan-Ku dengan sempurna, sehingga dunia tidak melalaikan mereka dan hawa nafsu tidak memadamkan semangat ibadah mereka.” (HR, Ahmad).

Problemnya, dalam kehidupan yang tengah dilanda budaya permisip seperti sekarang ini ruang penggembalaan yang tidak membahayakan dan melalaikan semakin sempit dan sukar didapat. Bahkan manusia cenderung terus memperluas ruang-ruang yang membahayakan dan melalaikan itu. Akibatnya kita mengalami kesukaran untuk terbebas dari arena yang tidak melalaikan dan tidak memadamkan semangat beribadah kepada Allah Swt.

Zuhud dalam aplikasinya dapat menumbuhkan sifat-sifat baik bagi diri seseorang. Sejalan dengan sifat-sifat baiknya itu ia akan terus mengalami kemajuan spiritualnya dan mencerminkan kearifan. Zuhud akan melahirkan sifat qana’ah (menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah Swt), memunculkan sifat tawakkal (kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Swt), menumbuhkan kemampuan untuk meninggalkan kenikmatan-kenikmatan sesaat demi kenikmatan abadi di alam akhirat, mengantarkan kedekatan diri dengan Allah Swt dengan penuh kecintaan, mengasah sensifitas kehati-hatian dirinya dalam memelihara kecerahan hati, meredakan gejolak hati terhadap nikmat dunia untuk meraih jiwa yang muthma`innah, dan dapat meraih kecintaan orang terhadap dirinya.

Rasulullah Saw adalah orang yang paling giat bekerja dan beramal shalih, semangat dalam ibadah, dan gigih dalam berjihad. Akan tetapi pada saat yang sama beliau lebih mementingkan kebahagiaan hidup di akhirat dan keridhaan Allah Swt daripada kenikmatan duniawi. Ibnu Mas’ud Ra melihat Rasulullah Saw tidur di atas kain tikar yang lusuh sehingga membekas di pipinya, kemudian berkata, ”Wahai Rasulullah Saw, bagaimana kalau saya ambilkan untukmu kasur?” Rasulullah Saw menjawab, ”Untuk apa dunia itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengembara yang mampir sejenak di bawah sebatang pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR, al-Tirmidzi)
Oleh sebab itu langkah orang zuhud selalu memilih jalan di sisi Allah dan berpaling dari sesuatu untuk membebaskan diri dari kecintaan dan ketergantungan pada selain Allah. Rasulullah Saw bersabda, "Zuhudlah terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain, maka setiap orang akan mencintaimu." (HR, Ibnu Majah). Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah melindungi hamba-Nya yang beriman dari dunia, sebagaimana sakit yang menimpa salah seseorang dari kalian telah mencegahnya dari makan dan minum.” (HR, Ahmad dan Hakim)

Sesungguhnya, kearifan dan kezuhudan sebagai indikator kemajuan spiritual saling berkaitan dan berkelindan. Tanpa pemahaman yang sempurna tentang hakikat Tuhan, manusia, dan dunia, mustahil seseorang akan dapat menjadi orang yang zuhud. Sebaliknya tanpa kezuhudan juiga tak mungkin orang akan menjadi arif dikarenakan hakikat kezuhudan adalah kesalihan sang diri. Selain kalbu yang kotor pasti tidak akan dapat mengenal Tuhannya secara jernih. Tidak akan dapat memahami hakikat diri dan alam sekitarnya.

Orang yang tidak mengenal Tuhannya, pasti tidak akan dapat bersyukur dan karenanya pula ia tidak akan dapat memuji-Nya siang dan malam. “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (al-A’raaf [7]: 205). Yakinlah, ketika kita memuji Allah, pada hakikatnya pujian itu akan kembali ke kita dalam bentuk energi pencerahan. Secara tidak sadar, kita menjadi semakin arif, bijaksana, jujur, ulet, optimis menatap masa depan, dan etos kerja kita semakin unggul. Wallahu A’lam.


Sumber : http://www.eramuslim.com/nasihat-ulama/ustadz-abu-ridha-kearifan-dan-kezuhudan.htm



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.