Jumat, 11 November 2011

Agar Putih tak Jadi Abu-abu

Oleh: Muhammad Nuh

Kirim Print
dakwatuna.com -”Islam itu bersih, maka bersihkanlah dirimu. Sesungguhnya, tidak akan masuk surga kecuali orang yang bersih.” (HR Dailami)

Maha Agung Allah swt. yang telah menunjukkan hambaNya tentang warna-warni hidup. HidayahNya menguatkan sinar fitrah manusia yang putih untuk tetap putih. Dan yang sebelumnya hitam menjadi kembali putih dan bersih. Putih menunjukkan kebersihan. Dan hitam memperlihatkan kekotoran. Keduanya tidak akan menyatu. Seperti itulah sunnatullah buat semesta alam.

Hamba Allah yang istiqamah akan senantiasa menjaga diri supaya tetap bersih. Karena bersih menarik berbagai kemudahan dan keberkahan hidup. Di antaranya:

Kesuksesan berbanding lurus dengan kebersihan

Tiap orang pasti ingin hidup sukses. Mereka berusaha mencari jalan agar sukses cepat diraih. Mulai dari persiapan dalam diri hingga upaya sungguh-sungguh mencari dukungan luar. Bisa berupa ilmu, modal usaha, relasi kerja, dan lobi-lobi dalam dunia politik.

Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa kesuksesan diri bersifat menyeluruh. Artinya, tidak melulu pada sukses bisnis, studi, jodoh, dan karir. Tapi, mesti mencakup segala sisi diri seorang manusia.

Itu bisa berarti apa saja yang ada dalam diri seperti hati yang melahirkan motivasi, akal yang merangsang tumbuhnya gagasan, dan pemenuhan kebutuhan jasad yang menghasilkan keseimbangan tubuh. Juga, segala hal yang melingkupi luar diri seperti hubungan harmonis dengan lingkungan, kemampuan meningkatkan sumber daya dan lain-lain.

Namun, semua unsur sukses itu akan menemui jalan buntu jika inti dalam diri masih labil, kotor, dan tidak terawat. Itulah yang disebut hati dan jiwa. Hati dan jiwalah yang akhirnya menjadi penentu seperti apa motivasi, gagasan, kesungguhan gerak akan bergulir. Jika hati dan jiwanya keruh, maka aliran motivasi, gagasan, gerak oleh tubuh akan tersendat. Kalau pun dipaksakan untuk berjalan akan tampil kacau dan tak seimbang.

Seperti itulah yang kini dialami mereka yang jiwanya kering dari sentuhan iman. Gemerlap materi sama sekali tidak mampu membendung gelisah. Selalu tidak pernah puas. Bahkan, mereka tidak lagi tahu mau kemana diri berjalan. Kesuksesan menjadi fatamorgana yang terlihat begitu melimpah, pada hakekatnya kosong tanpa makna.

Maha benar Allah dalam firman-Nya, “Sungguh beruntung mereka yang mensucikan jiwanya. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)

Seorang hamba Allah yang takwa teramat sadar kalau sukses bukan cuma pada takaran dunia. Tapi juga untuk kehidupan akhirat. Dua target ini seolah terpisah. Tapi sebenarnya satu dan mengikat.

Sukses hidup buat seorang mukmin tidak identik dengan melimpahnya kekayaan, kesuksesan karir, mudahnya jodoh, dan kehormatan sebuah jabatan. Sukses hidup sebenarnya adalah ketika seorang hamba menemui ajalnya dalam rengkuhan ridha Allah swt.

Kasih sayang Allah bersama mereka yang bersih

Tidak ada tujuan hidup yang lebih tinggi kecuali menggapai ridha Allah. Apalah arti ridha seorang manusia buat seorang mukmin tanpa ridha dan kasih sayang Allah swt. Karena semua kasih sayang manusia sangat berbatas. Kalau tidak pada mutu, pasti pada ukuran waktu.

Sayangnya, kekerdilan nalar manusia kadang menggiringnya pada kesimpulan yang dangkal. Kasih sayang disamakan dengan kemudahan dan kenyamanan hidup. Padahal hidup tak lebih dari sekadar ruang ujian. Semakin sulit soal yang diterima, kian tinggi mutu seorang murid. Dan kebahagiaan sejati terlahir ketika seorang murid mendapat nilai akhir yang sangat memuaskan.

Sesuatu yang suci akan selalu bersama dengan yang bersih. Allah swt. Maha Suci, dan senantiasa mencurahkan kasih sayangNya pada hamba-hambaNya yang bersih. Kebersamaan akan melahirkan ikatan. Dan ikatan akan membuahkan cinta dan kasih sayang.

Maha Benar Allah dengan firmanNya, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan dirinya.” (Q.S. Al-Baqarah: 222)

Simpati dan dukungan selalu tertuju pada yang bersih

Setiap manusia punya fitrah. Dan fitrah akan selalu condong pada yang bersih. Siapa pun dia, kecenderungan pada yang bersih akan selalu ada. Sejalan dengan kecenderungan itu, fitrah pun mengajak manusia membenci yang kotor.

Begitulah saat manusia mencintai kebersihan dan keindahan. Ketika manusia suka dengan yang teratur, disiplin dan kejujuran. Ketika manusia benci kekotoran, kebusukan, dan kesombongan.

Sayangnya, debu-debu kehidupan kerap menciderai fitrah. Bisa berupa tarikan nafsu berkuasa, takut hidup susah, dan kecenderungan mencintai kenikmatan hidup. Jika ini tak segera dibenahi, cahaya fitrah akan redup.

Namun begitu, cahaya fitrah ini akan kembali bersinar ketika ada tarikan dari kekuatan fitrah yang lebih besar. Lambat-laun, sinar fitrah yang semula redup akan tergiring dan akhirnya bersinar terang.

Seperti itulah ketika Rasulullah saw. menyatakan diri sebagai utusan Allah. Diam-diam masyarakat melirik dan kemudian benar-benar tertarik. Termasuk para tokoh Quraisy yang menyatakan diri memusuhi Rasulullah, padahal fitrahnya mulai hidup bersama ajaran Rasulullah. Kalau pun ada yang menyangkal, tak lebih dari kepura-puraan dan gengsi. Dan untuk mengubah itu, Allah hanya memberi waktu sekitar dua puluh tiga tahun. Sebuah perubahan yang teramat cepat.

Kebersihan dan kekotoran tidak akan pernah sama. Juga, tak akan bisa menyatu. Yang berat adalah ketika yang bersih berinteraksi dengan yang kotor. Maka keduanya akan saling mempengaruhi. Dan semuanya berujung pada siapa yang paling kuat.

Semoga kita tidak pernah beranggapan bahwa bersih serupa dengan stempel yang tidak pernah berubah. Ia perlu pengawasan dan perawatan. Agar yang bersih dan putih terus tetap bersih. Kalau tidak, boleh jadi putih akan bergeser warna. Bisa kehitam-hitaman, atau paling tidak abu-abu.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/agar-putih-tak-jadi-abu-abu/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.