Jumat, 21 Oktober 2011

Mengukur Angan-angan

Oleh: Muhammad Nuh

Kirim Print
Hidup kadang seperti rangkaian bias-bias sinar terik yang membentuk fatamorgana. Terlihat begitu indah. Segar menawan. Ia melambai-lambai, membuat ruhani yang haus kian terpedaya.

Seperti itulah rupa hidup buat sebagian orang. Seperti itulah ketika kesenjangan antara idealita dengan realita tak lagi menumbuhkan kesadaran. Bahwa, hidup penuh perjuangan. Yang muncul selanjutnya adalah angan-angan. Andai saya bisa. Andai saya kaya!

Kesenjangan makin parah ketika tarikan-tarikan idealita punya dua tangan. Adanya obsesi hidup serba lengkap di satu sisi, serta pergaulan yang begitu akrab dengan dunia serba mewah. Entah kenapa, ingatan begitu kuat menyimpan sederet merek mobil mewah, lokasi wisata kelas tinggi, trend baru seputar busana, handphone dan sebagainya. Ada selera hidup yang, boleh jadi, di luar kemestian.

Padahal, kenyataan diri berkali-kali menegaskan bahwa semua tuntutan gaya hidup itu di luar kemampuan. Bahwa, membayang-bayangkan sesuatu di luar kesanggupan hanya menguras energi tanpa manfaat. Seolah diri ingin mengatakan, “Inilah kenyataan. Terimalah. Jangan mimpi. Jangan terbuai angan-angan!”

Namun, penegasan itu sulit diterima diri yang terus dipermainkan nafsu. Pada saat yang sama, kesadaran jiwa kian tenggelam dengan angan-angan. Terus tersiksa dengan segala ketidakmampuan. Cahaya iman meredup. Hati pun menjadi gelap.

Seorang sahabat Rasulullah saw., Abdullah bin Mas’ud, pernah memberikan nasihat. Ada empat hal yang menyebabkan hati manusia menjadi gelap. Yaitu, perut yang terlalu kenyang, berakrab-akrab dengan orang-orang zalim, melupakan dosa-dosa masa silam tanpa ada perasaan menyesal. Dan terakhir, panjang angan-angan.

Beliau radhiyallahu‘anhu juga memberikan nasihat sebaliknya. Ada empat hal yang membuat manusia memiliki hati yang terang. Yaitu, adanya kehati-hatian
dalam mengisi perut, bergaul dengan orang-orang yang baik,
mengenang dosa-dosa dengan penuh penyesalan. Dan keempat, pendek angan-angan.

Seperti itulah nasihat singkat dari seorang sahabat Rasul yang sejak kecil hidup apa adanya. Tapi kemudian, tumbuh menjadi seorang pakar Alquran, ahli fikih, dan beberapa penguasaan ilmu lain. Umar bin Khattab pernah berkomentar tentang sosok Abdullah bin Mas’ud. “Sungguh ia terpelihara oleh kefaqihan dan ketinggian ilmunya.”

Ada beberapa sebab kenapa angan-angan kian memanjang. Pertama, keringnya hati dalam mengingat Allah swt. Kekosongan-kekosongan itulah yang menjadi lahan subur tumbuhnya angan-angan. Allah swt. berfirman, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadiid: 16)

Kedua, adanya kecintaan pada dunia. Luqman Al-Hakim pernah berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, sesungguhnya dunia itu laut yang dalam. Telah banyak orang yang tenggelam di dalamnya. Maka hendaklah perahu duniamu itu senantiasa takwa kepada Allah ‘Azza Wajalla. Isinya iman kepada Allah Ta’ala. Dan layarnya berupa tawakkal penuh pada Allah swt.
Anakku, berpuasalah dari dunia dan berbukalah pada akhirat.”

Seorang ulama seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyah pernah memberikan nasihat soal ini. Janganlah sekali-kali menatap dan merenungi harta orang lain. Karena di situlah peluang setan menyusupkan godaannya.

Ketiga, menghinakan nikmat Allah. Sangan wajar jika seorang manusia ingin hidup kaya. Dan Islam sedikit pun tidak melarang umatnya menjadi orang kaya. Justru, ada hadits Rasulullah saw. yang mengatakan, “Kaadal faqru ayyakuuna kufron” (Boleh jadi kefakiran menjadikan seseorang kepada kekafiran)

Masalahnya tidak pada sisi itu. Ketika seseorang tidak mampu menerima kenyataan apa adanya, ada sesuatu yang hilang. Itulah syukur terhadap nikmat Allah. Rasulullah saw. bersabda, “Dua hal apabila dimiliki seseorang dia dicatat oleh Allah sebagai orang yang bersyukur dan sabar. Dalam urusan agama (ilmu dan ibadah) dia melihat kepada yang lebih tinggi lalu meniru dan mencontohnya. Dalam urusan dunia dia melihat kepada yang lebih bawah, lalu bersyukur kepada Allah bahwa dia masih diberi kelebihan.” (HR. Attirmidzi)

Jika seorang hamba Allah kurang bersyukur, yang terjadi berikutnya adalah buruk sangka pada Allah swt. Menganggap Allah kurang bijaksana. Menganggap Allah tidak adil. Padahal, semua kebijaksanaan Allah adalah pilihan yang terbaik buat hamba-Nya. Boleh jadi, kemiskinan buat seseorang memang merupakan situasi yang tepat buat hamba Allah itu.

Seperti itulah firman Allah dalam surah Asy-Syura ayat 27. “Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”

Terakhir, adanya kekaguman terhadap seseorang karena sisi kekayaannya. Begitulah mereka yang kehilangan identitas keimanannya. Gampang kagum dengan sesuatu dari kulit luarnya: penampilan dan kekayaan. Padahal, kenyataan hidup yang terlihat tidak seindah yang dibayangkan. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri.” (QS. Ali Imran: 196)

Kehidupan memang tak bisa lepas dari pemandangan menipu sejenis fatamorgana. Tapi semua itu tidak akan mampu menggoda hati-hati yang tidak dahaga. Karena nikmat Allah yang ada sudah teramat layak untuk disyukuri.


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/mengukur-angan-angan/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.