dakwatuna.com - Seorang
teman saya pernah menceritakan keheranannya terhadap teman-teman
pengajiannya. “Saya bingung pada mereka, guru mereka ada di rumah sakit
sudah beberapa pekan, namun mereka belum mengunjungi juga”, keluh teman
tadi. “Apa anda tidak mengingatkan mereka tentang keadaan guru kalian”,
ungkap saya. “Tidak tahulah saya pada mereka. Sepertinya mereka sibuk
sekali pada urusannya masing-masing”, jawabnya lirih. “Apakah sesibuk
itu mereka hingga seredup itu perasaan kemanusiaannya”, selidik saya.
Lain
waktu saya berkesempatan mengunjungi rumah seorang teman sambil membawa
sedikit bingkisan. Rupanya dia sangat gembira sekali dengan kunjungan
saya ini. “Saya bersyukur sekali hari ini. Pertama, mendapatkan
kunjungan dari antum, setelah lama tidak ada teman yang mengunjungi
saya. Rasanya saya seperti terlempar dari pergaulan teman-teman. Tapi
dengan kunjungan ini saya merasa ditarik kembali. Kedua, antum membawa
bingkisan. Barang kali bingkisan itu kecil nilainya tapi sangat berarti
bagi saya. Karena sudah beberapa hari keluarga saya hanya memakan
ubi-ubian”. Paparnya. Saya terharu sekali mendengarkan pemaparan yang
memilukan itu. Timbul pertanyaan besar: Kemana teman-temannya?
Pengalaman
di atas sebenarnya mungkin banyak sekali kita jumpai dengan beraneka
ragam cerita. Semuanya akan berujung pada tanda tanya, sebegitu redupkah
tali persaudaraan yang kita miliki saat ini. Sebegitu keringkah telaga
ukhuwah sesama aktivis dakwah.
Keadaan
ini menjadi perhatian dalam diri saya apakah ini sebuah fenomena
ataukah kasuistik saja. Memang kita harus akui bahwa kekeringan
ruhaniyah di hati kader akan berakibat kekeringan dalam muamalah antar
mereka. Muamalah yang kering merupakan preseden buruk bagi pembentukan
opini publik tentang manisnya ukhuwah Islam. Serta buramnya potret
keindahan tatanan dan perilaku masyarakat Islam di masa lalu bila
dipraktekkan pada zaman kiwari.
Potret
ukhuwah islamiyah yang telah dilakoni para pendahulu menggores kesan
mendalam yang teramat indah bagi peradaban manusia. Bagaimana tidak,
seseorang rela mati demi saudaranya. Mereka lebih memilih lapar bagi
dirinya daripada saudaranya yang lapar. Mereka lebih mendahulukan
kepentingan orang lain dari kepentingan diri mereka sendiri meskipun
mereka teramat membutuhkannya. Mereka sangat menjaga kehormatan dirinya
ketimbang harus menjadi orang yang rakus lagi terhina.
“Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum kedatangan mereka (kaum Muhajirin) mereka mencintai
orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keingan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (kaum
Muhajirin) dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu.
Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah
orang-orang yang beruntung” (Al-Hasyr: 9)
Berbicara
ukhuwah memang tidak sekedar teori melainkan nilai-nilai mulia yang
mesti diimplementasikan dengan jiwa besar. Karena ia bukan hanya ucapan
melainkan ia adalah amalan. Bahkan bukan sekedar amalan biasa tetapi
amalan yang dikaitkan dengan kondisi keimanan pelakunya.
Iman Landasan Persaudaraan Islam
Ukhuwah
islamiyah tidaklah sama dengan cita rasa humanisme seperti yang
dipahami banyak orang. Sehingga mereka melakukan suatu kebaikan lantaran
faktor humanisme, tidak dikaitkan dengan nilai-nilai moralitas yang
tertanam dari benih ideologi samawiyah. Akan tetapi ukhuwah islamiyah
merupakan manivestasi keimanan pelakunya. Keimanan yang stabil
senantiasa memproduk amal khairiyah dan merealisasikannya dalam bentuk
nyata tatkala bermuamalah dengan banyak manusia, sebaliknya keimanan
yang labil dapat menghambat produktivitas amal tersebut.
Hubungan
personal ketika bermuamalah pada sesama muslim memang tidak diikat pada
simpul-simpul kesatuan aktivitas manusia dalam kesehariannya. Mereka
tidak disatukan karena motivasi materi, kesukuan, kondisi temporer yang
mereka alami. Melainkan hubungan mereka diikat oleh keimanan.
Keimananlah yang menjadi pijakan muamalah mereka. Keimanan ini melandasi
hubungan mereka yang teramat indah itu. Wihdatul aqidah itulah
jawabannya. Menjadi kewajiban setiap kader untuk membangun bangunan
keimanan yang kokoh agar dapat merefleksikannya dalam berinteraksi antar
sesama.
Ketika
banyak orang mengaitkan sikap persaudaraan pada nasab, kesukuan,
kedaerahan serta ashabiyah lainnya. Rasulullah SAW. menepisnya dengan
mengatakan: “Salman adalah keluargaku”.
Nyata
betul prinsip Islam ini. Tidak tidak dapat dibatasi oleh dinding
setebal apapun. Karena keimanan yang menjadi landasannya juga tidak
dapat dibatasi oleh batasan apapun. Karena itu pancaran persaudaran
berasal dari cahaya keimanan si pemiliknya.
Kepekaan Ukhuwah
Keimanan
yang selalu bersinar terang akan menyalakan kepekaan ukhuwah. Hasasiyah
ukhuwah ini akan semakin dinamis bila dilakukan dua arah. Sehingga
semua pihak menahan diri untuk hanya menikmati ukhuwah orang lain. Akan
tetapi masing-masing pihak berupaya untuk dapat menyenangkan khalayak
sekitarnya. Menjadi kepuasan bagi dirinya apabila kelebihannya dapat
dicicipi oleh banyak orang.
Lihatlah
sejarah manusia-manusia pilihan yang telah mengukir indahnya peradaban
orang-orang yang beriman. Mereka tidak bakhil pada orang lain akan
kelebihan dirinya. Mereka tidak pula celamitan pada kebaikan orang lain.
Mereka merasa bahagia apabila orang lain merasakan kebaikannya. Dan
mereka terhina apabila orang lain terepotkan lantaran dirinya .
Pagi-pagi
Rasulullah SAW. tersenyum melihat seorang sahabat yang telah
membuktikan sikap ukhuwahnya pada saudaranya yang lain. Beliau
mendapatkan informasi bahwa sahabat tersebut menjamu tamunya dengan
hidangan yang diperuntukkan keluarganya. Agar tamunya berselera
menyantap hidangannya, dia matikan lampu rumah sehingga makanan yang
disajikan tidak tampak pada sang tamu. Hal itu dilakukan untuk
menghilangkan rasa sungkan tamunya untuk menyantap makanan tersebut.
Lantaran porsi hidangan yang tersedia hanya cukup untuk seorang. Untuk
menyenangkan hati tamunya, tuan rumah berpura-pura sedang menyantap
makanan tersebut bersama-sama dengan lahap. Sikap inilah yang
mendapatkan senyuman malaikat dan membuat senang hati Rasulullah SAW.
Juga
ketika Rasulullah SAW. membangun Madinah sebagai sentral aktivitas
muslim, beliau mempersaudarakan sahabat Muhajirin dan Anshar. Di
antaranya Abdurrahman bin Auf RA. dipersaudarakan dengan Saad bin Rabi’i
RA. Dengan hati yang tulus Saad bin Rabi’ mengatakan: “Aku memiliki
beberapa perniagaan silahkan ambil yang kau cenderungi. Dan aku
mempunyai beberapa isteri silahkan lihat mana yang menarik hatimu. Akan
aku ceraikan dia dan nikahilah setelah selesai masa iddahnya”. “Semoga
Allah senantiasa memberkahi dirimu dan keluargamu, terima kasih atas
penawaranmu. Akan tetapi lebih baik bagiku tunjukkanlah padaku dimana
pasar?” Jawab Abdurrahman bin Auf RA.
Betapa
manisnya kehidupan orang-orang yang beriman. Mereka dapat memposisikan
dirinya secara tepat. Mereka dapat merasakan kesusahan dan kebahagiaan
saudaranya. Mereka tahu betul apa yang mesti dilakukan untuk orang lain.
Mereka merasa bersedih apabila tidak mampu berbuat banyak untuk orang
lain.
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar