Oleh: Muhammad Nuh
dakwatuna.com – “Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)
Maha Besar Allah yang telah menciptakan dunia begitu indah. Awan pekat
berbondong-bondong digiring angin. Hujan bersih menitik dari langit.
Tumbuh-tumbuhan pun menghijau, menyegarkan pandangan mata. Dan,
menyejukkan hati yang gelisah.
Saatnya diri untuk bercermin. Menengok seberapa kotor wajah karena
terpaan debu kehidupan. Saatnyalah, menimbang diri dengan penuh
kejernihan.
Resapilah bahwa diri terlalu banyak dosa, bukan sebaliknya
Di antara bentuk kelalaian yang paling fatal adalah merasa tidak punya
dosa. Yang kerap terbayang selalu pada kebaikan yang pernah dilakukan.
Dari sinilah seseorang bisa terjebak pada memudah-mudahkan kesalahan.
Bahkan, bisa menjurus pada kesombongan. “Sayalah orang yang paling baik.
Pasti masuk surga!”
Dua firman Allah swt. menyiratkan orang-orang yang lalai seperti itu.
“Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang
yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)
Bentuk lain dari sikap ini, adanya keengganan mencari fadhilah atau
nilai tambah sebuah ibadah. Semua yang dilakukan cuma yang wajib.
Keinginan menunaikan yang sunnah menjadi tidak begitu menarik. Ibadahnya
begitu kering.
Padahal, Rasulullah saw. tak pernah lepas dari ibadah sunnah. Kaki
Rasulullah saw. pernah bengkak karena lamanya berdiri dalam salat.
Isteri beliau, Aisyah r.a., mengatakan, “Kenapa Anda lakukan itu, ya
Rasulullah? Padahal, Allah sudah mengampuni dosa-dosa Anda?” Rasulullah
saw. menjawab, “Apa tidak boleh aku menjadi hamba yang senantiasa
bersyukur?”
Beliau saw. pun mengucapkan istighfar tak kurang dari tujuh puluh
kali tiap hari. Setiapkali ada kesempatan, beliau saw. selalu memohon
maaf kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan beliau. Beliau
saw. khawatir kalau ada kesalahan yang tak disengaja. Kesalahan yang
terasa ringan buat diri, tapi berat buat orang lain.
Berlatih diri untuk menerima nasihat, dari siapapun datangnya
Boleh jadi, sebuah pepatah memang cocok buat diri kita: gajah di pelupuk
mata tak tampak, sementara kuman di seberang lautan jelas terlihat.
Kesalahan orang lain begitu jelas buat kita. Tapi, kekhilafan diri
sendiri seperti tak pernah ada.
Jadi, tidak semua orang yang paham tentang teori salah dan dosa mampu
mendeteksi dan mengoreksi kesalahan diri sendiri. Rasulullah saw. pernah
menyampaikan hal itu dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, “Pada hari
kiamat seorang dihadapkan dan dilempar ke neraka. Orang-orang bertanya,
‘Hai Fulan, mengapa kamu masuk neraka sedang kamu dahulu adalah orang
yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar?’ Orang
tersebut menjawab, ‘Ya, benar. Dahulu aku menyuruh berbuat ma’ruf,
sedang aku sendiri tidak melakukannya. Aku mencegah orang lain berbuat
munkar sedang aku sendiri melakukannya.”
Dari situlah, seseorang butuh bantuan orang lain untuk menerima nasihat.
Cuma masalah, seberapa cerdas seseorang menyikapi masukan. Kadang,
emosi yang kerdil membuat si penerima nasihat banyak menimbang. Ia tidak
melihat apa isi nasihat, tapi siapa yang memberi nasihat. Dan inilah di
antara indikasi seseorang terjebak dalam sifat sombong. Sebuah sifat
yang selalu menolak kebenaran, dan mengecilkan keberadaan orang lain.
Paksakan diri untuk bermuhasabah secara rutin
Sukses-tidaknya hidup seseorang sangat bergantung pada kemampuan
mengawasi diri. Seberapa banyak kebaikan yang diperbuat dan seberapa
besar kesalahan yang terlakoni. Kalau hasil hitungan itu positif, syukur
adalah sikap yang paling tepat. Tapi jika negatif, istighfarlah yang
terus ia ucapkan. Kesalahan itu pun menjadi pelajaran, agar tidak
terulang di hari esok.
Masalahnya, orang yang cenderung santai, sulit melakukan muhasabah
secara jernih. Timbangannya selalu miring. Yang terlihat cuma
kebaikan-kebaikan. Sementara, dosa dan kesalahan tenggelam dengan
tumpukan angan-angan.
Muhasabah yang tidak jernih kerap menonjolkan amalan dari segi jumlah.
Bukan mutu. Padahal, Allah swt. tidak sekadar melihat jumlah, tapi juga
mutu. Bagaimana niat amal, seberapa besar kesadaran dan pemahaman dalam
amal tersebut. Dan selanjutnya, sejauhmana produktivitas yang dihasilkan
dari amal.
Bahkan boleh jadi, orang justru jatuh dalam kesalahan ketika proses
amalnya menzhalimi orang lain. Atau, amal yang dilakukan menciderai hak
orang lain. Umar bin Khaththab pernah memarahi seorang pemuda yang
terus-menerus berada dalam masjid, sementara kewajibannya mencari nafkah
terlalaikan.
Umar bin Khaththab pula yang pernah memberikan nasihat buat kita semua.
“Hisablah diri kamu sebelum kamu dihisab. Timbanglah amalan kamu sebelum
ia ditimbang. Dan bersiap-siaplah menghadapi hari kiamat (hari
perhitungan).”
Gandrungkan hati untuk tetap rindu pada lingkungan orang-orang saleh
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seseorang adalah sejalan dan sealiran
dengan kawan akrabnya. Maka, hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih
kawan pendamping.” (HR. Ahmad)
Nasihat Rasul ini tentu tidak mengharamkan seorang mukmin mendekati
orang-orang yang tinggal di lingkungan buruk. Karena justru merekalah
yang paling berhak diajak kepada kebersihan Islam. Tapi, ada saat-saat
tertentu, seseorang lebih cenderung berada pada lingkungan negatif
daripada yang baik. Bukan karena ingin berdakwah, tapi karena ingin
mencari kebebasan. Di situlah ia tidak mendapat halangan, teguran, dan
nasihat. Nafsunya bisa lepas, bebas, tanpa batas.
Ketika seseorang berbuat dosa, sebenarnya ia sedang mengalami penurunan
iman. Karena dosa sebenarnya bukan pada besar kecilnya. Tapi, di hadapan
siapa dosa dilakukan. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah memandang
kecil (dosa), tapi pandanglah kepada siapa yang kamu durhakai.” (HR.
Aththusi)
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar