Rabu, 19 Oktober 2011

Ajari Diri Berlaku Adil

Oleh: Muhammad Nuh

Kirim Print
Tak satu pun sifat yang paling diminati seorang calon pemimpin melebihi adil. Bagaikan bentangan layar, adil menggerakkan seluruh potensi kapal kepemimpinan seseorang menuju arah yang diinginkan. Tanpanya, kapal kepemimpinan hanya terombang-ambing di samudera masalah yang begitu luas.

Semua kita adalah pemimpin. Dan, semua pemimpin punya tanggung jawab kepemimpinan. Rasulullah saw. bersabda, “Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (pegawai) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Seperti itulah Islam memberikan tantangan pada kita untuk senantiasa memaknai kehidupan menjadi tingkat yang lebih tinggi. Bahwa, kehidupan bukan untuk menyendiri dan berusaha tak peduli dengan sekitar. Kehidupan adalah tanggung jawab.

Salah satu tanggung jawab yang selalu melekat dalam jiwa seorang mukmin adalah adil. Di situlah seorang mukmin bukan sekadar berhadapan dengan amanah dan tanggung jawab, tapi juga memaknai tanggung jawab pada nilai tertinggi.

Selama jiwa kepemimpinan seseorang masih hidup, sifat adil akan selalu menjadi takaran. Sebagai apa pun. Walau sebagai pemimpin terhadap diri sendiri. Mampukah kita adil menata hak-hak yang ada pada diri kita. Dan ketidakadilan sangat berbanding lurus dengan ketidakseimbangan diri.

Orang yang mudah sakit misalnya, berarti ia sedang mengalami ketidakseimbangan. Ini berarti ada ketidakadilan pada diri. Boleh jadi, ada hak-hak anggota tubuh yang terabaikan. Ketidakadilan menjadi tubuh menjadi tidak seimbang. Dan ketidak seimbangan membuat diri menjadi rusak dan sakit. Pendek kata, sakit adalah ungkapan tubuh untuk menuntut pemenuhan hak salah satu anggota tubuh dengan cara paksa.

Mencermati keadilan pada diri akan menggiring kita untuk senantiasa mengukur dan menakar: mampukah kita masuk pada tanggung jawab yang lebih. Atau, belum. Kemampuan mengukur dan menakar ini pun buah dari sifat adil diri kita. Jika kita lengah dalam masalah ini, kelak kita bukan hanya menzhalimi diri sendiri, tapi juga orang lain.

Seperti itulah mungkin, Allah swt. menggiring kita untuk senantiasa mencermati keseimbangan. Lihatlah alam raya yang begitu seimbang. Tertata rapi, indah, dan sempurna. Dan itulah bukti keadilan Allah tegak di alam ini. Kalau alam yang pada awalnya seimbang, kenapa manusia dan masalahnya yang juga bagian dari alam tidak mampu adil dan seimbang. Apa yang salah?

Allah swt. berfirman dalam surah Ar-Rahman ayat 5 hingga 13. “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk(Nya). Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

Tuntutan berlaku adil akan lebih kencang ketika kepemimpinan masuk pada wilayah publik. Variabel-variabel yang dihadapi kian meluas. Ia bukan hanya harus mampu menata sifat adil dalam pertambahan jumlah objek, tapi juga pada mutu.

Boleh jadi, seseorang mampu adil terhadap objek yang banyak, tapi tidak mampu menjaga mutu adil ketika banyak rongrongan dan tuntutan datang bertubi-tubi. Dan itu sebagai sebuah kemestian pada wilayah publik yang heterogen dan majemuk.

Kadang, kita terpaksa mengakui bahwa manusia memang makhluk yang unik. Sifat adil pada manusia bisa terlahir pada susunan yang bukan hanya berbentuk seri, tapi juga paralel. Artinya, ada manusia yang mampu adil pada kepemimpinan di masyarakat, tapi gagal pada diri dan keluarga.

Boleh jadi, keunikan ini tidak berlaku pada umumnya manusia. Karena biasanya, orang yang gagal berlaku adil pada diri, akan sulit bersikap adil dalam kehidupan keluarga. Terlebih lagi dalam masyarakat dan negara. Inilah kenapa para pemimpin yang zhalim pada rakyatnya, pasti menyembunyikan masalah berat yang sedang terjadi antara ia dan keluarganya.

Seperti itulah dengan pemimpin Mekah di masa Rasulullah saw., Abu Sufyan semasa jahiliyahnya. Belakangan, baru terungkap dari mulut isterinya, Hindun, bahwa sang suami begitu kikir dengan uang belanja. Sehingga tak jarang, Hindun mencuri uang suaminya ketika sang suami lengah. Ada masalah ketidakadilan antara Abu Sufyan dengan Hindun, isterinya.

Hal inilah yang mungkin pernah dikhawatirkan Rasulullah saw. ketika isteri-isteri beliau menuntut hak yang lebih baik. Mereka merasa kalau kehidupan yang diberikan Rasulullah teramat sederhana. Beliau saw. khawatir hanya bisa mampu adil pada umat dan negara, tapi tak begitu dengan urusan rumah tangga sendiri. Beliau begitu bingung hingga mengurung diri beberapa hari. Akhirnya, Allah sendiri yang memberikan jawaban buat para isteri Nabi.

“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, ‘Jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, kemarilah, akan aku berikan kesenangan kepada kalian dan aku akan menceraikan kalian dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian, pahala yang besar.” [QS. Al-Ahzab (33): 28-29]

Sedemikian bersihnya kepemimpinan Rasulullah saw. Tapi, toh, beliau mesti menghadapi tuntutan mutu keadilan yang lebih berat dan rumit. Apalagi jika kepemimimpinan sudah terkontaminasi dengan kepentingan. Ini akan jauh lebih rumit. Akan selalu muncul kecenderungan yang menggiring seseorang untuk berada pada satu tepi timbangan, dan lengah dengan tepi yang lain.

Boleh jadi, emosi menggiring seseorang hingga ia tak lagi mampu berlaku adil. Kebencian terhadap sesuatu kerap membuat seorang pemimpin mengurangi timbangan pada sesuatu itu. Di saat itulah, bentangan layar keadilannya timpang. Kapal kepemimpinan pun bukan hanya tak sampai tujuan. Bahkan, bisa tenggelam pada samudera masalah yang terus bergelombang.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/ajari-diri-berlaku-adil/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.