Jumat, 21 Oktober 2011

Tergerak di Titik Balik

Satu teriakan perlawanan, bukan ketakutan
Satu suara dalam kegelapan, satu ketukan pada pintu
Dan sebuah dunia yang menggemakannya bertalu-talu
-Henry Wardsworth Longfellow, Revere-

Tidak pernah terjadi dalam sejarah, para panglima pasukan musuh, seluruhnya masuk ke dalam agama penakluknya. Kecuali peristiwa yang indah itu; Fathul Makkah. Dan wanita ini ambil bagian dalam kancah itu, dengan sebuah perjalanan yang sulit, dengan cinta yang rumit, dengan mengalahkan dendam yang pahit.

Namanya Ummu Hakim binti Al Harits. Di lahir, tumbuh, dan merenda masa depan di tengah keluarga yang paling dahsyat permusuhannya terhadap da’wah Rasulullah, Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Ayahnya, Harits ibn Hisyam, hingga ajal menjemput tak henti memusuhi Sang Nabi. Paman, sekaligus mertuanya adalah Abu Jahl ibn Hisyam, Fir’aun-nya ummat ini. Dan harus kita sebut nama suaminya, ‘Ikrimah ibn Abi Jahl, panglima Makkah yang paling ganas dan ditakuti setelah Khalid ibn Al Walid.

Hari itu adalah hari takluknya Makkah. Nama suaminya berada di deret atas daftar pencarian pasukan Rasulullah. Untuk dibunuh. Karena permusuhan sengitnya yang tak kunjung henti, karena keganasannya dalam menyiksa kaum beriman. Juga demi pemusnahan dendam kesumat dan darah kejahatan yang mengalir dalam dirinya; darah Abu Jahl. Sebuah nama yang mendenging di telinga kaum muslimin sebagai pembantai orang beriman, penganiaya mukmin lemah, pengobar kebencian, permusuhan, dan peperangan.
Dia berharap hari itu suaminya akan memenuhi ajakan Khalid ibn Al Walid yang membawa pesan padanya, ”Masuklah Islam, engkau akan selamat!” Ya, masuk Islam saja. Atau setidaknya berpura-pura. Tapi jawaban ’Ikrimah sungguh menggiriskan hatinya. ”Andaikan di muka bumi ini tak tersisa lagi selain diriku, aku tetap takkan mengikuti Muhammad selama-lamanya!” Keras kepala! Keras kepala! Persis seperti ayahnya yang memilih kehancuran daripada kebenaran ketika berdoa, ”Ya Allah jika apa yang dibawa Muhammad itu memang benar dari sisiMu, hujani saja kami dengan batu dari langit!”

Detik itu juga Ummu Hakim menyaksikan suaminya berkemas. Ia tak bertanya. Ia akan tahu nanti bahwa lelaki yang dicintainya itu pergi ke Yaman. Kini hatinya yang dirundung duka, dendam, dan lara itu itu harus ditata lebih dahulu. Mari kita bayangkan seorang wanita yang tumbuh di tengah ayah, mertua, suami dan keluarga besar yang paling sengit memerangi da’wah. Mencaci-maki Muhammad dan mencelanya sudah bagai ritual agama dalam rumahtangga dan keluarga besarnya.

Tentu ada dua kemungkinan tentang jiwanya sejak lama. Pertama, jika ia bersimpati pada Muhammad dan diam-diam beriman, atau setidaknya mendukung dalam hati. Tentu masa berpuluh tahun ini bukan masa yang mudah untuk dilaluinya. Ia harus menyembunyikan perasaan kagum dan dukungannya dari seluruh keluarga yang kompak menyanyikan koor permusuhan. Pahit sekali. Pahit sekali mendengar lelaki berakhlaq mulia, yang datang dengan segala kebaikan bagi Quraisy itu dihina dan direndahkan di telinganya. Atau kadang mungkin ia ditegur, ”Mengapa kau tak ikut mencela Muhammad?”
Atau kemungkinan kedua. Bahwa ia tak beda dengan suami, ayah, mertua atau pamannya. Seorang yang tumbuh dengan kebencian tak terperikan pada Islam. Pada Muhammad. Maka saat yang paling sulit dan rumit itu adalah sekarang. Ketika mertuanya yang perkasa, Abu Jahl telah lama gugur di Badar dengan meninggalkan luka di hati suaminya, dan di hatinya. Luka itu belum kering. Dendam itu masih menyala. Kini, ketika Muhammad datang bersama sepuluh ribu bala tentaranya. Ketika seluruh wangsa Quraisy harus tertunduk malu kepadanya di depan Ka’bah. Si yatim, si miskin, si santun itu kini memegang kendali nasib mereka. Maka, bagaimanakah perasaannya?

ia telah mengalami
apa yang mungkin dialami bumi ini
di saat ia terburai memanjang oleh mata bajak
sehingga bulir-bulir gandum bisa disemaikan
-Victor Hugo, Les Miserables-

Kita tak tahu keterangan pasti, bagaimana sebenarnya keadaan hatinya sejak semula. Yang jelas, saat ini dia akan melakukan sebuah hal besar yang melampaui segala perasaan itu. Hatinya yang kukuh –mungkin khas klan Bani Makhzum- menggerakkannya untuk menemui Rasulullah. Dan di hadapan beliau dia meminta satu hal yang menurut perkiraannya tak mungkin dipenuhi. Jaminan keamanan dari beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam untuk suaminya.

Sepertinya tak mungkin. Tapi apa salahnya berharap pada Allah Yang Maha Kuasa tentang seorang yang begitu damai memberikan pengampunan umum atas Quraisy hari itu. Muhammad seorang pemaaf, bukan pendendam. Meski suaminya ada di daftar atas para buronan, apa salahnya mencoba?
Dan Rasulullah memang menjawab, ”Ya.”
Bahkan Ummu Hakim pun terkejut menyaksikan begitu mudahnya jawaban itu keluar dari bibir sang manusia mulia. Dan diiringi senyum yang sangat manis, sangat damai. Tiba-tiba tubuhnya serasa ringan, hatinya lapang. Ia kini tak ragu bahwa Islam adalah pilihan hidup untuknya, dan untuk suaminya. ”Ah..”, gumam Ummu Hakim. Tapi ini baru langkah pertama. Meminta kepada Rasulullah jauh lebih mudah daripada membujuk suaminya. Dan untuk menemui lelaki itu pun bukan hal ringan. Ke Yaman. Ke Yaman yang jauh dengan perjalanan berbahaya, melintasi gurun kosong yang tak aman dari hewan buas dan manusia beringas. Ke sana ia harus menuju, menyusul lelaki gagah yang keras hati itu.
Berbahagialah mereka yang digerakkan oleh cinta kepada hidayah..

♥♥♥

“Saya menemukan satu jenis hasil ekskresi yang tidak menimbulkan rasa jijik”, tulis Kazuo Murakami dalam The Divine Message of The DNA. Ya, sekawan ia dengan keringat, urine, lendir, juga –maaf- tinja. Tetapi apa yang kita rasakan saat melihat yang satu ini; air mata? Sangat berbeda dengan yang lain. Kilaunya justru memukau. “Walau saya tak mengerti”, kata Murakami, “Bagaimana emosi kita terinspirasi dalam benak, saya tahu bahwa saat saya tergerak hingga menangis, hati saya terasa dibersihkan dan tidak ada tempat lagi di dalamnya bagi kebencian maupun kemarahan.”

Dan itulah yang terjadi pada ’Ikrimah. Dia juga tak dapat menahan air mata, melihat kilau-kemilau di mata isterinya. Ia memang hanya setengah percaya pada pesan yang dibawa wanita tegar ini. Muhammad mengampuninya? Agak sulit menerima itu. Ia hanya setengah percaya pada pesan ini. Tapi ia sepenuhnya percaya pada selaksa kesulitan yang ditempuh Ummu Hakim untuk bisa menemuinya di Yaman. Ia percaya pada ketulusan wanita ini. Ia percaya pada cintanya. Ia tergerak di titik balik kehidupan, ketika semua yang dimilikinya terasa berantakan.

Berbahagialah mereka yang digerakkan oleh cinta kepada hidayah..
Nun di Makkah sana, Sang Nabi tiba-tiba bersabda kepada shahabat-shahabatnya. ”Sebentar lagi ’Ikrimah ibn Abi Jahl akan datang ke tengah kita sebagai seorang mukmin yang berhijrah”, katanya, ”Maka kuminta kepada kalian untuk menghentikan semua celaan dan cacian kepada ayahnya!” Ya, mencaci dan mencela Abu Jahl selama ini seolah telah menjadi bagian dari kehidupan seorang muslim. Tak pernah ada sesosok manusia yang kebengisannya kepada da’wah melebihi Abu Jahl, dan tak pernah ada sesosok manusia yang dibenci melebihi dirinya. Tapi kini Sang Nabi, yang pernah dijeratnya dengan selendang, yang pernah ditimpuknya dengan isi perut unta, yang berkali-kali nyaris dibunuhnya meminta mereka untuk menyambut putera si musuh Allah dengan cinta sebagai saudara seiman. Tidak membenci, mungkin. Tapi mencintai? Memaafkan, mungkin. Tapi melupakan?

Di luar dugaan para shahabat, Sang Nabi memberi mereka pelajaran lebih jauh. Sosok agung itu melompat dari duduknya, bergegas maju menyambut, menjabat, dan memeluk ’Ikrimah! Sementara putera musuh Allah itu terbengong takjub.
”Ya Muhammad! Aku mendengar dari wanita ini bahwa engkau memberikan jaminan keamanan untukku. Benarkah itu?”

Ah.. dengarlah, dia masih menyebut isterinya dengan ’wanita ini’. Dan bahkan ia menanyakan jaminan keamanan terlebih dahulu sebelum menyatakan diri berislam.
”Benar. Engkau aman wahai ’Ikrimah..”
Maka ’Ikrimah pun masuk Islam, berislam dengan sempurna, dan menebus dirinya kepada Allah dengan syahid di Perang Yamamah. Dan tahukah kalian para shahabatku di jalan cinta para pejuang, bahwa baru sejak saat itulah, sejak suaminya masuk Islam Ummu Hakim merasa cintanya pada suami berbalas ketulusan yang sama? Berbahagialah mereka yang digerakkan oleh cinta kepada hidayah. Berbahagialah ’Ikrimah yang digerakkan cinta kepada hidayah. Berbahagialah Ummu Hakim yang digerakkan hidayah kepada cinta..
Di jalan cinta pejuang, bahkan hal kecil seperti air mata yang bening, bisa menjadi sebuah gairah yang menggerakkan manusia, mengubah dunia..

Kalau cinta sudah terurai jadi laku,
cinta itu sempurna seperti pohon iman;
akarnya terhunjam dalam hati,
batangnya tegak dalam kata,
buahnya menjumbai dalam laku.
-M. Anis Matta-

-Salim A. Fillah, Jalan Cinta Para Pejuang 205-211-

..diposting atas permintaan seorang Akh; dalam rangka berbaiksangka atas sebuah narasi besar bernama REKONSILIASI..

Sumber : http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2008/12/tergerak-di-titik-balik/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.