Oleh: Mochamad Bugi
dakwatuna.com -
Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan
keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak terpuji yang ada pada diri
seorang lelaki dan fitrah yang mengkarakter pada diri setiap wanita.
Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang tidak ada rasa
malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa manis seorang wanita salah satunya
adalah buah dari adanya sifat malu dalam dirinya.
Apa sih
sifat malu itu? Imam Nawani dalam Riyadhush Shalihin menulis bahwa para
ulama pernah berkata, “Hakikat dari malu adalah akhlak yang muncul dalam
diri untuk meninggalkan keburukan, mencegah diri dari kelalaian dan
penyimpangan terhadap hak orang lain.”
Abu Qasim Al-Junaid
mendefinisikan dengan kalimat, “Sifat malu adalah melihat nikmat dan
karunia sekaligus melihat kekurangan diri, yang akhirnya muncul dari
keduanya suasana jiwa yang disebut dengan malu kepada Sang Pemberi
Rezeki.”
Ada tiga jenis sifat malu, yaitu:
1. Malu yang
bersifat fitrah. Misalnya, malu yang dialami saat melihat gambar
seronok, atau wajah yang memerah karena malu mendengar ucapan jorok.
2.
Malu yang bersumber dari iman. Misalnya, seorang muslim menghindari
berbuat maksiat karena malu atas muraqabatullah (pantauan Allah).
3. Malu yang muncul dari dalam jiwa. Misalnya, perasaan yang menganggap tidak malu seperti telanjang di hadapan orang banyak.
Karena
itu, beruntunglah orang yang punya rasa malu. Kata Ali bin Abi Thalib,
“Orang yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya
orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.”
Bahkan, Rasulullah saw. menjadikan sifat malu sebagai bagian dari cabang iman. Abu
Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Iman memiliki 70
atau 60 cabang. Paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, dan
yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Dan sifat
malu adalah cabang dari keimanan.” (HR. Muslim dalam Kitab Iman, hadits
nomor 51)
Dari hadits itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa
tidak akan ada sifat malu dalam diri seseorang yang tidak beriman.
Akhlak yang mulia ini tidak akan kokoh tegak dalam jiwa orang yang tidak
punya landasan iman yang kuat kepada Allah swt. Sebab, rasa malu adalah
pancaran iman.
Tentang kesejajaran sifat malu dan iman
dipertegas lagi oleh Rasulullah saw., “Malu dan iman keduanya sejajar
bersama. Ketika salah satu dari keduanya diangkat, maka yang lain pun
terangkat.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar. Menurut Hakim, hadits ini shahih
dengan dua syarat-syarat Bukhari dan Muslim dalam Syu’ban Iman.
As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shagir menilai hadits ini lemah.)
Karena
itu, sifat malu tidak akan mendatangkan kemudharatan. Sifat ini membawa
kebaikan bagi pemiliknya. “Al-hayaa-u laa ya’tii illa bi khairin, sifat
malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan,” begitu kata
Rasulullah saw. (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5652)
Dengan
kata lain, seseorang yang kehilangan sifat malunya yang tersisa dalam
dirinya hanyalah keburukan. Buruk dalam ucapan, buruk dalam perangai.
Tidak bisa kita bayangkan jika dari mulut seorang muslimah meluncur
kata-kata kotor lagi kasar. Bertingkah dengan penampilan seronok dan
bermuka tebal. Tentu bagi dia surga jauh. Kata Nabi, “Malu adalah bagian
dari iman, dan keimanan itu berada di surga. Ucapan jorok berasal dari
akhlak yang buruk dan akhlak yang buruk tempatnya di neraka.” (HR.
Tirmidzi dalam Ktab Birr wash Shilah, hadits nomor 1932)
Karena
itu, menjadi penting bagi kita untuk menghiasi diri dengan sifat malu.
Dari mana sebenarnya energi sifat malu bisa kita miliki? Sumber sifat
malu adalah dari pengetahuan kita tentang keagungan Allah. Sifat malu
akan muncul dalam diri kita jika kita menghayati betul bahwa Allah itu
Maha Mengetahui, Allah itu Maha Melihat. Tidak ada yang bisa kita
sembunyikan dari Penglihatan Allah. Segala lintasan pikiran, niat yang
terbersit dalam hati kita, semua diketahui oleh Allah swt.
Jadi,
sumber sifat malu adalah muraqabatullah. Sifat itu hadir setika kita
merasa di bawah pantauan Allah swt. Dengan kata lain, ketika kita dalam
kondisi ihsan, sifat malu ada dalam diri kita. Apa itu ihsan? “Engkau
menyembah Allah seakan melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya,
sesungguhnya Ia melihatmu,” begitu jawaban Rasulullah saw. atas
pertanyaan Jibril tentang ihsan.
Itulah sifat malu yang
sesungguhnya. Sebagaimana yang sampai kepada kita melalui Abdullah bin
Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Malulah kepada Allah dengan malu
yang sebenar-benarnya.” Kami berkata, “Ya Rasulullah, alhamdulillah,
kami sesungguhnya malu.” Beliau berkata, “Bukan itu yang aku maksud.
Tetapi malu kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya; yaitu menjaga
kepala dan apa yang dipikirkannya, menjaga perut dari apa yang
dikehendakinya. Ingatlah kematian dan ujian, dan barangsiapa yang
menginginkan kebahagiaan alam akhirat, maka ia akan tinggalkan perhiasan
dunia. Dan barangsiapa yang melakukan hal itu, maka ia memiliki sifat
malu yang sesungguhnya kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shifatul
Qiyamah, hadits nomor 2382)
Ingat! Malu. Bukan pemalu. Pemalu
(khajal) adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian akibat rasa malu
yang berlebihan. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi seorang muslimah
untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat malu juga tidak menghambat
seorang muslimah untuk belajar dan mencari ilmu. Contohlah Ummu Sulaim
Al-Anshariyah.
Dari Zainab binti Abi Salamah, dari Ummu Salamah
Ummu Mukminin berkata, “Suatu ketika Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah,
menemui Rasulullah saw. seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya
Allah tidak malu pada kebenaran. Apakah seorang wanita harus mandi bila
bermimpi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, bila ia melihat air (keluar dari
kemaluannya karena mimpi).’” (HR. Bukhari dalam Kitab Ghusl, hadits
nomor 273)
Saat ini banyak muslimah yang salah menempatkan rasa
malu. Apalagi situasi pergaulan pria-wanita saat ini begitu ikhtilath
(campur baur). Ketika ada lelaki yang menyentuh atau mengulurkan tangan
mengajak salaman, seorang muslimah dengan ringan menyambutnya. Ketika
kita tanya, mereka menjawab, “Saya malu menolaknya.” Bagaimana jika cara
bersalamannya dengan bentuk cipika-cipiki (cium pipi kanan cium pipi
kiri)? “Ya abis gimana lagi. Ntar dibilang gak gaul. Kan tengsin
(malu)!”
Bahkan ketika dilecehkan oleh tangan-tangan jahil di
kendaraan umum, tidak sedikit muslimah yang diam tak bersuara. Ketika
kita tanya kenapa tidak berteriak atau menghardik lelaki jahil itu,
jawabnya, sekali lagi, saya malu.
Jelas itu penempatan rasa malu
yang salah. Tapi, anehnya tidak sedikit muslimah yang lupa akan rasa
malu saat mengenakan rok mini. Betul kepala ditutupi oleh jilbab kecil,
tapi busana ketat yang diapai menonjolkan lekak-lekut tubuh. Betul
mereka berpakaian, tapi hakikatnya telanjang. Jika dulu underwear adalah
busana sangat pribadi, kini menjadi bagian gaya yang setiap orang bisa
lihat tanpa rona merah di pipi.
Begitulah jika urat malu sudah
hilang. “Idza lam tastahyii fashna’ maa syi’ta, bila kamu tidak malu,
lakukanlah apa saja yang kamu inginkan,” begitu kata Rasulullah saw.
(HR. Bukhari dalam Kitab Ahaditsul Anbiya, hadits nomor 3225).
Ada
tiga pemahaman atas sabda Rasulullah itu. Pertama, berupa ancaman.
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.” (QS. Fushhdilat: 40).
Kedua, perkataan Nabi
itu memberitakan tentang kondisi orang yang tidak punya malu. Mereka
bisa melakukan apa saja karena tidak punya standar moral. Tidak punya
aturan.
Ketiga, hadits ini berisi perintah Rasulullah saw. kepada
kita untuk bersikap wara’. Jadi, kita menangkap makna yang tersirat
bahwa Rasulullah berkata, apa kamu tidak malu melakukannya? Kalau malu,
menghindarlah!
Salman Al-Farisi punya pemahaman lain lagi tentang
hadits itu. “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla apabila hendak
membinasakan seorang hamba, maka Ia mencabut darinya rasa malu. Bila
rasa malu telah dicabut, maka engkau tidak akan menemuinya kecuali
sebagai orang yang murka dan dimurkai. Bila engkau tidak menemuinya
kecuali sebagai orang yang murka dan dimurkai, maka dicabutlah pula
darinya sifat amanah. Bila sifat amanah itu dicabut darinya, maka engkau
tidak akan menjumpainya selain sebagai pengkhianat dan dikhianati. Bila
engkau tak menemuinya selain pengkhianat dan dikhianati, maka rahmat
Allah akan dicabut darinya. Bila rahmat itu dicabut darinya, maka
engakau tidak akan menemukannya selain sosok pengutuk dan dikutuk. Bila
engkau tidak menemukannya selain sebagai pengkutuk dan dikutuk, maka
dicabutlah darinya ikatan Islam,” begitu kata Salman. (HR. Ibnu Majah
dalam Kitab Fitan, hadits nomor 4044, sanadnya lemah, tapi shahih)
Wanita
yang beriman adalah wanita yang memiliki sifat malu. Sifat malu tampak
pada cara dia berbusana. Ia menggunakan busana takwa, yaitu busana yang
menutupi auratnya. Para ulama sepakat bahwa aurat seorang wanita di
hadapan pria adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan.
Ibnu
Katsir berkata, “Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanitanya
berjalan di tengah kaum lelaki dengan belahan dada tanpa penutup. Dan
mungkin saja mereka juga memperlihatkan leher, rambut, dan telinga
mereka. Maka Allah memerintahkan wanita muslimah agar menutupi
bagian-bagian tersebut.”
Menundukkan pandangan juga bagian dari
rasa malu. Sebab, mata memiliki sejuta bahasa. Kerlingan, tatapan sendu,
dan isyarat lainnya yang membuat berjuta rasa di dada seorang lelaki.
Setiap wanita memiliki pandangan mata yang setajam anak panah dan setiap
lelaki paham akan pesan yang dimaksud oleh pandangan itu. Karena itu,
Allah swt. memerintahahkan kepada lelaki dan wanita untuk menundukkan
sebagaian pandangan mereka.
Memang realitas kekinian tidak bisa
kita pungkiri. Kaum wanita saat ini beraktivitas di sektor publik, baik
sebagai profesional ataupun aktivis sosial-politik. Ada yang dengan
alasan untuk melayani kepentingan sesama wanita yang fitri. Ada juga
yang karena keterpaksaan. Tidak sedikit wanita harus bekerja karena ia
adalah tulang punggung keluarganya. Sehingga, ikhtilath (bercampur baur
dengan lelaki) tidak bisa terhindari.
Untuk yang satu ini, mari
kita kutip pendapat Dr. Yusuf Qaradhawi, “Saya ingin mengatakan di sini
bahwa kata ikhtilath dalam hal hubungan antara lelaki dan wanita adalah
kata diadopsi ke dalam kamus Islam yang tidak dikenal oleh warisan
budaya kita pada sejarah abad-abad sebelumnya, dan tidak diketahui
selain pada masa ini. Mungkin saja ia berasal dari bahasa asing, hal itu
memiliki isyarat yang tidak menenteramkan hati setiap muslim. Yang
lebih cocok mungkin bisa menggunakan kata liqa’ atau muqabalah –keduanya
berarti pertemuan—atau musyarakah (keterlibatan) seorang lelaki dan
wanita, dan sebagainya. Yang jelas, Islam tidak mengeluarkan aturan atau
hukum umum terkait dengan masalah ini. Namun hanya melihat tujuan
adanya aktivitas tersebut atau maslahat yang mungkin terjadi dan bahaya
yang dikhawatirkan, gambaran yang utuh dengannya, dan syarat-syarat yang
harus diperhatikan di dalamnya.”
Ada adab yang harus ditegakkan kala terjadi muqabalah antara pria dan wanita. Adab-adab itu adalah:
1. Ada pembatasan tempat pertemuan
2. Menjaga pandangan dengan menundukkan sebagian pandangan
3. Tidak berjabat tangan dalam situasi apa pun dengan yang bukan muhrimnya
4. Hindari berdesak-desakan dan lakukan pembedaan tempat bagi lelaki dan wanita
5. Tidak berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis)
6. Hindari tempat-tempat yang meragukan dan bisa menimbulkan fitnah
7. Hindari pertemuan yang lama dan sering, sebab bisa melemahkan sifat malu dan menggoyahkan keteguhan jiwa
8. Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa dan keinginan batin untuk melakukan yang haram, ataupun membayangkannya
Khusus
bagi wanita, pakailah pakaian yang yang sesuai syariat, tidak memakai
wewangian, batasi diri dalam berbicara dan menatap, serta jaga
kewibawaan dan beraktivitas. Perhatikan gaya bicara. Jangan genit!
Dengan
begitu jelaslah bahwa Islam tidak mengekang wanita. Wanita bisa
terlibat dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berpolitik, dan berbagai
aktivitas lainnya. Islam hanya memberi frame dengan adab dan etika.
Sifat malu adalah salah satu frame yang harus dijaga oleh setiap wanita
muslimah yang meyakini bahwa Allah swt. melihat setiap polah dan desiran
hati yang tersimpan dalam dadanya. []
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/sifat-malu-kaum-wanita/
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Sabtu, 24 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar