Jumat, 28 Agustus 2009

Manusia untuk Sebuah Cita-cita

Al Manhaj (konsep) yang agung membutuhkan ar-Rijal (manusia) yang agung pula

Gua kecil itu begitu lembut. Terletak di kejauhan dua mil dari kota Makkah, gua itu bertengger indah menjelang puncak Jabal Nur. Kota Makkah dan gurun pasir yang mengitarinya akan tampak sebagai hamparan alam yang indah dari ketinggian gunung itu. Itulah gua Hira, tempat Muhammad menghabiskan sekitar 3 tahun waktunya sebelum diangkat menjadi rasul.


Di dalam jiwanya terbentang jarak yang jauh antara realitas kehidupan di kota Makkah dengan cita-cita kehidupannya. Dan itulah sumber semua kegelisahannya. Sebab ia sendiri belum menemukan jalan yang terang menuju cita-cita itu. Ada ketidakpuasan yang membawa jiwanya melangkah ke goa ini, tapi juga ada kegamangan yang menenggelamkannya dalam renungan-renungan panjang di sepanjang bulan Ramadhan pada setiap tahunnya. Ada gejolak maha dahsyat yang menggoncang-goncang batinnya, dan membuatnya serasa ingin memberontak setiap saat atas fenomena kehidupan yang terjadi di sekitarnya. Tapi ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa.


Allah Subhaanahu wa ta'ala menjalankan rencana-Nya dengan cara yang amat halus. Setelah menapaki tangga kehidupan yang penuh liku-liku, Allah Swt menanamkan di dalam jiwanya sebuah perasaan baru, sebuah hasrat baru, sebuah kecenderungan baru, sebuah kegemaran baru; Allah Swt membuatnya mencintai khalwat, kegemaran menyendiri dan menikmatinya dalam meditasi-meditasi yang tekun, dalam renungan-renungan panjang yang serius, dalam pemikiran-pemikiran mendalam yang mencerahkan.


Hidup telah menempa laki-laki itu begitu rupa. Ia ditakdirkan lahir sebagai yatim, dan mengisi masa balitanya di perkampungan Bani Saad, untuk kemudian mengakhiri masa balitanya sebagai piatu. Sebuah pelajaran dini tentang makna kesendirian, makna kesunyian dan makna kebergantungan kepada Allah swt. Bersama kakeknya, Abdul Muttalib, pada usia enam hingga delapan tahun, ia belajar mengenal dunia politik dan kepemimpinan masyarakat Quraisy. Ketika sang kakek meninggal dunia, ia hidup bersama pamannya Abu Thalib yang miskin dan papa, awal dimana ia mengenal dunia yang keras. Pada usia itu ia sudah mengembala kambing, ikut dalam kafilah perdagangan ke negeri Syam, untuk kemudian memasuki usia remaja dalam perang Fijar selama empat tahun. Setelah berusia di atas dua puluh tahun, ia mendapatkan kepercayaan menjalankan bisnis Khadijah ke negeri Syam, saat dimana ia menunjukkan prestasi bisnis dan manajerial serta pesona karakter dari seorang pemuda matang.


Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun, Muhammad mulai menapaki tangga kehidupan sosial, dan mengokohkan pribadinya sebagai tokoh baru Quraisy yang dicintai dan disegani, hingga ia mencapai puncak prestasinya saat mendapatkan gelar "Al-Amin" pada usia 35 tahun.

Itulah serial pengalaman hidup yang membentuknya; pengalaman psikologis yang keras sebagai yatim piatu, pengalaman politik, profesi, militer hingga bisnis manajemen, untuk kemudian menikah dan mencapai tangga ketokohannya dengan Al-Amin. Ia telah menelusuri seluruh sisi kehidupan masyarakat Quraisy, dan menunjukkan kecemerlangan pada setiap tahapan penjalanannya.

Tapi di saat ia menapaki puncak "dunia", ia justru merasakan keterpisahan; bukan kehidupan seperti ini yang ia inginkan. Ada sesuatu yang tidak ia temukan di sini, di tengah keramaian masyarakat Quraisy, yang ia sendiri tidak tahu; tapi kemudian menjelma menjadi kehausan yang membawanya pada sebuah pencarian yang panjang.


Dan alangkah halusnya Allah Swt menjalankan rencana-Nya; masa-masa meditasi dan perenungan adalah sentuhan Rabbaniyah yang terakhir, setelah ia melewati serial pengalaman hidup yang panjang dan berliku, sentuhan akhir yang mematangkan jiwa dan pikirannya, sebelum saat penugasan sebagai rasul itu tiba. Dan ketika saat penugasan itu tiba, Muhammad hanya membutuhkan waktu sebanyak 22 tahun 2 bulan dan 22 hari untuk mengubah arah sejarah umat manusia, mewarnai bumi dengan biru langit, membangun sebuah peradaban besar dan menebarkan rahmat Ilahi ke seluruh alam.


Sejarah kemudian mengajarkan kita sebuah kaidah; bahwa risalah yang agung haruslah dibawa oleh seorang rasul yang agung, bahwa sebuah misi besar haruslah diemban oleh seorang manusia besar, bahwa sebuah beban amanat yang berat haruslah dipikul oleh seorang laki-laki yang kuat, bahwa sebuah pedang yang tajam hanyalah akan berguna jika ia berada dalam genggaman tangan seorang pahlawan pemberani, bahwa sebuah peradaban hanya dapat dibangun di atas altar sejarah oleh manusia-manusia peradaban.


Konsep dan Pelaku


Inilah kisah sang Rasul dan Risalahnya, dan itulah pelajarannya. Bahwa sebuah cita-cita yang luhur membutuhkan manusia-manusia yang sama luhurnya dengan cita-cita itu, bahwa sebuah cita-cita yang besar membutuhkan manusia-manusia yang sama besarnya dengan cita-cita itu, bahwa sebuah sistem yang baik hanya akan memperlihatkan keindahannya jika diterapkan oleh manusia-manusia yang sama baiknya dengan sistem itu. Maka ketika Islam diturunkan sebagai sistem kehidupan yang paling komprehensif dan integral, ia telah melahirkan sebuah fenomena kehidupan yang indah karena dua hal; kebenaran risalahnya dan kekuatan pesona rasulnya.


Rasulullah Shalallaahu alaihi wa sallam mengetahui rahasia ini dengan baik. Ia mengetahui bahwa Islam hanya bisa menjadi realitas kehidupan dan menjadi abadi dalam sejarah apabila ia mempunyai pendukung-pendukung yang kuat sepanjang masa. Maka para penggembala kambing yang menghuni jazirah Arab yang tandus dan terpencil itu tiba-tiba hadir ke permukaan sejarah dengan segudang manusia-manusia besar; ada negarawan-negarawan besar seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib; ada penakluk-penakluk raksasa seperti Hamzah bin Abdul Muttalib, Khalid bin Walid, Saad bin Abi Waqqash, Amr bin 'Ash, Usamah bin Zaid; ada ulama-ulama besar seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas'ud, Zaid bin Tsabit, Muaz bin Jabal; ada intelijen-intelijen yang handal seperti Al-Abbas, Salman Al-Farisi; ada perawi-perawi hadits yang brilian seperti Abu Hurairah, Aisyah; ada pengusaha-pengusaha yang hebat seperti Abdurrahman bin Auf, Tholhah bin Ubaidillah. Pada setiap satu menara kehidupan yang tinggi ada manusia-manusia mercusuar yang menyinari alam raya dengan cahaya yang terang benderang.


Dan Islam pun "terwariskan" dari masa ke masa bersamaan dengan terwariskannya kebesaran manusia-manusia itu. Ilmu para sahabat terwariskan kepada Said ibnul Musayyib, Hasan Al-Basri, Atha bin Rabbah, Ibnul Mubarak, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'I, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmizi, Imam Nasai, Ibnu Majah, Imam Abu Daud, Imam Thabari, Imam Gazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, Al-Khawarizmi dan lainnya.


Kenegarawanan para sahabat mengalir kepada Umar bin Abdul Aziz, Harun Al-Rasyid, Nuruddin Zanki, Abdurrahman Al-Dakhil. Dan keperkasaan para mujahidin mengalir ke dalam darah Uqbah bin Nafi, Thoriq bin Ziyad, Musa bin Nushair, Muzaffar Quthuz, Shalahuddin Al-Ayyubi dan Muhammad Al-Fatih.


Begitulah Islam mengalir dalam sejarah keabadian; obor kebenaran itu dibawa oleh akal-akal raksasa para ulama, kepemimpinan yang handal para khulafa, dan tangan-tangan perkasa para mujahidin.


Inilah Masalah Kita


Sayangnya, justeru inilah masalah kita, kaum Muslimin. Risalah yang agung ini tidak lagi dibawa oleh manusia-manusia agung, agama besar ini tidak lagi diemban oleh manusia-manusia besar; akal-akal raksasa itu tidak lagi hadir di tengah masyarakat justru ketika kaum Muslimin sedang menghadapi tantangan era ilmu pengetahuan dan tehnologi, para negarawan besar itu tidak lagi hadir di tengah percaturan politik kita justru ketika kaum Muslimin sedang merangkak dengan susah payah dalam pergolakan kemiskinan dan keterbelakangan serta konflik, tangan-tangan perkasa para mujahidin tidak lagi melindungi tanah dan nyawa kaum Muslimin justru ketika mereka hidup di era kedigdayaan militer.


Maka keagungan risalah ini seperti sedang mengalami gerhana; sinarnya tidak sampai ke bumi. Sementara manusia-manusia di bumi merangkak dalam kegelapan, cahaya itu tidak sampai ke mereka. Dan boleh jadi, apa yang dikatakan seorang ulama di awal abad lalu benar adanya: Islam justru terhijabi oleh kaum Muslimin. Maka seorang pemikir lantas mengungkap perasaannya yang miris melihat panorama ini: alangkah agungnya agama ini kalau saja ada manusia-manusia besar yang mengembannya.


Dan sekarang, ketika ideologi-ideologi besar berguguran di penghujung abad ke-20, Islam menjadi satu-satunya pilihan bagi ummat manusia. Apabila dengan penglihatan mata hati tajam Sayyid Quthub meramalkan situasi ini, dan berkata dengan penuh keyakinan: "Islam adalah masa depan", atau "Masa depan di tangan Islam", ramalan itu kini menemukan faktanya. Dan itulah yang menjadi sumber "kecemasan peradaban" masyarakat Barat. Misalnya ketika Samuel P Huntington merekosntruksi peta pertarungan masa depan. Konflik masa depan akan berpusat pada tema peradaban, lingkaran terkecilnya bertema etnis, tapi muara besarnya adalah peradaban. Pada muara besar ini, Islam menjadi kompetitor utama peradaban Barat. Maka Huntington pun meramalkan konflik besar di masa yang akan datang: konflik antara Islam dan Barat.

Tapi tentu saja ada "jarak" yang terbentang jauh antara "peluang" Islam menjadi ideologi dunia dengan "kemampuan" kaum Muslimin untuk merebut peluang tersebut. Jarak itulah yang menjadi masalah kita.


Tiga Langkah Peradaban


Maka tugas peradaban kita saat ini adalah mendekatkan jarak itu; jarak antara Islam dan manusia Muslim, jarak antara peluang dengan kemampuan untuk merebutnya. Manusia Muslim inilah yang harus kita rekonstruksi ulang agar ia terbentuk sedemikian rupa dan menjelma menjadi "terjemahan hidup" bagi Islam yang "tertulis" dalam Qur'an dan Sunnah. Sebab Islam dapat dengan mudah memenangkan pertarungan di tataran ideologi dan pemikiran, tapi pertarungan yang sesungguhnya justru terletak di alam kenyataan; di keramaian jalanan, di kegaduhan pasar, di belantara politik, di panggung budaya, di tengah desingan mesiu, dan seluruh pojok bumi. Dan itu adalah medan manusia; maka kebenaran Islam layaknya seperti sebuah pedang tajam yang telah terhunus, ia hanya menanti tangan perkasa dari sang Pahlawan.


Manusia Muslim harus direkonstruksi ulang dalam tiga tahapan. Pertama, kita harus memperbaharui "afiliasinya" kepada Islam kembali. Sebab keislaman kaum Muslimin saat ini lebih banyak dibentuk oleh warisan lingkungan sosial, bukan dari pemahaman dan kesadaran yang mendalam tentang Islam. Keislaman dengan basis seperti ini membuat kaum Muslimin tidak memiliki bobot sosial yang berat, tidak memiliki imunitas yang membuatnya mampu bertahan dari semua bentuk invasi budaya. Karena itu, sebuah goncangan kecil sudah cukup memadai untuk merubah warna kehidupan kaum Muslimin.


Kedua, setelah memperbaharui keislaman kaum Muslimin dengan memperbaiki pemahamannya kepada Islam, setiap (individu) manusia Muslim harus kita bawa ke dalam komunitas Muslim yang besar, dimana ia menjadi bagian dari masyarakatnya dan berpartisipasi dalam membangun masyarakat tersebut. Apabila pada tahapan pertama, yaitu tahapan afiliasi, kita menciptakan manusia Muslim yang shaleh, maka pada tahapan kedua ini manusia shaleh itu kita leburkan kedalam masyarakat, agar ia "mendistribusi" keshalehannya kepada yang lain, agar keshalehan individual itu berkembang menjadi keshalehan kolektif. Dan inilah hakikat dari makna dakwah.

Ketiga, apabila pada tahapan kedua ini, yaitu tahapan partisipasi, manusia Muslim telah melebur dalam masyarakatnya dan berpartisipasi dalam membangun masyarakat tersebut, maka pada tahapan ketiga kita perlu menjamin bahwa setiap orang yang berpartisipasi itu benar-benar dapat mencapai tingkat paling optimal dalam memberikan kontribusi kepada Islam. Salah satu sumber kekayaan masyarakat Islam adalah keunikan-keunikan individual dari setiap manusia Muslim, dan apabila potensi-potensi individual tertuang secara penuh dan membentuk sebuah muara Islam yang sinergis, maka sebuah gelombang peradaban yang dahsyat akan segera menggemuru membelah sejarah.


Nah, mungkinkah kita akan mendapatkan karunia Allah dengan melihat manusia-manusia besar itu datang membawa risalah Islam yang agung, dimana umat manusia menjadi sulit membedakan antara pesona kebenaran Islam dengan pesona kepribadian manusia Muslim? Semoga.· (M Anis Matta)*


Sumber : http://www.geocities.com/fski97/syariah2.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.