Oleh: DR. Amir Faishol Fath
dakwatuna.com -
Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal
kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu
(pada peperangan Badar), kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan)
ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran:165)
Ayat ini
menggambarkan kondisi umat Islam pada saat mengalami kekalahan dalam
perang Uhud. Mereka kehilangan tujuh puluh syuhada, ditambah lagi dengan
sejumlah korban luka-luka. Padahal mereka berjuang di jalan Allah.
Sementara musuh mereka orang-orang kafir berjuang di jalan setan.
Sebelumnya, pada saat perang Badar, mereka menang, dan bisa menggugurkan
tujuh puluh orang, serta bisa menangkap tujuh puluh tawanan dari
pasukan kafir. Mengapa kekalahan itu terjadi di Uhud, padahal jumlah
mereka di Uhud lebih banyak dari pada di Badar? Ayat di atas menjawab
pertanyaan ini.
Kerapian Sistem “Sunnatullah”
Allah swt.
berfirman, “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada perang Uhud),
padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada
musuh-musuhmu (pada perang Badar) kamu berkata: dari mana kekalahan
ini?” Maksudnya: Mengapa kamu mempertanyakan kekalahanmu? Apakah kamu
mengira bahwa kamu tidak akan pernah kalah sekalipun kamu lalai akan
tugas-tugasmu? Apakah kamu tetap yakin bahwa Allah akan menolongmu,
sementara kamu tidak komitmen dengan sunnatullah? Tidak, tidak demikian
pemahaman yang harus kamu jalani dalam berjuang di jalan Allah.
Allah
swt. telah meletakkan sistem-Nya (baca: sunnatullah) di alam ini dengan
sangat rapi. Siapa yang mengikuti sistem ini dengan baik, ia akan
berhasil, dan siapa yang mengabaikannya ia akan gagal. Tidak ada langkah
dan perbuatan kecuali harus seirama dengan sistem yang sudah ada.
Termasuk dalam menjalankan tugas dakwah komitmen ini juga harus selalu
dipertahankan, jangan sampai ada langkah apapun yang kemudian
menyebabkan hancurnya semua usaha yang telah dibangun. Seorang aktivis
dakwah harus selalu menyadari makna ini, karena tidak mustahil sebuah
kesalahan kecil yang dianggap remeh, lama kelamaan akan menjadi besar.
Ayat
di atas setidaknya telah memberikan pelajaran, bahwa para aktivis
dakwah harus selalu mempertahankan kualitas amal: amal secara fardiyah
maupun amal secara jamaiyah. Menurunnya kualitas amal fardiyah tidak
mustahil akan berdampak pada kualitas amal jamaiyah. Dan menurunnya
kualitas amal jamaiyah sudah barang tentu akan berdampak kepada
masyarakat umum secara lebih luas. Dampak tersebut bila sudah terjadi,
ia akan menimpa siapa pun, tidak pandang bulu. Ayat di atas adalah
gambaran kekalahan yang menimpa masyarakat Sahabat di dalamnya ada
Rasulullah saw. Perhatikan, siapa yang akan mengira bahwa masyarakat
sekualitas sahabat dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. akan mengalami
kekalahan? Tetapi ternyata itu terjadi, hanya karena kelengahan
segelintir dari mereka. Lengah karena terpedaya oleh harta rampasan yang
berserakan. Suatu tindakan yang kemudian membuat mereka lalai akan
tugas yang harus mereka perjuangkan.
Seringkali terjadi memang,
ketika kemenangan dicapai, orang tertipu dengan keberhasilan. Seakan
perjalanan sudah selesai. Sehingga ia tidak hati-hati lagi seperti
kehati-hatiannya dulu sebelum kemenangan dicapai. Lebih-lebih ketika
harta melimpah seperti yang ditemukan pasukan kaum muslimin di Uhud,
mereka seketika tertipu dengan secuil harta yang sebenarnya tidak ada
apa-apanya dibanding dengan kenikmatan di surga. Ketertipuan itu membuat
mereka lupa kepada pesan pertama Rasulullah saw, agar tetap bertahan
pada posisinya sampai ada perintah lebih lanjut. Itulah yang kemudian
terjadi, mereka kemudian kalah, buah dari kelalaian yang mereka perbuat.
Karenanya Allah menegaskan: qul huwa min indi anfusikum (Katakanlah,
“Itu (kesalahan) dirimu sendiri”).
Kesalahan Diri Sendiri
Firman
Allah: qul huwa min indi anfusikum, menegaskan makna yang sangat dalam
mengenai beberapa hal: Pertama, bahwa Allah swt. tidak pernah berbuat
zhalim. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada
manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zhalim
kepada diri mereka sendiri”. (Yunus:44) Di ayat lain Allah menceritakan
bahwa umat terdahulu pernah diadzab karena perbuatan mereka sendiri,
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di
antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di
antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di
antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka
ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak
menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka
sendiri”(Al Ankabuut:40). Maka setiap bencana dan malapetaka yang
manusia alami asal muasalnya adalah perbuatan manusia itu sendiri, “Dan
apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan
bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka?
Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah
mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang
telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul
mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali
tidak berlaku zhalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku
zhalim kepada diri sendiri (Ar-Rum:9).
Kedua, bahwa setiap
musibah yang menimpa manusia, itu tidak terjadi dengan sendirinya,
melainkan ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Di sini nampak bahwa
kualitas pekerjaan apapun sangat ditentukan oleh manusianya. Lebih-lebih
bila pekerjaan tersebut tergolong amal dakwah, maka sungguh sangat
menuntut keistiqamahan pelakunya dalam menjalankan kewajibannya kepada
Allah. Semakin sungguh-sungguh seorang aktivis dakwah dalam menjalani
hakikat kehambaan-Nya kepada Allah, maka juga akan semakin produktif
dakwah yang dijalaninya. Sebaliknya bila seorang aktivis mulai tertipu
dengan gemerlap dunia seperti tertipunya pasukan Uhud pada saat
menemukan tanda-tanda kemenangan, maka di situlah titik runtuhnya amal
dakwah itu akan bermula. Inilah pengertian dari firman-Nya: qul huwa min
indi anfusikum. Maksudnya: kegagalan itu dari dirimu sendiri, dirimu
yang tertipu dengan gemerlap dunia, sehingga kemudian amal dakwah kau
kesampingkan. Maka bila dakwah yang kau lakukan tidak memberikan
keberkahan, melainkan malah menyeret fitnah dan kemunkaran itu
asal-muasalnya adalah perbuatan pelakunya. Boleh jadi seseorang yang
tadinya tulus berdakwah, tetapi kemudian setelah dunia mulai melimpah,
ia berubah haluan, dunia malah menjadi tujuan. Orang yang seperti ini
akan mendapatkan akibat dari perbuatannya sendiri, di mana akibat
tersebut bisa jadi akan menimpa semua orang tak terkecuali, seperti
kekalahan yang telah menimpa para sahabat dan Rasulullah di medan Uhud.
Ketiga,
bahwa perjuangan seorang aktivis dakwah untuk tetap istiqamah dalam
menjalani kewajibannya, adalah bagian dari sunnatullah yang harus selalu
dipertahankan. Sedikit lengah dan tertipu oleh kepentingan sesaat, ia
akan terjerembab ke dalam kegagalan. Dakwah yang diucapkan akan menjadi
sekadar jargon tanpa jiwa. Akibatnya Allah swt. tidak akan menurunkan
bantuan-Nya. Bila Allah menolak untuk membantunya, maka itu suatu tanda
hilangnya keberkahan dalam kerja dakwah tersebut. Bila keberkahannya
hilang, jangan di harap amal dakwah yang ditawarkan akan menjadi
bermanfaat, melainkan malah akan menjadi ancaman bagi pelakunya. Allah
berfirman: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa
yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan (Ash-Shaf:2)
Perhatikan
betapa kerja dakwah sangat menuntut masing-masing aktivisnya untuk
senantiasa mempertahankan dan meningkatkan kualitas kepribadiannya: baik
sebagai hamba Allah yang tercermin dalam kekhusu’an ibadahnya, maupun
sebagai aktivis yang selalu menjadikan dakwah sebagai medan utama
perjuangannya. Dari sini jelas, bahwa perjuangan di jalan dakwah
menuntut ketabahan pelakunya dalam menjaga secara terus-menerus kualitas
dirinya, kualitas ketaatannya kepada Allah dan kualitas amal dakwahnya.
Kualitas yang benar-benar mencerminkan makna kesungguhan, keseriusan
dan pengorbanan secara jujur (baca: itqaan) dalam menjalankan
tugas-tugas dakwah yang dipikulnya. Inilah yang kita kenal dengan
istilah: al muhafadzah alaa jaudatil junuud (memelihara kualitas aktivis
dakwah).
Keharusan Memelihara Dan Meningkatkan Kualitas Diri
Pengertian
lebih lanjut dari makna ayat: qul huwa min indi anfusikum adalah bahwa
kualitas diri merupakan faktor penentu dari berhasil tidaknya sebuah
usaha apapun, lebih-lebih amal dakwah. Terutama ketika amal dakwah
tersebut sudah berjalan, dan mulai merambah tanda-tanda keberhasilan. Di
sini upaya pemeliharaan dan peningkatan kualitas diri sangatlah
diperlukan. Sebab tanpa pemeliharaan dan peningkatan amal dakwah pasti
akan mengalami penurunan. Bahkan tidak mustahil timbulnya
gesekan-gesekan internal akan selalu terjadi. Dari gesekan-gesekan ini
kemudian muncul gelembung perpecahan yang pada gilirannya menghanyutkan
hasil usaha yang sudah dibangun sekian lama. Perhatikan peristiwa perang
Uhud yang tadinya umat Islam sudah mendekati kemenangan, namun akhirnya
malah berbalik menjadi kekalahan, di mana sebab utamanya adalah: qul
huwa min indi anfusikum. Artinya mereka tidak bisa memelihara kualitas
diri yang membuat mereka menang, padahal mereka pernah mencapainya di
perang Badar dan di permulaan perang Uhud. Anehnya kualitas diri
tersebut malah mereka lepaskan, dan dari situlah kemudian mereka tidak
memenuhi syarat untuk menang, karenanya mereka kalah.
Oleh sebab
itu, pemeliharaan dan peningkatan kualitas diri adalah merupakan
keniscayaan untuk terus melanjutkan perjuangan dakwah. Sebab tidak
mungkin sebuah perjalanan dakwah akan terus berlangsung dengan baik,
apalagi meningkat, bila di tengah jalan para aktivisnya mengalami
degradasi. Kerja dakwah adalah kerja yang tidak mungkin dipikul oleh
segelintir orang, melainkan harus dipikul bersama-sama. Karenanya tidak
mungkin dalam hal ini hanya mengandalkan kerja keras sebagian orang lalu
yang lain tidak mengimbanginya. Dakwah menuntut keseimbangan secara
utuh dalam segala dimensinya: dimensi spiritual, intelektual, material
dan moral. Seorang aktivis dakwah adalah seorang selalu memelihara
hakikat ini secara seimbang dalam dirinya dan dalam kebersamaannya
dengan yang lain. Bila keseimbangan ini hilang, tentu akan terjadi
ketimpangan. Dan dari ketimpangan ini kemudian muncul kegagalan.
Kegagalan perang Uhud seperti yang ditegaskan dalam ayat di atas adalah
contoh nyata yang sangat jelas. Sampai pun peperangan tersebut dipimpin
langsung oleh Rasulullah saw, tetapi karena kesalahan sebagian dari
mereka yang tidak sanggup memelihara kualitas diri, akhirnya
mengakibatkan semuanya menjadi berantakan.
Penyakit seperti ini
seringkali terjadi dalam perjalanan dakwah. Bila di awal langkahnya para
aktivis selalu semangat, tetapi di tengah perjalanan semangat membara
itu seringkali kehabisan nafas. Akibatnya dakwah menjadi korban.
Karenanya Allah tutup ayat di atas dengan penegasan, “innallaaha ‘laa
kulli sya’in qadiir” (sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu). Itu untuk menggambarkan ketegasan sunnatullah (baca: sebab
akibat). Bahwa Allah Maha Kuasa menjalankan sunnah-Nya tersebut secara
sempurna. Tidak bisa ditawar-tawar. Siapa yang sungguh-sungguh mengikuti
sunnah tersebut akan berhasil. Dan siapa yang mengabaikannya ia akan
gagal sekalipun ia beriman kepada-Nya.
Manusia diciptakan oleh
Allah bukan untuk menandingi-Nya. Sehebat-hebat manusia, ia tidak akan
pernah mampu menandingi kekuasaan-Nya. Allah tetap Maha Kuasa dan
manusia tetap maha lemah di hadap-Nya. Maka ketika Allah membekali akal
dan segala keilmuan kepada manusia itu semuanya tidak akan pernah
mencapai level kekuasaan-Nya. Karenanya ia tidak bisa independen total
dari Allah. Ia dengan segala pencapaiannya tetap harus tunduk
kepada-Nya. Lebih dari itu ia juga harus tetap memelihara ketundukan ini
secara maksimal sampai ia menghadap-Nya. Bila ini yang ia lakukan ia
akan berhasil tidak saja secara personal, melainkan juga secara sosial
dalam kebersamaannya dengan yang lain. Sebaliknya bila ia gagal
memelihara dan meningkatkan tingkat ketundukan yang pernah ia capai, ia
pasti akan gagal, tidak saja di dunia melainkan juga di akhirat. Wallahu
a’lam bishshawab.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/pelajaran-dari-perang-uhud/
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Rabu, 19 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar