Oleh: Mochamad Bugi
Kata
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, “Ini merupakan puncak kerinduan pecinta
surga dan bahan kompetisi mereka. Dan untuk hal ini seharusnya
orang-orang bekerja keras untuk mendapatkannya.”
Nabi Musa pernah meminta hal ini. Dijawab oleh Allah swt. seperti yang tertera di ayat 143 surat Al-A’raf.
Dan
tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah
Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah
Musa, “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat
melihat kepada Engkau.” Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat-Ku. Tapi lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya
(sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh
dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia
berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang
yang pertama-tama beriman.”
Ada tujuh pelajaran dari ayat di atas:
1. Tidak boleh menuduh kepada Nabi Musa bahwa ia meminta sesuatu yang tidak diperkenankan oleh Allah swt.
2. Allah tidak memungkiri permintaan Nabi Musa.
3. Allah menjawab dengan kalimat, “Kamu tidak akan sanggup melihat-Ku.” Bukan mengatakan, “Aku tidak bisa dilihat.”
4. Allah Mahakuasa untuk menjadikan gunung itu tetap kokoh di
tempatnya, dan ini bukan hal mustahil bagi Allah, itu merupakan hal yang
mungkin. Hanya saja dalam hal ini Allah juga mempersyaratkan adanya
proses ru’yah (melihat). Jadi, seandainya hal itu merupakan sesuatu yang
mustahil, sudah tentu Allah tidak akan mempersyaratkan hal itu.
5.
Kalimat “tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu,
dijadikannya gunung itu hancur luruh” adalah bukti bahwa bolehnya
melihat Allah swt. Jika boleh bagi-Nya menampakkan diri kepada gunung,
bagaimana terhalang untuk menampakan diri kepada para nabi, rasul, dan
wali-Nya di kampung akhirat?
6. Di ayat itu Allah swt. memberitahu
kepada Nabi Musa bahwa gunung saja tidak mampu melihat-Nya di dunia,
apalagi manusia yang lebih lemah dari gunung.
7. Allah swt. telah
berbicara dengan Nabi Musa. Nabi Musa juga telah mendengar perkataan
Allah swt. tanpa perantara. Maka, melihat-Nya sudah pasti sangat bisa.
Dalil Bertemu Allah
1. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. (Al-Baqarah: 223)
Istri-istrimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah
tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah
dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar
gembira orang-orang yang beriman.
2. Penghormatan kepada mereka (orang-orang beriman) pada hari mereka menemui-Nya adalah salam. (Al-Ahzab: 44)
Salam
penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka
menemui-Nya ialah: Salam; dan dia menyediakan pahala yang mulia bagi
mereka.
3. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih. (Al-Kahfi: 110)
Katakanlah:
Sesungguhnya aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku, “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”.
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang
pun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
4. Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah. (Al-Baqarah: 249)
Maka
tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, “Sesungguhnya
Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu
meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tiada
meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, Maka dia adalah
pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara
mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia
telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata,
“Tak ada kesanggupan kami pada hari Ini untuk melawan Jalut dan
tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah
berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan
golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang
yang sabar.”
Para ahli bahasa sepakat bahwa jika liqa’ itu
dinisbahkan kepada yang hidup, yang selamat dari gangguan kebutaan dan
penghalang lainnya. Maka, hal itu menuntut adanya penglihatan dengan
mata.
Bagaimana Dengan Ayat 103 Surat Al-An’am?
Laa tudriku hu al-absharu wa huwa yudriku al-abshara wa huwa al-lathiifu al-khabiir.
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.
Kata
Ibnu Taimiyah, “Ayat ini lebih menunjukkan bahwa Allah bisa dilihat
daripada menunjukkan tidak bisa dilihat. Allah menyebutkannya dalam
konteks memberikan pujian. Sudah maklum bahwa pujian terhadap diri-NYa
adalah sifat-sifat yang pasti dan melekat. Jika tidak ada, maka tidak
sempurna, sehingga tidak layak dipuji.”
Ibnu Taimiyah
menambahkan, “Hanya saja Allah itu dipuji dengan tidak adanya sesuatu
bila sesuatu itu mengandung hal yang ada wujudnya, sebagaimana pujian
terhadap diriNya dengan menafikan kantuk dan tidur yang mencakup
kesempurnaan terus-menerusnya Allah mengurus makhluk-Nya; menafikan
kematian yang berarti kesempurnaan hidup, serta menafikan capek dan
letih yang mengandung kesempurnaan kekuasaan.”
Ibnu Taimiyah lalu
menegaskan, “Oleh karena itu, Allah tidak memuji diri-Nya dengan
ketiadaan yang mengandung sesuatu yang melekat. Sebab, sesuatu yang
ditiadakan (ma’dum) itu menyertai yang disifati berkenaan dengan
ketiadaan itu. Sesuatu Dzat Yang Sempurna tidak bisa disifati dengan hal
yang layak bagi-Nya maupun sesuatu yang tiada. Jika saja yang dimaksud
oleh firman Allah swt. laa tadrikuhu al-abshaaru adalah bahwa Dia tidak
bisa dilihat dalam kondisi apa pun, maka dalam hal ini tidak ada pujian
maupun kesempurnaan, karena yang tiada juga demikian. Sesuatu yang tiada
jelas tidak bisa dilihat dan tidak bisa ditangkap dengan penglihatan,
sedangkan Rabb jelas Mahatinggi untuk dipuji dengan sesuatu yang juga
terdapat pada sesuatu yang jelas tidak ada. Dengan demikian, makna dari
ayat di atas adalah bahwa Ia tetap bisa dilihat namun tidak bisa
ditangkap sepenuhnya dan tidak bisa dimengerti hakikatnya.”
Maka,
kata Ibnu Taimiyah, “Firman Allah laa tudrikuhu al-abshaaru menunjukkan
puncak dari keagungan Allah. dan bahwa Dia lebih Besar dari segala
sesuatu. Dan juga, karena keagunganNya, Dia tidak bisa ditangkap atau
dimengerti oleh pandangan. Kata idraak adalah lebih dalam daripada
ru’yah (melihat).”
Liqa’ullah Adalah Az-Ziyadah
Allah
menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang
berbuat baik, ada “pahala yang baik” (surga) dan “tambahannya”. Dan muka
mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka
itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (Yunus: 25-26)
Menurut
Ibnu Qayyim, yang dimaksud dengan kata al-husna di ayat itu adalah
al-jannah (surga), sedangkan yang dimaksud dengan az-ziyadah (tambahan)
adalah memandang wajah Allah Yang Mulia. Ini adalah tafsir Rasulullah
saw. atas ayat itu dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam
Shahih-nya.
Rasulullah membaca ayat lilladzina ahsanu al-husna wa
ziyadah, lalu bersabda, “Jika ahli surga sudah masuk ke dalam surga,
demikian juga ahli neraka sudah masuk ke dalam neraka, maka ada seorang
malaikat yang menyeru: Wahai ahli surga, sesungguhnya kalian telah
dijanjikan di sisi Allah, maka sekarang Allah hendak menunaikan janji
itu kepada kalian. Mereka berkata: apakah janji itu? Bukankah Dia telah
membuat berat timbangan kebaikan kami dan telah membuat putih (cerah)
wajah kami, serta telah memasukkan kami ke dalam surga dan mengeluarkan
kami dari neraka? Akhirnya, tabir pun dibuka lalu mereka bisa melihat
kepada-Nya. Sungguh tidak ada sesuatu yang telah Dia berikan kepada ahli
surga yang lebih mereka cintai daripada melihat kepada-Nya. Itulah yang
dimaksud dengan ziyadah.”
Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik
berkata, “Yang dimaksud adalah melihat Wajah Allah swt.” saat
menafsirkan ayat lahum maa yasyaa-una fiihaa wa ladainaa maziid, mereka
di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi kami ada
tambahannya. (Qaf: 35).
Melihat Dengan Mata Kepala
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat kepada RabbNya. (Al-Qiyamah: 22-23)
Ayat
ini menegaskan dengan gamblang bahwa Allah akan dilihat dengan mata
kepala secara langsung pada hari kiamat nanti. Tentang hal ini banyak
hadits berderajat mutawatir.
Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id
dalam Shahihain menceritakan bahwa para sahabat bertanya, “Ya
Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari kiamat?”
Rasulullah saw. menjawab, “Apakah kalian mendapatkan kesulitan melihat
bulan pada saat purnama?” Mereka menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.”
Beliau bertanya lagi, “Apakah kalian mendapatkan kesulitan melihat
matahari pada saat tidak ada awan?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau
kemudian bersabda, “Seperti itu juga kalian melihat Rabb kalian.”
Anas bin Malik berkata, “Manusia akan melihat Allah pada hari kiamat nanti dengan mata kepala mereka.”
Orang Kafir Tidak Akan Melihat Allah
Sekali-kali
tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu
menutup hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari
itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka. (Al-Muthaffifin:
14-15)
Dan salah satu bagian dari hukuman terbesar terhadap
orang-orang kafir adalah mereka terhalang untuk melihat Allah dan
terhalang dari mendengar perkataan-Nya.
Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i menjelaskan tentang ayat itu, “Ketika mereka itu terhalang
dari melihat Rabb mereka karena mereka dalah orang-orang yang dibenci
atau dimurkai Allah, maka ini menjadi bukti bahwa wali Allah itu akan
melihat Allah karena Allah meridhai mereka.”
Lalu Ar-Rabi’
bertanya, “Wahai Abu Abdillah, apakah benar engkau mengatakan demikian?”
Ia menjawab, “Ya, benar! Karena itu pulalah aku menundukkan diri diri
di hadapan Allah. Kalau saja Muhammad bin Idris tidak meyakini bahwa ia
akan melihat Allah tentu ia tidak mau menghambakan diri kepada-Nya.”
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/menatap-wajah-allah-swt/
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Selasa, 18 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar