Itulah
cita-cita mulia mereka semua. Dan masing-masing mereka berinfaq dan
berwakaf di jalan Allah dengan harta terbaik yang mereka miliki.
Terdengar
suara pak RT menanyakan satu per satu warga yang hadir, "Pak anu mau
nyumbang berapa..., bapak fulan mau sedekah berapa....?" Lalu setiap
warga yang hadir dengan antusias menjawab dengan harta yang hendak
mereka sumbangkan.
Ada
yang berinfak dalam ratusan ribu rupiah, juga ada yang berinfak dalam
jutaan rupiah. Sebagian mereka ada juga yang memberikan dalam bentuk
material bangunan.
Semua mereka seolah berlomba memberikan harta terbaik yang mereka miliki untuk membangun rumah Allah Swt.
Semua terlihat begitu antusias untuk membangun mushalla di lingkungan mereka dalam tempo kurang dari sebulan.
Malam
itu juga ada seseorang yang bernama Arif yang berkomitmen untuk
menyumbang seluruh lantai keramik yang diperlukan mushalla. Itulah yang
ia janjikan kepada pak RT dan seluruh peserta rapat. Sengaja ia
menyumbang lantai keramik, sebab ia beranggapan bahwa setiap orang akan
menggunakannya untuk berdiri dan sujud oleh karena itu akan mendapat
pahala yang lebih banyak dari material bangunan lainnya. Setidaknya
itulah anggapannya!
"Saya
insya Allah mau menyumbang semua lantai keramik yang diperlukan
mushalla ini!" seru Arif.
"Apakah semua lantai keramik atau sebagiannya
saja, pak Arif?" tanya ketua RT menegaskan. "Semuanya insya Allah, pak!"
tandas Arif.
Arif
tidak khawatir untuk menutupi sumbangan seluruh lantai keramik
mushalla. Di benaknya esok pagi ia akan meminta orang tuanya, neneknya,
sepupu, paman, bibi dan seluruh saudaranya untuk turut menyumbang.
"Insya Allah bila dijinjing ramai-ramai, tidak akan ada beban yang
berat!" gumamnya.
Benar
juga... begitu Arif menghubungi seluruh kerabatnya, mereka semua
bersedia turut menyumbang pembelian lantai keramik mushalla. Hati Arif
pun tenang. Ia senang telah bisa menyumbang dan lebih senangnya lagi ia
dapat mengajak keluarganya untuk melakukan kebaikan di jalan agama ini.
***
Bulan
Ramadhan 7 hari lagi akan menjelang. Bangunan mushalla atas izin Allah
sudah rampung kurang lebih 65%. Namun untuk bisa dipakai shalat,
setidaknya harus sudah berlantai hingga orang-orang akan merasa nyaman
saat berdiri dan sujud. Maka malam itu adalah rapat kesekian kalinya
digelar ketua RT bersama panitia pembangunan mushalla. Dalam rapat itu,
Arif ditanya tentang kapan lantai bisa dikirimkan ke mushalla. Dengan
tenang ia berujar, "Paling lambat lusa, saya akan kirim lantai
tersebut!"
Namun
apa yang terjadi saat ia menghubungi satu per satu keluarga yang sudah
berjanji untuk menyumbang. Sungguh aneh, semua keluarga yang berjanji
sepertinya amat kompak dalam satu alasan. Mereka semua BOKEK, alias lagi
gak punya uang!
"Celaka...!"
keluh Arif. Padahal ia sendiri pun sedang tidak punya duit. Bagaimana
ia bisa memberi jawaban atas hal ini kepada warga lingkungannya. Padahal
Ramadhan akan tiba sebentar lagi. Tidak ada uang yang bisa ia gunakan
untuk membeli keramik, namun ada beberapa kartu kredit di dompetnya yang
dapat ia gunakan. Saat hendak menggunakannya terbersit di benaknya
wajah angker sang istri berkata mengancam, "Awas ya kalau kamu berani
pakai kartu kredit lagi. Aku akan minta cerai!!!'
Ya,
Arif meski bekerja di sebuah bank swasta namun ia adalah orang yang
susah menjaga syahwat dalam penggunaan kartu kredit. Sering kali
rumahnya disatroni debt-collector tak bermoral yang bicara kasar bahkan
mengancam di rumahnya. Istri dan anak-anak Arif sudah tidak kuat dengan
teror para debt-collector. Karena itu ia pernah diancam oleh sang istri
dengan ultimatum tuntutan cerai.
Kini
Arif berada di dua ujung tanduk. Antara membeli keramik mushalla dengan
kartu kredit & ancaman cerai dari sang istri. Setelah menimbang
sebaik mungkin, ia bulatkan tekad untuk membeli lantai keramik. "Urusan
masalah kartu kredit, itu urusan nanti!" gumamnya. Lalu ia pun pergi ke
kawasan Percetakan Negara, Jakarta untuk memilih lantai keramik yang
cocok. Usai ia memilih lantai keramik, ia pun menggesek kartu kreditnya
dengan total tagihan Rp. 2,8 juta. Tak lupa ia mengucap bismillah. Maka
Arif kini bersedekah lantai keramik di jalan Allah meski dengan cara
berutang lewat kartu kredit.
***
Jelang
Ramadhan pun ada agenda keluarga yang sudah dirancang oleh Arif. Ia
ingin tahun ini dapat mudik ke kampung halaman dengan berkendara mobil.
Hari itu ia memberanikan diri datang ke manager SDM tempatnya bekerja
sambil berkata dengan penuh semangat, "Pak boleh gak saya mengajukan
permohonan kredit mobil?!" Sayangnya, Arif mengajukan permohonan itu
pada momen yang tidak tepat. Awal Ramadhan itu di perusahaannya sedang
ada rasionalisasi pegawai besar-besaran. Sebuah langkah yang amat pahit
dialami oleh tim SDM, sebab dari atas mereka mendapat tekanan. Sedangkan
dari para pegawai di bawah mereka mendapat kecaman. Dalam kondisi tim
SDM sedang pusing, Arif malah mengajukan kredit mobil. Dengan sengit
manajer SDM itu berkata, "Tidak ada fasilitas seperti itu saat ini. Anda
tidak paham ya bahwa kami sedang amat sibuk?!"
Mendapat tanggapan seperti itu, maka Arif pun beringsut.
Namun
mungkin ini adalah balasan Allah Swt setelah sedekah lantai keramik itu
sudah digunakan oleh warga perumahan untuk lebih dari seminggu.
Siang
itu usai shalat Zhuhur dan mendengarkan kuliah agama di mushalla
kantor, Arif kembali masuk ke ruang kerja. Pesawat telpon di mejanya
berdering. Ternyata di sana adalah suara manager SDM yang memintanya
datang segera.
Arif
pun datang. Sesampainya di ruangan manager SDM ia disuruh menunggu di
ruangan meeting. Sampai saat itu Arif belum tahu ada pasal apa manager
SDM memanggilnya. Arif berprasangka buruk, "Mungkinkah aku termasuk
karyawan yang akan dirumahkan?" lamunnya.
Lama
ia menunggu hingga akhirnya sang manajer SDM datang ke ruang meeting.
Di tangannya ada sebuah folder berisikan banyak berkas. Folder itu
dibanting di atas meja, dan Arif terkejut mendengar folder itu
dibanting.
Sang
manajer SDM itu kini sudah duduk berseberangan dari Arif. Ia membuka
berkas yang ada di dalam folder lalu ia dapatkan secarik kertas yang
bentuknya seperti kertas cheque.
Dengan
cara yang tidak sopan, selembar kertas kecil itu dilemparkan ke arah
Arif dan ia pun menangkapnya. "Surat apa ini, Pak?!" tanya Arif.
Dibenaknya ia masih menduga bahwa ia bakal di-PHK dan ini adalah surat
pemberitahuannya.
"Baca saja dan jangan banyak tanya!" bentak manajer SDM.
Arif membaca selembar kertas itu yang ternyata adalah sebuah voucher pembelian sebuah mobil. Di
dalamnya terdapat nama lengkap Arif, nomor induk kepegawaiannya dan
sebuah nominal sebesar Rp 60 juta. Voucher pembelian mobil itu
ditandatangani oleh Direktur Operasional.
Usai
membaca barulah Arif mengerti bahwa kertas itu ada sebuah persetujuan
direktur operasional atas fasilitas kredit mobil untuk dirinya. Namun
hal yang tidak ia mengerti adalah mengapa sikap manajer SDM menjadi
garang seperti ini?
"Saya
paling tidak suka bila pak Arif main belakang seperti ini...!!! Saya
khan sudah bilang kepada bapak bahwa perusahaan tidak menyediakan
fasilitas mobil untuk karyawan dalam masa-masa seperti ini, lalu kenapa
bapak bicara langsung kepada direktur operasional...? Itu sama saja
mencoreng reputasi saya!!!"
Arif
hanya terdiam mendengar celotehan sang manajer. Rasanya ia belum pernah
menceritakan hal ini kepada siapapun selain kepada manajer SDM, apalagi
sampai menghadap direktur. Namun ia gembira dalam hati sebab ia
membayangkan bahwa lebaran ini ia dapat mudik ke kampung bersama
keluarga dengan mobil baru. Terserah manajer SDM apakah dia mau marah
atau tidak yang penting Arif sudah mendapatkan voucher pembelian mobil
di tangannya.
***
Sore
itu Arif pulang menuju rumahnya di Cibinong dengan hati penuh
kegembiraan. Sesampainya di rumah kira-kira pukul setengah enam sore. Ia
bernyanyi riang dan terus bernyanyi. Ia tidak masuk ke kamar untuk
berganti pakaian namun bahkan ia duduk-duduk di ruang tamu. Ada gelagat
yang tidak biasa sepertinya pada diri Arif, hingga istrinya pun
menanyakan ada apa gerangan.
Arif
masih terus bernyanyi gembira sambil mengeluarkan dari tas kerja
secarik kertas voucher pembelian mobil itu lalu ia letakkan di atas
meja.
"Apa itu, Pa?" tanya sang istri. "Baca saja sendiri!" tukas Arif sambil terus bernyanyi. Istrinya pun membaca voucher itu. Namun
tidak seperti dugaan Arif, sang istri tidak terlihat gembira
membacanya. Bahkan sang istri pergi ke arah lemari dan mengambil secarik
kertas.
Bila
tadi Arif meletakkan secarik kertas di atas meja. Kini sang istri pun
melatakkan secarik kertas pula di atas meja. "Apa itu, Ma?!" Arif balik
bertanya. Sang istri menukas dengan ketus, "Baca saja sendiri!!!"
Ternyata
itu adalah surat tagihan penggunaan kartu kredit. "Celaka!" gumam Arif.
Akhirnya dia ketahuan oleh sang istri telah menggunakan kartu kredit
untuk pembelian lantai mushalla. Ia amat takut sekali bila sang istri
menuntut cerai.
"Ayo
cepat buka...!" sang istri berkata dengan suara meninggi. Arif hanya
diam tak berkutik, sungguh ia amat merasa takut. Tidak sedikit pun gurat
kebahagiaan tersisa di wajahnya.
Dengan
perlahan ia buka amplop tagihan kartu kredit itu dan kemudian ia baca
seluruh isi surat. Namun anehnya, ia tidak mendapati tagihan senilai
Rp2,8 juta atas pembelian lantai keramik!!!
Seolah tidak percaya, ia ulangi membaca dan tetap saja ia tidak mendapatkan nilai tagihan atas lantai keramik!!!
"Subhanallah....,
kok bisa gak ada ya?" Arif berteriak keheranan. Ia pun menelpon pihak
bank dan lagi-lagi anehnya bank tidak membaca pada data mereka bahwa
Arif melakukan transaksi sebesar Rp 2,8 juta.
***
Itulah
kisah yang Arif sampaikan kepada saya bahwa ia telah menuai pertolongan
Allah Swt untuk pembelian mobil, namun apa yang ia sumbangkan untuk
rumah-Nya dengan cara berhutang rupanya tidak dianggap demikian oleh
Allah Swt. Demikianlah sebuah kisah yang menakjubkan tentang pertolongan
Allah Swt melalui sedekah. Tidakkah Anda meyakininya?
Salam,
Bobby Herwibowo
Sumber : http://al-kauny.com/index.php?option=com_k2&view=item&id=357:sedekah-ngutang
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar