Selasa, 25 Desember 2012

Istri Bukan Pembantu

Ilustrasi

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Saya adalah seorang ibu yg pernah mengikuti tausiyah Ustadz ketika mengisi safari Ramadhan di Qatar.  Mudah2an Ustadz masih ingat materi "memuliakan istri", ketika itu ustadz menjelaskan kewajiban suami dalam hal nafkah,  istri tdk berkewajiban memasak, mencuci, menyetrika dll, (pekerjaan Rmh Tangga), dan dibolehkan meminta hak atas materi kpd suami utk keperluan pribadinya. Apa yg ustadz sampaikan menuai pro kontra diantara kami, apalagi saat itu ustadz tidak secara gamblang menyertakan hadits/ayat Qur'an yg mendasarinya. Pertanyaan saya :

1. Tolong jelaskan hadits/ayat ttg hal tsb diatas, yang rinci ya ustadz.
2. Apakah hal tsb diatas merupakan khilafiyah, diantara para ulama, kalo ya, tolong juga disertakan pendapat2 ulama lainnya.
3. Dalam terjemahan  khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW, pada  saat wukuf diarafah, disebutkan" ...dan berikanlah istrimu makanan dan pakain yang layak," secara bhs Arab samakah arti makanan dan bahan makanan, saya mempunyai persepsi hal itu berbeda, krn makanan adalah siap makan, sedangkan bahan makanan adalah siap olah, tetapi saya ragu, karena ini terjemahan, khawatirnya saya salah persepsi.
Terima kasih atas jawabannya, semoga masalah ini menjadi lebih jelas dan kami senantiasa diberi hidayah utk senantiasa ridho dg ketetapan Allah. Amin

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Widia

Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa kabar ibu-ibu sekalian, semoga sehat-sehat ya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesarnya-besarnya atas semua yang telah disiapkan oleh ibu-ibu di Doha Qatar dan di kota-kota lainnya, dalam kesempatan ber-Ramadhan selama saya disana. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan ibu-ibu. Dan saya mohon maaf kalau ada hal-hal yang sekiranya kurang berkenan di hati dan juga merepotkan.
Tentang materi 'memuliakan istri' itu, memang saya mendengar bahwa sempat para bapak komplain, ya. Karena ternyata 'kenikmatan' para bapak selama ini jadi seperti agak dipertanyakan dasarnya.
Sebenarnya bahwa seorang wanita tidak wajib memberi nafkah, baik makanan, minuman, pakaian dan juga tempat tinggal, bukan hal yang aneh lagi. Semua ulama sudah tahu sejak kenal Islam pertama kali. Dan pemandangan itu juga pasti ibu-ibu lihat di Qatar kan. Coba, ibu bisa lihat di pasar dan supermarket di Doha, yang belanja itu bapak-bapak kan? Bukan ibu-ibu, ya?

Nah itu saja sudah jelas kok, bahwa kewajiban memberi makan adalah bagian dari kewajiban memberi nafkah. Dan yang keluar belanja mengadakan kebutuhan rumah sehari-hari yang para suami, bukan para istri. Ibu-ibu kan lihat sendiri di Doha.

Saya sendiri selama di Doha diajak masuk ke tiga mal besar, salah satunya saya masih ingat, Belagio. Nah, saat saya di dalam ketiga mal itu, umumnya saya ketemu dengan laki-laki. Perempuan sih ada, tapi biasanya sama suaminya. Jadi yang belanja kebutuhan sehari-hari bukan ibu, tapi bapak.

Bahkan pertemuan wali murid di sekolah di Doha pun, bukan ibu-ibu yang hadir, tapi bapak-bapaknya. Ini juga menarik, sebab kebiasaan kita di Indonesia, kalau ada pertemuan orang tua / wali murid, yang datang pasti ibu-ibu. Bapak-bapaknya tidak harus dengan alasan pada kerja. Tapi di Doha, yang datang bapak-bapak dan meetingnya dilakukan malam hari, selepas bapak-bapak pulang kerja.

Mana Ayat Quran atau Haditsnya?
Ya, terus terang tidak ada ayat yang menjelaskan sedetail itu, begitu juga dengan hadits nabawi. Maksudnya, kita akan menemukan ayat yang bunyinya bahwa yang wajib masak adalah para suami, yang wajib mencuci pakaian, menjemur, menyetrika, melipat baju adalah para suami.
Kita tidak akan menemukan hadits yang bunyinya bahwa kewajiban masak itu ada di tangan suami. Kita tidak akan menemukan aturan seperti itu secara eksplisit.
Yang kita temukan adalah contoh real dari kehidupan Nabi SAW dan juga para shahabat. Sayangnya, memang tidak ada dalil yang bersifat eksplisit. Semua dalil bisa ditarik kesimpulannya dengan cara yang berbeda.

Misalnya tentang Fatimah puteri Rasulullah SAW yang bekerja tanpa pembantu. Sering kali kisah ini dijadikan hujjah kalangan yang mewajibkan wanita bekerja berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak kajian menarik tentang kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja bisa dijadikan dasar kewajiban wanita bekerja untuk suaminya.

Sebaliknya, Asma' binti Abu Bakar justru diberi pembantu rumah tangga. Dalam hal ini, suami Asma' memang tidak mampu menyediakan pembantu, dan oleh kebaikan sang mertua, Abu Bakar, kewajiban suami itu ditangani oleh sang pembantu. Asma' memang wanita darah biru dari kalangan Bani Quraisy.
Dan ada juga kisah lain, yaitu kisah Saad bin Amir radhiyallahu 'anhu, pria yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di kota Himsh. Sang gubernur ketika di komplain penduduk Himsh gara-gara sering telat ngantor, beralasan bahwa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang yang  bisa disuruh untuk memasak buat istrinya, atau mencuci baju istrinya.

Loh, kok kebalik? Kok bukan istrinya yang masak dan mencuci?. Nah itulah, ternyata yang berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah SWT :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)

Pendapat 5 Mazhab Fiqih
Namun apa yang saya sampaikan itu tidak lain merupakan kesimpulan dari para ulama besar, levelnya sampai mujtahid mutlak. Dan kalau kita telusuri dalam kitab-kitab fiqih mereka, sangat menarik.
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.

1. Mazhab al-Hanafi

Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan : Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.

Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.

2. Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.

3. Mazhab As-Syafi'i

Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.

4. Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.

5. Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.

Pendapat Yang Berbeda
Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka.
Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini, namun satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga.

Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus 'menggaji' para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga.
Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya.
Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan istri juga harus dapat 'jatah gaji' yang pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah tangga.

Perempuan Dalam Islam Tidak Butuh Gerakan Pembebasan
Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata Islam sangat memberikan ruang kepada wanita untuk bisa menikmati hidupnya. Sehingga tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena hak-hak wanita disana masih saja dikekang.
Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri sebagai makhuk yang harus dihargai, diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang istri di rumah bukan pembantu yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga bukan jongos yang kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci, menyetrika, mengepel, mengantar anak ke sekolah, bekerja dari mata melek di pagi hari, terus tidak berhenti bekerja sampai larut malam, itu pun masih harus melayani suami di ranjang, saat badannya sudah kelelahan.
Kalau pun saat ini ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan jangan lupa, lakukan dengan ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajiban. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang teramat besar buat para ibu sekalian. Dan semoga suami-suami ibu bisa lebih banyak lagi mengaji dan belajar agama Islam.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

http://www.islamedia.web.id/2010/10/istri-bukan-pembantu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.