Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ada tiga golongan yang tidak akan
masuk surga dan Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat; anak
yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai
laki-laki, dayyuts yaitu kepala rumah tangga membiarkan kemungkaran
dalam rumah tangganya.” (HR. Nasa’I 5: 80-81; hakim 1: 72, 4: 146-147; Baihaqi 10: 226 dan Ahmad 2: 134)
Ajaran Islam adalah ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan
manusia kemudian memberikan kepada mereka petunjuk agar selamat di
dunia dan akhirat. Petunjuk yang diberikan tersebut berupa Al-Qur’an dan
Sunnah Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang harus ditaati dan diamalkan.
Barangsiapa yang menyimpang dari petunjuk
Allah dan Rasul-Nya serta mengabaikan perintah dan larangan-Nya akan
memperoleh adzab. Allah Yang Maha Adil berkuasa memasukkan menusia ke
dalam Surga atau Neraka, tergantung dari amal perbuatan mereka. Bila ada
yang dimasukkan-Nya ke dalam Neraka maka halitu adalah berdasarkan
keadilan-Nya, Dia sekali-kali tidak berbuat zalim kepada
hamba-hamba-Nya.
Perintah dan larangan Allah kepada
manusia pada hakikatnya adalah demi kemashlahatan menusia itu sendiri.
Kendatipun demikian, masih ada saja di antara manusia yang mengabaikan
peringatan dan ancaman Allah itu. Maka sudah selayaknya bila Allah
menimpakan hukuman akibat perbuatan mereka.
Di antara sekian banyak larangan Allah yang harus dijatuhi dan haram dikerjakan ialah:
a. Durhaka kepada Kedua Orang Tua
Banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
yang menrengkan kewajiban berbakti kepada orang tua. Hal ini
menunjukkan betapa agungnya hak mereka dan haram mendurhakai mereka.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan rabbmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik
kepada ibu bapakmu. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janagnlah
sekali-kali kamu mengucapkan ‘Ah’ dan janganlah kamu membentakmereka,
akan tetapi ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan kasih saying, serta
ucapkan: ‘wahai rabbku kasihanilah keduanya sebagaimana mereka telah
mendidik aku di waktu kecil.’” (QS. al-Isra’: 23-24)
Berdasarkan ayat di atas, ayah dan ibu
adalah orang yang wajib ditaati sesudah Allah dan Rasul-Nya. Kebaikan
mereka, khususnya ibu kepada anaknya, tidak dapat dinilai dengan materi.
Ibu mengandungnya dengan susah payah, kemudian melahirkannya juga
dengan susah payah dan terkadang harus berhadapan dengan maut, menyusui
dalam masa berbulan-bulan, bekerja siang dan malam bahkan terkadang
harus bengun di tengah malam demi menemani anaknya yang sakit pada saat
manusia sedang tidur nyenyak.
Kedua orang tua merasa bertanggungjawab
memelhara, mendidik, dan mencari nafkah untuk anak-anak mereka. Mereka
pun akan merasa gembira ketika anaknya mendapatkan kesenangan, dan
menangis serta bersedih bila si anak mendapatklan musibah. Kedua orang
tua selalu memikirkan kabahagiaan masa depan si anak.
Kalaupun ada orang tua yang buruk
akhlaknya, maka mereka tidak ingin anaknya rusak seperti keadaan mereka.
Mereka pun tetap berharap agar anak-anak mereka menjadi anak yang
shalih. Hal ini merupakan fitrah manusia.
Oleh karena itu, Allah dan Rasul-Nya mewajibkan kepada setiap anak agar:
· Berbuat baik kepada kedua orang tua
· Bersyukur kepada Allah dan kepada mereka
· Berlaku lemah lembut kepada mereka
· Berkata perkataan yang baik dan penuh hormat
· Mendo’akan keduanya
· Berbuat baik kepada kedua orang tua
· Bersyukur kepada Allah dan kepada mereka
· Berlaku lemah lembut kepada mereka
· Berkata perkataan yang baik dan penuh hormat
· Mendo’akan keduanya
Perlu diingat bahwa ketaatan kepada orang tua tidak boleh dalam hal-hal yang bertentangan dengan syari’at. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan,
“Tidak boleh seseorang taat kepada siapapun (makhluk) dalam hal berbuat maksiat kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.” (HR. Ahmad 5/66, Hakim)
Jadi gambaran durhaka kepada orang tua yaitu anak tidak taat kepada mereka dalam hal yang ma’ruf (sesuai sayari’at).
Menurut para ulama, tanda anak durhaka itu ialah:
· Anak yang tidak mau tahu hak-hak orang tua,
· Tiadk mau mendengar nasihat mereka bahkan menjelekkannya,
· Anak yang tidak mau membantu orang tuanya yang miskin padahal dia mampu,
· Berkata kasar, membentak, memukul,
· Selalu mengeluh dan membengkit-bangkitkan pemberiannya,
· Memaksa kedua orang tuanya agar memenuhi kebutuhan dirinya. (As-Suluk Al-Ijtima’i fil Islam, al-Kabair, Buyut La Tadkhuluhal Malaaikah)
· Anak yang tidak mau tahu hak-hak orang tua,
· Tiadk mau mendengar nasihat mereka bahkan menjelekkannya,
· Anak yang tidak mau membantu orang tuanya yang miskin padahal dia mampu,
· Berkata kasar, membentak, memukul,
· Selalu mengeluh dan membengkit-bangkitkan pemberiannya,
· Memaksa kedua orang tuanya agar memenuhi kebutuhan dirinya. (As-Suluk Al-Ijtima’i fil Islam, al-Kabair, Buyut La Tadkhuluhal Malaaikah)
Anak yang durhaka tidak hanya mendapatkan
siksa di akhirat, akan tetapi di dunia pun dia akan mendapatkan balasan
buruk sebelum mati, berupa kehinaan, kefakiran, dan ditimpa berbagai
macam penyakit. (Buyut La Tadkhuluhal Malaikah, hal. 35)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ada dua perbuatan yang Allah segerakan siksanya di dunia yaitu melewati batas-batas Allah (zalim) dan durhaka kepada kedua orang tua.” (HR. Hakim; Lihat Shaih Jami’us Shaghir, 2810)
“Ada dua perbuatan yang Allah segerakan siksanya di dunia yaitu melewati batas-batas Allah (zalim) dan durhaka kepada kedua orang tua.” (HR. Hakim; Lihat Shaih Jami’us Shaghir, 2810)
b. Wanita yang Menyerupai Laki-Laki
Pada zaman sekarang sekarang ini, media
massa selalu membesar-besarkan persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan, dengan istilah emansipasi. Para wanita menuntut agar haknya
disamakan dengan laki-laki, padahal agama Islam telah mengatur bahwa
laki-laki berbeda dengan perempuan. Firman-Nya:
“Dan laki-laki itu tidak sama dengan perempuan.” (Ali Imran: 36)
Wanita sekarang menuntut ingin sama
dengan laki-laki dalam segala hal, baik dalam lapangan kerja, pakaian,
hak waris, maupun dalam masalah lainnya. Akibatnya, terjadi pergeseran
nilai dalam masyarakat. Merekamulai cenderung berorientasi pada materi.
Setelah kesempatan kerja terbuka luas bagi wanita, mereka menjadi senang
bertabarruj (buka aurat), menampakkan perhiasan dan auratnya serta
mulai memakai pakaian yang tipis dan ketat. Mereka pun senang dan
terbiasa berpakaian serupadengan laki-laki. Menurut mereka, :Ini adalah
tuntutan profesi (karier)!!!???” Subhanallah.
Tahukah mereka bahwa Allah dan rasul-Nya
melaknat wanita yang menyerupai laki-laki dan sebaliknya? Dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alalihi
wasallam telah melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita
yang mwmakai pakaian laki-laki. (HR. Abu Dawud, ahmad, Ibnu Majah, Hakim, dan Ibnu Hibban)
Dari Abdullah bin Amr radhiallallhu ‘anhu, ia berkata: aku pernah mendengar Rasululah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai wanita.” (HR. Ahmad 2/199-200, Thabrani,abu Nu’man dan Bukhari dalam kitab Tarikhnya)
c. Dayyuts
Golongan ini adalah orang –orang yang membiarkan terjadinya kemungkaran di rumah tangganya. Firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman jagalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras,
yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. at-tahrim: 6)
Para ulama salaf menjelaskan makna jagalah dirimu dan keluargamau dari api neraka, sebagai berikut:
1. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
berkata: “Beramallah dengan taat kepada Allah, takut berbuat maksiat,
dan perintahkan keluargamu agar ingat hokum-hukum-Nya, niscaya Dia akan
menyelamatkanmu dari api neraka.”
2. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata: “Ajarkanlah akhlak dan kebaikan budi pekerti kepada mereka.”
3. Mujahid rahimahullah berkata: “takutlah kepda Allah dan nasihatilah keluargamu supaya bertaqwa kepada-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/412-413)
Ayat di atas mewajibkan seorang suami
atau kepala rumah tangga bertanggungjawab dalam rumah tangganya. Seorang
bapak atau suami merupakan orang pertama dalam rumah tangga yang harus
berusaha agar rumah tangganya damai, tenteram, dan penuh rahmat Allah.
Untuk itu, diperlukan perjuangan yang sungguh-sungguh.
Terkadang seorang bapak mempunyai cita-cita seperti itu namun salah mengambil jalan sehingga cita-citanya tidak terwujud.
Karena itu, tarbiyyah (pendidikan) dan
pembinaan rumah tangga harus mendapatkan priorotas utama. Seorang bapak
harus berupaya membina isteri, anak, dan keluarga yang terdekat semisal
mengingatkan mereka untuk shalat.
Jika seorang bapak atau suami bersikap
diam dan merasa aman terhadap isteri dan anaknya yang sudah terperangkap
dalam adat jahiliyah, atau telah melanggar syari’at Islam, maka suami
atau bapak seperti inilah yang dinamakan dayyuts.
Sikap suami yang membiarkan isteri dan
anaknya berbuat kejelekan dalam rumah tangganya sangat berbahaya. Ia
membiarkan anak dan isterinya meninggalkan shalat, membiarkan mereka
mengkonsumsi makanan dan minuman yang haram. Ia menganggap baik
perbuatan keji, zina beserta sarana yang membawa kepada zina. Ia tidak
merasa cemburu pada perbuatan isteri dan anak-anaknya, bahkan ia
membiarkan mereka berbuat maksiat. Maka, kelak dia akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah di hari kiamat.
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketauhilah,
kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian bertanggung jawab atas
orang yang dipimpinnya. Penguasa adalah pemimpin atas rakyatnya dan
bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Laki-laki adalah
pemimpin atas keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.
Seorang perempuan juga pemimpin bagi rumah suami dan anak-anaknya dan ia
bertanggung jawab atas itu semua, seorang hamba sahaya bertanggung
jawab terhadap harta tuannya.” (HR. Bukhari, Muslim, ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi.)
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar