Kamis, 10 November 2011

Mengajak Dengan Bukti

Oleh: Muhammad Nuh

Kirim Print
dakwatuna.com – Mengajak kepada kebaikan kadang tak ubahnya seperti nasib penjaja minyak wangi. Orang lebih melihat aroma si penjaja dari sekadar tawaran dan bujukannya. Bagaimana mungkin minyak wangi laku terbeli, jika bau tubuh si penjaja sudah menyatakan tidak.

Bahagianya jika diri dianggap oleh orang lain. Segala ucapan tidak dinilai sebelah mata. Dan ajakan menjadi ramuan mujarab yang diperhatikan banyak orang. Sayangnya, keinginan itu kadang sulit jadi kenyataan. Tidak jarang, bagusnya ucapan dan ajakan seseorang menjadi kurang didengar lantaran tidak sejalan dengan perbuatan.

Islam merupakan agama ucapan dan perbuatan. Kebaikan yang dilakukan seorang muslim mengalir seperti air. Diawali dari niat, terucap dalam lisan, dan terbukti dalam perbuatan.

Masalahnya, bagaimana mungkin seorang muslim bisa sebatas bicara. Tapi tak mampu membuktikan dalam perbuatan. Lebih repot lagi ketika ucapan atau ajakan kepada kebaikan Islam tertuju pada orang lain. Bisa berbentuk nasihat, teguran, arahan, dan mungkin pengajaran. Hampir bisa dibilang pasti, objek bicara akan melihat, mengukur, dan selanjutnya menilai siapa yang bicara.

Kalau penilaian positif, objek akan menerima arahan, ajakan, atau nasihat dengan lapang dada. Ia mulai bercermin kepada si pembicara. “Ah, selama ini saya memang salah. Saya khilaf!” begitulah kira-kira respon yang mungkin muncul.

Tapi tidak begitu kalau penilaiannya negatif. Kemungkinan besar, objek bicara sibuk menimbang: antara bobot arahan yang diterima dengan mutu si pembicara. Tanpa sadar, si pendengar mungkin akan memberikan reaksi tersembunyi: kok bagusan ucapannya daripada perbuatannya!

Memang, akhlak Islam mengajarkan siapa pun untuk melihat isi ucapan. Bukan siapa yang berucap. Dari situ, nilai-nilai kebaikan akan selalu menyebar dari mulut siapa pun. Termasuk dari orang bodoh atau anak kecil.

Cuma masalahnya, ketika ucapan mengatasnamakan kebaikan Islam kemudian berinteraksi pada persoalan nyata, ucapan menjadi tidak bisa berdiri sendiri. Perlu ada bukti. Sangat wajar kalau kemudian pendengar mengukur dengan seksama. Dan itu didorong keingintahuan yang lebih dalam tentang apa yang diajarkan. Seperti apakah keindahan isi ucapan itu dalam perbuatan. Bagaimanakah keseharian si pembicara. Itukah cerminan asli mutu subjek bicara. Oh, ternyata begitu. Dan seterusnya.

Keingintahuan yang lebih jauh itu ternyata punya pengaruh positif. Pendengar menjadi semakin paham. Dan pemahaman itu mulai mengalir dalam bukti nyata perbuatan. Saat itulah, ia butuh keteladanan.

Allah swt. melarang Bani Israel cuma bisa omong doang. Bisanya cuma nyuruh orang lain melakukan kebaikan. Tapi, diri sendiri melakukan keburukan. “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Alkitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (Al-Baqarah: 44)

Ibnu Abbas meriwayatkan sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan kelakuan seorang Yahudi di Madinah. Si Yahudi mengatakan kepada mantu dan kerabatnya yang telah masuk Islam, “Tetaplah kamu pada agama yang kamu anut (Islam) dan apa-apa yang diperintahkan oleh Muhammad, karena perintahnya benar.” Yahudi ini menyuruh orang lain berbuat baik, tapi dirinya sendiri tidak. Ayat ini sekaligus sebagai peringatan dan pelajaran buat umat Islam agar tidak seperti si Yahudi Madinah itu.

Pertanyaannya, kenapa bisa muncul sifat seperti itu. Bagaimana mungkin seseorang cuma bisa bicara tentang kebaikan, tapi tidak bisa membuktikan dalam perbuatan.

Pertama, si pembicara kurang memahami apa yang diucapkan. Ia cuma menyampaikan apa yang pernah ia dengar. Persis seperti anak kecil yang menghafal kata-kata ibunya: anak baik tidak boleh cengeng. Tiapkali bertemu teman, si anak mengulang-ulang kalimat itu. Tapi kenyataannya, dia sendiri masih biasa cengeng.

Kemungkinan kedua, kurangnya keikhlasan si pembicara. Ia mengajak orang lain kepada kebaikan bukan karena ingin mencari ridha Allah. Tapi, mungkin karena ada kepentingan pribadi. Misalnya, ingin dianggap sebagai orang pintar, supaya bisa terkenal baik, mengharap imbalan materi, bisa dicintai orang, dan lain-lain. Ucapannya mirip seperti bahasa iklan. Selalu baik. Pokoknya, bagaimana supaya orang mau membeli. Ucapannya tak lebih dari hiasan bibir. Terkesan indah, tapi tanpa bukti.

Sebab ketiga, adanya penyakit hati yang merembes lewat lidah. Boleh jadi, orang ini biasa membual. Ia sudah terbiasa mengolah kata-kata seindah mungkin agar orang lain tidak mengenal kebusukan si pembicara. Persis seperti topeng badut yang selalu tersenyum lucu, padahal si pemakainya sedang cemberut.

Buat yang ketiga ini, penyimpangannya begitu besar menurut Islam. Model orang seperti ini digolongkan Islam sebagai munafik. Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga tanda orang munafik; apabila berbicara ia berbohong, apabila berjanji ia mengingkari dan apabila dipercaya ia berkhianat.” (HR. Muslim)

Mungkin, ada sebab lain kenapa perbuatan tidak sejalan dengan ucapan. Yang jelas, orang yang sukses membuktikan ucapannya dalam bukti perbuatan punya kesan yang jauh lebih dalam. Begitulah teladan umat, Rasulullah saw. Ketika Rasulullah menyuruh untuk menyayangi anak yatim, beliau saw. terlebih dahulu mengasuh anak yatim di rumahnya sendiri. Ketika beliau saw. mengatakan tentang kebenaran Islam. Tak seorang pun kafir Quraisy yang membantah. Karena terbukti, Muhammad saw. tidak pernah dusta.

Indahnya hidup ketika ucapan benar-benar dianggap dan dipatuhi orang lain. Persis seperti pedagang minyak wangi yang tak perlu repot-repot berteriak, “Minyak wangi bagus, nih!” Cukup dengan memperlihatkan mutu aroma pada produk dan tentu saja diri, orang langsung tertarik.


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/mengajak-dengan-bukti/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.