Kamis, 10 November 2011

Mendekatkan Diri Kepada Allah

Oleh: Iman Santoso, Lc

Kirim Print

dakwatuna.com - Bagi setiap muslim, apalagi dai, berkewajiban untuk mendekatkan diri kepada Allah agar meraih kecintaan-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan: “Pendekatan diri hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah dengan sesuatu yang Aku wajibkan padanya. Dan jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri dengan nafilah (ibadah tambahan), sehingga Aku mencintainya.” (Bukhari)

Dalam hadits ini menunjukkan bahwa ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah melaksanakan kewajiban. Kewajiban terdiri dari Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah. Fardhu Ain yaitu kewajiban yang mengikat setiap individu muslim, seperti sholat lima waktu, zakat, puasa, haji jika mampu, berbakti kepada orang tua, memberi nafkah pada anak istri dan lain-lain. Sedangkan Fardhu Kifayah yaitu kewajiban kolektif jika sudah dilakukan oleh orang lain maka gugurlah kewajiban tersebut, seperti menyelenggarakan jenazah, menuntut sebagian ilmu tertentu, dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, berjihad dan lain-lain. Pada saat tertentu Fardhu Kifayah dapat berubah menjadi Fardhu Ain, seperti dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, dan jihad.

Fardhu adalah pokok sedangkan nafilah adalah cabang. Nafilah dapat melengkapi ibadah fardhu dan dapat menutupi kekurangannya. Seseorang tidak dapat disebut mengerjakan ibadah nafilah jika meninggalkan yang fardhu. Oleh karena itu jika orang beriman melaksanakan yang fardhu kemudian diteruskan dengan ibadah tambahan, maka Allah akan mencintainya. Sehingga sangat salah orang yang menyibukkan pada ibadah yang sunnah sementara meninggalkan yang wajib.

Jadi, secara umum pendekatan diri kepada Allah dilakukan dengan cara beribadah kepada Allah.

IBADAH

Ibnu Taimiyah berkata, ibadah adalah kata yang mencakup semua kebaikan, yaitu segala perkataan dan perbuatan baik lahir maupun batin yang diridhai dan dicintai Allah. Ibadah adalah risalah dan misi besar manusia. Hanya untuk inilah Allah menciptakan manusia dan jin (lihat Adz-Dzariyat: 56). Dan hanya untuk ini pula Allah mengutus para nabi dan rasul (lihat An-Nahl: 36). Rasulullah saw. bertanya pada Muadz bin Jabal, “Wahai Muadz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah?” Saya berkata, “Allah dan rasul-Nya yang paling tahu.” Rasul saw. bersabda, “Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya; dan hak hamba atas Allah adalah tidak mengadzab orang yang tidak menyekutukan Allah.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Tetapi sangat disayangkan, jika kita melihat realitas manusia, mayoritas mereka musyrik atau menyekutukan Allah dengan mahluk-Nya. Bangsa-bangsa besar yang menempati bumi ini mayoritasnya musyrik kepada Allah, mayoritas manusia yang menempati benua Amerika, Eropa, Australia dan juga Asia adalah orang-orang yang mensyekutukan Allah. Sekitar 6 milyar penduduk dunia, hanya ¼ nya saja yang mengakui muslim. Dan umat Islam pun masih banyak yang belum menyembah Allah, minimal dengan menegakkan sholat. Melihat realitas ini, maka kewajiban yang paling utama bagi orang-orang beriman adalah berdakwah mengajak manusia agar beriman dan beribadah kepada Allah saja.

Orang-orang beriman yang mengenal Allah dengan sebenarnya, mengenal hakekat dirinya dan mengetahui risalahnya, maka akan melaksanakan ibadah seoptimal mungkin, tetapi pada saat yang sama mereka sangat takut pada Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Mu’minun: 57-61, “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati Karena takut akan (azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang Telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.

SYARAT IBADAH

Dalam beribadah dan melakukan pendekatan diri kepada Allah, sangat terkait dengan syarat-syaratnya agar ibadahnya diterima. Dan syaratnya hanya dua yaitu ikhlas dan mengikuti sunnah Rasul saw. atau Syariah Islam. Inilah inti dari makna syahadat yang kita ucapkan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.” Berkata Fudhail bin Iyadh mengomentari surat Al-Mulk: 2, “Ahsanu ‘amala (Amal yang paling baik) adalah akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar).” Berkata, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima sehingga amal itu harus ikhlas dan benar.” Iyadh berkata, “Ikhlas dilakukan karena Allah Azza wa Jalla, dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.”

Ibadah yang dilakukan umat Islam harus selalu mengacu pada dua syarat tersebut; jika tidak, maka amalnya sia-sia bahkan dapat mengarah pada dosa. Rasul saw. bersabda, “Siapa yang mengada-ada pada urusan agama ini, sesuatu yang sebelumnya tidak ada, maka tertolak.” (Bukhari dan Muslim). Banyak sekali tradisi yang berkembang di tengah umat Islam, dan mereka melakukannya seolah-olah ibadah yang diajarkan Rasulullah saw. padahal tidak ada landasannya sama sekali. Di sinilah pentingnya para ulama dan para dai yang mengajarkan Islam kepada umatnya dengan penuh hikmah dan kesabaran, sehingga umat terhindar dari segala macam syirik, khurofat, takhayyul dan bid’ah.

HUKUM TAKLIFI

Dalam melaksanakan ibadah, para ulama usul menetapkan hukum taklifi yang mengikat bagi para mukallaf atau muslim yang sudah dewasa. Dengan memahami status hukum dalam setiap perbuatan, maka setiap muslim berada dalam kejelasan dalam setiap urusannya. Para ulama mendefinisikan hukum taklifi atau hukum yang terkait dengan perbuatan yang dilakukan setiap muslim yaitu arahan Syariah (khitab syari’i) yang terkait dengan perbuatan setiap muslim yang mukallaf (baligh), baik bersifat permintaan untuk melaksanakan, permintaan untuk meninggalkan maupun pilihan antara melaksanakan atau meninggalakan. Permintaan yang bersifat mengikat atau harus disebut wajib, sedangkan yang tidak mengikat disebut mandub atau sunnah. Sedangkan permintaan untuk meninggalkan yang bersifat harus disebut haram dan yang tidak bersifat harus disebut makruh. Adapun pilihan antara melaksanakan dan meninggalakan disebut mubah. Oleh karena itu hukum dalam Fiqih Islam terbagi menjadi lima, yaitu wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.

Setiap muslim yang beriman pada hukum Islam dan memahami status hukum suatu perbuatan dapat mengetahui prioritas kerja atau amal yang harus dilakukan. Sehingga baginya segala sesuatu yang harus dilakukan dalam kehiduan dunia menjadi sangat jelas dan tegas. Tetapi manakala seorang muslim tidak memahami status hukum maka semuanya akan mejadi kabur dan samar, yang pada akhirnya dia akan mengalami kebingunagan dan kekacauan dalam hidupnya karena tidak ada arahan dan prioritas kerja yang harus dia lakukan dalam kehidupannya di dunia.

Wajib adalah suatu perintah Syariat yang harus dilakukan dan bersifat mengikat, jika ditinggalakan maka akan mendapat sanksi atau dosa dan jika dilaksanakan akan mendapat pahala atau balasan dari sisi Allah. Wajib terbagi menjadi dua; wajib aini, yaitu kewajiban yang mengikat atas setiap individu muslim, seperti shalat lima waktu, zakat, puasa, haji. Dan wajib kifayah, yaitu kewajiban yang mengikat atas sekelompok umat Islam.

Mandub adalah perintah Syariat yang sebaiknya dilaksanakan dan tidak bersifat mengikat, atau sesuatu yang jika dilaksanakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak terkena sanksi. Mandub disebut juga sunnah, tatowwu’, mustahab, nafilah dan ihsan. Mandub memiliki beberapa tingkatan; Sunnah Muakkadah, yaitu sesuatu yang senantiasa dilakukan oleh Rasul saw. tetapi tidak sampai wajib, seperti sholat witir, sholat rawatib dan lain-lain. Sunnah ghairu Muakkadah, yaitu sunnah yang tidak selalu dilakukan oleh Rasul saw. seperti sedekah secara umum. Sunnah yang lain adalah mencontoh Rasul saw. pada masalah tradisi yang tidak terkait langsung dengan Syariat seperti makan, minum dan berpakaian ala Rasul saw.

Haram adalah perintah Syariat untuk meninggalkannya dan bersifat harus atau mengikat dan jika tidak maka akan mendapat sanksi atau dosa. Haram terbagi menjadi dua, yaitu haram li dzatihi dan haram li ghairihi. Haram li dzatihi diharamkan karena jelas-jelas menimbulkan bahaya langsung seperti makan bangkai, berzina, minum khomr, mencuri dll. Sedangkan haram li ghairihi, pengharamanannya karena tidak menimbulkan bahaya secara langsung seperti melihat aurat wanita, hukumnya tetap haram karena mengarahkan pada perzinahan. Haram li ghairihi disebabkan juga karena terkait dengan momentum atau kasus tertentu seperti berdagang saat adzan shalat Jum’at bagi lelaki, atau shalat bagi wanita yang haidh.

Haram Li Dzatihi dan Haram Li Ghairihi memiliki perbedaan pada dua hal, pertama pada transaksi atau akad. Haram li dzatihi membatalkan akad sedangkan haram li ghairihi tidak. Kedua, haram li dzatihi tidak dapat menjadi mubah kecuali karena darurat. Sedangkan haram li ghairihi menjadi mubah cukup karena hajat.

Makruh adalah perintah Syariat untuk meninggalkannya yang tidak harus atau mengikat. Apabila pekerjaan itu ditinggalkan maka akan mendapat imbalan pahala dan jika dilakukan tidak mendapatkan apa-apa.

Adapun mubah adalah pilihan Syariat untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Mubah dapat diketahui dari tiga hal, yaitu jika melakukan atau meninggalkan tidak ada dampak sanksinya, nash tidak menunjukkan haram dan nash menunjukkan halal.

Namun demikian, seorang muslim yang baik berupaya untuk mengharap kebaikan dan pahala pada amal-amal yang mubah, yaitu dengan niat yang baik dan mengarahkan yang mubah untuk sarana taat pada Allah. Begitu juga dia berusaha meninggalkan sebagian yang mubah karena khawatir jatuh pada yang diharamkan.

KONDISI MUKALLAF (MUSLIM)

Setiap muslim yang mukallaf tidak terlepas dari 3 kondisi. Ketika muslim dalam kondisi mendapatkan ni’mat Allah, maka mereka harus bersyukur. Dalam kondisi mendapat ujian atau cobaan, mereka harus bersabar. Dan dalam kondisi berbuat dosa, mereka harus beristighfar dan bertaubat. Ketika ketiga pensikapan tersebut terus dilakukan oleh setiap muslim dalam menghadapi kondisinya, maka dia akan mendapatkan puncak kebahagiaan.

Bukankah setiap muslim hidup dalam limpahan nikmat Allah? Allah telah menciptakannya sebagai manusia, makhluk yang paling mulia. Kemudian diberinya rezeki yang baik-baik. Lahir ke dunia dalam kondisi tidak memiliki apa-apa, dan sekarang banyak mendapatkan fasilitas dari Allah. Selanjutnya Allah memberikan nikmat yang paling besar yaitu nikmat hidayah dan keimanan. Dengan nikmat itu setiap muslim dapat berjalan di muka bumi dengan arahan yang jelas. Inilah kondisi yang dialami setiap muslim, oleh karenannya mereka harus sentiasa bersyukur kepada Allah dengan sepenuh syukur. Mengakui bahwa seluruh nikmat datang dari Allah, mengungkapkannya lewat lisan dan membuktikannya dengan ketaatan dan pengabdian kepada Allah.

Kondisi kedua yang tidak akan lepas dari setiap muslim juga adalah ujian. “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang Sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Dalam ayat ini Allah memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar ketika menghadapi ujian. Dan sejatinya setiap muslim akan mendapat ujian sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas.

Dan kondisi ketiga, yang tidal lepas dari setiap muslim adalah khilaf dan melakukan dosa. Inilah ciri khas manusia secara umum, karena mereka adalah anak-cucu Adam dan Hawa yang pernah melakukan dosa. Tetapi sebaik-baiknya orang yang melakukan dosa adalah beristighfar dan bertaubat. Dan diantara banyak bentuk istighfar ada tuannya istighfar atau Sayyidul Istighfaar, setiap muslim harus dapat menghafal dan membacanya secara rutin, ” Ya, Allah Engkaulah Rabbku tiada ilah kecuali Engkau. Engkau telah menciptakanku, aku adalah hamba-Mu, dan aku akan berusaha tetap komitmen dijalan-Mu sekuat tenagaku. Aku mengakui segala ni’mat-Mu padaku, dan aku mengakui dosaku, ampunilah aku. Karena tidak Dzat yang dapat mengampuni kecuali Engkau”.

Ketika muslim dan muslimah senatiasa dalam sikap seperti ini, niscaya mereka akan mendapatkan kebahagiaan, bukan hanya di dunia, tetapi di dunia dan akhirat. Semoga Allah memberikan istiqomah pada kita. Amin.


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/mendekatkan-diri-kepada-allah/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.