Sesungguhnya memberikan nasihat kepada kaum muslimin; baik berupa bimbingan kepada kebenaran yang nyata atau pun peringatan dari kebatilan dan para pelakunya, terhitung bagian dari agama.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الدِّينُ النَّصِيحَةُ قَالُوا لِمَنْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ
الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Rasulullah
saw. bersabda: “Agama adalah nasihat”, para sahabat bertanya: “Untuk
siapa?”. Rasulullah saw. bersabda: “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya,
para pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin secara umum”. (Bukhari, Muslim dan ahli hadits lainnya)
Tidak diragukan lagi bahwa manusia berpotensi salah dan cenderung menyimpang dari al-haq dan kebenaran. Tersebut dalam hadits:
كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ اَلتَّوَّابُوْنَ
“Semua anak keturunan manusia bersifat salah, dan sebaik-baik mereka yang salah adalah yang paling banyak bertaubat”. (Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dan termasuk hak seorang muslim
atas muslim lainnya adalah hendaklah ia menunjukkan kepada saudaranya
tentang aib dan kesalahannya, dan hendaklah ia menasihatinya dalam
perkara dan urusannya. Tetapi, nasihat itu hendaklah dilakukan dengan
lembut dan hikmah. Hendaklah seorang muslim berhati-hati, jangan sampai
menghina saudaranya dan menuduhnya hanya berdasar kepada sekedar
persangkaan saja, sebab, persangkaan itu adalah seburuk-buruk
pembicaraan, dan cukuplah hal ini sebagai kejahatan. Rasulullah saw.
bersabda:
بِحَسْبِ اِمْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ اَلْمُسْلِمَ
“Cukuplah seseorang itu menjadi jahat saat ia menghina saudaranya yang muslim” (Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Jika ada mendengar – seorang muslim
– tentang saudara muslim lainnya sesuatu yang tidak disuka, jangan
segera membenarkan perkataan tentang saudaranya itu. Justru
kewajibannya adalah untuk melakukan tatsabbut (klarifikasi)
sehingga dirinya mendapatkan keyakinan tentangnya, sebab, kebanyakan
manusia telah terbiasa menyebarluaskan keburukan secara bathil, dan
banyak pula manusia yang suudzan (buruk sangka) nya lebih cepat daripada husnuzhan (berbaik
sangka) nya, oleh karena itu, jangan membenarkan setiap perkataan,
walaupun dirinya mendengarnya berulang kali sehingga dirinya
mendengarnya dari yang menyaksikan secara langsung, dan jangan
membenarkan orang yang menyaksikannya secara langsung sehingga dirinya
memastikan kebenaran atas apa yang disaksikannya, dan jangan membenarkan
orang yang telah membuktikan kesaksiannya sehingga dirinya memastikan
kebersihannya dari tendensi khusus dan hawa nafsu. Untuk inilah Allah
swt. memerintahkan kepada kita untuk menjauhi banyak persangkaan, dan
memandang sebagian persangkaan itu sebagai dosa, sebab zhan itu bertolak belakang dengan ilmu dan ia tidak memberi arti apa-apa terhadap kebenaran. Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Wahai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain”. (Al-Hujurat: 12).
Firman Allah yang lain:
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan
mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedang sesungguhnya
persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” (An-Najm: 28).
Dan jika seseorang melihat suatu
urusan, atau sampai kepadanya tentang saudaranya suatu perkataan yang
memiliki dua kemungkinan arti, maka, bawalah maksud perkataannya itu
kepada maksud yang baik, sebab yang demikian ini lebih sesuai dengan
akhlaq mulia dan lebih mencerminkan ukhuwwah yang bening. Umar bin
Al-Khaththab ra. Berkata:
لاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ الْمُؤْمِنِ إِلاَّ خَيْرًا وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً
”Janganlah
kamu menyangka satu kosa kata yang keluar dari saudara mukmin mu
kecuali kebaikan, sedangkan engkau mendapati kemungkinan maksud yang
baik dari perkataannya”. (Ahmad)
Puteri dari Abdullah bin Muthi’
berkata kepada suaminya Thalhah bin Abdurrahman bin Auf ra. Di
zamannya Thalhah adalah orang Quraisy yang paling derma. Istrinya
berkata: “Saya tidak melihat satu kaum yang lebih buruk dari
saudara-saudaramu!”. Thalhah berkata kepada istrinya: “hush hush!
Kenapa demikian?”. Istrinya menjawab: “Saya melihat mereka, kalau kamu
sedang ada uang, mereka nempel terus kepadamu, dan jika kamu sedang
tidak mempunyai apa-apa, mereka meninggalkanmu”. Maka Thalhah berkata
kepada istrinya: “Ini, demi Allah, adalah bukti bahwa mereka berakhlaq
mulia, mereka datang kepada kita saat kita mampu memuliakan mereka, dan
mereka meninggalkan kita saat kita tidak mampu memenuhi hak-hak
mereka”.
Coba kita lihat, bagaimana
Thalhah men-ta’wil-kan perbuatan saudara-saudaranya terhadapnya,
padahal perbuatan itu jelas buruk dan tidak kenal budi, namun demikian,
ia memandangnya sebagai bentuk kesetiaan dan kemuliaan.
Jika seorang muslim melihat
saudara muslim lainnya melakukan kesalahan yang tidak dapat diterima
alasannya atau tidak bisa ditafsirkan lain, maka menjadi kewajibannya
untuk datang kepadanya guna memberi nasihat secara rahasia,
antara dirinya dan saudaranya saja, bukan di depan khalayak, sebab
manusia tidak ingin aibnya diketahui oleh siapa pun, jika dirinya
menasihati saudaranya secara rahasia, maka hal ini lebih berpeluang
untuk diterima, lebih menunjukkan ikhlas dan jauh dari syubhat. Adapun
jika dirinya menasihati saudaranya secara terbuka, di depan banyak
orang, maka pada yang demikian ini terdapat syubhat dendam dan
popularisasi keburukan, menonjolkan sisi kelebihan diri dan ilmu yang
dimiliki. Dan hal ini merupakan penghalang yang mencegah pihak yang
dinasihati untuk mendengarkan nasihat serta mengambil pelajaran
darinya.
Di antara akhlaq Nabi saw. dan
adabnya dalam mengingkari kemunkaran dan memperjelas kebenaran adalah
bahwa jika sampai kepada beliau tentang satu atau sekelompok orang yang
melakukan kemunkaran, maka beliau tidak menyebutkan nama mereka secara
terbuka, beliau hanya bersabda: “Kenapa ada orang yang berbuat begini
dan begini”, lalu orang yang dimaksud memahami bahwa dia lah yang
dimaksud oleh nasihat itu. Dan hal ini termasuk cara memberi nasihat
dan cara mentarbiyah yang paling tinggi.
Imam Syafi’i berkata:
مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ سِرًّا فَقَدْ نَصَحَهُ وَزَانَهُ، وَمَنْ وَعَظَهُ عَلاَنِيَّةً فَقَدْ فَضَحَهُ وَشَانَهُ
“Siapa
yang memberi mauizhah kepada saudara secara rahasia, maka ia telah
menasihati dan memperbaikinya, dan siapa yang memberi mauizhah secara
terbuka, berarti ia telah membuka aibnya dan memperburukkannya”
Jadi, seorang mukmin yang memberi
nasihat, ia tidak memiliki tujuan untuk mempublikasikan aib orang yang
dinasihatinya. Tujuannya tidak lain adalah menghilangkan kemaksiatan
yang ia terjatuh kepadanya, sebab ia mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri.
Adapun
mempublikasikan dan menampakkan aib, maka hal ini termasuk yang
diharamkan Allah swt. dan Rasul-Nya saw. Allah swt berfirman:
إِنَّ
الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ
آمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ
يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di
dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui” (An-Nur: 19).
Jadi, ada perbedaan antara orang
yang bertujuan menasihati dan orang yang bertujuan membuka aib. Yang
mencampur adukkan di atara keduanya hanyalah orang yang berakal tidak
sehat. Hukuman bagi orang yang menyebar luaskan keburukan atas terhadap
saudaranya yang beriman dan terus menerus mencari aib-aibnya serta
membuka auratnya adalah Allah swt. akan mencari-cari auratnya, lalu
membukanya di depan publik walaupun setelah beberapa tempo lamanya,
kecuali jika ia bertaubat.
Di antara pertanda ta’yir (mencacat) dan tasyhir
(mempopulerkan aib) adalah: menampakkan dan mempublikasikan keburukan
dalam kemasan nasihat, ia mengklaim bahwa yang mendorongnya adalah tahdzir (memberi peringatan) atas ucapan dan perbuatannya, dan Allah mengetahui bahwa maksudnya adalah tahqir (merendahkan) dan adza (menyakiti).
Contoh hal ini adalah seseorang
mencela orang lain dan menunjukkan kekurangannya serta menampakkan
aibnya supaya manusia berlari darinya, namun maksudnya adalah
keinginannya untuk menyakitinya karena permusuhan dirinya terhadapnya
atau karena sebab-sebab tercela lainnya, dirinya tidak mampu mencapai
tujuan ini kecuali dengan menampakkan celaan padanya, baik karena adanya
sebab dini (agama) atau pun duniawi. Maka, siapa
yang melakukan perbuatan demikian, ini merupakan pertanda adanya
penyakit dalam hatinya, meskipun hal ini terjadi dari orang yang
bersumpah bahwa tidak ada tujuan kecuali kebaikan, sedangkan Allah swt,
menjadi saksi bahwa mereka adalah orang-orang yang bohong.
Dan siapa saja yang terkena bencana
makar ini, yaitu saat ia dihina, dicacat, ditampakkan sisi
kekurangannya, maka hendaklah ia bertakwa dan bersabar, sebab
kesudahannya pasti milik yang bertakwa,
وَلاَ يَحِيْقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلاَّ بِأَهْلِهِ
“Dan makar buruk itu tidak menghancurkan kecuali pelakunya” (Fathir: 43)
Ketahuilah bahwa sebagian pemberi
nasihat dan pengkritik dalam berbagai majlis, juga sebagian penulis di
koran dan semacamnya, terperosok dalam sebagian kesalahan dan
kekeliruan yang menyebabkan merenggangnya hubungan, di mana nashihah (memberi nasihat tanpa membuka aib) berubah menjadi fadhihah (membuka aib), tadzkir (memberi pengingatan) berubah menjadi tasyhir (publikasi keburukan). Dan hal ini bukanlah sesuatu yang diridhai Islam.
Ibnu Rajab berkata: ketahuilah
bahwa menyebut manusia dengan sesuatu yang tidak disukainya adalah
haram, jika maksudnya sekedar mencela, mencacat dan menampakkan
kekuarangan. Adapun jika dalam hal ini terdapat kemaslahatan umum bagi
kaum muslimin atau kemaslahatan khusus bagi sebagian mereka, dan
maksudnya adalah menghasilkan kemaslahatan ini, maka hal ini tidaklah
diharamkan, bahkan disunnatkan. Hal ini telah ditetapkan oleh para
ulama hadits dalam kitab mereka dalam pembahasan al-jarh wat-ta’dil.
Mereka menyebutkan perbedaan antara melakukan tajrih terhadap para perawi dan dengan ghibah.
Mereka membantah orang-orang yang menyamakan di antaranya keduanya,
baik yang menyamaratakan itu dari kalangan ahli ibadah maupun dari
kalangan lainnya dari orang-orang yang belum luas ilmunya, dan tidak ada
perbedaan antara orang yang diterima riwayatnya dari mereka yang yang
tidak diterima.
Jika tujuannya adalah memperjelas
kebenaran, maka hal ini masuk dalam pengertian nasihat. Dan jika
tujuannya adalah menunjukkan kekurangan yang berkata, menampakkan
kebodohan dan kelemahannya dalam ilmu, maka hal ini adalah perbuatan
haram, baik bantahan itu dilakukan dihadapan orang yang dibantah atau
pun dilakukan tidak dihadapannya, baik dilakukan semasa hidupnya maupun
dilakukan sepeninggalnya, dan hal ini tercakup dalam hadits nabi saw.:
يَا
مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ،
لاَ تَغْتَابُوْا اَلْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ،
فَإِنَّهُ مَنْ اِتَّبَعَ عَوْرَاتِهِ يَتَّبِعُ الهُه عَوْرَتَهُ، وَمَنْ
يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحُهُ وَلَوْ فِيْ جَوْفِ بَيْتِهِ
“Wahai
orang-orang yang beriman dengan mulutnya, sementara keimanan belum
masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian melakukan ghibah terhadap kaum
muslimin, dan jangan pula mencari-cari auratnya, sebab, siapa saja
yang mencari-cari auratnya, maka Allah swt. akan mencari-cari auratnya,
dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah swt. niscaya Dia akan
membuka kartunya walaupun ia berada di dalam rumahnya” (HR. Abu Daud dan lainnya. Lihat Aun al-Ma’bud 13/224).
Sangat bagus kalau seorang muslim
menjadi benteng yang kokoh yang membela dan melindungi harga diri
saudara muslim nya dan menjaga citranya, terlebih lagi jika
dihadapannya disebutkan keburukan saudaranya sesuatu yang tidak
disukainya. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ رَدَّ عِرْضَ أَخِيْهِ اَلْمُسْلِمِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ اَلنَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang membela harga diri saudaranya yang muslim, niscaya Allah swt. menjaga wajahnya dari neraka pada hari kiamat” (HR. At-Tirmidzi, shahih)
Dan hHendaklah kita semua tsiqah terhadap saudara kita dan berhati tenteram kepadanya, dan janganlah kita men-ta’wil-kan
omongannya kecuali dengan baik, selama omongan itu masih memungkinkan
ditafsirkan baik, supaya kita berbahagia dalam urusan agama dan dunia
kita, dan supaya kita selamat pada hari kiamat,
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
“Yaitu hari dimana harta dan anak lakui-laki tidak memberi manfaat, kecuali yang datang kepada Allah swt dengan hati selamat” (Asy-Syu’ara: 88 – 89).
Kita memohon kepada Allah swt. agar
Dia mensucikan hati kita dari ghill (dengki), dendam dan iri, dan
semoga Dia memberikan kepada kita hati yang selamat, mulut yang jujur,
ilmu yan bermanfaat dan amal yang shalih.
رَبَّنَا
اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا
إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيم
“Ya
Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah
beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb
Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:10)
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar