Senin, 07 November 2011

Akidah Dan Perubahan

Oleh: Tate Qomaruddin, Lc.

Kirim Print
Rasulullah saw. bersabda, “Setiap Nabi mempunyai sahabat dan hawari yang selalu berpegang teguh dengan petunjuknya dan mengikuti sunnahnya. Lalu muncullah generasi pengganti (yang buruk) yang (hanya) mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang berjuang (untuk meluruskan) mereka dengan tangannya, dia adalah mukmin. Dan barang siapa yang berjuang dengan lidahnya, maka ia adalah mukmin. Dan barangsiapa berjuang dengan hatinya, maka ia adalah mukmin. Dan tidak ada di belakang itu keimanan sedikit pun.” (Muslim)

Perubahan harus dikawal dengan aqidah islamiyyah. Aqidah islamiyyah memberi keuntungan yang luar biasa bagi individu yang mencita-citakan perubahan, seperti yang telah dijelaskan pada tulisan bagian terdahulu. Namun bukan itu saja. Aqidah islamiyyah juga punya peran besar dalam menciptakan ketenteraman dan keharmonisan kehidupan sebuah masyarakat. “Keimanan kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir serta berserah diri kepada Allah dan patuh kepada agama-Nya telah meluruskan semua yang bengkok di dalam kehidupan dan mengembalikan setiap individu dalam masyarakat manusia kepada kedudukannya, tidak mengurangi dan tidak pula melebih-lebihkan martabatnya,” tulis Maududi. (Kerugian Dunia Akibat Kemorosotan Kaum Muslimin, hal.127, th. 88)

Aqidah Islam telah behasil menghadirkan tonggak-tonggak masyarakat sejahtera dan berkeadilan. Tonggak-tonggak itu adalah: (1) Kebebasan jiwa; (2) Persamaan kemanusiaan yang sempurna; (3) Aktifitas amar ma’ruf dan nahi munkar; dan (4) Solidaritas sosial yang kuat. Tanpa keempat tonggak itu mustahil tercipta kedamaian, ketenteraman, dan kesejahateraan pada sebuah mansyarakat. Secara konsepsional dan empiris, keempat tonggak itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, kebebasan jiwa. Tidak akan terjalin interaksi harmonis antar anggota masyarakat tanpa kebebasan jiwa setiap anggota masyarakat tersebut. Dalam keadaan jiwa terikat, dihantui ketakutan, atau terbelenggu dengan perbudakan oleh sesama manusia, mustahil ada hubungan harmonis itu. Yang akan lahir adalah justeru perilaku-perilaku semu dan sikap-sikap terpaksa. Dalam keadaan demikian, kehidupan masyarakat hanya akan merupakan kumpulan keluhan dan daftar kesengsaraan. Yang kuat akan menjadi penguasa. Dan yang lemah akan menjadi budak pengabdi, tanpa punya pilihan. Dan adalah kondisi paling berbahaya dalam kehidupan jika antar manusia diciptakan hubungan tuhan-hamba.

Dan kemerdekaan jiwa itu hanya dilahirkan dari aqidah yang benar. Penanaman kebebasan jiwa dilakukan oleh Islam dengan menegaskan bahwa manusia harus terbebas dari peribadatan, pengabdian, kepatuhan dan loyalitas kepada selain Allah; bahwa tidak seorang pun yang memiliki kekuasaan menghidupkan dan mematikan selain Allah; bahwa sumber rezeki dan yang menentukan kepada siapa rezeki itu diberikan hanyalah Allah; serta, bahwa hanya Allah pula yang memberikan keselamatan dan bahaya (madharat).

“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang berkuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup; dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Mereka akan menjawab: ‘Allah’.” (Yunus: 31)

Dengan demikian aqidah Islam adalah motivator dan orang beriman adalah pelopor perlawanan terhadap segala upaya mempertuhankan manusia oleh sesama manusia. Sebab hal itu bertentangan secara diametral dengan pembebasan jiwa manusia. “Maka itulah Allah Rabb kamu yang benar. Maka tiadalah setelah kebenaran itu selain kesesatan.” (Yunus: 32). Dan salah satu butir Piagam Madinah –sebuah kesepakatan antara kaum muslimin dengan penduduk Madinah– adalah “Janganlah sebagian kita menjadikan sebagian lain sebagai tuhan”. Ini sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an di surat Ali Imran ayat 64.

Katakanlah: “Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.

Kedua, persamaan kemanusiaan yang sempurna. Di atas tonggak pertama itu dibangunlah tonggak berikutnya: persamaan kemanusian yang sempurna. “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian (terdiri) dari laki-laki dan wanita; dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.” (Al-Hujurat: 15). Ayat ini menegaskan bahwa terhormat dan terhinanya manusia tidak dibedakan berdasarkan ras, suku, warna kulit, kebangsaan, kekayaan, jabatan, dan ukuran-ukuran picik lainnya.

Rasulullah saw., saat melakukan haji wada’ (pamungkas) menegaskan pula, “Sesungguhnya darah-darah kalian dan kehormatan kalian haram (untuk dilanggar) oleh kalian, kecuali dengan hak Islam. Tiada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab dan tidak keutamaan bagi non-Arab atas orang Arab; tidak ada keutamaan bagi orang berkulit putih atas kulit hitam dan tidak pula orang berkulit merah atas kulit putih, melainkan dengan taqwa. Kalian semua berasal dari Adam. Sedangkan Adam berasal dari tanah.”

Manakala penghargaan kepada seseorang diberikan berdasarkan prestasinya dalam kebaikan dan kebenaran dan bukan didasarkan pada asal-usul, ras atau sukunya, ini pertanda baik. Sebab hal itu akan melahirkan suasana yang kondusif bagi terwujudnya persaingan sehat antar warga masyarakat. Setiap orang, tanpa dibedakan oleh perbedaan-perbedaan yang bersifat taqdir –seperti warna kulit dan kebangsaan– mempunyai peluang yang sama besar untuk membaktikan segala potensi dan kemampuannya untuk mewujudkan keinginan-keinginannya. Sayyid Quthb menegaskan, “Islam bersih dari fanatisme suku dan ras; dan persamaan derajat yang diciptakannya sudah sampai pada tingkatan yang selama ini belum pernah dicapai oleh peradaban Barat, sampai detik ini sekalipun; sebuah peradaban yang memberi justifikasi kepada bangsa Amerika untuk memusnahkan bangsa Indian berkulit merah melalui penumpasan terencana, di depan mata dan telinga dunia internasional; yang memberi justifikasi kepada penguasa Afrika Selatan untuk menindas orang kulit hitam melalui undang-undang rasialis; dan memberi justifikasi pula kepada penguasa Rusia, China, dan India untuk menumpas kaum Muslimin di wilayah mereka.”

Ketiga, aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar. Masyarakat yang dilandasi aqidah Islam akan sangat peduli tentang nasib lingkungannya. Karenanya, mereka selalu melakukan aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar. Dengan demikian setiap anggota masyarakat secara otomatis menjadi pengontrol terhadap perjalanan kehidupan masyarakatnya dan pemerintahannya. “Dan orang-orang beriman itu, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka adalah penolong (pemimpin) bagi sebagian lain; mereka menyuruh melakukan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (At-Taubah: 71)

Cukuplah menjadi alasan datangnya bencana dari Allah jika sebuah masyarakat telah tercerabut kepeduliannya terhadap perilaku anggota masyarakatnya; jika mereka lebih memilih selamat diri sendiri daripada melakukan koreksi terhadap apa yang terjadi di sekitarnya; jika mereka takut untuk mengatakan yang benar sebagai benar dan yang salah adalah salah. Dan bencana yang kini menimpa negeri tercinta ini pun tidak lepas dari adanya kelalaian untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar itu. Rasulullah saw. bersabda, “Demi Zat Yang diriku ada di tangan-Nya, perintahlah kepada yang ma’ruf dan cegahlah dari yang munkar, atau (jika tidak kamu lakukan), maka Allah akan mengirimkan kepada kalian siksa dari sisi-Nya, kemudian kalian memohon kepada-Nya dan tidak dikabulkan.” (Hadits Hasan riwayat At-Tirmidzi)

Keempat, solidaritas sosial yang kuat. Ajaran keimanan yang diterima oleh umat beriman menetapkan bahwa berbuat baik kepada sesama manusia adalah syarat kesempurnaan iman. Misalnya saja, di antara tuntutan iman itu: tidak mengolok-olok, tidak mencela, tidak memanggil orang lain dengan panggilan yang tidak menyenangkan, tidak buruk sangka, tidak memata-matai kesalahan orang lain, dan tidak menggibah (menggunjing). Lihat surat Al-Hujurat ayat 11-12.

Di samping itu tidak sedikit hadits yang menegaskan bahwa kesempurnaan iman seseorang terkait denga perilakunya terhadap sesama manusia. Misalnya Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah beriman kepadaku (dengan sempurna) orang yang bermalam dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahuinya.”

Dalam hadits lain Rasulullah saw. menegaskan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan kepada hari akhirat, maka hendaklah ia berbicara yang baik atau (jika tidak bisa maka) diamlah.” Sabdanya pula, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan kepada hari akhirat, maka hendaklah ia menghormati tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan kepada hari akhirat, maka hendaklah ia menghormati tamunya.”

Itu bisa dipertegas lagi dengan adanya kewajiban zakat dan anjuran infaq, shadaqah, serta derma tidak mengikat lainnya. Tidak kurang dari 32 tempat dalam Al-Qur’an Allah mengiringi kewajiban shalat dengan kewajiban zakat. “Ambillah zakat dari harta mereka yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103)

Semua itu menegaskan bahwa aqidah telah mempunyai peran penting dalam mewujudkan kehidupan sosial yang ideal. Jadi, tanpa menyertakan aqidah untuk mewujudkan perubahan masyarakat, yang akan terjadi hanyalah kumpulan manusia yang meluncur ke jurang kehancuran yang sangat dalam. Allahu a’lam.


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/akidah-dan-perubahan/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.