Jumat, 30 Oktober 2009

Surga Dalam Seteguk Air

Kirim Print

air-susudakwatuna.com – “Tuan-tuan saya akan puaskan keinginan tuan, selama saya bisa menghilangkan haus dan lapar saya dan bisa keluar dari padang pasir ini.” Wanita itu menggeretakkan giginya saat meminta sekantong air dari rombongan kafilah yang melewatinya.

Sinar mentari berangsur lenyap tersapu malam, kegelapan merangkak naik untuk bertahta, ketika sebagian besar mata sudah harus diistirahatkan, ketika itu sebagian manusia masih harus berjibaku dengan perjuangan terhadap nasib. Maka sebagian manusia berubah wajah. Mereka menanggalkan topeng religiusnya, mereka juga melepaskan semua jubah sosialnya. Dengan wujud asli, entah sebagai setan atau apa. Sebagian menjadi sosok pelacur, maling atau rampok, yang mencoba mengadu keberuntungan di antara kerasnya sejarah yang terus bergulir.

Sejak senja mulai menjelang, wanita lacur itu memulai aktivitasnya dengan bersolek di depan cermin. Memoles diri dengan make up dan gincu. Dengan sedikit kemanjaan mungkin, karena ia sempat membayangkan betapa tidak bernilainya hidup yang harus melayani ‘Syahwat’ para hidung belang.

Tapi di benaknya, ia akan merasa lega kalau bisa secepatnya keluar dari kungkungan nasib buruk yang menderanya. Tak ada pilihan, yang ada hanya bagaimana bisa bertahan hidup dengan cara apapun. Kehidupannya sudah benar-benar tak menentu. Semua laki-laki di kampungnya banyak yang telah meninggalkan rumah dan keluarga mereka, entah pergi ke mana. Pelacuran tumbuh di mana-mana. Setiap orang harus mempertahankan dirinya dari serangan lapar.

Zaman itu banyak terjadi kerusakan karena ulah kaisar Romawi yang zalim. Kelaparan dan kemisikinan merajalela di negeri Palestina. Berbagai cara dilakukan rakyat terutama para kaum miskin untuk melawan kelaparan dan kemiskinan itu. Seorang ibu terpaksa menjual anaknya seperti menjual pisang goreng. Perampokan, pembunuhan, penganiayaan tak kenal peri kemanusiaan lagi.

Perempuan muda itu terlihat terlalu tua dibandingkan dengan usia sebenarnya. Wajahnya kuyu diguyur penderitaan panjang. Padang pasir yang kering dan gersang telah mengubah gaun putih miliknya menjadi jubah berwarna hitam dengan renda ungu tua di tepian jubah. Ia mulai menawarkan diri kepada siapa saja yang mau, meski dengan harga yang murah.

Malam itu dilaluinya tanpa seorangpun yang menjamah dirinya. Padahal ia terus berusaha melenggak-lenggok menawarkan diri. Namun para lelaki yang ditemuinya malah menjauhinya. Bila bertemu dengan perempuan tersebut, mereka melengos menjauhinya karena jijik melihatnya. Tidak ada daya tarik lagi.

Sementara pagi mulai menampakkan diri. Baginya kedatangan siang adalah penderitaan, karena tak berbekal apapun. Ia tidak mempunyai keluarga, kerabat ataupun sanak saudara. Sementara hari itu harus dilaluinya tanpa makanan dan minuman. Namun perempuan itu tidak peduli, karena pengalaman dan penderitaan mengajarinya untuk bisa tabah.

Segala ejekan dan caci maki manusia diabaikannya. Ia berjalan dan berjalan, seolah tak ada pemberhentiannya. Ia tak pernah yakin, perjalanannya akan berakhir. Namun sepanjang jalan itu sunyi saja, sementara panas masih terus membakar dirinya. Entah sudah berapa jauh ia berjalan, namun tak seorangpun yang mendekatinya.

Ia berjalan dan terus berjalan hingga rasa lelah menyerangnya. Udara panas padang pasir dan debu bercampur dengan peluh yang terus mengalir dari tubuhnya. Ia berjalan tertatih tatih dan akhirnya terseok seok menapaki padang pasir. Ia melihat oase yang membentang di hadapannya. Semangatnya pun terus menyala demi mencapai oase itu. Tak berapa lama tubuhnya sudah bersandar pada sebatang pohon palem. Ia menghirup dalam dalam kesejukan oase itu. Hingga ia tersedak saat mendengar seseorang berteriak padanya. Mengusir dirinya agar tidak mendekat sumber air milik orang itu.

Padang pasir sahara itu memang sangat luas, mencakup sepertiga wilayah bumi ini. Kering dan berpasir karena rendahnya angka hujan maka suhu pada siang hari begitu menyengat dan bisa membuat otak mendidih, konon karena saking panasnya, orang-orang gurun biasa memanggang roti hanya dengan dikubur di pasir dan roti akan matang dan hasilnya tidak kalah nikmat dari yang dibakar di dalam oven, baunya yang semerbak harum akan terbawa angin kemana-mana dan membelai hidung orang-orang yang kebetulan lewat.

Ternyata perjuangannya untuk mendapatkan air belum berakhir. Lalu dia pun melanjutkan perjalanannya sambil menahan haus dan lapar sekaligus memberi semangat pada dirinya. Dadanya terasa sesak dengan nafas yang terengah-engah kelelahan yang amat sangat. Betapa lapar dan hausnya ia…

Ketika rasa haus dan laparnya tak tertahankan lagi, sayup-sayup ia mendengar suara lonceng unta, ia bertemu dengan serombongan pedagang yang berjalan ke arah lain di padang pasir. Di atas pundak unta rombongan pedagang itu tergantung sekantong air. Ia meminta sedikit air pada rombongan pedagang itu, namun kafilah itu tidak bersedia memberikan airnya. Kafilah-kafilah itu hendak menjual airnya dengan mahal, sebab di padang pasir, air sangat berharga.

Wanita itu mengumpulkan sisa tenaga sebisanya untuk merayu para kafilah itu. Dia rela menukar dirinya dengan sekantong air itu. Para kafilah kemudian menjadi ragu. Mereka berpikir, harga wanita itu tidak sebanding dengan air miliknya.

Tapi mereka juga takut air persediaannya akan terbuang. Wanita itu menggeretakkan giginya, lalu berkata pada kafilah itu, “Tuan-tuan saya akan puaskan keinginan tuan, selama saya bisa menghilangkan haus dan lapar saya dan bisa keluar dari padang pasir ini.”

Kafilah itu tidak mempedulikannya. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan sambil memacu unta tunggangannya. Kafilah itu menertawakannya sembari berkata : “Dasar perempuan sial, perjalanan kami masih sangat panjang baru bisa keluar, bagaimana mungkin kami membagi air kepada orang macam kau.” Ia tidak peduli dengan ejekan kafilah itu, lalu kembali melanjutkan perjalanannya.

Karena tidak ada air, ia merasa tenggorokannya kering, kepalanya pusing mata berkunang-kunang, lemas tidak bertenaga. Namun ia tetap bersikeras terus berjalan, kemudian, ia merasa dirinya hampir tidak sanggup bertahan lagi.

Di ujung jalan nampak bayang-bayang air, seolah ada lautan, sedang banjirkah? Namun saat mendekat ternyata tidak ada air, hanya ilusi. Jalan di depannya masih tetap meninggalkan pemandangan seolah ada genangan itu.

Tepat di saat itu, kembali ia mendengar lonceng unta, lagi-lagi serombongan kafilah padang pasir berlalu di sisinya. Lalu ia meminta minum pada kafilah ini. Tapi kafilah ini hanya ingin menjual airnya lebih mahal.

“Hei, mana ada orang yang akan mempedulikan kau, perempuan pembawa sial, bisa keluar hidup-hidup itu sudah bagus!” Kafilah itu berseru sambil tertawa mengejek, namun wanita itu tidak peduli dan terus berjalan.

Dua hari kemudian, dalam keadaan tidak adanya air, ia berusaha dengan susah payah berjalan sampai di ujung padang pasir. Sampailah ia di sebuah desa yang sunyi. Desa itu sedemikian gersangnya hingga sehelai rumputpun tak tumbuh lagi. Perempuan lacur itu memandang ke arah kejauhan. Matanya nanar melihat kepulan debu yang bertebaran di udara. Kepalanya mulai terasa terayun-ayun dibalut kesuraman
wajahnya yang kuyu. Tapi, karena sudah lemas di saat demikian, tidak ada lagi tenaga untuk melangkah. Akhirnya ia terkulai lemas.

Dalam pandangan dan rasa hausnya yang sangat itu, ia melihat sebuah sumur di batas desa yang sepi. Sumur itu ditumbuhi rerumputan dan ilalang kering dan rusak di sana-sini. Wanita itu mencoba mendekat untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan fatamorgana. Ia menepi di pinggirnya sambil menyandarkan tubuhnya yang sangat letih. Rasa hauslah yang membawanya ke tepi sumur tua itu.

Sesaat ia menjengukkan kepalanya ke dalam sumur tua itu. Tak tampak apa-apa, hanya sekilas bayangan air memantul dari permukaannya. Mukanya tampak menyemburat senang, namun bagaimana harus mengambil air sepercik dari dalam sumur yang curam? Perempuan itu kembali terduduk.

Tiba-tiba ia melepaskan stagennya yang mengikat perutnya, lalu dibuka sebelah sepatunya. Sepatu itu diikatnya dengan stagen, lalu dijulurkannya ke dalam sumur. Ia mencoba mengais air yang hanya tersisa sedikit itu dengan sepatu kumalnya. Betapa hausnya ia, betapa dahaganya ia.

Air yang tersisa sedikit dalam sumur itu pun tercabik, lalu ia menarik stagen itu perlahan-lahan agar tidak tumpah. Namun tiba-tiba ia merasakan kain bajunya ditarik-tarik dari belakang. Ketika ia menoleh, dilihatnya seekor anjing dengan lidahnya terjulur ingin meloncat masuk ke dalam sumur itu. Sang pelacur pun tertegun melihat anjing yang sangat kehausan itu, sementara tenggorokannya sendiri serasa terbakar karena dahaga yang sangat.

Sepercik air kotor sudah ada dalam sepatunya. Kemudian ketika ia akan mereguknya, anjing itu mengibas-ngibaskan ekornya sambil merintih. Pelacur
itupun mengurungkan niatnya untuk mereguk air itu. Dielusnya kepala hewan itu dengan penuh kasih. Si anjing memandangi air yang berada dalam sepatu.

Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, ia menarik napas panjang sambil berkata : “Anjing ini hampir mati kehausan.”

Lalu perempuan itu meregukkan air yang hanya sedikit itu ke dalam mulut sang anjing. Air pun habis masuk ke dalam mulut sang anjing, dan perempuan itu
pun seketika terkulai roboh sambil tangannya masih memegang sepatu…

Melihat perempuan itu tergeletak tak bernafas lagi, sang anjing menjilat-jilat wajahnya, seolah menyesal telah mereguk air yang semula akan direguk perempuan itu. Pelacur itu benar-benar telah meninggal.

Peristiwa luar biasa, bukan sekedar adegan wanita pelacur merelakan seteguk air untuk seekor anjing yang sama-sama kehausan. Tapi wanita itu telah melepaskan keterikatan jiwanya terhadap ikatan-ikatan duniawiyah. Ya, dalam perjalanan hidup ini, jika ada padang pasir yang sama, kita baru bisa keluar hanya dengan melepaskan keterikatan ini. Harta benda bisa dicari, tapi kesempatan untuk mendapatkan akhir hidup yang baik, itu yang sulit!

Perjalanan kadang kala letih didera cambukan ‘nasib’ yang terus bergerak layaknya ombak yang menghempas bebatuan cadas. Hanya saja tak ada pilihan untuk menghentikan perjalanan itu. Roda yang berputar sangat deras, dan manusia takkan mampu menghentikan hal itu.

Dari Abi Hurairah r.a. dari Rasulullah saw berabda, “Telah diampuni seorang wanita pezina yang lewat di depan anjing yang menjulurkan lidahnya pada sebuah sumur. Dia berkata, “Anjing ini hampir mati kehausan”. Lalu dilepasnya sepatunya lalu diikatnya dengan kerudungnya lalu diberinya minum. Maka diampuni wanita itu karena memberi minum. (HR Bukhari)

Aidil Heryana, S.Sosi

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

Sumber : www.dakwatuna.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.