Jumat, 30 Oktober 2009

Lelaki Dua Surga

Kirim Print

Love, cinta...dakwatuna.com – “Sesungguhnya putriku ini adalah amanah di pundakku dan aku berusaha mencari untuk kebaikan urusannya pada apa yang telah aku perbuat.” Atas alasan itulah Said Bin Musayyib menolak pinangan Amirul Mukminin dan menikahkan putrinya dengan orang kalangan biasa dari kaum muslimin.

Mendung duka belum tersaput dari wajah lelaki yang baru kehilangan orang yang paling dikasihi. Dia tidak tahu bahwa ternyata malam itu adalah malam terakhir dirinya menjumpai istri di rumahnya yang sederhana.. Terbayang kembali wajah istrinya, yang demikian baik kepadanya. Dialah yang senantiasa menghibur kesedihannya. Ikut memahami dan merasakan kegalauannya. Istri yang selalu mendoakannya agar dirinya mendapatkan hidayah Allah. Istri yang senantiasa mengalirkan air mata pada tiap-tiap pertengahan malam, yang selalu menyemangati untuk selalu mencari ridha Allah.

Namun kegembiraan tidaklah boleh berlebihan, duka pun tak boleh berkelanjutan. Pria shaleh yang mendalam ilmunya ini menyadari bahwa duka kematian istrinya tidak boleh berlarut-larut. Kecintaannya akan majelis ilmu yang dipimpin gurunya Said Bin Musayyib harus segera dihadiri lagi.

“Allahu akbar, Allahu akbar,” Adzan subuh pun berkumandang. Gemanya menggetarkan jiwa. Menerobos bilik-bilik rumahnya yang sederhana. Suara yang selalu dinanti. Suara yang selalu bisa membawanya terbang tinggi, menikmati empuknya awan, terbang jauh, diayun gelombang sahara yang menenangkan. Lengkingan suara yang menghapus kedukaan, membawanya pada kegembiraan dan melupakan sejenak segala sesak yang menghimpit tenggorokan.

Aduhai, alangkah merdunya suara panggilan itu kali ini. Abu Wada’ah merasakan kedamaian dan ketentraman yang mendalam. Dia menjawab suara muadzin itu, tak terasa langkahnya telah membawanya ke masjid Nabawi. Masjid tempat dia selama ini menuntut ilmu. Abu Wada’ah kembali datang ke majelis sebagaimana biasa.

Abdullah bin Abu Wada’ah dalam beberapa riwayat sering disebut Abu Wada’ah, dia berguru kepada Said Bin Musayyib, seorang tokoh ulama dari generasi tabi’in bernasab langsung ke Bani Mahzhum. Seorang ulama yang selalu berpuasa di siang hari, bangun di tengah malam. Menunaikan haji sekitar empat puluh kali. Sejak empat puluh tahun tidak pernah terlambat dari takbir pertama di masjid Nabawi dan ia selalu menjaga untuk berada di shaf pertama. Allah menganugerahkan kelapangan rezeki, dia bisa menikah dengan siapa saja yang ia kehendaki dari wanita bangsawan Quraisy, namun ia lebih memilih putri Abu Hurairah ra dari seluruh para wanita. Yang demikian itu karena kedudukannya dari Rasulullah saw. dan keluasan riwayatnya terhadap hadits serta raghbah-nya (keinginannya) yang begitu besar dalam mengambil hadits darinya. Ia telah mendedikasikan dirinya untuk ilmu semenjak kecil.

Ia belajar dengan istri-istri Nabi saw. dan mengambil manfaat dari mereka. Berguru kepada Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Abbas dan Abdullah ibn Umar. Dan juga mendengar dari Utsman, Ali dan Shuhaib serta sahabat Nabi mulia saw yang lainnya. Said Bin Musayyib adalah seorang guru yang memiliki keteladanan yang tinggi. Beliau memiliki dan memimpin sebuah majelis ilmu (halaqah) yang cukup besar di Masjid Nabawi Madinah, di samping halaqah-halaqah yang lain yang ada di masjid itu, seperti halaqahnya ‘Urwah bin Zubair, dan Abdullah bin ‘Utbah.

Abu Wada’ah termasuk seorang murid yang setia, dia tidak pernah absen setiap kali sang guru mengajar. Makanya sewaktu Abu Wada‘ah tidak datang ke majelis halaqahnya beberapa kali, tentu saja Said Bin Musayyib merasa kehilangan murid setianya ini. Beliau merasa khawatir kalau-kalau ketidakhadirannya disebabkan karena sakit atau karena ada masalah yang menimpanya. Lalu beliau menanyakannya kepada murid-murid yang lainnya tentang keadaan Abu Wada’ah, tetapi mereka semua mengatakan tidak tahu.

Subuh itulah untuk pertama kalinya Abu Wada’ah menampakkan diri kembali di majelis sebagaimana biasa. Maka sang guru Said Bin Musayyib segera menyambut kedatangannya dengan sapaan yang penuh perhatian.

“Ke mana saja engkau ya Aba Wada’ah?” Sapa Sang Guru penuh perhatian

“Istriku meninggal dunia, sehingga aku sibuk mengurusinya,” Jawabnya.

“Mengapa tidak memberitahu kami sehingga kami bisa menemanimu dan mengantarkan jenazah istrimu serta membantu segala keperluanmu,” Sang guru menunjukkan perhatiannya

“Terima kasih, jazaakallahu khairan,” Jawab sang murid sambil menyembunyikan perasaannya yang terkesan memang sengaja tidak memberi tahu karena khawatir merepotkan gurunya. Dan ketika hendak beranjak pergi, sang guru menahannya. Sampai ketika semua murid yang lainnya telah pulang. Tidak berapa lama kemudian Said Bin Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikan sesuatu kepadanya.

“Apakah engkau belum terpikir untuk mencari istri yang baru ya Aba Wada’ah.” Bisik sang Guru dengan penuh kehati-hatian untuk menjaga perasaan muridnya.

“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu, siapa orangnya yang mau mengawinkan anak perempuannya dengan pemuda sepertiku yang sejak kecil yatim, fakir dan hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga dirham,” Tandas Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap realistis terhadap keadaan dirinya.

“Aku yang akan mengawinkanmu dengan anak perempuanku,” Sang Guru menegaskan ucapannya. Abu Wada’ah terkejut dan dengan terbata-bata menanggapi tawaran gurunya.

“Eng,…engkau akan mengawinkanku dengan anak perempuanmu, padahal engkau tahu sendiri bagaimana keadaanku,” Abu Wada’ah menanggapi setengah tidak percaya.

Beberapa saat kemudian keduanya terdiam, Sang Guru sendiri tampak arif dan demikian memahami perasaan muridnya. Tak lama kemudian, Syaikh mengucapkan sebuah perkataan yang sama sekali tak diduga oleh Abu Wada’ah.

“Ya,…kenapa tidak, karena ketika telah datang seseorang yang aku ridha terhadap agamanya dan akhlaknya maka aku akan kawinkan anak perempuanku dengan orang itu, dan engkau termasuk orang yang aku ridha”. Tegas sang guru.

Padahal sebelum ini putri beliau pernah dilamar oleh Al-Walid bin Hisyam bin Abdul Malik, putra mahkota Dinasti Umayyah, pada saat ayahnya Amirul Mu’minin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah. Said Bin Musayyib menolak lamaran khalifah yang ingin menjodohkan putrinya dengan putera mahkotanya.

Putri Syaikh Said sendiri adalah salah seorang perempuan tercantik dan sempurna, seorang puteri yang paling mendalam ilmunya tentang Al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi meskipun yang melamar anaknya adalah putra mahkota, Said Bin Musayyib tidak canggung menyampaikan permintaan maafnya karena menolak lamarannya. Keluarga istana Dinasti Umayyah tetap berusaha keras untuk dapat mempersunting putrinya itu, namun Said Bin Musayyib tetap tak bergeming, karena ia mengetahui bahwa Al-Walid adalah pemuda yang banyak melakukan dosa dan lemah agamanya. Dalam pandangan ahlud-dunia sikap Said Bin Musayyib mungkin dinilai aneh karena menyia-nyiakan kesempatan untuk menaikkan taraf hidup.

Sementara bagaimana dengan kita sekarang ini? Atas pertimbangan apa kita menerima dan menolak seseorang? Adalah Erich Fromm, dalam bukunya berjudul The Art of Loving, mengungkapkan dengan gamblang bahwa hubungan pria dan wanita pada jaman modern, pada akhirnya tak lebih dari sebuah proses tukar menukar seperti layaknya transaksi jual beli di era pasar bebas seperti saat ini. Sang pria menjual image-nya sebagai sosok yang tampan, dengan tubuh berotot, six packs, punya segala macam fasilitas mulai dari kendaraan keluaran terbaru, gagdet keluaran terbaru, dan style berpakaian yang tidak boleh ketinggalah jaman. Tak lupa, sang wanita pun menjual aset berharga berupa keindahan tubuhnya, kecantikan, tutur kata yang lemah lembut (meskipun aslinya kadang-kadang wataknya tidak lemah lembut sama sekali) hingga kecerdasan otaknya.– Astaghfirullah!

Namun Sa’id Bin Musayyib jauh dari sifat mengeksploitasi anaknya demi mengejar keuntungan dunia. Sebagai orang tua sekaligus seorang ‘alim, beliau hanya mendambakan putrinya mendapatkan jodoh dari orang yang bertaqwa dengan sesungguhnya. Dan pilihannya jatuh pada salah seorang murid majelis halaqahnya. Ia bukanlah seorang kaya, apalagi keturunan bangsawan, bahkan hanya seorang pemuda yatim yang berstatus duda dari wilayah Hayna.

Pada keduanya telah terjalin tafahum (saling memahami) tingkat tinggi. Bukan sekedar hubungan murid dengan guru semata akan tetapi lebih jauh dari itu adalah ta’akhi (persaudaraan) yang kental dan mendalam. Hubungan yang dirajut karena kecintaan kepada Allah semata dan jauh dari baju kepura-puraan, pura-pura shaleh, pura-pura ‘alim dan taqwa. Jadi Said Bin Musayyib meluluskan putrinya menikah dengan tak ada penilaian yang bersifat materi keduniaan dalam jiwa dan benaknya.

Tak berapa lama kemudian, Said Bin Musayyib memanggil beberapa orang muridnya yang kebetulan masih berada di dalam masjid. Ketika mereka ada di dekatnya, saat itu juga Said Bin Musayyib mengucapkan lafadz hamdalah dan shalawat atas Rasulullah saw… lalu disebutlah lafadz akad nikah antara putrinya dan Abu Wada’ah. Maharnya adalah uang senilai dua dirham.

Berbagai perasaan gembira, haru, bingung bercampur dalam hati Abu Wada’ah. Setelah selesai acara ‘aqad nikah yang sangat sederhana itu, ia segera pamit pulang ke rumahnya.

“Siang itu sebenarnya aku tengah puasa, tapi peristiwa itu menjadikan aku hampir lupa dengan puasaku…” Ungkap Abu Wada’ah dalam hati.

Sungguh bahagia Abu Wada’ah, saat segala takdir harus diterima dengan pasrah, saat Allah memberi kecukupan dengan karunia yang mungkin ‘terlihat’ apa adanya, saat rezeki yang bersahaja harus dipandang sebagai anugrah tak terkira, saat orang percaya atau tidak percaya, bahwa sesungguhnya engkau telah mendapat anugrah terindah…

Kilatan cahaya pikiran itu terus menerus menerangi sehingga membuka kesadaran yang hakiki. Hingga tiba adzan maghrib dan dia harus membatalkan puasanya. Selesai melakukan shalat maghrib, ia bersiap untuk ifthar dengan sepotong roti dan minyak.

Sementara di tempat lain Said Bin Musayyib setelah menyelesaikan prosesi akad nikah di Masjid Nabawi tadi, beliau kemudian pulang ke rumahnya dan mendapati putrinya tengah membaca Al-Qur’an.

“Apa yang sedang engkau lakukan wahai putriku?”

“Aku sedang membaca kitabullah wahai ayah…..”

“Apakah engkau memahaminya?”

“Ya, duhai ayahku. Tetapi, ada satu ayat yang aku belum bisa memahaminya sama sekali.”

“Ayat apakah itu wahai putriku?” tanya sang ayah dengan penuh keheranan.

“Yaitu firman Allah:

‘Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, ‘Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan juga di akhirat, serta peliharalah kami dari siksa neraka’.’ (Al-Baqarah : 201)

”Duhai ayahku, aku telah mengetahui bahwa kebaikan akhirat adalah jannah, lalu apakah yang dimaksud dengan kebaikan dunia?”

Sang ayah kemudian menjelaskan dengan penuh hangat, “Duhai putriku, kebaikan dunia adalah ketika seorang istri yang shalihah mendapatkan suami yang shalih. Hari ini Allah telah memberikan nikmat kepadamu dengan seorang suami yang shalih, maka bersiaplah untuk memasuki malam pertama bersamanya….”

Di rumahnya Abu Wada’ah belum tuntas menikmati sajian iftharnya berupa satu atau dua potong roti, tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu rumahnya. Kemudian dia berdiri untuk membuka pintu.

“Siapa di luar…?” tanya Abu Wada’ah.

“Saya Said,“ Jawab suara dari luar

Suara itu segera dikenalnya, yang tidak lain adalah Said Bin Musayyib. Ada apa gerangan? Karena saat itu sebenarnya Abu Wada’ah masih diliputi perasaan grogi dan cemas. Dalam benaknya, mungkin saja kedatangan syaikh Said hendak membatalkan urusan pernikahan ini, atau mungkin saja mempelai putri menolak menjadi istrinya. Tetapi, ketika dibuka pintu rumahnya, ternyata imam Said datang bersama putrinya yang telah memakai gaun pengantin

“Apa yang membuat Anda tergesa-gesa datang kemari wahai Syaikh?” Abu Wada’ah pun bertanya kepada sang imam.

“Sesungguhnya Allah membenci jika salah seorang di antara kita bermalam tanpa memiliki istri. Sehingga, setan tidak mengganggunya wahai Abu Wada‘ah. Inilah aku bawakan istrimu, semoga engkau diberkahi dengannya, dan semoga ia juga mendapatkan barakah denganmu, serta mengumpulkan kalian berdua dalam naungan kebaikan.”

Kemudian Said Bin Musayyib meninggalkan putrinya di rumah Abu Wada’ah. Saat itu juga Abu Wada’ah berlari dan naik ke atap rumahnya dan memanggil seluruh tetangganya. Seketika itu pula, para tetangganya berhamburan mendatanginya dan bertanya,

“Ada apakah gerangan wahai Abu Wada‘ah sehingga engkau memanggil kami?” Tanya para tetangganya.

“Said Bin Musayyib telah menikahkanku dengan putrinya. Beliau telah datang kepadaku malam ini untuk menyerahkan putrinya kepadaku. Dan sekarang, putrinya telah bersamaku.” Abu Wada’ah mengumumkan perihal keadaannya kepada mereka.

Para tetangga kemudian mendatanginya dan membantu hajat Abu Wada’ah. Kaum wanita mempersiapkan pengantin putri dan kaum lelaki mempersiapkan Abu Wada’ah agar bertemu dengan istrinya dalam keadaan terbaik. Dalam walimah sederhana itu tidak ada permainan dan perbuatan yang sia-sia.

Kemudian para undangan pulang ke rumahnya masing-masing dengan mendapatkan balasan dari Allah dan juga rasa terima kasih dari Abu Wada’ah. Mempelai laki-lakipun kemudian masuk ke rumah menemui istri barunya. Ternyata, ia adalah wanita yang sangat cantik, paling hafal dengan kitabullah, paling tahu dengan sunnah Rasulullah dan paling paham akan hak-hak suami.

Setelah berlalu masa sepekan dari pernikahannya, diapun kemudian meminta ijin kepada istrinya untuk keluar.

“Hendak ke mana duhai suamiku?”

“Hendak menghadiri majelis ilmu Said Bin Musayyib….”

“Duduklah di sini saja duhai suamiku. Akan aku ajarkan kepadamu ilmu Said Bin Musayyib….” Istrinya berkata dengan penuh hangat,

Lantas, Abu Wada’ah pun duduk bersamanya mengkaji ilmu agama. Suatu waktu, Said Bin Musayyib menengok keadaan Abu Wada’ah dan istrinya.

“Mengapa sekarang engkau tak lagi menghadiri halaqah wahai Abdullah?”

“Karena aku telah mendapati pada putri Said ilmunya Said,” Jawab Abdullah.

Kebahagiaan tetaplah rahasia Ilahi, meskipun sejuta manusia menggapai langit dan menggali bumi. Kebahagiaan sejati hanya dilandasi keyakinan akan takdir sehingga menjunjung manusia kearah ketabahan, kepasrahan, keteduhan hati dan keikhlasan, bak mutiara terpendam yang menyorotkan cahaya pasrah, menyambut keridhaan Ilahi. Peneladanannya terhadap Nabi saw. menggeser segala kesukaannya terhadap segala penghuni bumi. Itulah sebabnya, kehambaannya bertahan walau cobaan menerpa. Abu Wada’ah berbahagia dengan takdirnya, maka keabadian menghampirinya dengan segala keindahannya. Surga dunia, juga surga Akhirat.

Aidil Heryana, S.Sosi
Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

Sumber: Shuwarun Min Hayaati at-Taabi’iin oleh Dr Abdurrahman Ra`fat al-Basya dan Al-Mukhtâr min qishasil Akhyâr oleh Musthafa Syaikh Ibrahim Haqqi.

www.dakwatuna.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.