1. Hadits: “Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja dia menemukannya maka dialah yang paling berhak memilikinya.”
Hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dalam sunannya, pada Bab Maa Ja’a fil Fadhli Fiqh ‘alal ‘Ibadah, No. 2828. Dengan sanad: Berkata kepada kami Muhammad bin Umar Al Walid Al Kindi, bercerita kepada kami Abdullah bin Numair, dari Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi, dari Sa’id Al Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: .... ( lalu disebut hadits di atas).
Imam At Tirmidzi mengomentari hadits tersebut: “Hadits ini gharib (menyendiri dalam periwayatannya), kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah seorang yang dhaif fil hadits (lemah dalam hadits).”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Kitab Az Zuhud Bab Al Hikmah, No. 4169. Dalam sanadnya juga terdapat Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi.
Imam Ibnu Hajar mengatakan, bahwa Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah Abu Ishaq Al Madini, dia seorang yang Fahisyul Khatha’ (buruk kesalahannya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/14. Mawqi’ Al Warraq). Sementara Imam Yahya bin Ma’in menyebutnya sebagai Laisa bi Syai’ (bukan apa-apa). (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 1/105. Mawqi’ Ya’sub)
Sederetan para Imam Ahli hadits telah mendhaifkannya. Imam Ahmad mengatakan: dhaiful hadits laisa biqawwi fil hadits (haditsnya lemah, tidak kuat haditsnya). Imam Abu Zur’ah mengatakan: dhaif. Imam Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits munkarul hadits (hadisnya lemah dan munkar). Imam bukhari mengatakan: munkarul hadits. Imam An Nasa’i mengatakan: munkarul hadits, dia berkata ditempat lain: tidak bisa dipercaya, dan haditsnya tidak boleh ditulis. Abu Al Hakim mengatakan: laisa bil qawwi ‘indahum (tidak kuat menurut mereka/para ulama). Ibnu ‘Adi mengatakan: dhaif dan haditsnya boleh ditulis, tetapi menurutku tidak boleh berdalil dengan hadits darinya.
Ya’qub bin Sufyan mengatakan bahwa hadits tentang “Hikmah” di atas adalah hadits Ibrahim bin Al Fadhl yang dikenal dan diingkari para ulama. Imam Ibnu Hibban menyebutnya fahisyul khatha’ (buruk kesalahannya). Imam Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan), begitu pula menurut Al Azdi. (Lihat semua dalam karya Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 1/131. Darul Fikr. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 2/43. Muasasah Ar Risalah. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal, 1/52. Darul Ma’rifah. Lihat juga Imam Abu Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, 2/122. Dar Ihya At Turats. Lihat juga Imam Ibnu ‘Adi Al Jurjani, Al Kamil fidh Dhu’afa, 1/230-231. Darul Fikr. Imam Al ‘Uqaili, Adh Dhuafa Al Kabir, 1/60. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Syaikh Al Albani pun telah menyatakan bahwa hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), lantaran Ibrahim ini. (Dhaiful Jami’ No. 4302. Dhaif Sunan At Tirmidzi, 1/320)
Ada pula yang serupa dengan hadits di atas:
“Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja seorang mukmin menemukan miliknya yang hilang, maka hendaknya ia menghimpunkannya kepadanya.”
Imam As Sakhawi mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Al Qudha’i dalam Musnadnya, dari hadits Al Laits, dari Hisyam bin Sa’ad, dari Zaid bin Aslam, secara marfu’. Hadits ini mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 1/105. Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, 1/363)
Hadits mursal adalah hadits yang gugur di akhir sanadnya, seseorang setelah tabi’in. Kita lihat, riwayat Al Qudha’i ini, Zaid bin Aslam adalah seorang tabi’in, seharusnya dia meriwayatkan dari seorang sahabat nabi, namun sanad hadits ini tidak demikian, hanya terhenti pada Zaid bin Aslam tanpa melalui sahabat nabi. Inilah mursal. Jumhur (mayoritas) ulama dan Asy Syafi’i mendhaifkan hadits mursal.
Ada pula dengan redaksi yang agak berbeda, bukan menyebut Hikmah, tetapi Ilmu. Diriwayatkan oleh Al ‘Askari, dari ‘Anbasah bin Abdurrahman, dari Syubaib bin Bisyr, dari Anas bin Malik secara marfu’:
“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, di mana saja dia menemukannya maka dia mengambilnya.”
Riwayat ini juga dhaif. ‘Anbasah bin Abdurrahman adalah seorang yang matruk (ditinggal haditsnya), dan Abu Hatim menyebutnya sebagai pemalsu hadits. (Taqribut Tahdzib, 1/758)
Ibnu Abi Hatim bertanya kepada ayahnya (Abu Hatim) tentang ‘Anbasah bin Abdurrahman, beliau menjawab: matruk dan memalsukan hadits. Selain itu, Abu Zur’ah juga ditanya, jawabnya: munkarul hadits wahil hadits (haditsnya munkar dan lemah). (Al Jarh wat Ta’dil, 6/403)
Ada pun Syubaib bin Bisyr, walau pun Yanya bin Ma’in menilainya tsiqah (bisa dipercaya), namun Abu Hatim dan lain-lainnya mengatakan: layyinul hadits. (haditsnya lemah). (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 2/262)
Ada pula riwayat dari Sulaiman bin Mu’adz, dari Simak, dari ‘ikrimah, dari Ibnu Abbas, di antara perkataannya:
“Ambillah hikmah dari siapa saja kalian mendengarkannya, bisa jadi ada perkataan hikmah yang diucapkan oleh orang yang tidak bijak, dan dia menjadi anak panah yang bukan berasal dari pemanah.”
Ucapan ini juga dhaif. Lantaran kelemahan Sulaiman bin Muadz.
Yahya bin Main mengatakan tentang dia: laisa bi syai’ (bukan apa-apa). Abbas mengatakan, bahwa Ibnu Main mengatakan: dia adalah lemah. Abu Hatim mengatakan: laisa bil matin (tidak kokoh). Ahmad menyatakannya tsiqah (bisa dipercaya). Ibnu Hibban mengatakan: dia adalah seorang rafidhah (syiah) ekstrim, selain itu dia juga suka menterbalikan hadits. An Nasai mengatakan: laisa bil qawwi (tidak kuat). (Mizanul I’tidal, 2/219) (Bersambung)
Catatan:
Walaupun ucapan ini dhaif, tidak ada yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun, secara makna adalah shahih. Orang beriman boleh memanfaatkan ilmu dan kemajuan yang ada pada orang lain, sebab hakikatnya dialah yang paling berhak memilikinya. Oleh karena itu, ucapan ini tenar dan sering diulang dalam berbagai kitab para ulama. Lebih tepatnya, ucapan ini adalah ucapan dari beberapa para sahabat dan tabi’in dengan lafaz yang berbeda-beda.
Sumber : http://www.majalahtatsqif.com/index.php?option=com_content&view=article&id=70:farid-numan&catid=44:telaah-hadits&Itemid=85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar