saat aku lelah menulis dan membaca
di atas buku-buku kuletakkan kepala
dan saat pipiku menyentuh sampulnya
hatiku tersengat
kewajibanku masih berjebah,
bagaimana mungkin aku bisa beristirahat?
-Imam An Nawawi-
”Aku
merasa bagai hewan sembelihan”, tulis seorang pemuda yang kelak
menyejarah, ”Yang digiring ke padang penjagalan.” Itulah yang
dirasakannya ketika Sultan Nuruddin Mahmud Zanki memerintahkannya
menyertai sang paman mempertahankan Mesir dari serbuan Amalric, Raja
Yerusalem di tahun 1164. ”Seakan jantungku ditoreh belati”, ia
melanjutkan penuturannya sebagaimana direkam oleh sejarawan Ibnu Syaddad
dalam karyanya Al Mahasin Al Yusufiyyah. ”Dan ketika itu aku menjawab:
Demi Allah, bahkan seandainya aku diberi seluruh kerajaan Mesir, aku
takkan berangkat!”
Pemuda ini begitu membenci pertempuran, ngeri
membayangkan darah, bergidik melihat luka, dan tak tega mendengar jerit
kesakitan. Ia tenggelam dalam keasyikan akan hobi-hobinya. Ia suka
bermain bola. Ia gemar bertamasya dengan kuda anggunnya. Ia fasih
bersyair. Ia ganteng dan flamboyan. Ia melankolik. Ia sensitif. Ia
gampang menitikkan air mata oleh hal-hal sepele. Ia sakit-sakitan. Semua
kondisi dan perjalanan masa mudanya membuat banyak sejarawan enggan
menuliskan pertiga awal hidup pemuda ini. Menurut para sejarawan itu,
kisah masa mudanya akan membuat keseluruhan sejarah hidupnya ternoda.
Pendapat
para sejarawan ini dibantah Dr. Majid ’Irsan Al Kilani dalam
disertasinya, Hakadza Zhahara Jiilu Shalahiddin. Menurutnya, mengisahkan
masa mudanya akan menampakkan betapa Islam memang bisa mengubah sesosok
pribadi lembek menjadi pribadi pejuang. Bahwa celupan Ilahiyah memang
mampu menyusun ulang komposisi jiwa seseorang. Seorang pengecut bisa
menjadi pemberani. Seorang pecundang di masa lalu, tak kehilangan
peluang menjadi pahlawan di masa depan.
Inilah jalan cinta para
pejuang. Sungguh hidayah Allah itu diberikanNya pada siapapun yang
dikehendakiNya. Maka di jalan cinta para pejuang, kita tak boleh
memandang tinggi diri dan merendahkan orang lain, apalagi menyangkut
masa lalu.
Kembali pada pemuda yang menarik hati ini. Sejak tahun
1164 itu memang hidupnya berubah. Dulu ia membayangkan semua hal dalam
pertempuran sebagai kengerian belaka. Tetapi begitu Sultan Nuruddin dan
sang paman, Asaduddin Syirkuh, memaksanya terjun ke kancah jihad, ia
terperangah. Meski kengerian itu tetap, ia menemukan banyak keindahan.
Persaudaraan. Pengorbanan. Rasa dekat dengan maut. Kekhusyu’an.
Kenikmatan ibadah. Keberanian. Kepahlawanan. Dulu ia membayangkan. Kini
ia ’dipaksa’ merasakan. Akhirnya, ia menemukan gairah yang begitu
menggelora untuk membebaskan kiblat pertama ummat Islam, Al Quds, dari
penjajahan Salib. Hidupnya tak pernah sama lagi.
Setiap debu yang
menempel di jubahnya dalam jihad dari tahun 1164 hingga wafatnya, 1193,
ditapisnya dan dihimpun. Ia berwasiat agar debu-debu itu dijadikan
bulatan-bulatan tanah pengganjal jasadnya di liang kubur. Ia berharap
debu-debu itu menjadi saksi baginya nanti di hadapan Allah. Semoga Allah
memuliakannya. Pemuda itu bernama Yusuf. Tapi kelak kita memanggilnya
Shalahuddin Al Ayyubi.
♥♥♥
Paksaan. Adakah ia menjadi
salah satu tabiat dari jalan cinta para pejuang? Tentu saja bukan.
Kecuali dalam tanda kutip. Di dalam tanda kutip itulah paksaan menjadi
sebuah kepahlawanan. Ia serupa sebuah pertempuran melawan ego dan nafsu
diri. Awal-awal, bisa jadi seseorang dipaksa lingkungan. Lalu ia memaksa
diri. Awal-awal jiwanya payah, jasadnya lelah. Lalu terbiasa. Lalu
terasa nikmat. Lalu ia mengaca, menghayati kembali makna keikhlasan.
Begitulah jalan cinta para pejuang, kepayahan dan keindahannya tak
berujung.
Tetapi bukankah memang dalam kehidupan ini banyak yang
harus kita jalani melalui lorong keharusan? Ada ibadah wajib. Ada
keharusan dalam tiap peran kita sebagai pribadi, sebagai suami, sebagai
ayah, sebagai warga. Semua kewajiban itu kita jalani agar kita selamat
sampai ke surga Allah. Dan di jalan cinta para pejuang, perlu dipasang
pintu tambahan agar kita lebih cepat sampai ke tujuan itu. Itulah pintu
pemaksaan.
Pintu pemaksa Shalahuddin mewujud di bumi sebagai
Sultan Nuruddin dan Asaduddin Syirkuh. Apa jadinya jika pintu pemaksa
itu turun langsung dari langit? Muhammad, insan terpilih itu merasakan
kengeriannya. Bukan karena keengganan. Tapi siapa yang mampu menepis
rasa lemah dan tak mampu ketika ditimbuni tugas untuk mengubah wajah
bumi yang coreng-moreng? Di Gua Hira, ia Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam
dipaksa membaca. “Aku tak bisa membaca”, katanya memohon belas.
Tetapi
Jibril terus memaksanya, mendesaknya. ”Bacalah!” Jibril mendekapnya
hingga ia nyaris kehilangan nafas. Saat dadanya telah sesak, nafasnya
teperkosa, dan rasa takut membuat jantungnya seakan naik ke tenggorokan,
Jibril lalu melepasnya.
”Bacalah!”
Terengah, dengan merinding, keringat menderas, dan wajah pias pasi ia menjawab lagi, ”Aku tidak bisa membaca.”
Lalu
Jibril membimbingnya.”Bacalah dengan asma Rabbmu yang telah mencipta.
Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmu Yang
Paling Pemurah. Yang mengajar dengan pena. Ia ajarkan pada manusia
apa-apa yang belum diketahuinya.”
Muhammad Shallallaahu ’Alaihi
wa Sallam mencoba mengeja. Dengan getar mengharu biru, dengan perasaan
tercekam, dengan keringat yang terasa bagai lelehan salju di kulitnya
yang memucat. Ia menirukan bacaan itu. Jibril telah memaksanya. Dan
bermula dari paksaan itulah dia memenuhi takdir kesejarahannya untuk
mengubah dunia. Pulang dari Gua Hira’ raganya bagai melayang tapi
terantuk-antuk saat berjalan. Terasa ringan, seolah melarikan diri dari
kejaran. Tapi sekaligus serasa tak ke mana-mana; bumi dan isinya telah
dipikulkan ke pundaknya. Maka ia hanya menjejak-jejak, tersaruk-saruk
meniti beban yang ditanggung punggung.
Pucatnya belum hilang.
Keringatnya bertambah banjir. ”Zammilunii! Selimuti aku! Selimuti aku!”
Khadijah tanpa banyak tanya mengembangkan kemul, mendekapkannya ke tubuh
mengigil itu. Ditatapnya lelaki baik hati yang telah 15 tahun mengisi
hidupnya itu. Dengan tatapan percaya. Dengan bening yang menghadirkan
tenang. Dengan senyum yang menguatkan.
Beberapa hari setelahnya,
demikian Imam Al Bukhari meriwayatkan, Sang Nabi sedang berjalan.
Tiba-tiba sosok yang menemuinya di Gua Hira’ itu tampak, sedang duduk di
atas sebuah singgasana yang menyemanyam di antara langit dan bumi.”Aku
mendekatinya”, kata Sang Nabi, ”Lalu tiba-tiba aku terjerembab
menyerusuk ke tanah. Aku ketakutan lagi. Aku mencoba bangkit dan
berlari. Hingga terdengar seruan berulang-ulang, ”Ya Muhammad, aku
Jibril.. Dan engkau Rasulullah!”
Sang Nabi kembali pulang dengan
gigil yang makin mengkhawatirkan Khadijah. Diselimutinya penuh kasih.
Disapunya dahi yang digenangi keringat dengan jemari lembut, dikecupnya
dengan senyum yang tulus dan memejam mata. Dihiburnya penuh cinta.
”Sungguh engkau adalah seorang yang selalu menyambung silaturrahim,
tempat bergantung anak-anak yatim, dan penyantun orang-orang miskin.
Demi Allah, Dia takkan pernah menyia-nyiakan engkau.”
Saat
itulah, paksaan kembali hadir. Ia yang menjingkrung hangat di dalam
selimut disentak wahyu. Ia menggigil lagi, bersimbah dingin yang
merembes dari pori-pori. Wahyu itu, Surat Al Mudatstsir, menyengatnya
dengan kalimat-kalimat perintah. Bergemerincing memekakkan.
Pendek-pendek. Tegas. Jelas. ”Hai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu
berikan peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah! Dan pakaianmu sucikanlah!
Dan dosa-dosa tinggalkanlah! Dan janganlah kau memberi dengan maksud
mendapat yang lebih banyak!”
Maka senarai pemaksaan itu semakin
panjang dengan penegasan di rangkaian ayat yang juga membangunkannya
dari kehangatan selimut lembut, Surat Al Muzammil. ”Sesungguhnya Kami
akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”, begitu firmanNya di ayat
kelima. Maka dimulailah sebuah proses panjang yang melelahkan pada diri
Sang Nabi untuk mengubah dunia. Kata ’paksa’ tentu bermakna bahwa
beliau, Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam menjalani segala itu bukan dengan
leha beruncang kaki, tapi dengan berlelah-lelah. Payah. Bangun untuk
shalat di malam hari. Berjalan kian kemari di siang hari, menyeru
kerabatnya, menyeru kaumnya.
Dalam lelah itu, bertambah-tambah
beban yang harus ditanggungnya. Bertimpuk-timpuk umpatan, ejekan, dan
disebut gila. Iming-iming, intimidasi, dan fitnah. Guyuran isi lambung
unta saat sujudnya. Duri-duri yang ditebar sepanjang pias. Pernah juga
ia berdarah-darah dikejar orang, dilempar batu, disrimpung kayu, direcok
senjata. Tapi ada lagi yang lebih menyesakkannya. Saat ia menyaksikan
sahabat-sahabat yang dalam imannya harus disiksa, dipanggang dengan
salib di pasir menyala, dan dibunuh.
Dari Shalahuddin, dari Sang
Nabi, kita belajar tentang salah satu jalan untuk meretas keberhasilan.
Jalan pemaksaan diri dalam maknanya yang positif. Sunnah kehidupan
menegaskan adanya pintu keharusan dan pemaksaan. Bagi mereka yang secara
sadar memilihnya, ada lompatan yang mengantar mereka pada mutu diri
yang lebih tinggi. Berbuka terasa nikmat karena kita berpuasa. Yang
manis terasa lebih menggigit karena kepahitan telah kita telan. ”Mawar
merekah indah”, kata Jalaluddin Ar Rumi, ”Karena awan-awan merelakan
diri jatuh ke bumi.”
Maka begitulah, jalan cinta para pejuang
memiliki tabiat berlelah-lelah. Ada yang membuat kita harus memaksa
diri. Goda kantuk di saat kewajiban bertumpuk. Ranjang yang hangat,
isteri yang cantik, selimut yang lembut, dan dingin yang bersiraja di
luar sana. Bagaimanapun, ini adalah pilihan bagi mereka yang memiliki
keberanian. Ada istilah eustress. Eustress, kata Stephen R. Covey dalam
The 8th Habit, adalah sesuatu yang mendesak kita, yang berasal dari
keinginan untuk hidup bermakna.
Banyak orang menyamakan disiplin
dan memaksa diri dengan tiadanya kebebasan. Kata mereka, ”Keharusan
membunuh spontanitas. Tak ada kebebasan dalam keharusan. Saya ingin
melakukan apa yang saya inginkan. Itulah kebebasan, bukan tugas.” Pada
kenyatannya sebaliknyalah yang benar. Hanya orang-orang yang
berdisiplinlah yang benar-benar bebas. Orang-orang yang tidak disiplin
adalah budak dari suasana hatinya, budak kesenangan, dan nafsu-nafsunya.
Allah
mengaruniai kita dua daya; untuk berbuat durhaka dan berbuat taqwa.
Untuk menjadi jahat, dan untuk menjadi baik. Seringkali, daya yang kita
butuhkan untuk meniti kebaikan sama besarnya dengan daya yang kita
hajatkan untuk mengelak dari keburukan. Bahkan mungkin lebih berat, jika
kita pertimbangkan goda dari luar diri kita. Ada isteri, anak, dan
harta yang tidak berkah hingga menjadi fitnah, -Na’udzu billaahi min
dzalik-. Ada syaithan dari jin dan manusia. Mereka berseliput di seputar
kita, tak rela kita menjadi baik, tak ingin kita mukti dan mulia. Maka
melawan mereka –dengan bijak hati dan keikhlasan tertinggi- adalah pintu
pemaksa lain yang harus kita ketuk.
Di jalan cinta para pejuang,
kita ucapkan ”Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah.. Tiada daya
untuk taat, dan tiada kekuatan untuk menjauhi maksiat kecuali dengan
pertolongan Allah.” Dan sesudah mengucapkannya, kita harus memaksa diri
melangkahkan kaki di jalan cinta para pejuang. Walau terantuk, walau
tersaruk, walau terhuyung. Walau kadang limbung digalut bingung..
kekhawatiran tak menjadikan bahayanya membesar
hanya dirimu yang mengerdil
tenanglah, semata karena Allah bersamamu
maka tugasmu hanya berikhtiyar
dan di sana pahala surga menantimu
Sumber : http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2008/09/mengetuk-pintu-paksa/
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Jumat, 21 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar