Senin, 28 Mei 2012

Kode ajaib di FB, Subhanallah

"code ajaib" Subhanallah...
@+[84960223066:0]
@+[152067074914:0]
@+[226335714098484:0]
@+[261965570521620:0]
@+[234251253304664:0]
@+[306721246006398:0]
@+[266307150082858:0]

Copy semua code lalu paste / tulis semuanya di coment di bawah ini.
Hapus smua tanda +
kemudian tekan enter
lihat Apa yg terjadi ???
Silahkan copy lalu klik share tulisan diatas ke FB anda.



Share

Kamis, 24 Mei 2012

(intisari) Meraih Pahala Besar Dengan Sedikit Amal

Dalam hal niat, ketika seorang muslim ber-amal tidak terlepas dari niat untuk mendapatkan pahala yang besar dan/atau Ridho Allah. Namun kadang kebanyakan kita tidak mengetahui (ilmunya) untuk ber-amal..bahkan kebanyakan hanya mengikuti kebanyakan orang

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya);
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” QS. Al An’aam:116

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata;

“Orang yang berilmu, sedikit amalnya namun lebih banyak pahalanya..”

Bagaimanakah agar “MERAIH PAHALA BESAR DENGAN SEDIKIT AMAL” ?

Beberapa perkara yang harus difahami, agar dapat meraih pahala besar:


1. Memahami Syarat Diterimanya Amal

Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan sesuai dengann sunnah
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya);
“Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia beramal shalih, dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya” (QS. Al Kahfi:110)
‘maksudnya mengharapkan pahala dan balasan yang baik yaitu yang sesuai dengan syari’at Allah (dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya).. Inilah dua rukun amal agar diterima, yaitu harus ikhlas karena Allah dan benar sesuai syari’at Rasululloh Shallallohu’alaihi wasallam’ (Ibnu Katsir-Tafsir Al Qura’anil’adziem)


2. Tidak Ada Pahala Kecuali Dengan Niat

Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya amal itu sah dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan (pahala atau siksa) sesuai dengan apa yang ia niatkan,..” [HR. Bukhari dan Muslim]


3. Ibadah Yang Sesuai Dengan Sunnah Lebih Besar Pahalanya Dari Ibadah Yang Tidak Sesuai Dengan Sunnah

Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam senantiasa mencontohkan kepada umatnya yang paling utama karena beliau adalah suri tauladan yang paling baik bagi umatnya, Allah berfirman:
“Sungguh telah ada pada diri Rosululloh suri tauladan yang baik untukmu, bagi orang yang menginginkan Allah dan hari akhirat dan banyak mengingat Allah” (QS. Al Ahzab:21)

‘Ayat ini adalah dalil yang agung dalam meneladani Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam pada perkataannya, perbuatan dan keadaannya’ (Tafsir Ibnu Katsir)

Namun yang harus diingat bahwa perbuatan Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam tidak semuanya harus kita ikuti, karena perbuatan Nabi itu bermacam-macam (lihat kitab mandzumah ushul fiqih hal. 111-122 – Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin)


4. Bersikap Sedang Dalam Melaksanakan Sunnah Lebih Baik Dari Bersungguh-sungguh Dalam Bid’ah

Dalam kitab Al hujjah fi bayanil mahajjah (1/111) Ubay bin Ka’ab berkata, “Sesungguhnya bersikap sedang di jalan (Allah) dan sunnah lebih baik daripada menyelisihi jalan dan sunnah, maka lihatlah amalmu dalam kesungguhan dan bersikap sedang, hendaklah ia sesuai dengan manhaj para Nabi dan sunnah mereka”

Karena setiap amal yang bid’ah tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala, sebagaimana hadits Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amal yang tidak ada asalnya dari perintah kami, maka amal tersebut tertolak” [HR. Muslim]


5. Pahala Ibadah Dilipat Gandakan Bila Bertepatan Dengan Waktu Yang Mulia

Begitu banyak dalil-dalil waktu-waktu yang mulia, diantara waktu yang utama adalah waktu sepertiga malam terakhir.
“Rabb kita Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi turun ke langit dunia ketika sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepada-Ku, Aku akan kabulkan, Siapa yang meminta kepada-Ku, Aku akan berikan, dan Siapa yang memohon kepada-Ku, Aku akan ampuni ia” [HR. Bukhari dan Muslim]


6. Pahala Ibadah Dilipat Gandakan Bila Bertepatan Dengan Tempat Yang Mulia

Dalam riwayat Ibnu Majah
“Sholat di masjidil haram lebih utama seratus ribu kali sholat di masjid lain”


7. Ibadah Yang Memberikan Manfaat Kepada Orang Lain Lebih Utama Dari Ibadah Yang Pahalanya Hanya Untuk Diri Sendiri

Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam lebih mengutamakan ahli ilmu di atas ahli ibadah, karena manfaat ilmu amat besar bagi manusia, berbeda dengan ahli ibadah, pahalanya hanya untuk dirinya sendiri.


8. Ibadah Yang Berhubungan Dengan Dzat Ibadah Lebih Utama Dari Ibadah Yang Berhubungan Dengan Tempatnya

Contoh praktek kaidah ini: Mana yang lebih utama; thowaf mendekat ke ka’bah namun tidak dapat melaksanakan sunnah berlari kecil untuk tiga putaran pertama, atau menjauh dari ka’bah namun dapat melakukan sunnah tersebut?
Jawabannya adalah menjauh lebih utama, karena berlari di tiga putaran pertama adalah ibadah yang berhubungan dengan dzat ibadah dan ini lebih utama.


9. Bila Bertemu Dua Ibadah Yang Sama-Sama Diperintahkan, Maka Didahulukan Yang Wajib Dari Ibadah Yang Sunnah

Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya’ (HR. Bukhari)

Ibnu Daqiq al ‘ied rahimahullah berkata “Dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa ibadah yang sunnah tidak boleh di dahulukan di atas ibadah yang wajib”


10. Apabila Bertemu Dua Kewajiban Maka Dahulukan Ibadah Yang Paling Wajib

Contohnya adalah: menuntut ilmu tauhid lebih diutamakan dan didahulukan dari menuntut ilmu mushtolah hadits, karena ilmu tauhid adalah kewajiban atas setiap muslim untuk mempelajarinya.


11. Ibadah Yang Lebih Memperbaiki Hati Lebih Utama Dari Yang Tidak Demikian

“Pada hari tidak bermanfaat harta dan anak-anak, kecuali siapa yang datang dengan membawa hati yang selamat” (QS. Asy Syu’ara:88-89)

Imam Ahmad pernah ditanya mengenai sebagian amal, beliau menjawab, “lihatlah yang lebih mashlahat untuk hatimu, lakukanlah!”


12. Semakin Sulit Suatu Ibadah Semakin Besar Pahala Yang Diraih

Namun yang harus diingat adalah bahwa tidak setiap pahala besar disesuaikan dengan kesulitan yang ada, terkadang ada faktor lain yang mempengaruhinya.


13. Suatu Amal Semakin Besar Manfaat, Mashlahat dan Faidahnya Semakin Besar Pula Pahalanya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata “Diantara perkara yang harus diketahui bahwa sesungguhnya keridhaan dan cinta Allah tidak terletak pada sebatas menyusahkan jiwa, dan membawanya kepada sesuatu yang berat, sebagaimana yang disangka oleh orang jahil bahwa pahala itu disesuaikan dengan kesulitan pada segala sesuatu.
Tidak demikian! Akan tetapi pahala itu sesuai dengan besar kecilnya manfaat, mashlahat dan faidah amal, juga sesuai dengan ketaatan ia kepada Allah dan Rasul-Nya, maka diantara dua amal ada yang paling baik, dan pelakunya paling taat dan mengikuti (sunnah) maka ia adalah yang paling utama, karena amalan itu tidak berbeda-beda derajatnya hanya dari sisi kuantitas saja, namun berbeda-beda sesuai dengan hasil yang ditimbulkan oleh amal tersebut pada hatinya..” (majmu’fatawa 25/281-282)

Ini menunjukan bahwa kesulitan yang ditimbulkan oleh perbuatan hamba adalah tercela, karena ia telah memperberat agama yang mudah ini, sebagaimana hadits:
“Sesungguhnya agama ini mudah, tidak ada orang yang memperberatnya kecuali akan kalah” [HR. Bukhari]

Adapun kesulitan yang timbul bukan karena perbuatan hamba yang menyulit-nyulitkan maka pahalanya semakin besar sesuai dengan kadar kesulitan tersebut.

Demikianlah beberapa intisari bimbingan untuk meraih pahala besar, semoga Alloh senantiasa menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang senantiasa ber-amal dengan amal sholih

[Dinukil dan disarikan dari buku “Meraih Pahala Besar Dengan Sedikit Amal” Penulis: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.]


Share

Rabu, 23 Mei 2012

Amalan di Bulan Rajab

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.

Rajab di Antara Bulan Haram


Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?


Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab


Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

“Tidak ada lagi faro’ dan  ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.

‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)

Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.

Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab

Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama  bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang  yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:

    Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
    Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
    Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)

Perayaan Isro’ Mi’roj


Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab?

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”

Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)

Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)

Catatan penting:

Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,

“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]“.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.

Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.


Selesai disusun di Wisma MTI, 5 Rajab 1430 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id



Share

Selasa, 08 Mei 2012

Meredam Duka Saat Menghadapi Musibah

Musibah merupakan bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Silih berganti datang, bagaikan sapuan kuas warna-warni yang mengisi lukisan kehidupan. Begitulah adanya musibah, dan begitulah sunnatullah yang berlaku, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:

 ”Sungguh, Kami pasti akan mengujimu dengan sebagian dari rasa takut, lapar, serta kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan..”(Al-Baqarah:155).
Musibah merupakan bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Silih berganti datang, bagaikan sapuan kuas warna-warni yang mengisi lukisan kehidupan. Begitulah adanya musibah, dan begitulah sunnatullah yang berlaku, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:

 ”Sungguh, Kami pasti akan mengujimu dengan sebagian dari rasa takut, lapar, serta kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan..”(Al-Baqarah:155).

Namun, bukanlah sikap yang bijak jika kita menyikapi setiap musibah yang datang dengan cara-cara jahiliyah, menangis meraung-raung, memaki diri dan orang lain, atau bahkan sumpah serapah yang tak sopan dan tak perlu. Sebab, semua itu tidak akan mengurangi kadar musibah, dan justru menambah berat beban perasaan kita sendiri. Apalagi jika disertai ‘tuduhan’ dan persangkaan buruk terhadap kehendak Allah.

Musibah juga kerap kali membuat seseorang begitu frustasi, seakan dunia sudah berakhir, dan tak jarang berakhir dengan usaha bunuh diri, wal iyadzu billah. Stres dan depresi yang melanda, jika tak diiringi benteng iman yang kokoh, memang bisa melahirkan atraksi bunuh diri. Beberapa artis barat, yang notabene berlimpah materi, berakhir mengenaskan seperti ini.

Sebagai seorang muslimah, yang merupakan taman tarbiyah bagi generasi penerus, sikap seperti itu tentunya perlu dibuang jauh-jauh dari kamus kehidupan. Maka, sabar menjadi perisai yang ampuh ketika menghadapi musibah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

”…Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ (Sesungguhnya kita milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kita kembali). Mereka itulah yang rnmendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Al-Baqarah: 155-157)

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, seorang ulama yang karya-karyanya banyak berbicara masalah hati, membahas lebih jauh terapi penghilang duka lara dalam buku beliau. Buku rnyang oleh penerbit dan penerjemahnya diberi judul ‘Meredam Duka Saat Menghadapi Musibah‘ ini banyak memberikan kiat dan terapi agar kita terhibur dan tidak larut dalam kesedihan yang panjang.

Hal pertama yang patut kita sadari, sebagai terapi yang paling mujarab, adalah bahwa kita adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah, sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat di atas. Keyakinan tersebut mempunyai dua prinsip agung, yang jika seorang hamba benar-benar memahami kedua prinsip tersebut, maka ia akan terhibur dari musibah yang menimpanya. Ibnul Qoyyim menjabarkan  dua prinsip tersebut sebagai berikut,

Pertama, bahwa seorang hamba beserta keluarga dan hartanya benar-benar merupakan milik Allah subhanahu wa ta’ala. Milik Allah itu telah diserahkan kepada hamba sebagai pinjaman, maka jika Allah mengambil kembali pinjaman itu darinya, kedudukannya seperti pemberi pinjaman yang mengambil barang yang dipinjam. Keluarga dan hartanya itu selalu berada di antara dua ketiadaan, yaitu ketiadaan sebelumnya dan ketiadaan sesudahnya. Kepemilikan hamba terhadapnya hanyalah kesenangan yang dipinjamkan dalam jangka waktu sementara. Hamba bukanlah yang mengadakannya dari ketiadaan, sehingga tidak bisa menjadi pemiliknya secara hakiki. Hamba juga tidak bisa menjaganya dari berbagai bencana setelah ia ada. Juga tidak bisa mengekalkan keberadaannya.

Jadi, seorang hamba sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadapnya, tidak memiliki secara hakiki. Bahkan, ia hanya dapat menggunakannya dalam batas wewenang seperti seorang budak yang diperintah dan dilarang, bukan sesuka hatinya seperti wewenang seorang pemilik. Karena itu, seorang hamba tidak boleh melakukan tindakan terhadapnya kecuali sesuai dengan perintah Pemilik yang hakiki.

Kedua, tempat kembali seorang hamba adalah Allah, tuannya yang sejati. Ia pasti meninggalkan dunia di belakangnya dan menghadap kepada Rabbnya seorang diri, sebagaimana ketika pertama kali ia diciptakan-Nya, tanpa ditemani oleh keluarga, harta, atau kerabat, melainkan hanya ditemani oleh amal kebajikan dan amal kejahatan. Bila demikian asal muasal seorang hamba, apa yang ditinggalkannya dan akhir hidupnya, bagaimana ia bisa bergembira dengan sesuatu yang ada atau berduka atas sesuatu yang tiada? Jadi, berpikir tentang asal muasal dan akhir kehidupan, merupakan terapi paling mujarab terhadap penyakit ini.

Pemahaman lain yang perlu kita yakini adalah bahwa apa pun yang ditakdirkan menimpa kita, tidak mungkin untuk dihindari, sebaliknya apa pun yang tidak ditakdirkan terluput dari kita, tidak mungkin menimpa kita. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

”Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
(Al-Hadid: 22-23).

Beliau, Ibnul Qoyyim, juga memberikan terapi dan kiat lainnya untuk meringankan dan menghilangkan duka akibat musibah yang menimpa. Beliau juga mengetengahkan teladan Rasulullah dalam menghadapi kesulitan, kecemasan, dan kesedihan.

Kapasitas penulisnya, membuat ukhti tidak perlu ragu lagi untuk memiliki atau paling tidak membaca buku yang diterbitkan oleh Penerbit Al-Qawam setebal 92 halaman ini. Buku ini cukup tipis, dan dapat dibawa ketika ukhti bepergian, tentu saja untuk dibaca, direnungkan, dan terutama diamalkan isinya.

Semoga bermanfaat.


Sumber : http://jilbab.or.id/archives/234-meredam-duka-saat-menghadapi-musibah/


Share

Mendo’akan Anak, Ciri Pendidik Ideal

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. (Al-Baqarah 186)

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

Atau siapakah yang memperkenankan (Do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadaNya dan yang menghilangkan kesusahan (An Naml 62)


Dari Nu’man bin Basyir rahimahullah bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Berdoa itu adalah ibadah”. (Riwayat Abu Dawud)

Wahai para pendidik, doa sangat memberi manfaat kepada anak dan menambah keteguhan dan kesolehan mereka serta orang akan selalu mendapat hidayah dan petunjuk kepada jalan yang lurus.


Oleh sebab itu Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita agar selalu berdoa untuk kebaikan anak, sebab doa akan menambah keberkahan dan kebaikan pada anak.


Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam melarang kepada kita mendoakan keburukan atas anak sebagaimana Beliau bersabda,


Janganlah kalian berdoa buruk atas dirimu, jangan berdoa buruk atas anakmu, dan jangan berdoa buruk atas hartamu sebab bila kalian tepat pada saat yang dikabulkan Allah ketika kamu meminta suatu permintaan maka Allah akan mengabulkannya”.


Seorang laki-laki datang kepada Abdullah Ibnu Mubarak yang mengeluhkan tentang kenakalan anaknya, maka Beliau bertanya kepadanya, “Apakah kamu pernah berdoa buruk atasnya? ia menjawab, “Ya”. Ibnu Mubarak berkata, “Kamulah yang merusaknya”.


Wahai para pendidik, daripada Anda merusak anak maka lebih baik anda menjadi sebab baiknya anak dan datangnya keberkahan dalam hidup mereka lewat cara berdoa baik untuk mereka seperti yang dilakukan oleh pendidik utama, Muhammad dan para rasul serta para nabi.


Dari Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah merangkulku lalu bersabda,


Ya Allah ajarkanlah kepadanya Al hikmah” dalam riwayat lain “Ajarkanlah kepadanya Al Kitab“.


Dengan karunia Allah ‘azza wa jalla berkat doa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam Ibnu Abbas menjadi pemuka ulama dan ahli tafsir Al-Qur’an.


Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdoa untuk kebaikan anak-anak ketika dalam keadaan bepergian. Beliau berdoa,


Ya Allah Engkau adalah teman dalam perjalanan, pengganti di keluarga. Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari gangguan perjalanan, kegelisahan penungguan dan buruknya kembali pada harta, keluarga dan anak“.


Kaum ibu pernah datang kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam agar Beliau berdoa untuk anak-anak mereka.


Dai Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Ummu Sulaim berkata, “Wahai Rasulullah Anas menjadi pembantumu maka erdoalah kepada Allah untuk kebaikannya”. Maka Beliau berdoa,


Ya Allah berikanlah kepada Anas harta dan anak yang banyak dan berkahilah apa-apa yang engkau berikan kepadanya“.


Dalam riwayat Bukhori bahwa Anas berkata, “Ummu Sulaim membawaku kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, dan menutupi badanku dengan setengah tudungnya dan setengah selendangnya. Maka ia berkata, “Wahai Rasulullah, anak ini bernama Unais aku membawanya kepadamu untuk enjadi pembantumu, maka berdoalah kepada Allah untuk kebaikannya”. Maka Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam berdoa.


Ya Allah berikanlah kepada Anas harta dan anak yang banyak“.


Anas berkata, “Demi Allah hartaku banyak dan sungguh anak dan cucuku sampai seratus orang sejak hari ini.”


Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Khildah berkata bahwa Abu Aliyah pernah mendengar Anas berkata, “Aku membantu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam selama sepuluh tahun dan Nabi berdoa kepadaku untuk kebaikan maka aku punya kebun buah-buahan yang bisa panen setahun dua kali sementara dalam kebun juga ada pohon raihan untuk bahan minyak kasturi”.


Berdoa merupakan ciri utama pendidik yang berhasil yang pasti bisa dipetik buah dan hasilnya sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,


“Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. (Ghafir 60)


Dalam memenuhi panggilan Allah tersebut, para nabi dan rasul selalu berdoa untuk kebaikan anak cucu mereka.


Bukanlah kemiskinan yang menjadikan mereka cemas dan risau. Sebab tidak ada kerisauan dan kemalangan yang lebih besar daripada orang yang melepas keimanan demi mengejar dunia yang fana. Melepas iman apapun sebabnya merupakan sebab kecelakaan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu para nabi selalu mewanti-wanti kepada keturunan mereka agar senantiasa menjaga benteng iman yang merupakan sebab keberhasilan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.


Allah berfirman ketika menceritakan doa Nabi Ibrahim untuk keturunannya,

Ya Tuhan kamu, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.
(Al Baqarah 128)


Lalu firmanNya dalam surat lain, mengisahkan doa Nabi Ibrahim yang lain,

Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
(Ibrahim 35)


Juga firman Allah,

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku (
Ibrahim 40)


Begitu juga Zakaria berdoa sebagaimana firman Allah,

Berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a
. (Ali Imran 38)


Allah Ta’ala juga berfirman mengisahkan sifat-sifat ‘Ibadurrahman adalah berdoa untuk kebaikan istri dan keturunannya.


Firman Allah,

Ya Tuhanku tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri
. (Al Ahqaf 15)


Firman Allah,


Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (Al Furqan 74)


Wahai para pendidik, berdoalah kepada Allah untuk anak-anakmu terus menerus dan tumbuhkan perasaan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali datang dari Allah sementara manusia hanya sekedar berusaha dan ikhtiar. Marilah kita berdoa dengan penuh khusyu’ dan perasaan tunduk semoga Allah menutup kekurangan, memberi belas kasih kepada yang lemah di antara kita, dan memelihara anak cucu kita. Hendaklah kita membiasakan pola makan, pola minum dan dalam berpakaian yang bersih dan halal. Begitu juga hendaklah berdoa dalam keadaan suci, menghadap kiblat dan mengembalikan kedzaliman kepada pemiliknya serta memilih waktu yang mustajab terutama pada saat sujud berdasarkan hadits dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

Saat yang paling dekat antara hamba dengan Tuhannya adalah ketika sedang sujud maka perbanyaklah berdoa
. (HR Muslim 482)


Dari Abu Umamah berkata, “Pernah Rasulullah ditanya: Kapan doa sangat dikabulkan? Beliau bersabda, “Pada waktu pertengahan malam dan setiap selesai sholat wajib”.


Wahai saudaraku, jangan lupa berdoa terutama ketika dalam bepergian berdasarkan hadits dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda:
Ada tiga doa yang mustajab dan tidak diragukan, doa orang yang teraniaya, doa orang yang sedang bepergian dan doa orang tua atas anaknya.



Begitu juga berdoa pada siang hari dan malam hari dari bulan Ramadhan serta berdoa pada saat haji dan umrah. Maka berdoalah kepada Allah pada saat itu sementara dalam keadaan sangat yakin bahwa doa anda dikabulkan sehingga Umar bin Khaththab berkata, “Yang menjadi perhatianku bukan terkabulnya doa akan tetapi perhatian utamaku adalah ilham untuk bisa berdoa sebab orang kalau sudah bisa berdoa maka pengkabulan doa akan bisa diraih”.


Demikian semoga bermanfaat


Sumber: Majalah Assunnah Edisi 07/ Tahun VIII/ 1425H/ 2004M



Share

BAGAIMANA DOSA-DOSA KECIL DAPAT MENJADI BESAR?

Perlu diketahui bahwa dosa kecil dapat menjadi besar karena beberapa sebab, di antaranya:

1. Apabila dilakukan dengan konsisten dan terus menerus.

Oleh sebab itu dinyatakan oleh para ulama As-Salaf: Tidak ada yang namanya dosa kecil apabila dilakukan dengan terus-menerus. Dan tidak ada yang dinamakan dengan dosa besar, bila diiringi dengan taubat.

2. Karena diremehkan.

Sesungguhnya perbuatan dosa itu apabila dianggap berat oleh seorang hamba, akan menjadi kecil di sisi Allah. Namun sebaliknya apabila diremehkan, ia akan menjadi besar di sisi Allah. Karena anggapan sebuah dosa sebagai dosa yang besar, berpangkal dari hati yang benci kepadanya dan berupaya menghindarinya.

3. Apabila seorang hamba merasa senang melakukannya.

Kegembiraan,kebanggaan, dan kelengahan seorang hamba terhadap dosa tersebut, menjadikannya sebagai dosa besar. Ketika rasa senang kepada dosa kecil sudah mendominasi diri seseorang, maka menjadi besarlah dosa kecil tersebut dan besar pula pengaruhnya untuk menghitamkan pada hatinya. Sampai-sampai ada pelaku dosa yang bangga dan berbesar hati dengan dosanya, karena saking gembiranya dia dengan perbuatan doa tersebut. Misalnya seperti orang yang berkata: �Tidak kamu mengetahui, bagaimana aku membuntuti si Fulanah dan berhasil melihatnya?� Atau seperti perkataan seseorang usai berdebat: �Tidakkah kamu mengetahui bagaimana aku kemukakan segala kejelekannya sehingga membuat dirinya malu? Dan bagaimana juga aku merendahkannya? Bagaimana aku membuatnya kebingungan? Atau bisa juga seperti pernyataan seorang bisnisman: �Tidakkah kamu mengetahui, bagaimana aku dapat menjual barang palsu kepadanya? Bagaimana aku menipunya? Bagaimana aku preteli hartanya? Bagaimana aku membuatnya seperti orang bodoh?� Kesemua perbuatan itu bisa merubah dosa-dosa kecil menjadi besar. Sesungguhnya dosa-dosa itu membinasakan! Apabila seorang hamba terjerumus kepada semua dosa-dosa itu, syetan berhasil menggiringnya ke arah sana, maka hendaknya ia merasa bahwa dirinya berada di dalam musibah, dan mengasihani dirinya sendiri, karena syetan berhasil mengalahkannya, dan karena dirinya semakin jauh dari Allah.

4. Apabila menyepelekan pengampunan Allah, merasa santai dan kurang perhatian.

Ia tidak sadar bahwa kesantaiannya itu karena Allah memang membiarkannya demikian agar semakin bertumpuk dosa-dosanya. Ia justru beranggapan bahwa ia dapat berbuat maksiat karena Allah memang peluang. Itulah yang dinamakan dengan 'merasa aman' terhadap siksa Allah dan kebodohannya dengan tertipu oleh anggapannya terhadap Allah. Sebagaimana difirmankan oleh Allah:

"Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: ‘Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu’ Cukuplah bagi mereka naar Jahannam yang akan mereka masuki. Dan naar itu adalah seburuk-buruk tempat kembali." (Al-Mujadilah:8)

5. Apabila dosa itu dilakukan dengan terang-terangan.

Yakni apabila seseorang menyebut-nyebutnya setelah ia melakukannya, atau melakukannya di hadapan orang banyak. Yang demikian itu adalah tindakan makarnya terhadap ampunan yang seharusnya dapat diberikan kepadanya. Selain juga dapat mengundang hasrat orang lain yang mendengar atau melihatnya untuk ikut melakukan perbuatan dosa itu. Jadilah dua macam dosa terkumpul menjadi satu sehingga konsekuensinya menjadi lebih berat. Jika masih ditambah lagi dengan anjuran kepada orang lain dan ajakan untuk melakukannya, serta penyediaan sarana untuk melakukannya, jadilah empat kejahatan dalam satu perbuatan. Urusannya pun menjadi semakin jelek.

Dalam hadits disebutkan:

"Setiap umatku dapat diampuni dosa-dosanya, kecuali orang yang mengekspos perbuatan dosanya. Contoh dari mengekspos dosa adalah seorang lelaki yang berbuat dosa di malam hari, pagi harinya, Allah telah menutupi perbuatannya itu agar tidak diketahui oleh orang lain. Namun ia justru berkata: ‘Wahai Fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu.’ Di malam hari, hanya Allah yang mengetahui perbuatan dosanya, namun di pagi hari justru dia sendiri yang menyiarkannya." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)

Yang demikian itu karena di antara sifat Allah dan karunia-Nya adalah bahwa Dia ingin menampakkan yang baik-baik dan menyembunyikan yang buruk-buruk. Allah juga tidak akan menyingkap tabir keburukan. Maka menampakkan keburukan, berarti kekufuran terhadap karunia kenikmatan Allah tersebut. Sebagian ulama berkata: �Janganlah kamu berbuat dosa. Kalau kamu terpaksa berbuat dosa, janganlah kamu anjurkan orang lain melakukannya, yang menyebabkanmu melakukan dua dosa sekaligus. Oleh sebab itu Allah berfirman:

"Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan-perempuan, sebagian dari sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf."(AT-Taubah :67)

Sebagian ulama As-Salaf berkata: �Tidak pernah seseorang itu melakukan pelanggaran kehormatan yang lebih besar daripada menolong saudaranya melakukan maksiat dan mempermudah jalan maksiat itu kepadanya.

6. Apabila dilakukan oleh orang alim yang menjadi panutan.

Apabila ia melakukan dosanya itu dengan disaksikan orang lain, dosanya menjadi dosa besar. Seperti menggunjing orang dengan lidahnya, atau berkata kasar dalam perdebatan, atau menyepelekan orang dengan sengaja, atau sibuk mempelajari ilmu yang bertujuan hanya untuk mencari kedudukan, seperti ilmu retorika perdebatan. Kesemuanya itu adalah dosa-dosa seorang alim yang cenderung ditiru orang lain. Ketika si alim meninggal dunia, kajahatannya tetap bertebaran di muka bumi dalam jangka waktu yang panjang. Sungguh beruntung orang yang membawa mati segala keburukannya.

Allah berfirman:

"Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan." (Yasin:12)

Yang dimaksud dengan bekas-bekas yang mereka tinggalkan adalah pengaruh amal perbuatan yang masih terus ada setelah perbuatan itu bahkan pelakunya sendiri sudah tidak ada lagi.

Sumber:

Dosa – Bahaya dan Pencegahannya oleh Muhammad b.Ahmad Rasyid Ahman, penerbit At-Tibyan halaman 50-55



Share

Aisyah, Keutamaannya dan Keluasan Ilmunya

Beliau, Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq,atau juga biasa dipanggil dengan al-Shiddiqiyah yang dinisbatkan kepada al-Shiddiq yaitu orang tuanya sendiri Abu Bakar, kekasih Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam.Seorang wanita mulia dan istimewa dimana sebagian dari ilmu agama kita ini diambil darinya.Begitu banyak keutamaan dan kemuliaan yang dimilikinya , semoga Allah meridhainya dan mengumpulkannya dengan kekasihnya yang paling dicintainya yaitu Nabi kita Muhammad Shalallahu alaihi wassalam.

Semoga setelah membaca kisah ini hati kita akan tersentuh dan semakin menambah rasa cinta kita kepada istri-istri Beliau .Beberapa keutamaannya tidak dapat dihitung dengan jari sehingga hanya sebagian kecil yang dapat dipaparkan disini, diantarnya adalah sebagai berikut:
1.Kecintaan Rasulullah kepadanya melebihi kecintaannya kepada istri-istri beliau yang lainnya yang semuanya ada 9 orang. Pada suatu ketika Rasulullah ditanya, “Siapakah orang yang paling enkau cintai ?” maka beliau menjawab, “Aisyah” Hal ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Amr bin ‘Ash, dimana dia datang kepada Nabi seraya bertanya,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling engkau cintai?” beliau menjawab,”Aisyah” kemudian Amr bin Ash bertanya, “”Siapakah orang lelaki yang paling engkau cintai?”beliau menjawab,”Bapaknya (Abu Bakar)”Dia bertanya, “Kemudian siapa lagi?” beliau menjawab,”Umar”, yakni Ibnu Al Khaththab, semoga Allah meredhai semuanya.

2.Malaikat menyampaikan salam untuknya bukan hanya sekali. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim darinya (Aisyah), dimana Rasulullah telah bersabda, “Sesungguhnya Jibril telah mengucapkan salam untukmu”, maka aku menjawab,”Alaihis as-Salam”

3. Allah telah menurunkan ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan pembebasan dirinya dari tuduhan dusta sebanyak sepuluh ayat dalam surat An-Nuur, dimana didalamnya Aallah menjelaskan bahwa laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik, dan beliau tergolong wanita yang baik, membebaskan mereka dari tuduhan orang-orang yang menyebarkan tuduhan dusta itu, dan memberi kabar gembira bahwa bagi mereka surga, sebagaimana Aallah berfirman,..”dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula. Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga) “ An-Nuur:26.

4.Pada saat Rasulullah sakit, beliau minta untuk tinggal dikamarnya (aisyah), sehingga dia dapat mengurusnya sampai Aallah memanggil ke hadirat-Nya (wafat). Karena itulah, maka Rasulullah meninggal dirumah Aaisyah, dimana beliau meninggal dalam pangkuan dan dekapannya. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan darinya (Aisyah), dia berkata:” Allah mewafatkan Rasulullah dimana kepala beliau berada diantara paru-paruku dan bagian atas dadaku, sehingga air liur beliau bercampur dengan air liurku” Bagaimana hal itu bisa terjadi, Abdurrahman saudara laki-laki Aisyah masuk ke rumah mereka, dimana ketika itu dia membawa siwak (alat penggosok gigi), lalu Rasulullah melihatnya. Aisyah memahaminya bahwa beliau ingin bersiwak, dan dia mengambil siwak dari Abdurrahman dan melembutkannya, lalu Rasulullah bersiwak dengannya.setelah Rasulullah meninggal, maka siwak itu dipakai Aisyah. Inilah pengertian yang dimaksud dengan “air liur beliau bercampur dengan air liurku”

5. Berdasarkan sabda Rasulullah,”Keutamaan Aisyah ataas wanita yang lainnya bagaikan keutamaan tsarid(roti yang dibubuhkan dan dimasukkan kedalam kuah) atas makanan-makan yang lainnya”
Berkenaan dengan keluasan dan keunggulan ilmunya, tidak ada seorang ulamapun yang mengingkarinya.Banyak kesaksian dan pengakuan yang dikemukakan para ulama berkenaan dengan kredibilitas keilmuwan Aisyah. Hal ini menunjukkan betapa luas dan mumpuninya ilmu yang dimilikinya. Dibawah kesaksian empat pakar ilmu pengetahuan dari kalangan ulama terdahulu:

1. Kesaksian putra saudara perempuannya (keponakannya) Urwah bin Zubeir tentang kredibilitas dan keunggulan ilmu yang dimiliki oleh Aisyah, sebagaimana yang diriwayatkan putranya Hisyam,”Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih pintar dalam ilmu fiqh (agama), kedokteran dan syair selain Aisyah.

2. Kesaksian Az-Zuhri yang juga berkenaan dengan kredibilitas dan keunggulan ilmu yang dimili Aisyah, seraya berkata,”seandainya diperbandingkan antara ilmu Aisyah denan ilmu seluruh istri Nabi dan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu Aisyah jauh lebih unggul.”
3. Kkesaksian Masruq berkenaan dengan ilmu yang dimiliki Aaisyah yang berkenaan dengan masalah faraidh, sebagaimana yang terungkap dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Darda darinya seraya berkata, “Aku melihat para syeikh dari kalangan sahabat Rasulullah bertanya kepada Aisyah tentang faraidh (ilmu waris)

4. Kesaksian Atha’ bin Rabah, dimana ketika Allah berfirman, maka Aisyah merupakan orang yang paling faham, paling mengetahui dan paling bagus pendapatnya dibandingkan dengan yang lainnya secara umum.
5. Kesaksian Zubeir bin Awwam, dimana dia berkata sebagaimana hal ini telah diriwayatkan putranya Urwah, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih pintar tentang Al-Qur’an , hal-hal yang difardhukan, halal dan haram, syair, cerita Arab dan nasab (silsilah keturunaan) selain Aisyah.
Dengan mengemukakan lima kesakssian yang dipaparkan oleh para ulama besar dari kalangan sahabat dan tabi’in cukuplah sebagai bukti yang menunjukkan kredibilitas dan keunggulan ilmu yang dimiliki oleh Aisyah dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh para Sahabat Rasulullah dan para tabi’in lainnya.

Aisyah meninggal pada bulan Ramadhan yang agung tepat pada tanggal 17 Ramadhan, pada usia 66 tahun. Dan, dimakamkan di Al-Baqi’ kawasan pemakaman yang terletak di kota Madinah. Hal ini sesuai dengan wasiatnya, dimana beliau berwasiat agar dimakamkan di temnpat pemakaman istri-istri Rasulullah. Semoga Allah meridhainya .

Sumber:
Ilmu dan Ulama Pelita Kehidupan Dunia dan Akhirat, Pustaka Azzam.


Share

Tak Jadi Mencuri Terung, lalu Allah Karuniakan Untuknya Seorang Isteri

Di Damaskus, ada sebuah mesjid besar, namanya mesjid Jami' At-Taubah. Dia adalah sebuah masjid yang penuh keberkahan. Di dalamnya ada ketenangan dan keindahan. Sejak tujuh puluh tahun, di masjid itu ada seorang syaikh pendidik yang alim dan mengamalkan ilmunya. Dia sangat fakir sehingga menjadi contoh dalam kefakirannya, dalam menahan diri dari meminta, dalam kemuliaan jiwanya dan dalam berkhidmat untuk kepentingan orang lain.

Saat itu ada pemuda yang bertempat di sebuah kamar dalam masjid. Sudah dua hari berlalu tanpa ada makanan yang dapat dimakannya. Dia tidak mempunyai makanana ataupun uang untuk membeli makanan. Saat datang hari ketiga dia merasa bahwa dia akan mati, lalu dia berfikir tentang apa yang akan dilakukan. Menurutnya, saat ini dia telah sampai pada kondisi terpaksa yang membolehkannya memakan bangkai atau mencuri sekadar untuk bisa menegakkan tulang punggungnya. Itulah pendapatnya pada kondisi semacam ini.

Masjid tempat dia tinggal itu, atapnya bersambung dengan atap beberapa rumah yang ada disampingnya. Hal ini memungkinkan sesorang pindah dari rumah pertama sampai terakhir dengan berjalan diatas atap rumah-rumah tersebut. Maka, dia pun naik ke atas atap masjid dan dari situ dia pindah kerumah sebelah. Di situ dia melihat orang-orang wanita, maka dia memalingkan pandangannya dan menjauh dari rumah itu. Lalu dia lihat rumah yang di sebelahnya lagi. Keadaannya sedang sepi dan dia mencium ada bau masakan berasal dari rumah itu. Rasa laparnya bangkit, seolah-olah bau masakan tersebut magnet yang menariknya.

Rumah-rumah dimasa itu banyak dibangun dengan satu lantai, maka dia melompat dari atap ke dalam serambi. Dalam sekejap dia sudah berada di dalam rumah dan dengan cepat dia masuk ke dapur lalu mengangkat tutup panci yang ada disitu. Dilihatnya sebuah terong besar dan sudah dimasak. Lalu dia ambil satu, karena rasa laparnya dia tidak lagi merasakan panasnya, digigitlah terong yang ada ditangannya dan saat itu dia mengunyah dan hendak menelannya, dia ingat dan timbul lagi kesadaran beragamanya. Langsung dia berkata, 'A'udzu billah! Aku adalah penuntut ilmu dan tinggal di mesjid , pantaskah aku masuk kerumah orang dan mencuri barang yang ada di dalamnya?' Dia merasa bahwa ini adalah kesalahn besar, lalu dia menyesal dan beristigfar kepada Allah, kemudian mengembalikan lagi terong yang ada ditangannya. Akhirnya dia pulang kembali ketempat semula. Lalu ia masuk kedalam masjid dan mendengarkan syaikh yang saat itu sedang mengajar. Karena terlalu lapar dia tidak dapat memahami apa yang dia dengar.

Ketika majlis itu selesai dan orang-orang sudah pulang, datanglah seorang perempuan yang menutup tubuhnya dengan hijab -saat itu memang tidak ada perempuan kecuali dia memakai hijab-, kemudian perempuan itu berbicara dengan syaikh. Sang pemuda tidak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakannya. Akan tetapi, secara tiba-tiba syaikh itu melihat ke sekelilingnya. Tak tampak olehnya kecuali pemuda itu, dipanggilah ia dan syaikh itu bertanya, 'Apakah kamu sudah menikah?', dijawab, 'Belum,'. Syaikh itu bertanya lagi, 'Apakah kau ingin menikah?'. Pemuda itu diam. Syaikh mengulangi lagi pertanyaannya. Akhirnya pemuda itu angkat bicara, 'Ya Syaikh, demi Allah! Aku tidak punya uang untuk membeli roti, bagaimana aku akan menikah?'. Syaikh itu menjawab, 'Wanita ini datang membawa khabar, bahwa suaminya telah meninggal dan dia adalah orang asing di kota ini. Di sini bahkan di dunia ini dia tidak mempunyai siapa-siapa kecuali seorang paman yang sudah tua dan miskin', kata syaikh itu sambil menunjuk seorang laki-laki yang duduk di pojokkan.

Syaikh itu melanjutkan pembicaraannya, 'Dan wanita ini telah mewarisi rumah suaminya dan hasil penghidupannya. Sekarang, dia ingin seorang laki-laki yang mau menikahinya, agar dia tidak sendirian dan mungkin diganggu orang. Maukah kau menikah dengannya? Pemuda itu menjawab 'Ya'. Kemudian Syaikh bertanya kepada wanita itu, 'Apakah engkau mau menerimanya sebagai suamimu?', ia menjawab 'Ya'. Maka Syaikh itu mendatangkan pamannya dan dua orang saksi kemudian melangsungkan akad nikah dan membayarkan mahar untuk muridnya itu. Kemudian syaikh itu berkata, 'peganglah tangan isterimu!' Dipeganglah tangan isterinya dan sang isteri membawanya kerumahnya. Setelah keduanya masuk kedalam rumah, sang isteri membuka kain yang menutupi wajahnya. Tampaklah oleh pemuda itu, bahwa dia adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik. Rupanya pemuda itu sadar bahwa rumah itu adalah rumah yang tadi telah ia masuki.

Sang isteri bertanya, 'Kau ingin makan?' 'Ya' jawabnya. Lalu dia membuka tutup panci didapurnya. Saat melihat buah terong didalamnya dia berkata: 'heran siapa yang masuk kerumah dan menggigit terong ini?!'. Maka pemuda itu menangis dan menceritakan kisahnya. Isterinya berkomentar, 'Ini adalah buah dari sifat amanah, kau jaga kehormatanmu dan kau tinggalkan terong yang haram itu, lalu Allah berikan rumah ini semuanya berikut pemiliknya dalam keadaan halal. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu ikhlas karena Allah, maka akan Allah ganti dengan yang lebih baik dari itu.


(Sumber: Alsofwah.or.id)


Share

Janganlah Engkau Ceritakan Sifat Temanmu Kepada Suamimu

Jangan sekali-kali engkau melakukannya!!.Bila engkau lupa maka mohonlah ampun kepada-Nya.Tahukah engkau saudariku, secara tidak langsung engkau telah menjerumuskan suamimu kepada zina hati.karena itulah islam sangat keras melarangnya. Yang sangat disayangkan banyak tidak disadari oleh saudari-saudari kita yang telah bersuami melupakan hal ini atau mungkin banyak diantara mereka yang tidak tahu tentang larangan ini.Mungkin sebenarnya engkau tidak berniat demikian,engkau hanya ingin mengabarkan apa saja yang telah engkau dapati bersama temanmu itu sebagai bahan obrolan ketika sedang bercengkerama bersama suamimu, tapi engkau lupa bahwa suamimu adalah manusia biasa yang memiliki hati dan syahwat.Sehingga hati akan mudah tergoda jadilah ia menghayalkan seakan-akan melihat temanmu itu.

Bila engkau membaca kisah tentang Aisyah dan keutamaannya maka akan engkau dapati bahwa beliau memang benar-benar sosok yang sangat cerdas dan pandai.Memiliki ketajaman akal yang luar biasa, akan engkau temui betapa takutnya ia terhadap hal ini.Sehingga ketika para shohabiyat mengunjunginya untuk bertanya atau menimba ilmu dari beliau maka sebelum mereka pulang, Aisyah radyillahu anha selalu menyisipkan nasehat ketelinga mereka agar jangan sekali-kali menceritakan tentang dirinya kepada suami-suami mereka (suami para shohabiyat). Karena beliau sangat takut dirinya akan terjatuh dalam fitnah.Semoga bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua.

Ya ukhti,…..yang terkadang kita sendiri jatuh ke dalam fitnah ini, setan begitu mudah menggelitik hati kita sehingga kita tidak merasa risi ketika teman kita bercerita kepada kita bahwa suaminya berkomentar bagus tentang diri kita.Bahkan terkadang telinga kita merasa senang mendengarnya..Astagfirullahi begitu jauhnya perbedaan kita dengan para wanita di zaman dahulu (generasi salafiyah).

Ya, bila memang engkau penasaran dan ingin mengetahui lebih dalam tentang hal ini maka sungguh telah datang hadits yang mulia dari sebaik-baik manusia diatas muka bumi ini, junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam telah bersabda:

Tidak diperbolehkan seorang wanita bergaul dengan wanita lain lalu menceritakannya kepada suaminya seakan-akan suaminya itu melihatnya”(Hadits Riwayat Bukhari, lihat Kitabun Nikah)

Kini engkau telah tahu larangannya semua mencakup teman dekatmu seperti sahabatmu, atau teman kuliahmu atau teman-teman pergaulanmu yang lainnya.Imam Ibnul Jauzi juga pernah berkata tentang hal ini:

Wanita dilarang melakukan itu karena seorang laki-laki mendengar sifat seorang wanita maka keinginannya akan tergerak, hatinyapun akan bergolak, dan jiwanya juga akan senantiasa merindukan wanita yang disifatinya itu “ (30 Larangan Wanita, hal:81-82)

 Jadi kita telah tahu bahwa islam melarang hal ini karena akan menimbulkan dampak yang tidak baik pada suami kita.Misalnya akan membuat hatinya tidak tenang dan gelisah.Pikirannya akan sibuk membanding-bandingkan antara istrinya dan wanita lain.Sehingga dapat mengguncangkan dirinya akibat khayalannya dalam melakukan perbandingan tersebut.Karena itu, janganlah engkau menyalahkan suamimu bila kelak nanti ia mengeluh mengapa engkau tak sepandai fulanah, atau tak secantik fulanah atau tak serapi fulanah dan keluhan-keluhan lainnya.Jadi salahkanlah dirimu sendiri ya ukhti,…engkau yang mulai membakar api maka engkau pula yang akan menerima asapnya.Kecuali suami yang dirahmati Allah maka ia akan menasehati istrinya agar jangan melakukan yang demikian.

 Sungguh engkau sangat mengharapkan rumah tangga yang sakinah (tenang) mawaddah (penuh cinta kasih) warrahmah (penuh rahmat) didalamnya.Karena itu camkanlah hal ini.Mungkin kisah nyata yang penulis lihat sendiri bisa menjadi ibrah bersama, bahwa memang apa yang Rasulullah sabdakan semua itu adalah untuk kebaikan dan kebahagiaan kita di dunia dan akhirat.Teman penulis yang kini telah menjanda (semoga Allah memberi ganti yang lebih baik) mungkin engkau akan bertanya apa sebabnya.Sesal memang selalu saja tiba di belakang hari.Betapa terkejutnya ia ketika ia mendapatkan talak dari suaminya dan sang suaminya kini menikahi sahabatnya.Sahabat dekatnya yang rajin mengunjunginnya yang sangat ia percaya kini menjadi pendamping bekas suaminya.Tak terbayangkan betapa kecewa hatinya.Tentu engkau telah tahu sebabnya kini.Sehingga engkau akan lebih waspada dan hati-hati.Semoga Allah selalu menjaga kita dari hal-hal yang dimurkai-Nya dan menjadikan kita sebaik-baik wanita diatas muka bumi ini yaitu wanita shalihah yang menjadi dambaan para suami kita.

Wahai para suami,….sungguh kami tidaklah jauh berbeda denganmu sangat membutuhkan nasehat dan bimbinganmu karena itu bila engkau menemui hal ini maka berilah kami teguran secepatnya agar kami tidak ikut menjerumuskanmu dalam syahwat yang bergelora.Sesungguhnya nasehat itu sangatlah bermanfaat bagi kami, karena kelalaian dan kealpaan tidaklah pernah hilang dan lepas dari kami, para istri ….dan semoga Allah memberi pahala atas apa yang engkau lakukan kepada kami.amiin.Wallahu ‘alam bisshawwab.

sumber bacaan:

1.30 Larangan Wanita,Amr bin Abdul Mun’im,Pustaka Azzam

2.Jati Diri Wanita Muslimah,Dr.Muhammad Ali Al-Hasyimi,Pustaka Al-Kautsar.

http://jilbab.or.id/archives/129-yaukhtijanganlah-engkau-ceritakan-sifat-temanmu-kepada-suamimu/



Share

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.