Dari Syadad bin Aus ra, dari Nabi Muhammad SAW, bahwa beliau berkata,
‘Orang yang pandai adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya
sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang
yang lemah adalah orang yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta
berangan-angan terhadap Allah SWT. (Imam Turmudzi) berkata, ‘Hadits ini
adalah hadits hasan, dan makna sabda Rasul SAW ( دان نفسه ) adalah (
حاسب نفسه في الدنيا قبل أن يحاسب يوم القيامة ) ‘orang yang menghisab
(mengevaluasi diri) di dunia sebelum dihisab pada hari akhir.’
Dan
diriwayatkan dari Umar bin Khatab ra beliau berkata, ‘hisablah
(evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah
(bersiaplah) kaliau untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan
bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang
yang menghisab dirinya di dunia. Dan diriwayatkan pula dari Maimun bin
Mihran bahwa ia berkata, seoarng hamba tidak dikatakan bertakwa hingga
ia menghisab dirinya sebagaimana dihisabnya pengikutnya dari mana
makanan dan pakaiannya.
Takhrij Hadits
- Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dalam Jami’nya, kitab Shifatul Qiyamah
War Raqa’iq Wal Wara’ An Rasulillah SAW, bab Minhu, hadits no. 2383.
- Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Sunannya, Kitab Al-Zuhud, Bab Dzikrul Maut Wal Ist’dad Lahu, hadits no. 4250.
-
Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, dalam
Musnad Al-Syamiyin, hadits Syadad bin Aus, hadits no. 16501.
Ketiga
riwayat di atas, sama-sama dari jalur sanad Abi Bakr bin Abi Maryam,
dari Dhamrah bin Habib, dari Syadad bin Aus, dari Rasulullah SAW.
Dilihat dari segi sanadnya, terdapat perawi didhaifkan oleh ulama jarh
wa ta’dil, yaitu Abi Bakr bin Abi Maryam. Beliau merupakan salah seorang
atbaut tabiin, yang tinggal di Syam dan wafat pada tahun 156 H. Dan
kendatipun terdapat perawi yang dha’if, Imam Turmudzi mengatakan bahwa
hadits ini adalah hadits hasan. Bisa jadi Imam Turmudzi melihat terdapat
sanad lain selain dari jalur Abi Bakr bin Abi Maryam, meskipun penulis
sendiri belum menemukan jalur sanad lain tersebut. Wallahu A’lam.
Gambaran Umum Hadits
Hadits
diatas menggambarkan mengenai urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam
menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan
rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu
menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut,
seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf),
strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah). Hal
terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW
dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah SAW mengaitkan
evaluasi dengan kesuksesan ( الكيس ), sedangkan kegagalan ( العاجز )
dikaitkan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.
Indikasi Kesuksesan dan Kegagalan
Hadits
di atas dibuka Rasulullah SAW dengan sabdanya, ( الكيس من دان نفسه وعمل
لما بعد الموت ) ‘oarng yang pandai (sukses) adalah orang yang
mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya.’
Ungkapan
sederhana di atas sungguh menggambarkan tentang sebuah visioner yang
harus dimiliki seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan
menembus dimensi kehidupan dunia, yaitu visi hingga pada kehidupan
setalah kematian.
Seorang muslim tidak seharusnya hanya
berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka
waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi
& planing untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi.
Karena
orang yang sukses adalah orang yang mampu mengatur keinginan singkatnya
demi keinginan jangka panjangnya. Orang bertakwa adalah orang yang
‘rela’ mengorbankan keinginan duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia,
‘kebahagian kehidupan ukhrawi.’
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT
seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya mengenai visi besar ini,
diantaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr/ 59 : 18 – 19
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti
orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa
kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tiada
sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga;
penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.”
Muhasabah
atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW
sebagai kunci pertama dari kesuksesan ( الكيس ). Karena sekali lagi,
orang yang sukses akan selalu mengevaluasi dari kinerja pribadi yang
telah dilakukannya.
Selain itu, Rasulullah SAW juga menjelaskan
kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya
setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh
Rasulullah SAW dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ( وعمل لما
بعد الموت )’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan
hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah SAW langsung setelah
penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti
apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Terdapat hal
menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan
Rasulullah SAW mengenai kesuksesan. Tersirat dari hadits di atas, orang
yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk
kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi
tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan
kepribadiannya sendiri.
Sementara banyak sekali pribadi-pribadi
maupun institusi yang mengevaluasi kinerja atau aktivitasnya lantaran
orang lain, atau agar dinilai ‘baik’ oleh pihak lain. Di sinilah
perbedaan mendasar evaluasi Islami dengan evaluasi non Islami. Evaluasi
Islam adalah mengevaluasi demi perbaikan diri dan agar mendapatkan cinta
Allah SWT. Maka konsekewnsinya adalah, beramal untuk kehidupan setelah
kematian. Sementara evaluasi non Islami, evaluasinya dilakukan agar
dinilai pihak lain baik, profesional dan kompetebel.
Sementara
kebalikan dari hal tersebut yaitu kegagalan, yang disebut oleh
Rasulullah SAW dengan ( العاجز ) ‘orang yang lemah’, memiliki dua ciri
mendasar yaitu yang pertama adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya (
من اتبع نفسها هواها ). Membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak
memiliki planing, tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih
memuhasabahi perjalanan hidupnya. Dan orang yang seperti ini sudah akan
terukur kegagalannya. Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak
angan-angan dan khayalan, ( وتمنى على الله )’berangan-angan terhadap
Allah.’
Maksud berangan-angan terhadap Allah SWT adalah
sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi,
sebagai berikut : Dia (orang yang lemah), bersamaan dengan lemahnya
ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya, tidak
pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa
Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Urgensi Muhasabah
Imam
Turmudzi setelah meriwayatkan hadits diatas, juga meriwayatkan ungkapan
Umar bin Khatab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi
dari muhasabah.
1. Mengenai muhasabah, Umar ra mengemukakan :
‘Hisablah
(evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah
(bersiaplah) kaliau untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan
bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang
yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.
Sebagai sahabat yang
dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi
ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa
orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di
yaumul akhir kelak. Umar faham bahwa setiap insan akan dihisab, maka
iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan
hisab dari Allah SWT.
2. Sementara Maimun bin Mihran ra mengatakan :
‘Seorang
hamba tidak diakatan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana
dihisabnya pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.
Maimun
bin Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat
pada tahun 117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga
beliau mengaitkan muhasabah dengan ketakwaan.
Seseorang tidak
dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri.
Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang
yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa,
pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.
3.
Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari
akhir akan datang menghadap Allah SWT dengan kondisi sendiri-sendiri
untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah SWT
menjelaskan dalam Al-Qur’an : “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada
Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (QS. Maryam/ 19 : 95)
Setiap
manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas segala amal perbuatan
yang telah dilakukannya secara sendiri-sendiri. Dan seringkali manusia
melupakan hal ini, sementara semakin hari semakin dekat antara dirinya
dengan hisab tersebut. Allah SWT berfirman : “Telah dekat kepada manusia
hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam
kelalaian lagi berpaling (daripadanya).” (QS. Al-Anbiya’/ 21 : 1).
Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi (Dievaluasi)
Terdapat
beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia
menjadi orang yang pandai & sukses ( الكيس ) sebagaimana yang
disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits di atas, diantaranya yaitu :
1. Aspek Ibadah ( الجانب التبعدي )
Pertama
kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena
ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini;
‘Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
menyembah kepada-Ku.’ (QS. 51 : 56). Artinya ibadah merupakan tugas
& pekerjaan utama manusia dalam menjalani kehidupannya.
Oleh
karenanya, sepatutnya aspek ibadah menjadi perhatian utama evaluasi bagi
manusia. Evaluasi aspek ibadah ini, mencakup dua hal ; ibadah yang
wajib dan ibadah yang sunnah.
a. Ibadah wajib.
Ibadah
wajib adalah ibadah yang tidak bisa tidak, harus dikerjakan oleh setiap
muslim. Minimal sekali adalah ibadah yang terdapat dalam rukun Islam;
shalat, puasa, zakat dan juga haji. shalat berdasarkan hadits Nabi
Muhammad SAW merupakan perkara yang pertama kali akan dihisab oleh Allah
SWT pada hari akhir ;
Sesungguhnya yang pertama kali akan
dihisab dari seroang hamba adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka
sungguh ia beruntung dan sukses. Namun jika shalatnya fasad (rusak/
cacat) maka sungguh ia akan menyesal dan merugi. (HR. Nasa’i)
Dalam
hadits lain tentang muflis (orang yang bangkrut), dikatakan oleh
Rasulullah SAW bahwa orang yang muflis didatangkan kehadapan Allah SWT
dengan amalan shalat, puasa dan zakat, namun juga membawa ‘dosa’ suka
mencela, menuduh, memukul, memakan harta orang lain dsb:
‘Orang
yang bangkrut dari umatku di hari kiamat adalah orang yang datang dengan
(pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa
(dosa) mencela kehormatan orang lain, menuduh orang lain, memakan harta
orang lain dan memukul orang lain.(HR. Muslim)
Hadits di atas
menggambarkan bahwa pada hari akhir kelak, yang pertama kali dimintai
pertanggung jawaban adalah ibadah-ibadah fardhu terlebih dahulu, seperti
shalat, puasa dan zakat. Baru kemudian setelah itu amaliyah-amaliyah
yang lain. Belum lagi hadits-hadits lain yang menggambarkan tentang
urgensi ibadah-ibadah fardhu.
Kaitannya dengan muhasabah, bahwa
setiap musim harus berusaha untuk meningkatkan amal ibadah fardhunya.
Mulai dari niat, tatacara, pelaksanaan, penghayatan, pemberian dampaknya
dalam kehidupan, kontinyuitas dsb. Peningkatan tersebut harus
didasarkan pada evaluasi dirinya atas ibadah fardhu yang telah
dilakukannya. Apa kekurangan & kelemahan dalam pelaksanaannya. Apa
pula faktor-faktor yang selama ini dapat meningkatkan kualitas ibadah
tersebut, dsb.
Pada intinya perlu dijaga, agar jangan sampai
amaliyah ibadah fardhu ini menjadi berkurang dan memiliki cacat dalam
pelaksanaannya. Karena cacatnya amaliyah ini, akan berdampak pada
cacatnya amaliyah lainnya. Sehingga peningkatan pada aspek ini sangat
mutlak diperlukan.
b. Ibadah sunnah
Ibadah sunnah juga
tidak kalah pentingnya dengan ibadah fardhu. Karena ibadah sunnah akan
menjadi penyempurna bagi ibadah fardu. Bahkan ulama mengatakan bahwa
salah satu indikasi kesempurnaan keimanan seorang mu’min adalah
kelanggengannya dalam melaksanakan ibadah sunnah.
Rasulullah SAW
sendiri memberikan porsi dalam aspek ini dengan begitu besarnya.
Perhatikan saja sebagaimana yang diakatakan Aisyah, bahwa beliau SAW
shalat malam hingga kedua kakinya bengkak-bengkak. (HR. Bukhari Muslim)
Kemudian
bagaimana beliau berpuasa sunnah, dzikrullah, tilawah Al-Qur’an, infak
shadaqah, berbuat ihsan, dsb. Kesemuanya menggambarkan betapa aspek ini
sangat diperhatikan oleh Rasulullah SAW dan juga para sahabatnya.
Evaluasi
dalam ibadah sunnah sangat penting, karena terkadang karena sifatnya
yang hanya ‘sunnah’, seringkali pelaksanaannya terabaikan. Sementara
urgensi ibadah sunnah ini sangat signifikan dalam peningkatan ketakwaan
dan ketaqurruban seseorang kepada Allah SWT serta dalam menjaga
keistiqamahan. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah bersabda:
‘Segeralah
melakukan amal shaleh, sebab akan terjadi fitnah besar bagaikan gelap
malam yagn sangat gulita. Ketika itu seseorang beriman pada pagi hari,
sementara pada sore harinya ia kufur kepada Allah SWT. Dan pada sore
hari seseorang beriman, sementara pagi harinya ia kufur kepada Allah
SWT. Ia menukar agamanya demi sedikit keuntungan duniawi.” (HR. Muslim)
Secara
tersurat hadits ini menggambarkan mengenai sifat dari amal shaleh (yang
unsur terpentingnya adalah ibadah sunnah), akan menjaga keimanan,
terhindar dari fitnah serta menjaga keistiqamahan. Karena tantangan
& fitnah di ‘luar’ demikian besarnya. Sesuatu yang haq, bisa
diputarbalikkan menjadi seolah-olah batil, demikian juga sebaliknya.
Dari
sini tampak jelas, urgensitas dari ibadah sunnah tersebut. Karena
‘cacatnya’ perhatian pada ibadah sunnah, akan berakibat pada hilangnya
‘kestabilan’ iman, mudah terperdaya dengan fitnah, bahkan terseret pada
jurang kehinaan (na’udzubillah min dzalik).
Sektor terpenting
dari ibadah sunnah yang perlu dievaluasi diantaranya adalah pada aspek
qiyamul lail, shalat dhuha, shaum sunnah, tilawatul qur’an, dzikrullah,
infaq shadaqah, dzikrul maut, dsb. Sedangkan bentuk evaluasinya sama
sebagaimana evaluasi pada ibadah ibadah fardhu.
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki ( الجانب العملي والتكسبي )
Aspek
kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan
ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap
bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh
pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
bersabda :
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad SAW bahwa
beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari
kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa
dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana
ia memperolehnya & kemana dibelanjakannya & ilmunya sejauh mana
pengamalannya?’ (HR. Turmudzi)
Hadits di atas menggambarkan
tentang akibat dari melalaikan unsur perolehan harta. Bahwa seseorang
tidak akan bergerak kedua tapak kakinya di akhirat kelak, hingga ia
ditanya tengan 5 hal, diantaranya tentang sumber penghasilannya. Senada
dengan hadits tersebut, Allah SWT sesungguhnya telah mewanti-wanti agar
jangan seseorang memakan atau mencari harta dengan cara yang bathil:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa/
4 : 29)
Imam As-Suyuti ketika menjelaskan tentang memakan harta
dengan cara batil, beliau menafsirkannya dengan ( بطريق غير مشروع مخالف
حكم الله تعالى ) ‘dengan cara tidak sesuai dengan syariat dan
bertentangan dengan hukum Allah SWT’. Artinya segala macam bentuk usaha,
yang substansi pekerjaannya, cara pelaksanaannya, mekanismenya dan
sistemnya tidak syar’i dan bertentangan dengan hukum Islam, maka itu
adalah batil.
Pada intinya, semua pekerjaan dan sumber
penghasilan yang telah didapatkannya, harus dievaluasi kembali. Apakah
semuanya sudah jelas kehalalannya? Ataukah masih terdapat hal-hal yang
berbau syubhat dan keharaman?
Jika dalam evaluasi terdapat satu
sumber penghasilan yang mengandung keharaman, maka harus segera
ditinggalkan, kendatipun besarnya penghasilan dari aspek tersebut.
Misalnya dari bunga bank, investasi ribawi (obligasi, pasar uang, pasar
modal non syariah), MLM yang tidak sesuai dengan syariah, klaim dari
asuransi non syariah, pemberian yang terkait dengan jabatan &
kedudukannya, dsb.
3. Aspek Kehidupan Sosial Keislaman ( الجانب الحياة الإجتماعية الإسلامية )
Aspek
yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan
sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama
manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana
yang digambarkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits :
Dari Abu
Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah
orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut
diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki
perhiasan.’
Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari
umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat,
puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh,
mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain.
Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya.
Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan
kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya,
lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan
aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan
Rasulullah SAW dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa
pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia
juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan
interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela,
menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb.
Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya.
Bahkan
karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut,
maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada
dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan
dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.
Oleh
karenanya, hendaknya aspek ini dievaluasi. Bagaiamana selama ini kita
bersosialisasi dengan masyarakat, bergaul dengan tetangga, beraktivitas
dengan teman kerja, berakhlak di jalan raya, dsb? Jika terdapat aib atau
cacat di sana, maka perbaikilah.
4. Aspek Da’wah ( الجانب الدعوي )
Aspek
ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut
dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi
dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul
karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan
kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.
Tetapi
yang cukup urgens dan sangat substansial pada evaluasi aspek da’wah ini
yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam
skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah
yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah
kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu da’wah itu
sendiri.
Evaluasi pada bidang da’wah ini jika dibreakdown dalam
setiap sektor, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah
dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi da’wah dalam bidang
da’wah ‘ammah, evaluasi da’wah dalam bidang siyasi, evaluasi da’wah
dalam bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, da’wah harus
dievaluasi, agar harakah da’wah tidak hanya menjadi simbol yang
substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai
da’wah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi
da’wah yang sama-sama kita lakukan : Katakanlah: "Inilah jalan (agama)
ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf/ 12 : 108)
Penutup
Evaluasi
dapat dilakukan setiap hari, setiap pekan, setiap bulan, tri wulan,
smeseter, tahunan, lima tahunan, sepuluh tahunan, dua puluh tahunan, dua
puluh lima tahunan, dan seterusnya tergantung kebutuhan. Yang terbaik
adalah evaluasi dalam segala kesempatan dimana kita dapat mengevaluasi.
Imam
Syahid Hasan Al-Banna menyarankan agar kita mengevaluasi secara harian
terhadap amal ibadah yang dilakukan secara harian pula. Karena diantara
hikmahnya, agar setiap amal harian kita terstruktur dengan baik dan agar
keesokan harinya kita bisa beramal lebih baik dari yang diamalkan hari
ini atau hari kemarin. Namun evaluasi harian saja tidak akan cukup,
tanpa adanya evaluasi pekanan. Evaluasi pekananpun tidak akan sempurna
tanpa evaluasi bulalan. Dan evaluasi bulanan juga tidak akan berarti
banyak tanpa evaluasi tahunan.
Evaluasi akan menentukan kembali
arah yang akan dituju. Evaluasi juga akan membentuk seperti apa kita
akan menjadikan diri kita. Dan evaluasi juga akan menjadikan format
hidup kita lebih teratur dan pastinya lebih baik. Akhirnya marilah kita
mengevaluasi masing-masing diri kita sendiri. Allah SWT berfirman “Dan
untuk yang demikian itu, hendaklah orang-orang saling berlomba.” (QS.
Al-Mutaffifin/ 83 : 26)
Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag
Sumber : http://www.eramuslim.com/syariah/tafsir-hadits/nilai-muhasabah.htm
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Kamis, 10 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar