Rabu, 16 November 2011

Mengukur Aib Bersama

Oleh: Muhammad Nuh

Kirim Print


dakwatuna.com – Kebersamaan kadang tidak selamanya seperti rumput. Selalu setara, sewarna, dan segerak. Ada saja kekurangan di antara sesama mukmin. Karena umumnya manusia memang tidak bisa luput dari aib.

Tak ada gading yang tak retak. Itulah ungkapan sederhana yang memuat makna begitu dalam. Sebuah pengakuan bahwa setiap manusia punya kelemahan dan kekurangan.

Siapa pun kita, selalu ada ‘cacat’. Ada ‘cacat’ berupa ketidaksempurnaan fisik: rupa, penampilan, dan sebagainya. Ada juga ‘cacat’ berupa kelalaian ketika pertarungan antara nafsu dan akal berakhir negatif. Nafsulah yang akhirnya membuat keputusan. Saat itulah, seorang anak manusia melakukan kesalahan. Seperti itu pulakah yang terjadi dengan seorang mukmin?

Kadang orang lupa kalau seorang mukmin pun tetap saja sebagai manusia. Bukan malaikat yang selalu bersih tanpa noda. Sinar iman yang ada dalam hatilah yang akhirnya menentukan. Apakah nafsu yang lagi-lagi bicara, atau iman yang ambil keputusan.

Pertarungan itu begitu sengit. Kekuatan dalam diri saja belum cukup. Karena masing-masing pihak meminta bantuan pihak luar diri. Iman dalam hati dibantu oleh nasihat dan doa dari saudara seiman. Dan nafsu dibantu dengan rayuan setan. Kalau nafsu dan rayuan setan yang jadi pemenang, seorang mukmin tergelincir dalam sebuah kesalahan. Kecil atau besar.

Dari situlah kita mengerti kalau seorang mukmin pun bisa melakukan kesalahan. Tapi, sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang menyesal dan meminta ampunan.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya dalam surah Ali ‘Imran ayat 135, “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”

Lalu, patutkah kelalaian dan ketergelinciran itu menjadi bahan gunjingan. Patutkah keburukan yang kita sebut aib itu disebarkan. Sebagian orang mungkin menyebutnya sebagai risiko. “Siapa yang berbuat, harus menanggung akibat!” ucapan itu boleh jadi keluar merespon keburukan yang terjadi pada saudara mukmin. Termasuk mendapat gunjingan isu yang tidak mengenakkan.

Namun, patutkah kalau gunjingan dan menyebarnya aib disebut sebagai hukuman yang setimpal. Adilkah mengumumkan aib seseorang sebagai sebuah hukuman. Persoalan ini akan meluas ketika berhubungan dengan hukum dan keadilan.

Memang, ada sedikit salah pemahaman antara menyebarkan aib dengan pengumuman hukuman. Menyebarkan aib, apa pun alasannya, tetap terlarang karena bukan itu cara yang dibenarkan Islam. Sementara pengumuman hukuman berkait dengan penegakan hukum dan peringatan buat yang membaca pengumuman. Agar, perbuatan seperti itu jangan pernah dilakukan.

Repotnya ketika sebagian orang lebih enjoy dengan menyebarkan aib sebagai dalih hukuman. Isu dan gosip pun jadi kebiasaan. Aib seorang mukmin menjadi tersebar tak karuan.

Yang jadi pertanyaan, bagaimana mungkin seorang mukmin ringan mengumbar aib saudaranya. Padahal, sudah jelas-jelas Allah swt. melarang menceritakan keburukan sesama mukmin. Firman-Nya dalam surah Al-Hujurat ayat 12, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Ada beberapa kemungkinan kenapa seorang mukmin tega mengumbar aib saudaranya. Kemungkinan pertama, lemahnya pancaran iman dalam hatinya. Iman yang lemah mengecilkan hubungan mulia antar sesama mukmin. Tidak ada lagi keberpihakan. Tidak ada lagi pembelaan terhadap saudara yang sedang ‘jatuh’. Semua menjadi gersang. Kering.

Kedua, tersumbatnya nalar sehat. Nalar yang jernih akan menggiring seorang mukmin melakukan cek dan cek. Periksa dan tabayun. Karena boleh jadi, kabar yang tersiar berbeda jauh dari fakta yang sebenarnya. Ada bumbu. Ada fitnah. Firman Allah swt. dalam surah Al-Hujurat ayat 6, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Kemungkinan ketiga, lunturnya nilai-nilai sosial dalam diri seseorang. Orang seperti ini biasanya mudah iri, dengki, dan mutung. Persoalan kecil yang sebenarnya bisa selesai dengan saling memaafkan, bisa panjang karena cara berpikir yang kerdil. Cacat yang tergolong biasa pada diri seseorang, diolah, dan disebarkan menjadi masalah besar.

Ada kemungkinan yang lain. Seseorang terhinggapi penyakit merasa serba tahu. Urusan yang sebenarnya masih samar, terlihat seperti jelas. Ia malu kalau orang menganggapnya tidak tahu. Dari situlah, membuat-buat cerita berlangsung cepat.

Orang seperti itu pula yang tidak bisa memegang rahasia. Padahal rahasia dalam nilai Islam merupakan amanah. Rahasia besar atau kecil.

Hidup dalam kebersamaan memang sulit seperti rerumputan. Setara, sewarna, dan sederajat. Tapi yakinlah, kebersamaan sesama mukmin jauh lebih mulia dari apa pun. Karena kebersamaan itu selalu dalam gerak. Sedangkan rerumputan senantiasa diam.


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/mengukur-aib-bersama/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.