Sabtu, 26 November 2011

Kewajiban Kita Terhadap Pemuliaan Al-Qur'an


Kita telah membahas hadits-hadits dan atsar di atas dengan gambaran yang amat cemerlang yang menjelmakan arti Al-Qur’an dalam praktek kebiasaan hidup sehari-hari, yang menyentuh perasaan dan fikiran.

Itulah keadaan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dan para sahabatnya dalam menjunjung tinggi Al-Qur’an, baik dalam membaca, mere-nungkan, dan mengamalkannya. Keadaan seperti itulah yang dikehendaki Allah bukan selainnya. Diriwayatkan bahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam mensifati golongan yang selamat (Firqatun Najiyah) bahwasanya mereka itu seperti keadaan beliau dan para sahabatnya.

Kita bandingkan pada saat ini keadaan kita dalam me-muliakan Al-Qur’an dengan mensejajarkan gambaran ce-merlang mereka untuk mengetahui sejauh mana kita menga-malkan pemuliaan tersebut. Pada saat ini –alhamdulillah– kita lihat perhatian yang baik terhadap Al-Qur’an. Kini Al-Qur’an telah menjadi hidangan bagi siapa saja yang mau membacanya dengan mushaf atau mendengarkannya melalui kaset sangat banyak dan tak terhitung.

Di negeri Makkah dan Madinah –mudah-mudahan Allah menjaga keduanya– terdapat sekolah-sekolah menghafal Al-Qur’an yang tersebar diseluruh penjuru negeri dan sekitar-nya. (Kumpulan penghafal Al-Qur’an Al-Khairiyyah, de-ngan beasiswa) telah tersebar di kota-kota dan pedesaan, hal ini merupakan usaha yang patut dihargai. Tidak diragukan hal ini termasuk pengagungan terhadap Al-Qur’an tetapi ada langkah-langkah yang harus disertakan yaitu sisi pengamalannya. Dan ini merupakan sisi terpenting dari maksud diturunkannya Al-Qur’an.

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad: 29)

Al-Hasan Al-Basri berkata: “Merenungkan ayatnya yang dimaksud adalah mengikutinya.”

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepada-nya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-nya, mereka itu beriman kepadanya.” (Al-Baqarah: 121).

Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas c berkata: “Mereka mengikuti dengan sebenar-benarnya.”

Bagaimana pendapatmu tentang keadaan kaum muslimin di zaman ini dalam pemuliaan Al-Qur’an? Memikirkan keadaan kaum muslimin saat ini di belahan bumi timur dan barat, maka akan terlihat bobroknya sisi ini. Sangat jelas perbedaan yang mencolok antara kita dengan para salaf ridhwanullahi ‘alaihim baik dari segi perorangan atau secara kemasyarakatan. Kami ajak anda memperhatikan tentang hal itu.

Al-Allamah Muhammad Al-Amiin Asy-Syanqithi v menyebutkan ringkasan keutamaan Al-Qur’an dan hidayah-nya kemudian berkata: “Saat ini kebanyakan orang yang mengaku muslim di penjuru dunia berpaling dari merenung-kan ayat-ayat Al-Qur’an dan bersikap acuh terhadap firman Allah Subhannahu wa Ta'ala yang menciptakan mereka:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)

Mereka tidak beradab dengan adab Al-Qur’an, tidak ber-akhlak dengan keutamaan akhlak yang termaktub di dalam-nya, meminta hukum kepada syari’at yang sesat yang tidak sesuai bahkan mengacuhkan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)

Dan juga firmanNya:
“Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 60)

Bahkan orang yang beradab dengan adab Al-Qur’an dan berakhlak dengannya dengan akhlak yang mulia menjadi hina di sisi mereka kecuali orang-orang yang dipelihara Allah. Orang-orang yang menghina dan merendahkan Al-Qur’an maka Al-Qur’an akan merendahkan mereka lebih parah lagi sebagaimana dikatakan Imam Asy-Syafi’i :

“Orang ini menjauh tiada mau mendekati orang itu.
Akan tetapi orang itu lebih lagi menjauhinya.”

Berhati-hatilah wahai saudara! Berhati-hatilah dari me-ninggalkan Al-Qur’an seperti kebanyakan orang yang me-ninggalkannya dan menghina pengamal Al-Qur’an dan pe-nyeru kepadanya. Ketahuilah bahwa orang yang berpikiran cerdas tidak memperhatikan kecaman orang-orang gila.

Saya (penulis) katakan bahwa orang yang merenungkan keadaan kaum muslimin saat ini dia akan melihat apa yang dikemukakan syaikh di atas, lebih jelas dari fajar ketika menyingsing. Tidak membutuhkan keterangan bahkan kare-na perkaranya sebagaimana dikatakan penyair:
“Tidak dibenarkan akal sehat, jika siang hari membutuh-kan petunjuk dalil.”

Sedang persoalan yang otomatis muncul adalah: Apakah yang menyebabkan tertinggalnya kaum muslimin sekarang jika dibandingkan kaum pendahulu mereka dalam penge-nalan akhlak dan adab Al-Qur’an serta pengembalian selu-ruh urusan mereka kepadanya?


Sebab Lemahnya Keadaan Kita Saat Ini Di-Bandingkan Kaum Salaf Dalam Pemuliaan Menjunjung Tinggi Al-Qur’an

Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas sudah terdapat pada atsar Ibnu Umar dan hal itu cukup sebagai pegangan sebagaimana dikatakan: “Di hadapan orang alim saya menyerah,” beliau menjelaskan pembelaan para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim dan amal mereka terhadap Al-Qur’an serta pewujudan pemuliaan padanya, sebagaimana beliau jelaskan sebab lemahnya dalam beramal dengan Al-Qur’an.

Beliau (Ibnu Umar ) berkata: “Aku telah hidup dalam waktu yang singkat dari umurku di dunia ini. Sesungguhnya salah seorang diantara kita diberikan iman sebelum Al-Qur’an dan surat-surat Al-Qur’an masih turun berkesinam-bungan kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, maka kami belajar tentang halal dan haramnya serta apa-apa yang seyogyanya kami perhatikan sebagaimana kalian mempelajari Al-Qur’an, sungguh aku melihat kaum yang salah satunya diberi Al-Qur’an sebelum keimanan maka dia membacanya dari Al-Fatihah hingga menghatamkannya namun ia tidak tahu apa yang diperintah dan yang dilarang serta hal-hal yang seyogyanya diperhatikan darinya bagai menebar biji kurma yang usang.”

Keimanan yang ditunjukkan oleh Ibnu Umar dengan perkataannya: “Sesungguhnya di antara kita diberikan iman sebelum Al-Qur’an”, adalah keimanan bahwa Al-Qur’an di-turunkan untuk direnungkan ayat-ayatnya dan diamalkan-nya. Itulah keimanan yang ditunjukkan oleh para sahabat ridhwanulahi ‘alaihim untuk mengaplikasikan pemuliaan Al-Qur’an dalam wujud yang nyata. Maka ketika turun surat/ayat, mereka bersegera untuk mempelajari dan menga-malkannya, sebagaimana perkataan Ibnu Umar di atas: “Surat masih turun berlangsung kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam maka kami belajar tentang hukum halal dan haramnya serta hal-hal yang seyogyanya diperhatikan.”

Abu Abdurrahman As-Sulami berkata: “Orang-orang ahli Al-Qur’an mengabarkan pada kami bahwa mereka dahulu dibacakan oleh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Setelah itu mereka belajar sepuluh ayat dan tidak pindah pada yang lain sebelum mengamalkan isinya.”

Inilah kenyataan dalam diri para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim. Mereka melihat pentingnya belajar Al-Qur’an dan beramal dengannya karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Dan mereka mengajarkan hal itu pada murid-murid mereka dari kalangan tabi’in. Sebagaimana dikatakan Ibnu Umar dalam perkataannya di atas: “Sebagaimana kalian belajar Al-Qur’an.” Dan berkata Abu Abdurrahman As-Sulami salah seorang murid sahabat: “Kami belajar Al-Qur’an dan me-ngamalkannya secara bersamaan.” Hal ini menjadi manhaj (sistem) yang tersusun di kalangan para tabi’in, hingga me-reka mengingkari dengan amat kuat orang yang melanggar-nya.

Al-Hasan Al-Bashri salah seorang pemuka tabi’in berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini telah dibaca budak-budak dan anak-anak yang tidak mengetahui ta’wilnya dan tidak merenungkannya, tidak menghafal huruf-hurufnya, meninggalkan ketentuan-ketentuannya hingga salah seorang mereka berkata: “Aku telah membaca Al-Qur’an seluruhnya tanpa tersisa satu huruf pun!” Padahal demi Allah, mereka menggugurkan semua isinya, Al-Qur’an tidak terlihat sedikit pun dalam akhlak dan amalnya. Sehingga jika seorang dari mereka berkata: “Aku membaca satu surat dalam sekali nafas.” Demi Allah, mereka bukan ahli pembaca dan bukan ahli hukumnya dan bukan orang yang waro’ (meninggalkan perbuatan dosa).” Sejak kapan Al-Qur’an dijadikan seperti ini? Mudah-mudahan Allah tidak memperbanyak orang-orang seperti mereka!

Atsar ini memperkuat perkataan Ibnu Umar yang menga-takan bahwa lemahnya mengamalkan Al-Qur’an disebabkan tidak adanya iman dalam hati. Sehingga perkataan beliau: “Aku melihat seseorang yang diberi Al-Qur’an sebelum keimanan maka ia membaca dari mulai Al-Fatihah hingga khatam namun tidak tahu apa-apa yang diperintahkan dan dilarang.” Maksudnya orang-orang yang aku temui, lemah dalam beramal. Salah seorang dari mereka membaca Al-Qur’an tetapi dalam hatinya tidak memiliki iman pada kewa-jiban untuk mengamalkannya dan hal-hal yang harus dijauhi.

Keterangan di atas telah menjelaskan kepada kita bahwa keimanan kaum salaf adalah dengan terus menerus mempelajari dan mengamalkan Al-Qur’an, itulah yang membuat mereka benar-benar memuliakan Kitab Allah Subhannahu wa Ta'ala , begitu pula sebaliknya, kelemahan iman di hati membuat seseorang me-remehkan pemuliaan Kitab ini, sebagaimana dikritisi oleh Ibnu Umar dan Al-Hasan .

Maka seberapa tinggi tingkat iman seseorang hamba di hati setinggi itu pula terwujud pemuliaannya pada kitab Al-Qur’an dan semakin dekatnya pada derajat kaum salaf. Begitu pula sebaliknya, seberapa rendahnya iman di hati seseorang sekian itu pula terjadi pelecehan terhadap kemuliaan Al-Qur’an dan jauhnya dia dari derajat kaum salaf. Jadi setiap orang terukur dengan jiwa (keimanan)-nya. Semoga Allah menggelar anugerahNya, sebab Dia-lah Tempat memohon

Bagaimana Mengaplikasikan Pemuliaan Al-Qur’an

“Sesungguhnya umat ini tidak akan baik kecuali dengan sesuatu yang dapat memperbaiki umat pendahulunya,” demikian kata Imam Malik . Manhaj para sahabat dalam hal ini merupakan satu-satunya manhaj yang mampu mewu-judkan perbaikan yang didambakan. karena mereka telah berguru kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan sesudahnya berguru kepada para sahabatnya.

Maka harus ada usaha da’wah yang gencar untuk memperbaharui manhaj, agar nash-nash (Al-Qur’an dan Al-Hadits serta perkataan sahabat tersebut di atas menjadi kenyataan yang jelas. Saya ingin menunjukkan beberapa hal yang dapat membantu dalam mengimplementasikan pemu-liaan Al-Qur’an sebagai berikut:

Langkah awal adalah bertaubat dengan sungguh-sungguh dari semua dosa-dosa dan maksiat, terutama penyakit hati hingga hati menjadi siap menerima firman Allah.

Menurut hukum akal yang diceritakan Ibnul Qayyim berkata: “Sebuah tempat bisa menerima apa saja dengan syarat dikosongkan dari lawannya.”

Sebagaimana hati yang tenang karena ingat kepada Allah dan membaca Al-Qur’an menjauh dari kebalikannya yaitu senda gurau dan nyanyian. Demikian pula hati yang menye-nangi senda gurau dan nyanyian, ia tidak akan bergairah untuk berdzikir mengingat Allah, membaca Al-Qur’an atau hal-hal yang bermanfaat.

Ibnu Jamaah menjadikan taubat sebagai adab yang pertama bagi penuntut ilmu. Beliau berkata mengenai adab seorang penuntut ilmu: “Hendaklah ia mensucikan hati-nya dari perasaan seperti; khianat, kotor, dengki, dendam, hasad, aqidah yang jelek dan tingkah laku negatif. Jika semua hal itu bisa dihilangkan maka ia bisa menerima ilmu dengan baik, menghafalnya, menelusuri makna-maknanya dari sesuatu yang terasa hambar sebelumnya. Sesungguhnya ilmu itu sebagaimana dikatakan sebagian ahlinya adalah shalatnya jiwa, ibadahnya hati dan pendekatan batin, seba-gaimana shalat yang dilakukan anggota badan yang tampak tidak sah kecuali dengan sucinya anggota badan dari najis dan kotoran maka ilmu yang merupakan ibadahnya hati juga tidak akan diterima dengan baik kecali dengan penyucian dari sifat-sifat jelek dan tingkah laku rendahan.

Hati yang baik akan tampak keberkahannya bagi ilmu untuk tumbuh dan berkembang, sebagaimana bumi yang su-bur jika ditanami akan menumbuhkan tanaman dan berkem-bang. Dalam hadits dikatakan bahwa sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal darah, jika ia baik akan baik seluruh jasadnya dan jika jelek akan jelek pula seluruh jasad, ke-tahuilah segumpal darah itu adalah hati.

Sahl Ibnu Abdullah At-Tusturi berkata: “Diharamkan cahaya masuk ke dalam hati jika di dalamnya ada sesuatu yang dibenci Allah Subhannahu wa Ta'ala .”

Imam Asy-Syafi’i berkata:
“Aku mengadu pada Imam Waki’ jeleknya hafalanku
Maka beliau menunjukiku agar meninggalkan maksiat
Dan beliau memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada
Orang yang bermaksiat.”

Jika hal itu merupakan syarat penuntut ilmu secara umum maka lebih ditekankan lagi bagi penuntut ilmu Al-Qur’an (agama).

Pembaca/pendengar Al-Qur’an harus merasa bahwa dirinya merupakan orang yang diajak bicara (mukhatab).

Ibnu Mas’ud Radhiallaahu anhu berkata: “Jika engkau mendengarkan ayat wahai orang-orang yang beriman, maka dengarkanlah dengan seksama di situ ada kebaikan yang diperintahkan untuk dijalankan atau kejelekan yang harus dihindari.”

Al-Hasan Ibnu Ali berkata: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian melihat Al-Qur’an sebagai surat dari Tuhan mereka. Maka mereka merenungkannya diwaktu malam dan membacanya di siang hari.”

Al-Ajuri berkata: “Seorang mukmin yang berakal ji-ka membaca Al-Qur’an ia menelitinya seakan-akan ia ber-cermin, ia melihat kebaikan dan kejelekan yang dibuatnya serta berhati-hati terhadap hal-hal yang diperintahkan Tu-hannya, dan merasa takut terhadap yang diancamkannya, ia tertarik pada anjuran Tuhannya dengan mengharap pahala-nya. Barangsiapa memiliki sifat ini atau hampir mendekati-nya berarti ia membaca Al-Qur’an dengan sebenarnya, men-jaga hukum-hukumnya dan nantinya di hari Kiamat Al-Qur’an akan menjadi saksi baginya, pemberi syafaat, sahabat dan pelindungnya. Dan barangsiapa menghiasi dirinya de-ngan sifat-sifat di atas maka ia telah memberi manfaat bagi dirinya, keluarganya dan kembali kepada kedua orang tua-nya dan anaknya dengan segala kebaikan dunia dan akhi-rat.”

Ibnul Qayyim berkata: “Jika kamu ingin mengambil manfaat dari Al-Qur’an maka kumpulkan hatimu ketika membacanya atau mendengarkannya, arahkan pendengaran-mu dan hadirkan pikiranmu sebagaimana hadirnya orang yang diajak bicara, karena Al-Qur’an itu firman Allah me-lalui lidah RasulNya Shalallaahu alaihi wasalam .”

Ikut merasakan keadaan Rasulullah ketika Al-Qur’an diturunkan pada beliau Shalallaahu alaihi wasalam .

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Melihat su-sunan ayat dengan mengetahui keadaan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dan sejarah beliau bersama sahabat-sahabat dan musuh-musuh ketika turunnya, adalah bagian terpenting untuk mengetahui dan memahami maksud dari Al-Qur’an.”

Sayyid Qutb berkata: “Sesungguhnya ayat-ayat Qur’aniyah tidak dapat dicapai dengan sesungguhnya, jika hanya mendalami arti dan bahasanya saja, tetapi kita akan memahami pertama kali dengan mengetahui kehidupan sua-sana sejarah yang dinamik dan dalam kenyataan yang aktif serta bermuamalah dengan kenyataan hidup kini walaupun amat jauh dan bekasnya lebih mengakar dalam kenyataan sejarah yang datang kemudian. Tidak tersingkap karena jauhnya rentang waktu ini kecuali dengan cahaya kenyataan sejarah tersebut, kemudian yang tetap darinya adalah inspi-rasi dan para pelakunya yang secara terus-menerus. Akan tetapi bagi orang-orang yang berjuang untuk agama ini dan mempraktekkan seperti prakteknya orang-orang yang per-tama kali diturunkan kepada mereka ayat-ayat Al-Qur’an, mereka akan menemui keadaan dan suasana seperti mereka menemuinya.”

Ketika membaca atau mendengarkan Al-Qur’an menghadirkan hati untuk merenungkan dan memahami firman Allah Subhannahu wa Ta'ala .

Sebagaimana firmanNya:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qaaf: 37)

Ibnu Qutaibah berkata: “Mendengarkan Al-Qur’an yaitu dengan keadaan hati menyaksikan dan memahami, bukannya dengan lalai dan lupa.”

Memohon pertolongan kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam mewujudkan hal itu karena pertolongan Allah adalah dasar perwujudan segala kebaikan dan keberun-tungannya.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkanNya, maka kamu tak akan mendapatkan se-orang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepa-danya.” (Al-Kahfi: 17)

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Fathir: 2)

Sebagaimana dikatakan: “Jika tidak ada pertolongan dari Allah bagi seseorang maka pertama kali yang menjerumus-kannya adalah kesungguhannya.”

Maka tidak ada jalan lain bagi yang ingin mewujudkan pemuliaan Al-Qur’an kecuali memohon dengan merendah-kan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala agar menolong kita kepada tujuan tersebut. Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah menujuki hal itu dalam wasiat beliau kepada Muadz Radhiallaahu anhu. Di dalam Sunan Abi Daud dari Muadz bahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam memegang tangannya seraya bersabda:
(( يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ ))
“Wahai Muadz, demi Allah aku menyintaimu aku wasiatkan kepadamu jangan tinggalkan setiap selesai shalat doa ini: ‘Ya Allah lindungilah aku agar selalu mengi-ngatMu dan bersyukur kepadaMu serta memperbaiki ibadah kepadaMu’.”

Tidak diragukan bahwa memuliakan Al-Qur’an termasuk ke dalam wasiat ini sebab Al-Qur’an merupakan dzikir dan memuliakan Al-Qur’an juga merupakan ibadah. 





Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.