Oleh: Tim dakwatuna.com
dakwatuna.com
– Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target
seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang
mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak
mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal
untuk menduduki posisi terhormat di mata Allah swt. Rasulullah saw. pun
sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh
ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang
sempurna dan akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim
hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama
saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian
terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan
utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan
oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini
menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril
—yang menyamar sebagai seorang manusia— mengenai Islam, iman, dan ihsan.
Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya,
“Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama
kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan
Allah swt. memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam
Al-Qur`an.
“Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS. An-Nahl: 90)
Pengertian Ihsan
Ihsan
berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik,
sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah
swt. berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.
“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (Al-Isra’: 7)
“Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (QS. Al-Qashash: 77)
Ibnu
Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk
Allah swt.
Landasan Syar’i Ihsan
Pertama, Al-Qur`anul Karim
Dalam
Al-Qur`an, terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan
implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia
dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat
istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi
landasan akan hal ini.
“Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS An-Nahl: 90)
“… serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….” (QS. Al-Baqarah: 83)
“Dan
berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat,
ibnu sabil, dan para hamba sahayamu….” (QS. An-Nisaa`: 36)
Kedua, As-Sunnah
Rasulullah
saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia
merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, di
antara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi
landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan
mengenai ihsan —ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang
ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan,
“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila
engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR.
Muslim)
Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka
jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih,
sembelihlah dengan baik.” (HR. Muslim)
Tiga Aspek Pokok dalam Ihsan
Ihsan
meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah
ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok
bahasan kita kali ini.
1. Ibadah
Kita berkewajiban ihsan
dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti
shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu
menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak
akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat
pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang
sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah
senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan
diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah
senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan
ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari
ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari
perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa
sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain
jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah
juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin,
mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk
mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah,
Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti
itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam
ibadahnya.
Tingkatan Ibadah dan Derajatnya
Berdasarkan
nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan,
yang pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak
dapat mengukurnya. Karena itulah, kita berlomba untuk meraihnya. Pada
setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang tertinggi
adalah derajat muhsinin, ia menempati Jannatul Firdaus, derajat
tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat bawah akan
saling memandang dengan penghuni surga tingkat tertinggi, laksana
penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang menandakan
jauhnya jarak antara mereka.
Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.
2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3. Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.
Pertama, Tingkat Takwa
Tingkat
takwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka
yang masuk kategori al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketakwaan
masing-masing.
Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan
seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hal ini
berarti meninggalkan salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan
sanksi dan melakukan salah satu larangannya adalah dosa. Dengan
demikian, puncak takwa adalah melakukan seluruh perintah Allah dan
meninggalkan semua larangan-Nya.
Namun, ada satu hal yang harus
kita pahami dengan baik, yaitu bahwa Allah swt. Maha Mengetahui keadaan
hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan
kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah
membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan cara tobat dan
pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah swt. akan mengampuni hamba-Nya
yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak takwa.
Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat puncak takwa,
boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.
Peringkat
ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat
ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun
derajat yang paling rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana
seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka, yaitu dengan iman
yang benar yang diterima oleh Allah swt.
Kedua, Tingkat al-Bir
Peringkat
ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini
sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari
ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai
oleh Allah swt. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang
wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.
Peringkat
ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan
perluasan pada hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya
semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan tambahan
dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan
ini tidak diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu
bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala di dalamnya.
Akantetapi,
mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam
kelompok al-bir, kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu
peringkat takwa. Karena, melakukan hal pertama merupakan syarat mutlak
untuk naik pada peringkat selanjutnya.
Dengan demikian,
barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia
tidak mengimani unsur-unsur kaidah iman dalam Islam, serta tidak
terhindar dari siksaan neraka, maka ia tidak dapat masuk dalam peringkat
ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah swt. berfirman dalam kitab-Nya,
“Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan
tetapi kebaikan itu adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (QS.
l-Baqarah: 189)
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar
seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada
Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami
dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan
wafatkanlah kami bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.” (QS. Ali
‘Imran: 193)
Ketiga, Tingkatan Ihsan
Tingkatan ini akan
dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah
orang-orang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua
(peringkat takwa dan al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian
ihsan dengan sempurna —seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya– maka
kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi:
Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga
keikhlasan dan jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara
(metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan amalan-amalan
sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah
sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.
Untuk
dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai
melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh
Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah swt.
2. Muamalah
Dalam
bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36,
yang berbunyi sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu.”
Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan
adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya,
dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini,
kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam
bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan
tersebut:
Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua
Allah swt.
menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara
keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil.” (QS. Al-Israa’:
23-24)
Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah.
Dalam
sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw.
bersabda, “Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan
kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”
Dalil di atas
menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika
tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita
tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang
ketakwaan, keimanan, dan keislaman.
Kedua, Ihsan kepada kerabat karib
Ihsan
kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan
mereka, bahkan Allah swt. menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan
silatuhrahmi dengan perusak di muka bumi. Allah berfirman, “Maka apakah
kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan
memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad: 22)
Silaturahmi
adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan
sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya
adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits
qudsi, Allah berfirman, “Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku
telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka,
barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan
barangsiapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.”
(HR. Turmudzi)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak
akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR.
Syaikahni dan Abu Dawud)
Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin
Diriwayatkan
oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti
ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).”
Diriwayatkan
oleh Turmudzi, Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa —dari Kaum Muslimin—
yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah
akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan
dosa yang tidak terampuni.”
Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat
Ihsan
kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau
tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh
karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Adapun yang
dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar
pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had,
dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang
tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga
muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim;
sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai
tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw.
menjelaskan hal ini dalam sabdanya, “Demi Allah, tidak beriman, demi
Allah, tidak beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapakah yang tidak
beriman, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang tidak aman
tetangganya dari gangguannya.” (HR. Syaikhani)
Pada hadits yang
lain, Rasulullah bersabda, “Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang
kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia
megetahuinya.”(HR. Ath-Thabrani)
Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya
Rasulullah
saw. bersabda mengenai hal ini, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan
Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)
Selain
itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi
kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya
jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.
Pada riwayat
yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan
hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu berkata lagi,
“Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah ia tujuh
puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)
Dalam
riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba sahaya
membuat makanan untuk salah seorang di antara kamu, kemudian ia datang
membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan asapnya, maka
hendaklah kamu mempersilakannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia hanya
makan sedikit, maka hendaklah kamu memberinya satu atau dua suapan.”
(HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)
Adapun muamalah terhadap
pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum
keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak
sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pribadinya.
Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa
yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.
Pada
akhir pembahasan mengenai bab muamalah ini, Allah swt. menutupnya
firman-Nya yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap
orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (QS. Al-Hajj: 38)
Ayat
di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang
tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya
ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh
Allah swt.
Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia
Rasulullah
saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat,
hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “Ucapan yang baik adalah sedekah.”
Bagi
manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling
menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya
dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka
yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan
tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.
Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang
Berbuat
ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar,
mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya,
tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia
lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya
dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang
tajam.
Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah
Pada
Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw., yaitu
Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan
giginya. Kemudian seorang sahabat meminta Rasulullah saw. berdoa agar
mereka diazab oleh Allah. Akantetapi, Rasulullah malah berkata, “Ya
Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”
Suatu
hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya,
“Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya pun mengipasinya
sampai Umar tertidur. Karena sangat mengantuk, sang hamba pun tertidur.
Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba
sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak
menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata,
“Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan
seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini kepadamu, sebagaimana
engkau melakukannya padaku.”
3. Akhlak
Ihsan dalam akhlak
sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan
mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah
seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah
dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan
melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya
Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang
hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada
akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka
yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam
perilaku dan karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan
pada diri seseorang —yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya– maka
kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia
bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya,
keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua,
maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits, “Aku diutus
hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Kesimpulannya,
ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh
karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha
dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat
tersebut. Siapapun kita, apapun profesi kita, di mata Allah tidak ada
yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik
ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua
dapat mencapai hal ini, sebelum Allah swt. mengambil ruh ini dari kita.
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/ihsan/
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Senin, 07 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar