Jumat, 21 Oktober 2011

Pemimpin: Cerminan Masyarakatnya

Oleh: DR. Amir Faishol Fath

Kirim Print
Allah swt. dalam Al Qur’an sering bercerita tentang Fir’aun, supaya sosok pemimpin seperti Fir’aun tidak muncul lagi dalam hidup manusia. Cukuplah Fir’un sebagai contoh manusia paling kafir, dan jangan sampai ada lagi masyarakat yang mencetak pemimpin seperti dia. Cukuplah Fir’aun sebagai pelajaran, jangan sampai berulang lagi muncul masyarakat seperti masyarakat Fir’aun yang mau dibodohi. Padahal sebenarnya Fir’aun itu sangat lemah. Ia menjadi raja karena dapat dukungan rakyatnya. Coba rakyatnya bersepakat untuk menghancurkannya, Fir’aun pasti tidak akan berdaya apa-apa.

Sayangnya banyak manusia tidak mau belajar dari sejarah. Dari masa ke masa pemipin korup bermunculan di tengah-tengah masyarakat. Sebab memang masyarakat itu sendiri yang korup dan kotor. Akibatnya mereka seperti terjebak dalam lingkaran syetan. Mereka ingin negaranya adil dan damai. Sementara mereka sendiri korup dan kotor. Akibatnya terpilihlah pemimpin yang korup. Akibat lebih jauh, ya terimalah buah perbuatan mereka sendiri. Penderitaan demi penderitaan terus menyertai. Kesengsaraan semakin mencekam. Kelaparan di mana-mana membuat mereka tidak takut lagi untuk menempuh segala cara.

Pemimpin Korup Lahir Dari Masyarakat Yang Korup

Pemimpin yang korup lahir dari masayarakat yang korup. Masyarakat yang kotor dan suka berbuat maksiat. Masyarakat yang tidak serius menjalankan ketaatannya kepada Allah swt. Masyarakat yang suka disogok dan berani menukar idealisme dengan hanya 300 ribu rupiah atau bahkan dua liter beras atau satu kardus mie. Masyarakat yang suka main-main dan menganggap dosa adalah sesuatu yang biasa. Masyarakat yang tidak takut kepada Allah swt. Masyarakat yang tidak berwawasan luas. Masyarakat yang mau dibodohi. Masyarakat yang tidak mau belajar dari sejarah kegagalan masa lalu.

Sungguh tidak ada jalan untuk mengubah sebuah negeri kecuali masyarakatnya harus berubah. Masyarakatnya harus berwawasan luas, bukan masyarakat berwawasan kepentingan sesat. Pun bukan masyarakat yang meterialistis. Melainkan masyarakat yang berani berjuang mempertahankan idealisme. Sebab tidak mungkin masyarakat meterialistis berjuang untuk idealisme. Mereka hanya mampu bertahan ketika kebutuhan materi mereka terpenuhi.

Sungguh bila kita belajar dari perjalanan para sahabat, kita menemukan fakta masyarakat yang berani berkorban apa saja demi sebuah idealisme (baca: iman). Mereka berani hijrah meninggalkan tanah air bahkan harta dan rumah yang sangat mereka banggakan, demi idealisme. Mereka bahkan berani mengorbankan jiwa mereka dalam berbagai pertempuran demi idealisme.

Masyarakat materialistis adalah masyarakat yang mati jiwanya. Mereka hanyalah rangka berjalan, sementara jiwa mereka kosong. Seakan mereka hidup, padahal dalam jiwa mereka tidak ada kemanusiaan. Mereka bergerak bagai binatang buas, yang siap menerkam siapapun yang lemah. Kedzaliman dianggap biasa. Bahkan mereka sambil terbahak-bahak mendzalimi orang lain. Allah swt. menceritakan dalam surat Al Muthafifin 29-32: “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mu’min, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”.

Mereka Lahir dari kebiasaan Berbuat Dosa

Perhatikan ayat yang disebut diatas, betapa kebiasaan berbuat dosa ada hubungannya dengan ketidak seriusan hidup. Mengapa?. Sebab:

Pertama, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka tidak takut lagi kepada Allah swt. Akibatnya mereka berani melakukan segala cara, tidak peduli halal atau haram yang penting tujuan tercapai. Bila rasa takut kepada Allah swt tidak ada, maka otomatis rasa takut kepada manusia lebih tidak ada. Dari susana seperti inilah pemimpin seperti Fir’un muncul. Dan puncak keberanian Fir’un kepada Allah swt kian terlihat ketika ia berkata di depan khalayak pendukungnya: ana rabbukumul a’laa (aku tuhanmu yang paling tinggi). Di sini Fir’un menemukan dirinya sebagai yang paling berkuasa. Perhatikan betapa kebiasaan berbuat dosa telah menyeret seorang pemimpin kehilangan kontrol sehingga ia merasa bebas, bahkan ia merasa bebas dari Allah swt.

Kedua, kebisaan berbuat dosa akan mencabut keberkahan sebuah negeri. Allah swt. berfirman:

”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al A’raf : 96-99).

Ketiga, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka lalai akan kewajiban yang harus dipikul. Dari kelalaian ini banyak dosa-dosa dengan segala dimensinya terjadi. Akibatnya hati mereka menjadi keras. Ketika hati keras, mereka tidak tersentuh lagi dengan teguran Allah swt. Bahkan mereka semakin yakin bahwa dengan dosa-dosa itu mereka kuat dan banyak pendukung. Dari sini kebiasaan mempermainkan Allah swt, merendahkan-Nya, dan mengabaikan tuntunan-Nya, bemunculan bagai jamur. Allah swt yang memiliki langit dan bumi tidak mungkin membiarkan ini tanpa ada konsekwensinya.

Allah swt berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” QS. Al An’am : 42-44.

Keempat, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka bersepakat untuk tolong menolong dalam dosa dan kedzaliman. Pada saat itu firman Allah swt: “Wata’aawanuu ‘alal birri wat taqwaa walaa ta’aawanuu ‘alal itsmi wal ‘udwaan. Dan tolong menolonglah dalam melaksanakan kebaikan dan taqwa. dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” tidak menjadi indah lagi.

Simaklah Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” QS. Al Maidah: 2.

Di sini nampak bahwa memerintahkan takwa setelah memerintahkan agar manusia saling tolong menolong dalam kebaikan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa. Ini menunjukkan bahwa tidak mungkin suatu kaum akan mencapai ketakwaan, semasih tetap berkompromi dalam kedzaliman. Cara-cara kompromi dalam rangka dosa inilah yang membantu munculnya para pemimpin yang korup. Karena itu tidak mungkin sebuah negeri dipimpin oleh seorang yang bersih dan jujur bila rakyatnya tetap kotor, terbiasa dengan dosa-dosa dan tidak pernah mau bersungguh-sungguh memahami ajaran Allah swt secara benar serta mengamalkannya secara ikhlas. Wallahu a’lam bishshawab.


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/pemimpin-cerminan-masyarakatnya/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.