Sabtu, 24 September 2011

Uang sebagai Fitnah Kehidupan

Oleh: Muhammad Nuh

Kirim Print
Uang dalam kehidupan kadang seperti selimut di saat malam. Harus tebal dan cukup menghangatkan seluruh tubuh dari terpaan dinginnya malam. Tapi, berhati-hatilah. Karena selimut yang kurang bersih bisa menjadi penghubung antara kutu-kutu jahat dengan tubuh si pengguna.

Dari mana pun mulainya, perjalanan hidup memang tak akan pernah lepas dari cobaan. Bentuknya tidak seperti yang disadari banyak orang: derita, sedih, dan sejenisnya. Karena sesuatu yang menyenangkan pun ujian. Di antara yang menyenangkan itu adalah uang atau harta. Dan justru, inilah ujian berat yang tidak banyak orang bisa mulus melalui lubang gelapnya.

Itulah yang dimaksud Sayyid Quthb dalam tafsir Azh-Zhilal ketika mengomentari surah Al-Anbiya ayat 35. Firman Allah swt., “…Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”

Menurut beliau, sangat biasa jika memahami penderitaan, kemiskinan, musibah sebagai ujian dari Allah swt. Biasa. Hampir semua orang memahami itu. Tapi, sangat berbeda dengan urusan yang enak seperti uang dan harta. Kesan ujian seolah sirna. Justru orang menganggap, simbol kemuliaan dari Allah buat seorang hamba di antaranya melalui uang yang banyak. Sebaliknya, kehinaan buat mereka yang tak mampu meraih kemegahan uang dan harta.

Kecenderungan itu memang sudah diungkap Alquran. Dalam surah Al-Fajr ayat 15 dan 16, Allah swt. berfirman, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku memuliakanku.’ Ada pun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku.”

Itu jika uang atau harta sudah di tangan. Akan lebih berat lagi jika persoalan uang masih milik bersama. Setidaknya, uang orang lain yang dititipkan atau sebagiannya akan jadi milik sendiri. Saat itulah, pertarungan antara idealita dan realita hidup menjadi kian tak terkendali.

Surah Al-Anfal sepertinya menarik dijadikan pelajaran. Gambaran seputar konflik perang Badar ini justru diawali dengan persoalan harta. Bukan pada perintah perang, bukan pada bagaimana pertolongan Allah dalam perang, bukan pada gambaran keberanian para sahabat. Tapi justru pada masalah uang.

Seorang ulama mengatakan, pertanyaan soal jatah uang pembagian seperti di awal surah Al-Anfal inilah yang akan menjadi pengulangan dari masa ke masa. Terus menerus, sejalan dengan dinamika aktivitas umat Islam di mana pun berada. Inilah fitnah besar yang tak kunjung usai.

Dari situ bermula seribu satu fitnah. Seorang pemimpin bisa hancur pamornya karena isu amanah uang. Sebuah organisasi bisa pecah-pecah juga karena terjebak pada soal jatah uang. Bahkan, seorang ulama pun tak luput dari pertanyaan masalah uang.

Pelajaran generasi sebelum Rasulullah saw. adalah sisi lain yang sangat berharga dijadikan renungan. Sejarah mencatat, tak sedikit orang-orang terpilih yang akhirnya tersungkur hanya pada persoalan jatah uang. Di antara mereka ada seorang rahib yang bernama Bal’am Ba’ura. Hamba Allah yang doanya nyaris tak pernah tertolak ini pun akhirnya tenggelam bersama kedekatannya dengan Firaun.

Sepertinya, para penguasa seperti Firaun paham betul titik lemah seorang tokoh seperti Bal’am. Yaitu, uang. Dari titik inilah, sendi-sendi kekuatan lain bisa melemah. Rasulullah saw. berpesan, “Sesungguhnya fitnah kekayaan itu lebih aku takuti atas kalian daripada fitnah kemiskinan. Kalian telah mendapati fitnah kemiskinan dan kalian sabar, sedangkan (fitnah) dunia ini terasa manis dan menyenangkan .” (Alhadits)

Persoalan uang pula yang pernah merusak kehidupan para pendeta di masa setelah Nabi Isa a.s. Karena uang, mereka tega menjual hukum Alkitab menurut selera penguasa. Hukum Alkitab pun diperlakukan seperti mainan bongkar pasang.

Hal itulah yang disampaikan Alquran dalam surah At-Taubah ayat 34. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan cara yang batil….”

Menariknya, ayat ini didahului dengan sapaan ‘hai orang-orang yang beriman’. Kenapa? Ada hubungan apa antara sapaan buat orang yang beriman dengan sebuah fakta kebobrokan pendeta dan rahib dalam masalah uang. Padahal biasanya, sapaan ‘hai orang-orang yang beriman’ selalu diiringi dengan perintah dari Allah swt. Kenapa ini cuma informasi.

Seorang ulama mengatakan, sapaan itu menandakan sebuah peringatan. Bahwa, penyelewengan rahib dan pendeta di kalangan Yahudi dan Nasrani pada soal uang; tidak tertutup kemungkinan akan terjadi di kalangan orang-orang beriman.

Hal itulah yang menjadi komitmen seorang tabiin yang bernama Salim bin Abdullah bin Umar bin Khaththab. Cucu Umar bin Khaththab ini pernah ditawari hadiah oleh Khalifah Al-Manshur. Saat itu, beliau sedang thawaf di masjidil Haram. “Apa yang bisa kuberikan untukmu, wahai guru umat?” tanya Khalifah sambil ikut Thawaf. Dengan ringan Salim mengatakan, “Bagaimana mungkin aku meminta hadiah kepadamu, padahal aku sedang bertamu di rumah Allah!” Dan Khalifah pun diam. Ia menunggu hingga Salim selesai beribadah haji.

Setelah selesai, Khalifah menghampiri lagi. “Apa yang bisa kuberikan untukmu, wahai guru umat?” tanya Khalifah begitu hormat. Dengan ringan pula, Salim menjawab, “Bagaimana mungkin aku memohon sesuatu padamu, sementara kepada Pemiliknya saja aku tak meminta!” Dan Khalifah pun terdiam.

Uang dan harta memang seperti selimut sebagai penghangat dinginnya malam kehidupan. Tapi, berhati-hatilah. Karena tidak sedikit musuh yang justru menyusup dari balik ketebalan dan kehangatan itu.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/uang-sebagai-fitnah-kehidupan/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.