Oleh: Tim dakwatuna.com
Ketika Nabi Sulaiman a.s. mendapatkan puncak kenikmatan dunia, beliau berkata,“Ini adalah bagian dari karunia Allah, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.” (An-Naml: 40). Ketika Qarun mendapatkan harta yang sangat banyak, dia mengatakan, “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78).
Dua
kisah yang bertolak belakang di atas menghasilkan akhir kesudahan yang
berbeda. Nabi Sulaiman a.s. mendapatkan karunia di dunia dan akhirat.
Sedangkan Qarun mendapat adzab di dunia dan akhirat karena kekufurannya
akan nikmat Allah.
Demikianlah, fragmen hidup manusia
tidak terlepas dari dua golongan tersebut. Golongan pertama, manusia
yang mendapatkan nikmat Allah dan mereka mensyukurinya dengan sepenuh
hati. Dan golongan kedua, manusia yang mendapatkan banyak nikmat lalu
mereka kufur. Golongan pertama yaitu para nabi, shidiqqin, zullada, dan
shalihin (An-Nisa’: 69-70). Golongan kedua, mereka inilah para
penentang kebenaran, seperti Namrud, Fir’aun, Qarun, Abu Lahab, Abu
Jahal, dan para pengikut mereka dari masa ke masa.
Secara
umum bahwa kesejahteraan, kedamaian dan keberkahan merupakan hasil
dari syukur kepada Allah sedangkan kesempitan, kegersangan dan
kemiskinan akibat dari kufur kepada Allah. (An-Nahl 112)
Nikmat Allah
Betapa
zhalimnya manusia, bergelimang nikmat Allah tetapi tidak bersyukur
kepada-Nya (Ibrahim: 34). Nikmat yang Allah berikan kepada manusia
mencakup aspek lahir (zhaahirah) dan batin (baatinah) serta gabungan
dari keduanya. Surat Ar-Rahman menyebutkan berbagai macam kenikmatan itu
dan mengingatkan kepada manusia akan nikmat tersebut dengan
berulang-ulang sebanyak 31 kali, “Maka nikmat Tuhan yang manakah yang
kamu dustakan?”
Baca dan tadabburilah surat Ar-Rahman. Allah yang
Maha Penyayang memberikan limpahan nikmat kepada manusia dan tidak ada
satu makhluk pun yang dapat menghitungnya. Dari awal sampai akhir surat
Ar-Rahman, Allah merinci nikmat-nikmat itu.
Dimulai dengan
ungkapan yang sangat indah, nama Allah, Dzat Yang Maha Pemurah,
Ar-Rahmaan. Mengajarkan Al-Qur’an, menciptakan manusia dan mengajarinya
pandai berkata-kata dan berbicara. Menciptakan mahluk langit dengan
penuh keseimbangan, matahari, bulan dan bintang-bintang. Menciptakan
bumi, daratan dan lautan dengan segala isinya semuanya untuk manusia.
Dan menciptakan manusia dari bahan baku yang paling baik untuk dijadikan
makhluk yang paling baik pula. Kemudian mengingatkan manusia dan jin
bahwa dunia seisinya tidak kekal dan akan berakhir. Hanya Allah-lah yang
kekal. Di sana ada alam lain, akhirat. Surga dengan segala bentuk
kenikmatannya dan neraka dengan segala bentuk kengeriannya. “Maka nikmat
Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?”
Sarana Hidup (Wasa-ilul Hayah)
Sungguh
Maha Agung nama Rabbmu Yang Mempunyai kebesaran dan karunia. Marilah
kita sadar akan nikmat itu dan menysukurinya dengan sepenuh hati. Dalam
surat An-Nahl ayat 78, ada nikmat yang lain yang harus disyukuri
manusia, “ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Cobalah renungkan!
Bagaimana jika manusia hidup di dunia dalam kondisi buta, maka dia tidak
dapat melihat. Seluruh yang ada di hadapannya adalah sama. Tidak dapat
melihat keindahan warna-warni dan tidak dapat melihat keindahan alam
semesta. Coba sekali lagi renungkan! Bagaimana jadinya jika manusia
hidup di dunia dalam keadaan buta dan tuli. Maka dia tidak dapat berbuat
apa-apa. Dan coba sekali lagi renungkan! Jika manusia hidup di dunia
dalam keadaan buta, tuli, dan gila. Maka hidupnya dihabiskan di rumah
sakit, menjadi beban yang lainnya. Demikianlah nikmat penglihatan,
pendengaran, dan akal. Demikianlah nikmat sarana kehidupan (wasail
al-hayat).
Pedoman Hidup (Manhajul Hayah)
Sekarang apa
jadinya jika manusia itu diberi karunia oleh Allah mata untuk melihat,
telinga untuk mendengar, dan akal untuk berpikir. Kemudian mata itu
tidak digunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, telinga tidak digunakan
untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, dan akal tidak digunakan untuk
mengimani dan memahami ayat-ayat Allah. Maka itulah seburuk-buruknya
makhluk. Mereka itu seperti binatang. Bahkan, lebih rendah dari binatang
(Al-A’raf: 179).
Demikianlah, betapa besarnya nikmat petunjuk
Islam (hidayatul Islam) dan pedoman hidup (manhajul hayah). Nikmat ini
lebih besar dari seluruh harta dunia dan seisinya. Nikmat ini
mengantarkan orang-orang beriman dapat menjalani hidupnya dengan lurus,
penuh kejelasan, dan terang benderang. Mereka mengetahui yang hak dan
yang batil, yang halal dan yang haram.
Al-Qur’an banyak sekali
membuat perumpamaan orang yang tidak menjadikan Islam sebagai pedoman
hidup, diantaranya digambarkan seperti binatang secara umum dan binatang
tertentu secara khusus, seperti; anjing, keledai, kera dan babi
(Al-A’raf: 176, Al-Jumu’ah: 5, Al-Anfal: 55, Al-Maidah: 60). Diumpamakan
juga seperti orang yang berjalan dengan kepala (Al-Mulk: 22), buta dan
tuli (Al-Maidah: 71), jatuh dari langit dan disambar burung (Al-Hajj:
31) kayu yang tersandar (Al-Munafiqun: 4) dan lainnya.
Pertolongan (An-Nashr)
Ada
satu bentuk kenikmatan lagi yang akan Allah berikan kepada orang-orang
beriman disebabkan mereka komitmen dengan manhaj Allah dan berdakwah
untuk menegakkan sistem Islam, yaitu pertolongan Allah, “ Hai
orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
Pertolongan
Allah itu sangat banyak bentuknya, diantaranya perlindungan dan tempat
menetap (al-iwaa), dukungan Allah sehingga menjadi kuat (ta’yiid), rizki
yang baik-baik, kemenangan (al-fath), kekuasaan (al-istikhlaaf),
pengokohan agama (tamkinud-din) dan berbagai macam bentuk pertolongan
Allah yang lain (Al-Anfaal: 26, Ash-Shaaf: 10-13 dan An-Nuur: 55).
Segala
bentuk kenikmatan tersebut baik yang zhahir, bathin, maupun gabungan
antara keduanya haruslah direspon dengan syukur secara optimal. Dan
dalam bersyukur kepada Allah harus memenuhi rukun-rukunnya.
Rukun Syukur
Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan), dan Taat.
Al-I’tiraaf
Pengakuan
bahwa segala nikmat dari Allah adalah suatu prinsip yang sangat
penting, karena sikap ini muncul dari ketawadhuan seseorang. Sebaliknya
jika seseorang tidak mengakui nikmat itu bersumber dari Allah, maka
merekalah orang-orang takabur. Tiada daya dan kekuatan kecuali bersumber
dari Allah saja. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah;
dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha
Terpuji.” (Fathir: 15)
Dalam kehidupan modern sekarang ini,
orang-orang sekular menyandarkan segala sesuatunya pada kemampuan
dirinya dan mereka sangat menyakini bahwa kemampuannya dapat
menyelesaikan segala problem hidup. Mereka sangat bangga terhadap
capaian yang telah diraih dari peradaban dunia, seolah-olah itu adalah
hasil kehebatan ilmu dan keahlian mereka. Pola pikir ini sama dengan
pola pikir para pendahulu mereka seperti Qarun dan sejenisnya.
“Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil
kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78)
Dalam konteks manhaj Islam,
pola pikir seperti inilah yang menjadi sebab utama masalah dan
problematika yang menimpa umat manusia sekarang ini. Kekayaan yang
melimpah ruah di belahan dunia Barat hanya dijadikan sarana pemuas
syahwat, sementara dunia Islam yang menjadi wilayah jajahannya dibuat
miskin, tenderita, dan terbelakang. Sedangkan umat Islam dan
pemerintahan di negeri muslim yang mengikuti pola hidup barat kondisi
kerusakannya hampir sama dengan dunia Barat tersebut, bahkan mungkin
lebih parah lagi.
I’tiraaf adalah suatu bentuk pengakuan yang
tulus dari orang-orang beriman bahwa Allah itu ada, berkehendak dan
kekuasaannya meliputi langit dan bumi. Semua makhluk Allah tidak ada
yang dapat lepas dari iradah (kehendak) dan qudrah (kekuasaan) Allah.
At-Tahadduts
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Ad-Duhaa: 11)
Abi
Nadhrah berkata, “Dahulu umat Islam melihat bahwa di antara bentuk
syukur nikmat yaitu mengucapkannya.” Rasul saw. bersabda, “Tidak
bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih pada manusia.”
(Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Berkata Al-Hasan bin Ali, “Jika Anda
melakukan (mendapatkan) kebaikan, maka ceritakan kepada temanmu.”
Berkata Ibnu Ishak, “Sesuatu yang datang padamu dari Allah berupa
kenikmatan dan kemuliaan kenabian, maka ceritakan dan dakwahkan kepada
manusia.”
Orang beriman minimal mengucapkan hamdalah
(alhamdulillah) ketika mendapatkan kenikmatan sebagai refleksi syukur
kepada Allah. Demikianlah betapa pentingnya hamdalah, dan Allah
mengajari pada hamba-Nya dengan mengulang-ulang ungkapan alhamdulillah
dalam Al-Qur’an dalam mengawali ayat-ayat-Nya.
Sedangkan ungkapan
minimal yang harus diucapkan orang beriman, ketika mendapatkan kebaikan
melalui perantaraan manusia, mengucapkan pujian dan do’a, misalnya,
jazaakallah khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu). Disebutkan dalam
hadits Bukhari dan Muslim dari Anas r.a., bahwa kaum Muhajirin berkata
pada Rasulullah saw., ”Wahai Rasulullah saw., orang Anshar memborong
semua pahala.” Rasul saw. bersabda, ”Tidak, selagi kamu mendoakan dan
memuji kebaikan mereka.”
Dan ucapan syukur yang paling puncak
ketika kita menyampaikan kenikmatan yang paling puncak yaitu Islam,
dengan cara mendakwahkan kepada manusia.
At-Tha’ah
Allah
menyebutkan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Allah yang paling
bersyukur dengan melaksanakan puncak ketaatan dan pengorbanan. Dan
contoh-contoh tersebut sangat tampak pada lima rasul utama: Nabi Nuh
a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., dan Nabi
Muhammad saw. Allah swt. menyebutkan tentang Nuh a.s. “Sesungguhnya dia
(Nuh a.s.) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Israa: 3)
Dan
lihatlah bagaimana Aisyah r.a. menceritakan tentang ketaatan Rasulullah
saw. Suatu saat Rasulullah saw. melakukan shalat malam sehingga kakinya
terpecah-pecah. Berkata Aisyah r.a., ”Engkau melakukan ini, padahal
Allah telah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang.” Berkata
Rasulullah saw., “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?“
(Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan dari Atha, berkata, aku
bertanya pada ‘Aisyah, “Ceritakan padaku sesuatu yang paling engkau
kagumi yang engkau lihat dari Rasulullah saw.” Aisyah berkata, “Adakah
urusannya yang tidak mengagumkan? Pada suatu malam beliau mendatangiku
dan berkata, ”Biarkanlah aku menyembah Rabbku.” Maka beliau bangkit
berwudhu dan shalat. Beliau menangis sampai airmatanya mengalir di
dadanya, kemudian ruku dan menangis, kemudian sujud dan menangis,
kemudian mengangkat mukanya dan menangis. Dan beliau tetap dalam kondisi
seperti itu sampai Bilal mengumandangkan adzan salta.” Aku berkata,
“Wahai Rasulullah saw., apa yang membuat engkau menangis padahal Allah
sudah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang?” Rasul saw.
berkata, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba Allah yang bersyukur?” (Ibnul
Mundzir, Ibnu Hibban, Ibnu Mardawaih, dan Ibnu ‘Asakir).
Tambahan Nikmat
Refleksi
syukur yang dilakukan dengan optimal akan menghasilkan tambahan nikmat
dari Allah (ziyadatun ni’mah), dalam bentuk keimanan yang bertambah
(ziyadatul iman), ilmu yang bertambah, (ziyadatul ‘ilmi), amal yang
bertambah (ziyadatul amal), rezeki yang bertambah (ziyadatur rizki) dan
akhirnya mendapatkan puncak dari kenikmatan yaitu dimasukan ke dalam
surga dan dibebaskan dari api neraka. Demikianlah janji Allah yang
disebutkan dalam surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatlah juga), tatkala
Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Jumat, 23 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar