Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi
dakwatuna.com -
“Tetapi Ibu, bukankah kita telah mengangkatnya sebagai
amirul-mukminin, pemimpin orang-orang beriman? Berarti semua
perintah-perintahnya yang sejalan dengan perintah agama harus kita
patuhi, baik ia tahu ataupun tidak tahu. Tanggung jawab kita bukan
kepada Khalifah, melainkan kepada Allah.”
Masih terngiang di
telinga Umar bin Khatab jawaban lembut tapi tajam dari seorang gadis
kepada ibunya yang menyuruh agar ia mencampurkan air ke dalam susu yang
akan dijualnya. Umar terpesona dengan keluhuran akhlak gadis, anak
penjual susu yang dicuri dengarnya semalam.
Saat itu malam
gelap gulita. Madinah telah tertidur lelap. Para penduduknya telah
dibuai mimpi, kecuali seorang yang masih terjaga. Karena, gelisah diusik
rasa tanggung jawab maha dahsyat yang menggantung di lehernya. Dia
selalu gelisah seperti itu, sehingga tidak pernah sekejab pun dapat
berdiam diri. Ditelusurinya jalan-jalan dan lorong sempit kota Madinah
yang sepi itu. Bertemankan kegelapan malam yang hitam pekat bagai tirai
dan angin dingin menyusup tulang.
Orang itu keluar dan berjalan
mengendap-endap. Setiap rumah diamatinya dari dekat. Dipasangnya telinga
dan matanya baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya yang masih terjaga
karena lapar, atau yang tak dapat memicingkan matanya karena sakit, atau
barangkali ada seseorang kelana yang terlantar.
Ia selalu
mengamati kalau-kalau ada kepentingan umatnya yang luput dari
perhatiannya karena ia yakin betul bahwa semuanya itu nanti akan
dimintakan pertanggungjawabannya. Diperhitungkan senti demi senti, butir
demi butir, dan tak mungkin ada yang terlewat dari penglihatan Allah
swt.
Orang itu adalah Umar bin Khaththab ra.; amirul mu’minin.
Sudah
panjang jalan dan lorong dilaluinya malam itu hingga tubuhnya letih.
Keringat mengalir di sekujur badan meski udara dingin membalut. Oleh
karena itu, disandarkannya tubuh besarnya pada dinding gubuk rombeng.
Saking lelahnya, ia duduk di tanah mencoba istirahat sejenak. Jika letih
kakinya agak berkurang, ia bermaksud melanjutkan perjalanan ke masjid.
Tidak lama lagi fajar menampakkan diri, azan Subuh segera berkumandang.
Saat
bersamaan seorang gadis remaja berpakaian compang camping baru saja
memerah susu kambingnya untuk dijual besok pagi. Di luar rumahnya yang
rombeng, hampir roboh serta dikelilingi belukar meranggas. Penghuninya
cuma dua orang, ibu tua dan anak gadisnya yang meningkat remaja. Tidak
ada orang lelaki di rumah mereka, sebab ayah si gadis sudah meninggal
dunia.
Tiba-tiba Khalifah yang sedari tadi bersandar, mendengar
ada suara lirih dari dalam gubuk itu. Suara itu seperti percakapan dua
orang wanita. Yang satu ibu bagi yang lain, agaknya mereka membicarakan
susu yang baru saja diperah dari kambing untuk dijual ke pasar pagi hari
nanti.
Si ibu meminta anak gadisnya mencampur susu itu dengan
air. Dengan begitu, akan jadi lebih banyak dan tentunya uang yang
diperoleh nantinya akan bertambah, setidaknya cukup untuk memenuhi
kebutuhan mereka hari itu.
“Tidakkah kaucampur susu daganganmu
dengan air? Subuh telah datang!” kata sang ibu. Anak gadisnya menjawab,
“Bagaimana mungkin aku mencampurnya, sedangkan Amirul Mukminin telah
melarang mencampur susu dengan air?” Sang ibu menimpali, ”Orang-orang
telah mencampurnya. Kau campur saja. Toh, Amirul Mukminin tidak akan
tahu.” Sang gadis menjawab,” Jika Umar tidak tahu, Tuhan Umar pasti
tahu. Aku tidak akan mencampurnya karena Dia telah melarangnya.”
Dialog
ibu dan anak ini sungguh sangat menyentuh Umar. Khalifah yang terkenal
keras itu pun luluh dan terharu hatinya. Beliau sangat kagum dengan
ketakwaan gadis miskin anak penjual susu itu. Ucapan terakhir gadis
itulah yang membuat airmata Umar berderai. Ia tak kuasa menahan haru
yang memenuhi dadanya. Airmata itu bukan airmata kesedihan. Tapi,
airmata bangga dan penuh kegembiraan. Kebanggaan akan perilaku kesalehan
gadis pemerah susu yang luar biasa.
Di usianya yang masih
remaja, gadis itu tumbuh dalam sosok kesahajaan. Ditempa dalam suasana
kerja keras, membanting tulang siang malam menyiapkan perahan susu
jualannya. Tak ada keluh kesah, semuanya dilakoni dengan penuh bakti
kepada ibu tercinta. Hal yang menarik lagi adalah kematangan jiwanya
melebihi batas usia remajanya.
Kesahajaannya tampak dalam
penampilan, tutur kata dan cita-cita. Dalam dirinya hanya ada satu
keinginan yang kuat yaitu agar Allah meridhai semua yang dilakukannya.
Ajakan sang ibu ditepisnya mentah-mentah karena dinilai bertentangan
dengan hukum.
Namun begitu hal tersebut tidak lantas membuat hati si
ibu tersinggung. Bahkan dia merasa tercerahkan dengan kesalehan putri
semata wayangnya ini.
Tentu ceritanya jadi berbeda kalau kita
tarik dengan fenomena ‘mama mia’ sekarang ini. Sekelompok ibu-ibu yang
terobsesi dengan anak-anak mereka agar bisa tampil sebagai bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan dan sebagainya. Tidak peduli kalaupun
harus mengumbar aurat, berlenggak lenggok ditonton banyak orang yang
penting mendatangkan kocek yang tebal. Walaupun mereka harus
merengek-rengek, membujuk, merayu dengan berbagai cara dengan satu
keinginan ‘bisa jadi selebritis’. Astaghfirullah.
Sementara si
pemerah susu ini, hanya berkutat di rumah, melayani ibu dan dagangannya.
Tak ada baju mewah, tak ada perhiasan, tak ada parfum yang menjadi
kelaziman di usianya. Barangkali kalau sekarang dia tak kenal bioskop,
tak kenal diskotik, mall apalagi hotel. Walaupun kini menjadi lumrah
bagi remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup
berada, terutama di kota-kota besar, mall sudah menjadi rumah kedua.
Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang
sedang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para
remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Alhasil, muncullah
perilaku yang konsumtif.
Perilaku konsumtif pada remaja
sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia remaja sebagai usia
peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin diakui
eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari
lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang
lain yang sebaya itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti
berbagai atribut yang sedang in. Remaja dalam perkembangan kognitif dan
emosinya masih memandang bahwa atribut yang superfisial itu sama penting
(bahkan lebih penting) dengan substansi. Apa yang dikenakan oleh
seorang artis yang menjadi idola para remaja menjadi lebih penting
(untuk ditiru) dibandingkan dengan kerja keras dan usaha yang dilakukan
artis idolanya itu untuk sampai pada kepopulerannya.
Menjadi
masalah ketika kecenderungan yang sebenarnya wajar pada remaja ini
dilakukan secara berlebihan. Pepatah “lebih besar pasak daripada tiang”
berlaku di sini. Terkadang apa yang dituntut oleh remaja di luar
kemampuan orang tuanya sebagai sumber dana. Hal ini menyebabkan banyak
orang tua yang mengeluh saat anaknya mulai memasuki dunia remaja. Dalam
hal ini, perilaku tadi telah menimbulkan masalah ekonomi pada
keluarganya.
Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar di dalam
gaya hidup sekelompok remaja. Berabenya life style ini terbawa sampai
dewasa. Sementara gaya hidup konsumtif ini perlu dukungan modal dan
kekuatan finansial yang tidak sedikit. Maka masalah lebih besar akan
terjadi bila pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala
macam cara yang tidak sehat. Mulai dari pola bekerja yang berlebihan
sampai menggunakan cara instan seperti korupsi dan penipuan. Pada
akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, tapi
juga dampak psikologis, sosial bahkan akhlaq.
Sebaliknya, gadis
tokoh kita ini hidup di sebuah desa sebagai pemerah susu. Dengan rumah
dari pelepah kurma, berlantai tanah. Makan dari hasil jualan susunya
tiap hari. Pakaian compang camping dan bayangkan tiap hari bertemankan
kambing-kambing yang harus diperahnya. Namun hidupnya tenang, tidak ada
iri dan panas hati melihat rezeki orang lain. Keluarga ini rajin
beribadah. Dan, dunia seolah sudah berhenti berputar karena dari hari ke
hari hidup dengan keadaan yang terus begitu. Keluarga miskin ini pun
hidup tenteram di tanah padang pasir yang tandus. Tapi, itulah anugerah
Tuhan dan mereka mensyukurinya. Apa tidak hebat mereka.
Apa
jadinya dengan seorang ibu rumah tangga yang suaminya cukup terpandang
dan berpenghasilan baik. Ia dapat makan lebih dari cukup. Rumahnya cukup
besar. Dapat menyekolahkan anak-anak dan memberi mereka uang saku yang
cukup. Namun, ia merasa dirinya masih sial dan miskin. Sepanjang hari ia
irihati kepada mereka yang sederajat dengan suaminya, tetapi memiliki
mobil lebih bagus, perabot rumah lebih ngejreng dan simpanan di bank
ratusan juta rupiah. Ibu ini menderita batin, karena merasa dirinya
tidak beruntung, merasa dirinya masih miskin.
Dalam kehidupan
kita, tak sedikit orang yang dendam dengan kemiskinan. Kemiskinan
dilihat sebagai monster mengerikan yang harus dibunuh. Bahkan dengan
cara apapun. Pertarungan dengan monster kemiskinan ini, melibatkan
banyak taktik dan tipu muslihat. Bagi yang rapuh menghadapi serangan
monster ini, Iblis amat kuat sebagai pendukung dan pembisik.
Tak
heran jika, orang kemudian korupsi. Pejabat main sikat. Pemimpin pun,
lupa pada amanahnya sebagai pemimpin rakyat. Seorang pemimpin bisa
berbalik, menjadi pemimpin untuk kelanggengan dinasti kekayaan dan
keluarganya, agar kemiskinan tak terwarisi turun temurun.
Hidup
miskin telah dianggap sebagai aib, bukan dilihat sebagai guru kehidupan.
Karena aib, tatkala seorang miskin merangkak kaya, ia malu ‘kecepretan’
orang miskin lain. Standar hidupnya naik, gaya hari-harinya berubah.
Tiap aktivitasnya, dipenuhi polah tingkah yang neko-neko.
Di
masyarakat, hal demikian selalu hadir dalam rutinitas hidup di desa dan
perkotaan. Berjuta keluarga miskin rela tak makan, tapi ia terpuaskan
menonton sinetron melalui televisi layar datar di rumahnya yang reot.
Meski hasil kreditan. Musik dangdut dengan sound system menggelegar,
bersaing antar satu kontrakan dengan kontrakan lain. Hiburan diri yang
sesaat diperjuangkan, sementara nasib pedidikan anak-anaknya dilupakan.
Mentalitas
demikian, tak hanya melekat dalam diri masyarakat kecil. Ia juga telah
membudaya dalam kehidupan sebagian besar elit di negeri ini. Dendam
kemiskinan, memaksa mereka menumpuk-numpuk kekayaan. Aji mumpung tak
terbendung. Pun, hingga liang lahat kekayaan itu harus tercitrakan dalam
bentuk kuburan berdinding batu pualam. Jika perlu dilapisi emas. Tak
peduli, apakah kepergiannya ke alam baka, meninggalkan sanak keluarga
dan tetangga yang kelaparan.
Lebih dari itu, sebenarnya apa yang
harus dicari dalam hidup ini. Kaya raya tetapi tidak pernah tenang
hatinya, selalu panas, iri dan merasa masih belum kaya. Atau sebaliknya,
menyadari kekurangan lalu menerima kekurangan itu apa adanya dan
menjalankan hidup ini sebaik mungkin, yakni tidak menyakiti orang lain
dan takwa kepada Nya. Sebab sesungguhnya, kemiskinan bukan suatu
penderitaan. Semua tergantung pada sikap kita. Harta milik adalah
rezeki, keberuntungan juga akibat usaha kita. Manusia boleh berusaha
tetapi rezeki tetap bukan kita yang menentukan. Tuhan tetap memberikan
rezeki, baik kepada orang jahat maupun saleh.
Nyatanya kita
berusaha hidup baik dan keras berikhtiar, tetapi rezeki yang kita dapat
pas-pasan. Sebaliknya, ada orang yang suka manipulasi, pemalas, mau
enaknya sendiri saja, namun rezekinya terus mengalir. Sikap kita
menghadapi rezeki dan kekayaan. Sikap kita dalam menghadapi
ketidakberuntungan dan kemiskinan, akan menentukan apakah kita akan
menderita atau tidak.
Penderitaan itu bukan hanya berasal dari
persoalan harta milik. Penderitaan bukan hanya berasal dari kemiskinan.
Penderitaan berasal dari sikap hidup kita sendiri. Sikap untuk menerima
kenyataan sebagai kenyataan yang harus diterima. Pada waktu kita
beruntung, kita harus terima dengan rasa syukur. Pada waktu kita tidak
beruntung, kita terima sebagai kenyataan yang harus demikian. Dengan
sikap hidup yang siap menerima apa adanya, sambil kita sendiri berusaha
berperilaku seperti yang kita anggap paling baik, tentunya sesuai hati
nurani paling bersih maka dunia menjadi terang. Kita pun akan hidup
seperti gadis pemerah susu yang hidup sederhana di padang pasir yang
tandus itu.
Pendek kata, penderitaan bukan hanya berasal dari
kemiskinan. Penderitaan ada dalam hati manusia, dalam sikap hidup.
Sesungguhnya merasa disingkirkan, tak disenangi lingkungan adalah
penderitaan juga. Merasa tertekan, tidak bebas adalah penderitaan.
Merasa berbuat salah adalah penderitaan. Menanggung sakit berat adalah
penderitaan. Dihina dan direndahkan orang adalah penderitaan. Dan,
seribu satu macam sumber penderitaan lain.
Terlalu sempit jika
memandang bahwa penderitaan itu adalah gambaran sebuah kemiskinan.
Padahal, wilayah penderitaan manusia itu sangat luas, bukan hanya soal
kemiskinan atau kepemilikan harta benda. Penderitaan itu tidak pandang
bulu. Yang kaya, yang miskin, yang berkuasa, yang terkenal, yang gagah,
yang buruk rupa, yang tua, yang muda, semua mengenal penderitaan. Setiap
manusia mengenal penderitaan.
Kemiskinan sebagai penderitaan
sebenarnya pandangan kapitalistik. Hidup itu untuk memiliki harta benda
sebab harta dan kekayaan itu akan menghasilkan kekayaan lagi. Kekayaan,
itulah tujuan akhir kapitalisme. Bagi mereka yang masuk ke dalam
golongan ini, kekayaan berlimpah adalah kebahagiaannya. Itulah citra
kebahagiaan manusia sekarang. Akibatnya, orang mencoba “membeli”
kekayaan dengan cara apa pun, hanya agar dikira bahagia. Memang,
tampaknya hal yang mengada-ada.
Namun, kondisinya memang nyata.
Orang akan merasa bahagia kalau memiliki banyak uang tabungan, deposito
berdigit M, usaha di mana-mana, dan terus menghasilkan uang. Akibatnya,
muncul kebahagiaan dengan berbagai simbol kekayaan “Rumahnya di daerah
mana sih?; Mobilnya merk apa ya? Eh, sepatunya buatan mana? Week end-nya
dimana”, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang cukup risih didengar oleh
mereka yang tidak biasa mendengar. Namun, pertanyaan itu akan menjadi
biasa jika mereka yang “the have” melontarkannya. Ironis memang, tetapi
itulah manusia dengan sisi kehidupannya.
Kemiskinan hanya salah
satu dari sumber penderitaan. Dan, kemiskinan itu relatif lebih mudah
menghilangkannya dari daftar sumber penderitaan manusia. Tidak usah
heran bila ada sekelompok manusia yang bahagia setelah menjadi miskin.
Dalam sejarah, terdapat sejumlah orang yang meninggalkan kekayaan dan
sengaja menjadi miskin untuk mencari kebahagiaan hidup. Dengan
kemiskinan itu justru hatinya lebih bersih, tak terikat nafsu duniawi.
Tinggal melawan nafsu yang mementingkan diri sendiri seperti nafsu untuk
dipuja, dikenal, dihormati, disanjung. Lebih dari itu, nafsu badaniah
berupa kenikmatan, kemudahan dan kenyamanan hidup.
Sikap Umar
yang menangis saat menyaksikan langsung ‘pagelaran takwa’ yang dimainkan
secara apik oleh gadis ndeso itu tidaklah berlebihan, karena ternyata
di kalangan rakyat jelata yang dipimpinnya ketaqwaan masih mengakar
kuat. Di tengah kesulitan hidup tidak lantas pembolehan atas kecurangan,
pewajaran atas semua bentuk penipuan. Gadis itu telah mempraktikkan
secara nyata bahwa kemiskinan jangan sampai merusak kemuliaan yang telah
Allah berikan kepada manusia. Hati yang mulia adalah jawaban dari semua
ujian hidup yang dialaminya.
Putih dan bersihnya hati akan
mencerminkan perilaku yang benar. Sebaliknya, kotornya hati akan
mencerminkan kecenderungan perilaku yang salah. Semuanya terpulang pada
insan yang memiliki hati. Apakah mampu membasuh hati untuk kebaikan yang
hakiki atau menjerumuskannya ke lembah berbatu cadas untuk menjemput
murka Allah dengan kesalahan yang dilakukannya. Wallahu a’lam.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/pemerah-susu-berhati-seputih-susu/
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Sabtu, 24 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar