Sabtu, 24 September 2011

Kedermawanan Kaum Anshar

Oleh: Mochamad Bugi

Kirim Print
dakwatuna.com - Itsar adalah mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri meski sangat membutuhkan. Ini adalah amal kedermawanan tertinggi dari diri seorang muslim. Kaum Anshar adalah contoh konkret yang dicatat sejarah sebagai pemilik sifat ini.


Setelah diizinkan Allah berhijrah, kaum muslimin Mekkah menetap di Kota Madinah. Kaum Anshar sangat antusias menerima saudara-saudara seiman mereka, kaum Muhajirin. Mereka membagi tempat tinggal dan makanan dengan senang hati. Bahkan, mengutamakan segala sesuatu bagi kaum Muhajirin melebihi diri mereka sendiri. Karena itu tak heran Allah swt. mengabadikan fenomena itu dalam Al-Qur’an.

“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

An-Nu’man ibn Ajlan Al-Anshari berkata, “Kami pun menyambut kaum Muhajirin seraya berkata, ‘Selamat datang dan hidup bersama kami. Sungguh, kalian akan aman dari kefakiran karena kami akan membagi harta dan rumah kami untuk kalian.”

Begitulah yang terjadi. Kaum Anshar menjamin tempat tinggal bagi kaum Muhajirin. Kaum Anshar secara ikhlas menyerahkan rumah-rumah mereka untuk kaum Muhajirin. Ada juga yang menampung kaum Muhajirin untuk tinggal di rumah-rumah mereka. Mereka berebut tidak mau kehilangan pahala. Bahkan, mereka mengadakan undian agar kesempatan memberi bantuan terdistribusi dengan adil.

Ummu Ala’, seorang wanita Anshar yang telah membai’at Rasulullah saw., mengabarkan ke Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit bahwa Utsman ibn Mazh’un tinggal di rumah-rumah kaum Anshar secara bergantian. Bahkan, kaum Anshar sampai mengadakan undian untuk menentukan siapa yang harus ketempatan kaum Muhajirin.

Kaum Anshar juga membagi hasil panen mereka kepada kaum Muhajirin. Mereka mengusulkan kepada Rasulullah untuk membagikan separuh hasil panen kebun-kebun korma mereka, namun Rasulullah meminta agar mereka memberi kaum Muhajirin untuk turut serta merasakan hasil panen mereka seperlunya saja.

Bahkan, kaum Anshar sempat ingin menghibahkan setiap kelebihan mereka kepada Rasulullah saw. “Jika engkau menghendaki, ambillah rumah-rumah kami,” kata mereka. Rasulullah saw. mengucapkan terima kasih. Rasulullah saw. membangunkan tempat tinggal untuk para sahabatnya di tanah-tanah yang telah dihibahkan kaum Anshar dan menetapkan tanah itu bukan milik siapa pun.

Kaum Anshar juga banyak memberi bantuan material kepada kaum Muhajirin. Mereka menyerahkan semua itu kepada Rasulullah saw. untuk dibagikan sekehendak beliau kepada kaum Muhajirin. Anas ibn Malik berkata, seseorang dari kaum Anshar memberikan pohon-pohon korma yang telah siap panen kepada beliau. Lalu beliau memberikan semua itu kepada pembantunya, Ummu Aiman, ibunda Usamah bin Zaid.

Kedermawanan dan kemurahan hati kaum Anshar tampak pula dalam kesukaan mereka memberi hadiah. Makramah ibn Sulaiman mengatakan, “Mangkok besar Sa’ad selalu berada di hadapan Nabi saw. sejak pertama kali beliau tiba di Madinah hingga beliau wafat. Selain Sa’ad ibn Ubadah, masih banyak kaum Anshar yang melakukan hal serupa. Bahkan, para sahabat Rasulullah juga senantiasa saling memberi.”

Sa’ad ibn Rabi’ah adalah seorang Anshar. Sementara Abdurrahman ibn ‘Auf adalah seorang Muhajirin. Suatu ketika Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Aku adalah orang terkaya dari kaum Anshar. Karenanya aku akan membagi separuh hartaku kepadamu. Aku juga memiliki dua isteri, maka pilihlah mana yang paling menarik untukmu di antara keduanya. Sebutkan namanya, maka aku akan menthalaknya. Jika ‘iddahnya sudah habis, nikahilah dia!”

Tawaran itu dijawab Abdurahman, “Semoga Allah memberkahimu atas keluarga dan hartamu. Namun, cukuplah engkau tunjukkan kepadaku di manakah pasar kalian berada.” Lalu kaum Anshar menunjukkan kepada Abdurrahman pasar Bani Qainuqa. Begitulah, akhirnya Abdurrahman selalu kembali dari pasar itu dengan membawa keuntungan dari berjualan minyak samin dan keju.

Sungguh, rasa kesetiakawanan yang dimiliki kaum Anshar begitu mengagumkan. Sulit mencari bandingnya dalam lembar-lembar sejarah manapun bahwa akan ada solidaritas, persabahatan, dan kebersamaan seperti yang mereka lakukan. Bahkan, atas semua yang telah diberikan, mereka tidak menuntut kembali. Hal itu terbukti saat pasukan Rasulullah saw. berhasil mengusir Bani Nadhir dari Madinah. Kaum Anshar tidak mendapat bagian dari pampasan perang sedikitpun.

Ummul A’la Al-Anshari meriwayatkan, ketika mendapatkan rampasan perang dari Bani Nadhir, Rasulullah saw. memanggil Tsabit ibn Qais. “Datangkanlah kaummu kepadaku,” kata Rasululllah saw. Tsabit bertanya, “Kaum Khazraj-kah?” “Seluruh kaum Anshar!” tegas Rasulullah saw.

Maka Tsabit memanggil suku Aus dan Khazraj. Setelah seluruh kaum Anshar hadir, Rasulullah saw. memuji Allah dan menyebutkan kebaikan-kebaikan kaum Anshar yang telah memberikan tempat tinggal dan harta benda mereka kepada kaum Muhajirin. Juga tentang sifat mereka yang selalu mendahulukan kaum Muhajirin ketimbang diri mereka sendiri. Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian suka, aku akan membagikan harta yang dititipkan Allah kepadaku dari Bani Nadhir (harta rampasan) ini untuk kalian (kaum Anshar) dan kaum Muhajirin. Adapun bagian kaum Muhajirin adakah untuk mengganti biaya hidup dan tempat tinggal yang kalian tanggung selama ini. Atau, jika kalian setuju, aku akan memberikan bagian mereka semuanya, dan setelah itu mereka harus keluar dari rumah-rumah kalian.”

Mendengar tawaran itu, Sa’ad ibn Ubadah dan Sa’ad ibn Mu’adz berkata, “Ya Rasulullah, engkau bagikan saja semua harta rampasan itu kepada Muhajirin dan biarkan mereka tetap tinggil di rumah-rumah kami seperti saat ini.”

Dan seluruh kaum Anshar yang hadir mengamini ucapan dua orang itu. Mereka berkata, “Kami rela menerima keputusan itu, ya Rasulullah.” Rasulullah saw. pun berkata, “Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu kepada kaum Anshar dan keturunannya.”

Lalu Rasulullah saw. membagikan semua harta pampasan perang itu secara merata kepada kaum Muhajirin. Adapun kaum Anshar, mereka tidak mendapatkan bagian, kecuali dua orang, yaitu Abu Dujanah dan Sahl ibn Hunaif yang begitu membutuhkan.

Sikap kaum Anshar itu begitu membekas dalam jiwa kaum Muhajirin. Mereka mengakui keutamaan kaum Anshar itu di hadapan Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, kami belum pernah mendatangi kaum yang sedermawan dan begitu setiakawan melebihi kaum Anshar. Mereka telah mencukupi kebutuhan hidup kami dan mengikutsertakan kami dalam setiap kegembiraan mereka. Karena itu, kami khawatir semua pahala Allah akan jatuh kepada mereka.”

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak. Niscaya kalian akan memperoleh pahala dari Allah, yatu selama kalian tetap memuji kebaikan mereka dan mendoakan mereka kepada Allah.”

Persahabatan dan solidaritas kaum Anshar itu merupakan contoh yang benar dalam berukhuwah islamiyah. Itulah ukhuwah yang sejati. Bukan hanya menjadi pemanis di bibir, tapi menjadi amal keseharian meski harus mengorbankan darah dan harta untuk mendahulukan kepentingan saudaranya dan meringankan beban mereka, meski diri mereka sendiri begitu membutuhkan.

Semoga karakter kaum Anshar ini ada di dalam diri kita. Amin.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/kedermawanan-kaum-anshar/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.