Senin, 21 November 2011

Manisnya Iman

Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

Kirim Print

dakwatuna.com – Seseorang akan merasakan manisnya iman bermula manakala di dalam hatinya terdapat rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya, manisnya akan semakin dirasakan bila seseorang berusaha untuk senantiasa menyempurnakan cintanya kepada Allah, memperbanyak cabang-cabangnya (amalan yang dicintai Allah swt.) dan menangkis hal-hal yang bertentangan dengan kecintaan Allah swt.
Apa buktinya bila seseorang telah merasakan manisnya Iman?
Buktinya, ia akan selalu mengutamakan kecintaanya kepada Allah daripada mementingkan kesenangan dan kemegahan dunia, seperti bersenang-senang dengan keluarga, lebih senang tinggal di rumah ketimbang merespon seruan dakwah dan asyik dengan bisnisnya tanpa ada kontribusi sedikitpun terhadap kegiatan jihad di jalan Allah swt. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah : 24

“Katakanlah: “Jika bapa-bapak, anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Memprioritaskan kecintaan kepada Allah akan melahirkan perasaan ridha

Bila seseorang senantiasa mengutamakan kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya, daripada kepentingan dirinya sendiri, maka akan lahirlah sikap ridha terhadap Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai din-nya dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya. Keridhaannya itu dibuktikan dengan selalu menghadiri halaqahnya, terlibat dengan kegiatan dakwah di lingkungannya dan menginfakkan sebagian harta dan waktunya untuk kemaslahatan tegaknya agama Allah swt.

Apa yang dirasakan oleh seseorang bila ia telah ridha terhadap Allah, agama dan Rasulnya?

Pertama, Ia akan merasakan “Istildzadz at-Thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah swt., baik dalam shalatnya, tilawah Qur’annya, pakaian dan pergaulan islaminya, perkumpulannya dengan orang-orang shaleh dan keterlibatannya dalam barisan dakwah

Kedua, Ia juga akan merasakan “Istildzadz al-masyaqat”, lezatnya menghadapi berbagai kesulitan dan kesusahan dalam berdakwah. Kelelahan, keletihan, dan hal-hal yang menyakiti perasaannya akibat celaan orang karena menjalankan syariat Islam, atau bahkan mencederai fisiknya, semua itu semakin membuatnya nikmat dalam berdakwah. Semua inilah yang akan senantiasa melahirkan manisnya Iman.

“Istildzaadz at-thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah ditunjukan oleh wanita Anshar dan Muhajirin, tatkala turun wahyu yang memerintahkan mereka untuk berhijab dan menutrup auratnya, mereka langsung meresponnya dengan senang hati dan lapang dada, tanpa merasa berat sedikitpun. Aisyah ra. yang menjadi saksi mata atas hal ini berkata :

رَحِمَ الله ُنِسَاءَ اْلاَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَاتِ لَمَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِنَّ “وَلْيَضْرِبْنَ مِنْ جَلاَ بِيْبِهِنَّ عَلَى جُيُوْ بِهِنَّ” شَقَقْنَ مُرُوْطَهُنَّ فَلْيَخْتَمِرْنَ بِهَا

“Semoga Allah merahmati wanita Anshar dan Muhajirin, tatkala turun kepada mereka ayat “hendaknya mereka mengenakan kain panjang (jilbab) sampai ke atas dada mereka,” mereka memotong kain-kain mereka, lalu mereka menjadikan kain-kain itu sebagai penutup kepalanya

Abu Ayub Ayub Al-Anshary, ketika mendengar seruan jihad, Dalam surat At-Taubah : 41

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”

Abu Ayub berseru kepada anak-anaknya, “Jahhizuuny! Jahhizuuny!” siapkan peralatan perangku!. Anak-anaknya membujuk agar bapaknya tidak perlu berangkat untuk berjihad, karena usianya sudah udzur, cukup di wakilkan saja oleh anak-anaknya. Abu Ayyub menolak bujukan anak-anaknya seraya berkata : “ketahuilah wahai anak-anakku, yang dimaksud ayat tersebut adalah خِفَافًالَكُمْ وَثِقَالاً لٍي , ringan bagi kalian berat bagiku, beliaupun tetap berangkat dan menemukan syahidnya dalam perjalanan jihad tersebut. (lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Sedangkan Lezatnya kesulitan (Istildzadz al-masyaqqah) dalam dakwah dirasakan oleh Rasulullah saw., ketika beliau menghadapi ketidaksukaan orang-orang kafir terhadap ajaran Islam, sebagaimana yang ditunjukan oleh masyarakat Thaif ketika Rasulullah saw. hijrah ke sana, yaitu pada saat Nabi menyampaikan dakwahnya, mengajak mereka untuk menerima ajaran Islam, tetapi tidak ada sedikitpun sambutan baik dari para tokoh mereka, bahkan dengan nada yang sangat melecehkan dan menyakitkan, mereka menanggapi dakwah Nabi seraya berkata,

“Coba kau robek kiswah ka’bah jika engkau memang benar-benar utusan Allah.”

Yang lainnya pun turut berkomentar,

“Apa tidak ada lagi orang yang lebih pantas diutus oleh Allah selain engkau?”

Dengan penuh kesabaran dan ketabahan Rasulullah saw. menerima kenyataan pahit tersebut, beliau tetap berlapang dada dan tidak mempermasalahkan tentang penolakan dan penentangan mereka. Oleh karena itu ketika malaikat penjaga gunung Alaihissalaam menawarkan kepada Nabi, bila beliau setuju ia akan mengangkat dua buah bukit yang ada di Thaif lalu ditimpakan kepada mereka, dengan penuh kelembutan dan kasih sayang Rasulullah saw. menanggapinya seraya berkata,

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Tetapi aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka kelak orang-orang (generasi) yang beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.”

Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamroh mengibaratkan manisnya iman dengan sebuah pohon, sebagaimana firman Allah :

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (Ibrahim : 24)

Yang dimaksud kalimat dalam ayat tersebut adalah kalimatul ikhlas لا اله الا الله, batang pohonnya adalah pangkal iman, cabang dan rantingnya adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dedaunannya adalah kepedulian terhadap kebajikan, buahnya adalah amal ketaatan, rasa manisnya adalah ketika memetiknya, dan puncak manisnya adalah ketika matangnya sempurna saat dipetik, disitulah sangat terasa manisnya.

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ: مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ)). (رواه البخاري ومسلم وهذا لفظ مسلم).

Dari Anas ra, dari Nabi saw. bersabda, “Tiga perkara jika kalian memilikinya, maka akan didapati manisnya iman. (Pertama) orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya. (Kedua) agar mencintai seseorang semata-mata karena Allah swt. (Ketiga), tidak senang kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah swt, sebagaimana ketidak-senangannya dilempar ke dalam api neraka.” (HR Bukhar Muslim dengan redaksi Muslim)

عَنْ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ((ذَاقَ طَعْمَ الإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً)) (رواه مسلم).

Dari Al-Abbas bin Abdil Muttalib, bahwasanya ia mendengar Rasulallah saw. bersabda, “Telah merasakan lezatnya iman seseorang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai dinnya dan Muhammad sebagai Rasulnya.” (HR. Muslim)

Hadits ini sangat agung maknanya, termasuk dasar-dasar Islam, berkata para ulama, “Arti dari manisnya iman adalah mersakan lezatnya ketaatan dan memiliki daya tahan menghadapi rintangan dalam menggapai ridha Allah dan Rasul-Nya, lebih mengutamakan ridha-Nya dari pada kesenangan dunia, dan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangan-Nya.

Dalam hadits tersebut Rasulullah saw. menjelaskan bahwa tiga perkara bila kalian berada di dalamnya maka akan didapati manisnya iman, karena sarat mendapatkan manisnya sesuatu adalah dengan mencintainya, maka barang siapa yang mencintai sesuatu dan bergelora cintanya, maka ketika berhasil mendapatkannya, ia akan merasakan manis, lezat dan kegembiraannya. Karena itu seorang mukmin yang telah mendapatkan manisnya iman yang mangandung unsur kelezatan dan kesenangan akan diiringi dengan kesempurnaan cinta seorang hamba kepada Allah swt. Dan kesempurnan itu dapat diwujudkan dengan tiga hal.

Pertama : menyempurnakan cinta kepada Allah yaitu dengan menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari yang lainnya, karena cinta kepada Allah tidak cukup hanya sekedarnya, tetapi harus melebihi dari yang lain-Nya

Kedua : menjadikan cinta kepada Allah menjadi pangkal dari cabang cinta kepada yang lain, yaitu mencintai orang lain semata-mata karena dan untuk Allah swt., sehingga dalam mencintai ia tetap mengikuti prosedur dan mekanisme cinta yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah, misalnya tidak berkhalwat, menyegerakan akad nikah dan menghindari perbuatan yang mendekati pada perzinahan. (tidak pacaran) (QS. 24 : 30-31, 33 : 59)

Menolak segala hal yang bertentangan dengan cinta-Nya, yaitu tidak menyukai hal-hal yang bertentangan dengan keimanan melebihi ketidaksukaannya bila dirinya dilemparkan ke dalam api neraka.

عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قاَلَ : ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلِايْمَانِ :اَلاْنِفْاَقُ مِنَ اُلاِقْتَارِ ، وَإِنْصَافُ النَّاسِ مِنْ نَفْسِكَ ، وَبذْلُ السَّلاَمِ لِلْعَالَمِ (رواه عبد الرزاق) علقه البخاري في (كتاب الايمان)

Amar bin Yasir berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya ia merasakan manisnya keimanan, berinfak dari kekikiran, bersikap adil terhadap manusia dari dirinya, dan mengupayakan keselamatan (salam) bagi alam.” (Diriwayatkan Abdurazzaq, Bukhari mencantumkannya di kitab Al-Iman).

Hadits yang dibawakan oleh Amar bin Yasir ra. tersebut di atas, juga menjelaskan tentang tiga hal yang dapat mendatangkan manisnya iman

Pertama : berinfak secukupnya, tidak berlebihan sehingga menzalimi hak-hak yang lainnya, tapi juga tidak kikir dengan hartanya

Kedua : bersikap objektif, tidak menghalanginya untuk berbuat baik dan adil kepada manusia, walaupun ada kaitannya dengan kepentingan diri sendiri, misalnya walaupun disakiti dan dizalimi oleh seseorang, tetapi tidaka menghalanginya untuk memaafkannya dan tetap berbuat baik kepadanya

Ketiga : Menebarkan kesejahteraan kepada seluruh alam semesta, memperjuangkan sesuatu demi kebaikan manusia dan seluruh makhluk lainnya, seperti dengan melakukan kegiatan amal siasi maupun amal khidam ijtima’i (kegiatan sosial)

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ يَجِدْ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلاِيْمَانِ : تَرْكُ اْلمِرَاءِ فيِ الْحَقِّ ، وَاْلكِذْبُ فِي اْلمُزَاحَةِ ، وَيَعْلَمُ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ ، وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ. (رواه عبد الرزاق)

Ibnu Mas’ud juga berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya akan merasakan manisnya iman, menghindari perdebatan dalam hal kebenaran, tidak berdusta dalam bercanda, dan menyadari bahwa apa yang akan menimpanya bukan karena kesalahannya dan apa kesalahannya tidak menyebabkan ia tertimpa (musibah).” (Diriwayatkan Abdurrazzaq).

عن أنس مرفوعا: “لاَ يَجِدُ عَبْدٌ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ حَتىَّ يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ ، وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ … ” الحديث . أخرجه ابن أبي عاصم ( 247 ) بإسناد حسن عنه. (الألباني – السلسلة الصحيحة)

Dari Anas secara marfu’ mengatakan, “Tidaklah seorang hamba merasakan manisnya keimanan sehingga dia menyadari bahwa apa yang akan menimpanya bukan karena kesalahannya dan apa kesalahannya tidak menyebabkan ia tertimpa (musibah).” Hadits tersebut dikeluarkan Ibnu Abi Ashim, hadits sahih dengan sanad yang baik, termaktub dalam silisilah hadits sahih karya Imam Albani.

(قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ) * وَالْغَضُّ عَنِ الْمَحَارِمِ يُوْجِبُ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ، وَمَنْ تَرَكَ شَيْئًا لِلّهِ عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ، وَمَنْ أَطْلَقَ لَحَظَاتِهِ دَامَتْ حَسَرَاتُهُ. (فيض القدير 1/677).

“Katakanlah kepada mukmin laki-laki agar menahan pandangan mereka…” (An-Nur: 30). Yaitu menahan dari apa yang diharamkan Allah swt. pasti akan mendatangkan manisnya iman, dan barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya, dan barangsiapa yang membebaskannya walau hanya sekejap maka akan abadi penyesalannya”

عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَلاَ تَجِدُ امْرَأَةٌ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا عَلَى قَتَبٍ.” (المعجم الكبير للطبراني)

Dari Muadz bin Jabal berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Seandainya aku memerintahkan seseorang bersujud kepada yang lainnya, maka akan aku perintahkan isteri sujud kepada suaminya, karena hak-hak suami atasnya, dan tidaklah seorang wanita mendapatkan manisnya iman sehingga Ia menunaikan hak suaminya, walaupun suaminya memintanya, sedang Ia sedang berada di atas sekedupnya

قاَلَ اِبْنُ رَجَبْ فِي (فَتْحِ الْبَارِي: 1/27): فَإِذَا وَجَدَ اْلقَلْبُ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ أَحَسَّ بِمَرَارَةِ اْلكُفْرِ وَاْلفُسُوْقِ وَاْلعِصْيَانِ وَلِهَذَا قَالَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلاَم ُ: {رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ} [يوسف33].

Ibnu Rajab berkata dalam kitab Fathul Bari 1/27 : “Maka apabila sebilah hati telah mendapatkan manisnya iman, maka ia akan sensitif merasakan pahitnya kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, karena itulah Nabi Yusuf AS berkata : “Ya Rabb! Penjari lebih aku sukai daripada apa yang mereka serukan kepadaku” (QS. Yusuf : 33)


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/manisnya-iman/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.