Oleh: Asfuri Bahri, Lc
dakwatuna.com – Tidak
ada makhluk melata di muka bumi ini kecuali jatah penghidupannya telah
dijamin Allah (Hud: 6). Terlebih lagi manusia dengan kapasitasnya
sebagai pemakmur bumi dan makhluk paling mulia. Yang demikian itu agar
kehidupan ini senantiasa berjalan seperti yang dikehendaki Sang
Pencipta. Meski demikian, jatah rezki itu tidak serta-serta mendatangi
makhluk tersebut tanpa ada upaya untuk meraihnya. Maka berupaya untuk
mendapatkan jatah penghidupannya menjadi suatu keniscayaan. Perlu ada
upaya dan sebab meraih bagian itu. Jika ingin mendapatkan ikan, perlu
menebar jala atau memasang kail.
Dalam Islam, kemuliaan seseorang
tidak hanya diukur dari sejumlah ibadah yang dipersembahkan kepada
Allah. Seberapa hitam tanda di keningnya karena lama dan seringnya
bersujud. Dan seberapa lama ia berdiam di pojok masjid dengan tasbih
yang dimainkan oleh jemarinya dan mulut yang tak henti-henti mengumumkan
kalimat-kalimat pujian kepada Sang Pencipta. Seseorang berupaya
mendapatkan jatah rezki itu termasuk perbuatan mulia. Semakin berat
seseorang berupaya, semakin mulia dia dan semakin disukai Allah. Yang
paling penting dalam hal ini adalah proses mendapatkannya. Sebaliknya,
bermalas-malasan dalam mengoptimalkan potensi demi mendapatkan karunia
Allah tersebut adalah perbuatan hina dan tidak disukai Allah.
Kemuliaan Berusaha
Al-Qur’an dan hadits Nabi banyak menyampaikan anjuran bahkan pujian bagi orang yang berusaha mendapatkan rezki.
Allah
berfirman, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.” (Al-Jum’ah: 10).
“Inilah
konsep tawazun yang ditegaskan oleh manhaj Islam. Tawazun di antara
tuntutan hidup di muka bumi ini. Di antara kerja, aktivitas, upaya, dan
mencari nafkah pada suatu saat dan pada saat yang lain mengisolasi ruh
dan hati dari semua kesibukan itu dalam kekhusyukan dzikir kepada
Allah…” demikian Penulis tafsir “Fii Zhilalil Qur’an”, Sayyid Quthb,
mengomentari ayat tersebut. (Fii Zhilalil Qur’an)
Jika seseorang
dapat menghidupi dirinya sendiri dan tanpa menggantungkannya kepada
orang lain. Apatah lagi melalui usahanya banyak orang bergantung
kepadanya. sabda Rasulullah saw.,
عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ
الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ
أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ
عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Khalid bin
Ma’dan meriwayatkan dari Miqdam ra. dan dari Rasulullah saw. Beliau
bersabda, “Tidak ada seorang yang memakan makanan yang lebih baik
daripada seseorang yang makan dari hasil kerja tangannya sendiri. Dan
nabi Daud as. makan dari hasil kerja tangannya.” (Bukhari).
Bisa
jadi seseorang dianggap hina oleh kaca mata dunia karena profesinya,
namun sesungguhnya menurut parameter akhirat ia sangat mulia, bahkan
lebih mulia ketimbang mereka yang memiliki status sosial tinggi karena
melimpahnya kekayaan bumi namun bukan dari perasan peluhnya sendiri.
Rasulullah membandingkan kemuliaan orang yang mencari kayu bakar dengan
yang hanya meminta-minta kepada manusia. Tentu saja jika sebuah usaha
dibingkai dengan bingkai ibadah kepada Allah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَأَنْ يَأْخُذَ
أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ ثُمَّ يَغْدُوَ أَحْسِبُهُ قَالَ إِلَى الْجَبَلِ
فَيَحْتَطِبَ فَيَبِيعَ فَيَأْكُلَ وَيَتَصَدَّقَ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ
يَسْأَلَ النَّاسَ
“Sekiranya salah seorang di antara kalian
mengambil talinya lalu berangkat (perawi: saya kira beliau mengatakan)
ke gunung kemudian mengumpulkan kayu bakar lalu menjualnya dan memakan
(dari hasilnya) serta menyedekahkannya, itu lebih baik daripada ia
meminta-minta orang.” (Bukhari).
Abu Hamid Al-Ghazi menyebutkan
dalam Ihya’-nya, bahwa Rasulullah pernah duduk-duduk bersama para
sahabatnya pada suatu hari. Tiba-tiba mereka melihat seorang pemuda yang
berkulit kasar dan kuat. Pagi-pagi ia bekerja. Mereka (para sahabat)
berkomentar, “Sayang sekali orang ini, kalau saja masa mudanya dan
kekerasan tubuhnya itu berada di jalan Allah.” Rasulullah bersabda,
“Jangan berkata seperti itu, sebab jika ia berusaha untuk menjaga
dirinya agar tidak meminta-minta serta mencukupkan dirinya dari orang
lain, maka ia berada di jalan Allah. Atau jika ia bekerja untuk kedua
orang tua yang lemah dan keluarga yang lemah untuk membuat mereka kaya
dan cukup, maka ia berada di jalan Allah. Namun kalau ia bekerja untuk
berbangga diri dan berbanyak-banyak harta, maka ia berada di jalan
setan.”
Namun, peran manusia dalam masalah rezki hanya sebatas
berusaha dan mengoptimalkan potensi yang Allah berikan kepadanya.
Menggerakkan semua kemampuan dan menjadikan pengalaman sebagai bekal
untuk menghadapi liku-liku di dunia usahanya. Menyusun strategi yang
baik dan menutupi berbagai kekurangan yang mungkin menjadi kendala. Juga
mengevaluasi kinerja yang mungkin menjadi penyebab kegagalan.
Hasil
dari usahanya tidak dapat dipastikan dengan kalkulasi manusiawinya. Itu
merupakan hak prerogatif Allah yang memberikan jatah kepada
masing-masing hamba. Dan selalu ada hikmah di balik setiap kuantitas
jatah itu. Hal ini sangat terkait dengan kedudukan harta benda sebagai
ujian. Diberikan dan ditahannya harta kepada seseorang pasti demi
kebaikan hamba tersebut. Barangkali seseorang, karena ketidaktahuannya,
mengira bahwa dirinya layak mendapatkan jatah lebih dari orang lain.
Namun Allah yang lebih tahu tentang hamba-Nya lebih tahu pula seberapa
banyak jatah yang dibutuhkan masing-masing hamba.
Perlu
digaris-bawahi di sini, bahwa persoalan jatah adalah perkara gaib dan
manusia tidak dibebankan untuk mengetahui sebelum jatah itu benar-benar
berada dalam genggaman tangannya. Maka manusia diberi kebebasan untuk
memasang target dunia yang ingin digapainya dan diberi keleluasaan
berupaya mengejar target itu, tentu saja dengan cara dan etika yang
telah ditetapkan panduannya oleh syariah.
Karena kegaiban hasil
dari sebuah usaha itulah seorang hamba wajib berharap dan berdoa kepada
Allah. Tidak layak baginya untuk menyandarkan hasil kepada jerih
payahnya semata. Betapa banyak manusia menetapkan strategi untuk
mencapai target yang telah ditetapkannya, namun tangan-tangan taqdir
menghalanginya sehingga ia terhalang untuk mencapai target tersebut.
Sebagai
implementasi dari surat Al-Jumuah ayat 10 tadi, seorang sahabat Nabi
saw., ‘Arak bin Malik ra, setiap kali usai shalat Jum’at, ia keluar dan
berhenti di pintu masjid seraya berdoa, “Ya Allah, aku telah menyambut
seruan-Mu, shalat melaksanakan kewajiban-Mu, lalu aku menyebar
sebagaimana perintah-Mu. Maka berilah rezki dari karunia-Mu karena
Engkaulah sebaik-baik pemberi rezki.” (Ibnu Katsir).
Doa setelah
atau ketika bekerja adalah representasi seorang hamba terhadap
keterbatasan dirinya sekaligus pengakuannya akan kekuasaan Rabbnya.
Sebagai bentuk pengesaan Rububiyah Allah. Bahwa Allah-lah Zat yang
memberi rezki. Di tangan-Nya segala kebaikan. Allah berhak memberikannya
kepada siapa yang dikehendaki dan menahannya dari siapa yang
dikehendaki.
Doa dan Taqdir
Mungkin ada terusik oleh
sebuah pertanyaan, apakah doa yang dipanjatkan seseorang ketika ia
bekerja akan mengubah jatah rezkinya yang merupakan taqdir dari Allah?
Di
kitabnya, Ad-Daa’ wa Ad-Dawa’, Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah menjawab,
“Taqdir itu ditentukan Allah melalui beberapa sebab. Dan di antara
sebabnya adalah doa. Allah tidak mentaqdirkan sesuatu tanpa sebab. Allah
juga menentukan sebab itu. Manakala seorang hamba melakukan sebab itu,
maka taqdir itu pun terjadi. Seperti halnya taqdir kenyang dan hilangnya
dahaga dengan makan dan minum. Taqdir lahirnya seorang anak melalui
proses perkawinan. Taqdir makan daging binatang dengan menyembalihnya
terlebih dahulu. Termasuk taqdir masuk surga dengan amal perbuatan dan
masuk neraka dengan amal perbuatan. Maka, doa merupakan sebab paling
penting untuk menggapai taqdir.”
Doa adalah ibadah yang
disyariatkan Allah kepada hamba agar dalam berinteraksi dengan Allah,
perasaan harap dan keinginan kuat untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya tertancap di dalam dirinya. Dan jika seseorang mempunyai
keinginan kuat untuk mendapatkan dambaannya serta takut kehilangan
dambaan tersebut, tentu hal itu akan semakin menggerakkannya untuk
berbuat dan mengoptimalkan usahanya.
Hasil yang dicapai tidak
selamanya berbanding luruh dengan usaha. Dan keimanan seseorang kepada
taqdir membuatnya menerima hasil dari semua usahanya, baik sesuai dengan
keinginannya atau tidak.
Keimanan kepada taqdir yang berlaku
bagi dirinya setelah melakukan ikhtiar manusiawi adalah puncak keimanan.
Kebaikan dan keburukan yang menimpa tidak membuatnya berpaling dari
menempuh jalan positif menuju kebaikan. Memilih taqdir baik adalah
bagian dari ikhtiar yang dianjurkan dalam Islam.
Suatu ketika
Umar bin Khatthab menginstruksikan pasukannya yang sedang melaksanakan
operasi militer agar berpindah dari tempat yang diindikasikan terkena
epidemi kolera menuju tempat lain. Salah seorang pasukan berkomentar,
“Apakah Anda ingin berlari dari taqdir Allah, wahai Umar?” Khalifah
kedua ini menjawab, “Ya, kita berlari dari taqdir Allah menuju taqdir
Allah.”
Sangat sejalan dengan apa yang dianjurkan Rasulullah saw.,
عَنْ عِمْرَانَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِيمَا يَعْمَلُ الْعَامِلُونَ قَالَ كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
Imran
bertanya, “Ya Rasulullah, untuk orang-orang beramal?” Beliau menjawab,
‘Masing-masing orang akan dipermudah menuju taqdirnya.” (Muttafaq
Alaihi)
Ali ra. berkata, “Sesungguhnya salah seorang di antara
kalian tidak bersih keimanan di dalam hatinya sampai dia yakin seyakin
yakinnya dan tidak ragu sedikit pun, bahwa apa yang menimpa dirinya
bukan karena kesalahan yang dilakukannya dan kesalahan yang dilakukan
tidak menyebabkannya tertimpa musibah serta meyakini semua takdir yang
terjadi.”
Dus, ketika benih telah disemai, air telah disiramkan,
pupuk telah ditebar, berdoalah. Lalu apapun yang dihasilkan, terimalah
dengan penuh ketulusan sebagai karunia Zat yang mengeluarkan buah dari
bunganya. Wallahu A’lam
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/tebar-benihnya-berdoa-dan-terimalah-taqdir/
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Senin, 17 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar