Oleh: Fahmi Islam Jiwanto, MA
Mungkin
semua sepakat bahwa kekayaan adalah hal yang menarik, yang diinginkan
dan didambakan oleh hampir semua orang. Akan tetapi siapa sangka bahwa
ternyata tidak semua jenis dan kondisi kekayaan, kebercukupan, dan
keberadaan adalah hal yang terpuji. Al-Qur’an ternyata menunjukkan
bahwa Allah tidak selalu berpihak apalagi memuji orang kaya.
Dalam
ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw kita temukan dua istilah yang
berarti kekayaan. Ada istilah ghina (kaya) ada istilah tarof (mewah).
Keduanya menunjukkan makna kekayaan, kebercukupan dan keberadaan. Tapi
nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah punya sikap yang berbeda dengan kedua
istilah tersebut.
Dalam al-Qur’an pemakaian akar kata ghina
jarang dipakai untuk konteks mengecam. Al-Qur’an memakai kata ghaniyy
untuk mengungkapkan sifat Allah Yang Maha Kaya. Sedangkan untuk manusia
Allah memakai bentuk jamak (aghniya’) yaitu orang-orang kaya, seperti di
surat al-Baqarah ayat 273, Ali Imran 181, dan at-Taubah 93 semuanya
dalam bentuk nakirah (indefinite) dan dalam surat al-Hasyr ayat 7 dalam
bentuk ma’rifah (definite). Dalam ayat-ayat tersebut Allah tidak
menganggap kekayaan sebagai sesuatu hal yang tercela. Di Ali Imran 181
Allah swt mengecam orang-orang Yahudi mengaku kaya dan mengatakan Allah
fakir, subhanallah!!! Kekayaan itu sendiri tidak dipermasalahkan tetapi
kesombongan dan keangkuhan mereka yang Allah swt kecam. Di surat
at-Taubah 93 Allah swt mengecam orang-orang yang tidak ingin berjihad
padahal mereka berkecukupan dan mampu untuk berjihad. Kekayaan di sini
justru menjadi sarana yang mengharuskan untuk berjuang. Selain kedua
ayat tadi Allah swt menyebutkan kata aghniya’ dengan netral.
Kalau
kita lihat hadits Nabi saw kita akan temukan sikap yang sama terhadap
ghina dan akar katanya. Rasulullah saw bahkan memuji kondisi kaya dalam
banyak hal misalnya dalam hadits riwayat imam Muslim:
خير الصدقة ما كان عن ظهر غنى ، واليد العليا خير من اليد السفلى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
“Sedekah
terbaik adalah yang dikeluarkan dalam keadaan cukup (kaya), dan tangan
di atas lebih baik dari tangan di bawah, dan mulailah dari keluargamu.”
(HR Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah
saw memuji kondisi kebercukupan dan bahwa sedekah sebaiknya dilakukan
ketika seseorang dalam keadaan mampu. Lebih jauh lagi Rasulullah saw
menyatakan bahwa yang memberi lebih baik dari yang hanya menerima. Dan
itu adalah pujian bagi kondisi kaya.
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Sa’d bin Abi Waqqash, Rasulullah saw bahkan mengatakan
bahwa kondisi kaya bagi ahli waris lebih baik dari kondisi miskin tak
berdaya. Rasulullah saw bersabda kepada Sa’d:
إنك إن تترك ورثتك أغنياء خير من أن تتركهم عالة يتكففون الناس
“Sesungguhnya
jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik
dari pada engkau tinggalkan mereka miskin meminta-minta kepada orang.”
(HR al-Bukhari dan Muslim)
Meskipun juga Rasulullah saw tidak
mengajarkan kita untuk menjadi materialistis, menganggap bahwa kekayaan
materi adalah segalanya. Rasulullah saw berkata bahwa
ليس الغنى عن كثرة العرض ، إنما الغنى غنى النفس
“Kekayaan bukanlah dengan banyaknya materi tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah
saw mengecam kekayaan ketika kekayaan mendorong orang untuk berbuat dan
bersikap melebihi batas. Dalam hadits riwayat a-Turmudzi Rasulullah saw
mencela ghinan muthghiyan yang berarti kekayaan yang membuat seseorang
menjadi berlebih-lebihan.
Itu tadi tentang istilah ghina,
bagaimana dengan istilah tarof? Kita temukan dalam al-Qur’an bahwa
orang-orang yang mutrof (bermewah-mewahan) selalu dikecam.
Kata tarof dan akar katanya disebutkan tiga kali dalam al-Qur’an dan ternyata semua bernada mengecam.
Kita
lihat bagaimana surat al-Waqi’ah berbicara tentang “golongan kiri” yang
merupakan penduduk neraka. Di ayat 45 Allah menyebutkan sifat mereka:
“Sesungguhnya mereka sebelumnya (ketika di dunia) adalah orang yang bermewah-mewahan.” (QS. Al Waqi’ah: 45)
Secara
kasat mata kita juga dapat melihat kebanyakan orang-orang yang
tenggelam dengan dosa dan kemaksiatan adalah orang-orang yang terlena
dengan kekayaan harta sehingga mereka lalai bahwa kehidupan yang
sebenarnya adalah kehidupan akhirat.
Kita baca lagi surat al-Israa’, dalam ayat ke 16 Allah swt berfirman:
“Dan
jika Kami ingin menghancurkan sebuah negeri, Kami perintahkan
orang-orang yang bermewah-mewahan dari mereka sehingga mereka berbuat
dosa di negeri itu, lalu mereka berhak mendapakan ketentuan (azab), dan
Kami hancurkanlah negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. al-Israa’: 16)
Ayat
ini berbicara tentang sebuah sunnatullah, yang berlaku pada setiap
kondisi yang analog. Bukan hanya pada kasus tertentu. Karena itu Allah
swt memakai kata “Idza” (jika) yang berarti syarat dari sebuah proses
sebab akibat.
Allah swt menyatakan bahwa proses kehancuran sebuah
komunitas dimulai ketika elit masyarakatnya berbuat fasiq. Jika
kefasikan bermula dari elitnya maka akan dengan mudah menyebar, ditiru
atau ditularkan kepada seluruh masyarakat. Dan akhirnya merajalela
kemaksiatan yang berakibat pada kehancuran komunal, tidak terbatas pada
orang-orang tertentu saja.
Dalam surat Hud juga ditemukan bagaimana pengaruh orang-orang yang bermewah-mewahan itu. Allah swt berfirman pada ayat 116:
“Dan
orang-orang yang zhalim mengikuti kemewahan yang ada pada mereka. Dan
mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Hud: 116)
Ayat
tersebut berbicara tentang perilaku orang-orang terdahulu di mana sulit
ditemukan orang-orang yang mau melarang kemungkaran. Hal itu diperparah
dengan kenyataan bahwa orang-orang kaya lebih suka memikirkan
kekayaannya dan tenggelam dalam kemewahan dan kenikmatan duniawi sesaat.
Dari
sini secara umum kita bisa melihat perbedaan antara kekayaan yang
terpuji dan kesejahteraan yang layak diperjuangkan, dengan kemewahan dan
kehidupan glamour yang tidak dipuji bahkan dikecam oleh al-Qur’an.
Layak
untuk direnungkan bagi kita terutama bangsa Indonesia yang sedang
berjuang meraih kesejahteraan agar menyadari bahwa capaian materi yang
diajarkan oleh Islam bukanlah kehidupan yang glamour dan berfoya-foya.
Al-Qur’an membedakan antara kekayaan yang terpuji dengan kemewahan yang
tercela.
Lantas apa makna pembedaan itu? Mengapa perlu dibedakan?
Maknanya
adalah Allah swt membolehkan bahkan mendorong adanya kekayaan bukan
untuk dinikmati didunia ini semata-mata. Tetapi untuk diberikan kepada
yang berhak, diinfakkan pada hal-hal yang bermanfaat bagi kepentingan
umum, untuk membela agama dan negara, serta tujuan-tujuan mulia lainnya.
Sedangkan kekayaan yang hanya digunakan untuk berfoya-foya dan bahkan
untuk menyombongkan diri, adalah bencana yang hanya mencelakakan sang
pemiliknya saja.
Perilaku-perilaku Tarof
Al-Qur’an juga memberikan beberapa ilustrasi tentang perilaku yang Allah swt benci dalam bersikap terhadap harta.
Pertama, Menganggap Kekayaan sebagai Simbol Kemuliaan
Di
antara perilaku yang Allah swt kecam dalam berinteraksi dengan harta
adalah menganggap bahwa harta yang banyak berarti kemuliaan di sisi
Allah. Allah swt berfirman dalam surat al-Fajr:
“Adapun manusia
apabila Tuhannya mengujinya lalu dimulaikan-Nya dan diberi-Nya
kenikmatan maka dia berkata, “Tuhanku telah memuliakanku. Adapun bila
Tuhannya mengujinya lalu dibatasi rejekinya maka dia berkata, ‘Tuhanku
telah menghinakanku’. Sekali-kali tidak (demikian)!” (QS al-Fajr: 15-17)
Allah
swt secara tegas menyalahkan persangkaan orang bahwa harta adalah
ukuran kemuliaan. Karena memiliki sesuatu tidak berarti apa-apa, jika
tidak bermanfaat bagi orang lain. Kepemilikan itu bukanlah kepemilikan
hakiki, hanya sekedar titipan yang harus diberikan kepada yang berhak.
Kedua, Bangga dengan Konsumerisme Yang Berlebihan
Di
antara perilaku tarof yang Allah swt kecam adalah berbangga dengan
tingkat konsumsi yang tinggi. Allah swt menyindir orang yang seperti ini
di dalam surat al-Balad: 6.
“Dia mengatakan, ‘Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” (QS al-Balad: 6)
Kita
banyak temukan sikap-sikap seperti ini pada orang-orang yang menganggap
bahwa prestise dan image positif dibentuk dengan fasilitas-fasilitas
yang mewah, tingkat konsumsi yang tinggi, dan penampilan yang wah.
Padahal harta dalam pandangan Allah swt adalah cobaan yang akan
dipertanggung jawabkan nanti di akhirat, dari mana mendapatkannya dan
untuk apa dipergunakannya. Tidak ada sama sekali pertanyaan berapa kamu
menghasilkan harta?
Ketiga, Merendahkan Orang Miskin
Di
antara sikap-sikap tercela mengenai kekayaan adalah bukan hanya
berbangga dengan kekayaan diri bahkan juga menganggap rendah orang yang
lebih sedikit harta. Dalam surat al-Kahfi Allah swt bercerita tentang
dua sahabat yang berbeda tingkat ekonominya. Allah swt berfirman:
“Dan
berikanlah untuk mereka perumpamaan dua orang yang Kami berikan kepada
salah seorang dari mereka dua kebun anggur dan Kami kelilingi dua kebun
itu dengan pohon-pohon korma dan Kami jadikan di antara dua kebun itu
ladang. Kedua kebun itu menghasilkan buahnya dan kebun itu tidak
berkurang hasilnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah
kebun itu. Dan dia mempunyai hasil yang besar, lalu berkatalah dia
kepada kawannya ketika bercakap-cakap dengannya, ‘Hartaku lebih banyak
dari hartamu, dan orang-orangku lebih kuat.’ (QS al-Kahfi: 32-34).
Keempat, Tidak Berusaha Menolong Orang Miskin
Perilaku
buruk lain yang sering dikecam al-Qur’an adalah ketidakpedulian
terhadap orang-orang miskin. Kita bisa temukan kecaman al-Qur’an dalam
hal ini misalnya pada surat al-Haqqah ayat 34, al-Ma’un ayat 3, al-Fajr
ayat 17, an-Nisa ayat 37, al-Hadid 24.
Kelima, Memamerkan Kekayaan di Hadapan Orang Miskin
Di
antara perilaku orang kaya yang dicela al-Qur’an adalah memamerkan
kekayaan dan membanggakan penampilan materi, sebagaimana Allah swt
ceritakan tingkah Qarun dalam surat al-Qashash dari ayat 79. Di dalam
ayat-ayat tersebut Allah swt menggambarkan betapa Qarun yang begitu kaya
raya itu bertingkah sombong dan pamer kekayaan.
Keenam, Menyandarkan Kekayaan kepada Kemampuan Pribadi
Perilaku
lain yang dikecam al-Qur’an terkait kekayaan adalah mengkalim bahwa
kekayaan dihasilkan semata-mata karena kemampuan pribadi. Sebagaimana
Qarun dengan congkak mengatakan bahwa kekayaannya adalah karena ilmu
yang ada padanya (QS. al-Qashash ayat 78). Juga dalam surat az-Zumar
Allah swt menegur manusia yang jika diberi nikmat dia mengatakan bahwa
hal itu semata dikarenakan karena kelebihan yang ada pada dirinya. Sikap
yang benar yang harus dilakukan manusia adalah sikap yang dicontohkan
oleh Nabi Sulaiman as yang mengatakan ketika mendapatkan nikmat, beliau
mengatakan, ”Hadza min fadhli rabbi liyabluwani a’asykuru am akfur. Ini
adalah karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau
ingkar.” QS. An Naml : 40.
Harta pada hakekatnya hanyalah cobaan yang harus dipertanggung jawabkan, bukan kebanggaan yang harus dikejar. Allahu A’lam.[]
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/kekayaan-antara-yang-terpuji-dan-tercela/
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Senin, 17 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar