Senin, 07 November 2011

Merapat Kepada “Orang Kecil”

Oleh: Tim dakwatuna.com

Kirim Print

dakwatuna.com – Dari Sa’ad bin Abi Waqqash –semoga Allah meridoinya- dia mengatakan, “Kami (berkumpul) berenam bersama Rasulullah saw., maka berkatalah orang-orang musyrik kepada beliau, ‘Usirlah mereka agar mereka tidak berani-berani kepada kami.’ Dan aku saat itu bersama Ibnu Mas’ud, dua orang dari (kabilah) Hudzail, Bilal, dan dua orang lagi tidak kuhafal namanya. Maka terjadilah pada hati Rasulullah apa yang Allah kehendaki terjadi (yakni hampir terpengaruh untuk mengikuti keinginan orang kafir itu, pen.) lalu ia berbicara pada dirinya. Maka Allah swt. menurunkan: ‘Dan janganlah kalian mengusir orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari dengan mengharapkan wajah Allah’ (Al-An’am 52).” (Hadits Shahih riwayat Muslim)

Hadits di atas mengarahkan kita agar menjadikan nilai-nilai ilahiyyah sebagai standar untuk menentukan pilihan: apakah kita mendekat atau mengambil jarak dengan seseorang atau suatu komunitas. Nilai-nilai material duniawi sama sekali tidak boleh menjadi parameter dalam hal itu. Dan untuk itulah Rasulullah saw. diingatkan oleh Allah swt.

Sayyid Quthb mengemukakan, “Inti persoalannya bukanlah sekedar bagaimana seharusnya seorang manusia diperlakukan atau bagaimana seharusnya sekelompok manusia diperlakukan. Dimensinya lebih jauh dan lebih agung dari sekedar itu. Inti persoalannya adalah: bagaimana seharusnya manusia menimbang segala urusan dalam kehidupan ini? Dari mana manusia mengambil nilai-nilai untuk dijadikan parameter?

Dan arahan rabbani dalam ayat itu menegaskan bahwa hendaknya manusia di muka bumi mengambil nilai-nilai dan parameter dari pandangan Allah saja, yang datang kepada mereka dari langit, tidak terkontaminasi dengan kepentingan-kepentingan rendahan bumi. Nilai-nilai yang bukan muncul dari pandangan-pandangan yang terikat dengan kepentingan bumi.” (Fi Zhilalil-Quran, juz 6: 3825)

Rasulullah saw. juga pernah ditegur Allah swt. karena mengabaikan orang kecil, buta pula, yang ingin meningkatkan pemahaman tentang Islam dan mengamalkannya. Orang itu adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Sehingga karena begitu terkesannya Rasulullah saw. oleh perinstiwa tersebut, jika bertemu dengannya, beliau sering kali mengucapkan kalimat, “Selamat datang orang yang karenanya Allah menegurku.” Ya, wajar bila kalimat itu sering dilontarkan oleh Rasulullah saw. kepada Ibnu Ummi Maktum, sebagai pernghormatan terhadapnya. Memang karena Ibnu Ummi Maktum itulah Allah swt. Menurunkan ayat:

“Ia bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang kepadanya orang yang buta. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya. Ada pun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada celaan atasmu kalau dia tidak membersihkan diri. Dan ada pun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran). Sedang ia takut kepada Allah, maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali janganlah demikian! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.” (‘Abasa 1-11)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, “Saat itu Rasulullah saw. ingin Ibnu Ummi Maktum itu diam agar memberinya waktu berbicara kepada orang-orang itu sebab Rasulullah sangat terobsesi untuk menarik mereka ke dalam Islam.” (Tafsir Ibnu Katsir juz IV: 471)

Da’i memang sangat berpeluang tergoda untuk hanya suka merapat kepada orang-orang ‘gede’. Baik dari sisi pengaruh, jabatan, kekuasaan, kekayaan, atau dalam sisi lainnya. Sangat boleh jadi ada pembenaran yang tampak logis untuk pilihan itu. Seperti pembenaran yang juga dimiliki Rasulullah saw.: jika kepalanya terpegang, maka ekornya pasti akan ikut. Akan tetapi jangan lupakan hal-hal berikut:

Pertama, dakwah adalah proyek penyebaran hidayah Allah untuk penyelamatan diri dan manusia dari kehancuran dan adzab Allah. Karenanya, dakwah adalah proyek penyelamatan manusia orang per orang.

Kedua, dakwah itu milik semua orang dalam segala lapisan dengan tidak membeda-bedakan status sosial dan kedudukannya. Apalagi Rasulullah saw. memang diutus untuk seluruh manusia, sebagaimana ditegaskan dalam ayat-Nya: “Dan tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia.” (Saba: 28).

Ketiga, orang-orang yang mempunyai pengaruh biasanya memiliki kepentingan lebih banyak dan besar daripada orang-orang kecil. Karenanya, akan banyak gangguan untuk memiliki ketulusan dalam menerima Islam. Lebih-lebih kalau kemudian dia akan kehilangan segala posisi bila masuk Islam atau masuk dalam barisan dakwah. Makanya Allah menggambarkan orang-orang semacam itu dengan “manistaghna” (orang yang merasa berkecukupan), orang yang merasa mempunyai cukup kekuatan untuk mengeksploitasi manusia baik dalam bentuk harta, kekuasaan, kekuatan, pendukung dan sebagainya.

Rasulullah saw. pernah diingatkan Allah swt. saat hampir terpedaya dengan jebakan itu: “Jika saja tidak kami teguhkan (hati) engkau niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada. Kalau terjadi demikian benar-benarlah Kami akan timpakan (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula sikaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” (Al-Isra: 74)

Keempat, memang orang-orang berpengaruh besar yang mendapat hidayah Allah dan kemudian menjadi pembela Islam tidak sedikit. Namun harus diingat bahwa segala upaya untuk itu jangan sampai mengabaikan orang-orang yang jelas-jelas ingin membersihkan diri dan secara tulus ingin menjadi Muslim yang baik. Sejarah perjuangan para nabi dan para dai membuktikan bahwa pendukung pertama dakwah adalah wong cilik. Allah swt. menggambarkan:

“Mereka (orang-orang kafir) mengatakan, ‘Haruskan kami mengikuti kamu padahal yang mengikuti kamu adalah orang-orang hina’.” (Asy-syu’ara: 111)

“Maka berkatalah para elit orang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu melainkan sebagai seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja’.” (Hud: 27)

Secara umum, orang kecil –karena mereka tidak punya banyak kepentingan, selain hidup sejahtera– cenderung lebih mudah menerima dakwah. Di samping itu mereka sering menjadi sasaran kezaliman para elit tersebut. Dan mereka mendapatkan kemerdekaan dan penghormatan hanya manakala mereka berada dalam pangkuang Islam dan dakwah.

Oleh karenanya, hanya tertarik berdakwah kepada orang-orang ‘besar’ dan mengabaikan dakwah terhadap orang-orang ‘kecil’ adalah tindakan sangat rendah dan hina. Baik kecil dalam pengertian status sosial dan kepemilikan harta maupun kecil dalam pengertian jumlahnya sangat sedikit dan bukan perkumpulan massal. Dan lebih nista lagi, bila seorang dai lebih tertarik melayani dakwah di tengah orang-orang gedean itu karena ‘penghargaannya’ (maksudnya harga bayarannya) lebih besar. Allah swt berfirman, “Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka terbebani dengan hutang.” (Ath-Thur: 40 & Al-Qalam: 46)

Jadi, bila ada orang atau masyarakat kecil yang benar-benar ingin melakukan pembersihan jiwa terabaikan hanya gara-gara mereka tidak dapat memberikan ‘penghargaan’ yang memadai, maka para dai akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah swt. Allahu a’lam.


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/merapat-kepada-orang-kecil/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.