Jumat, 25 November 2011

Mengajak Umat Belajar Pintar

Oleh: Muhammad Nuh


Kirim Print

dakwatuna.com - Melakoni hidup bagaikan menelusuri goa nan gelap. Perlu lampu agar perjalanan bisa cepat dan selamat. Dan salah satu lampu yang diperlukan itu adalah ilmu.
Siapa pun kita tentu ingin melakoni hidup penuh bahagia. Masalah terlalui dengan mudah. Orang sekeliling pun menaruh hormat. Tapi sayangnya, tidak sedikit yang bingung mesti mulai dari mana.
Itulah kenyataan yang kerap dihadapi. Nurani seorang mukmin pasti akan mengatakan bahwa semua bergantung pada keimanan seseorang. Ia seperti benteng hidup yang terus menjaga hamba Allah dari kerasnya kehidupan.
Namun, iman saja belum cukup. Diibaratkan seperti tubuh, iman butuh gizi agar bisa terus kuat. Dan salah satu gizi itu adalah ilmu. Dari situlah, benteng keimanan seorang hamba Allah bisa terus tegar. Seperti apa pun badai hidup yang menghantam.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya di surah Al-Mujaadilah ayat 11. “…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Keterkaitan iman dan ilmu pada diri seseorang begitu kuat. Seorang bijak pernah mengatakan, “Iman tanpa ilmu menjadikan orang buta. Dan ilmu tanpa iman membuat seseorang lumpuh.”
Orang yang militan, sebagai buah dari iman yang kuat, tidak tertutup kemungkinan bisa dimanfaatkan pihak di luar Islam. Ini karena ada celah yang bisa dimasuki musuh Islam. Dan celah itu bernama ketidaktahuan.
Mungkin, teramat sulit memahami langkah perjuangan yang menempuh cara kekerasan. Dengan bom misalnya. Kenapa mesti susah-susah memilih cara seperti itu padahal keadaan tidak dalam suasana perang. Bukankah masih ada seribu satu cara damai. Risiko kecil tapi hasil besar. Dan salah satu hasil besar itu adalah membuktikan pada manusia bahwa perjuangan Islam positif dan beradab. Bahwa, Islam memang sebagai rahmat buat semua orang.
Itu di satu sisi. Ada sisi lain yang justru sebaliknya. Umat Islam menjadi begitu kompromis dengan apa pun. Termasuk dalam urusan yang sangat mendasar, akidah. Tidak sedikit umat Islam yang ikut natalan, tahun baruan, belajar jadi dukun, dan lain-lain. Niat mereka mungkin baik: sebagai penghormatan agama lain dan pengobatan alternatif. Tapi caranya keliru. Dan ini lagi-lagi berkait dengan persoalan ilmu.
Ada hal lain yang juga menyusahkan umat Islam. Sudah menjadi trik umum di kalangan penguasa bagaimana mengalihkan perhatian umat Islam terhadap sebuah kebijakan. Agar umat tidak kritis dengan kasus korupsi misalnya, tiba-tiba tersebar kasus pemakaian daging babi di sejumlah produk makanan. Umat Islam heboh. Energi pun akhirnya teralihkan pada soal daging babi. Selain soal babi, pernah juga beredar bagaimana shalat di luar angkasa. Juga masalah daging kodok, dan lain-lain.
Bahkan, celah ketidaktahuan ini pun bisa dipakai musuh Islam agar umat tidak bersatu. Ketika partai Islam nyaris menang di suatu daerah, ada isu khilafiah. Isu itu mengatakan bahwa partai Islam tersebut tidak mau tahlilan. Tidak mau mendoakan orang yang sudah meninggal. Atau, kalau partai Islam itu menang, maka tradisi yasinan akan dibubarkan. Sayangnya, sebagian besar umat Islam pun percaya.
Itulah di antara sebab kenapa umat Islam mundur dan yang lain bisa maju. Umat selain Islam bisa maju karena bisa mengesampingkan ajaran agamanya yang sudah kadaluarsa dan tidak lengkap. Sebaliknya, umat Islam justru mundur ketika Alquran dan Sunnah tidak lagi jadi pedoman.
Lagi-lagi, itu persoalan ilmu. Karena sulit mengamalkan Alquran dan Sunnah tanpa memahami isinya. Dan wajar jika umat Islam jadi mainan orang lain. Dari sekian ratus juta umat Islam Indonesia, berapa yang bagus baca Qurannya. Berapa yang bisa memahami. Dan berapa yang mengaplikasikan Alquran dalam kehidupan nyata. Prosentasenya menjadi teramat kecil.
Anehnya, kesadaran mengejar ilmu tetap saja minim. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat lebih memilih jajan bakso daripada beli koran. Lebih memilih tayangan hiburan daripada berita dan dialog. Begitu pun dalam majelis taklim. Sulit sekali menggiring masyarakat ikut hadir dalam majelis ilmu ini. Padahal tanpa dipungut bayaran sedikit pun.
Ada beberapa sebab. Pertama, inilah mungkin pengaruh perlakuan penjajah yang akhirnya membudaya dalam masyarakat. Belanda memang beda dengan Inggris yang melepas jajahannya dalam keadaan pintar. Perpisahan mereka pun secara baik-baik. Negeri jajahan Inggris lebih cepat maju ketimbang jajahan Belanda. Bandingkan Indonesia dengan Malaysia.
Kedua, dampak kebijakan pemerintah. Sejak masa orde baru, porsi anggaran pendidikan teramat rendah. Tidak sampai lima persen. Itu pun cuma di atas kertas. Belum lagi yang dikorupsi pejabat. Akibatnya, biaya dan sarana pendidikan jadi sangat mahal.
Ketiga, kurang memahami ajaran Islam. Seolah Islam cuma urusan akhirat. Masyarakat pun beranggapan, “Buat apa tinggi-tinggi sekolah, toh tidak dibawa ke akhirat. Yang penting bisa ngaji dan shalat. Salah paham ini lebih parah buat kalangan muslimah. Buat apa berilmu tinggi, kan akhirnya cuma sibuk di dapur.
Akibatnya, Islam dan umatnya terus terpinggirkan dalam berbagai pentas: politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Umat Islam tak ubahnya seperti daun pisang yang dikait orang lantaran diri tak berpayung di ketika hari hujan. Manakala hujan usailah sudah, daun itu pun dicampakkan. Diinjak pula orang nan lalu.


Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.