Oleh: Muhammad Nuh
dakwatuna.com - Melakoni
hidup bagaikan menelusuri goa nan gelap. Perlu lampu agar perjalanan
bisa cepat dan selamat. Dan salah satu lampu yang diperlukan itu adalah
ilmu.
Siapa
pun kita tentu ingin melakoni hidup penuh bahagia. Masalah terlalui
dengan mudah. Orang sekeliling pun menaruh hormat. Tapi sayangnya, tidak
sedikit yang bingung mesti mulai dari mana.
Itulah
kenyataan yang kerap dihadapi. Nurani seorang mukmin pasti akan
mengatakan bahwa semua bergantung pada keimanan seseorang. Ia seperti
benteng hidup yang terus menjaga hamba Allah dari kerasnya kehidupan.
Namun,
iman saja belum cukup. Diibaratkan seperti tubuh, iman butuh gizi agar
bisa terus kuat. Dan salah satu gizi itu adalah ilmu. Dari situlah,
benteng keimanan seorang hamba Allah bisa terus tegar. Seperti apa pun
badai hidup yang menghantam.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya di surah Al-Mujaadilah ayat 11. “…Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.“
Keterkaitan
iman dan ilmu pada diri seseorang begitu kuat. Seorang bijak pernah
mengatakan, “Iman tanpa ilmu menjadikan orang buta. Dan ilmu tanpa iman
membuat seseorang lumpuh.”
Orang
yang militan, sebagai buah dari iman yang kuat, tidak tertutup
kemungkinan bisa dimanfaatkan pihak di luar Islam. Ini karena ada celah
yang bisa dimasuki musuh Islam. Dan celah itu bernama ketidaktahuan.
Mungkin,
teramat sulit memahami langkah perjuangan yang menempuh cara kekerasan.
Dengan bom misalnya. Kenapa mesti susah-susah memilih cara seperti itu
padahal keadaan tidak dalam suasana perang. Bukankah masih ada seribu
satu cara damai. Risiko kecil tapi hasil besar. Dan salah satu hasil
besar itu adalah membuktikan pada manusia bahwa perjuangan Islam positif
dan beradab. Bahwa, Islam memang sebagai rahmat buat semua orang.
Itu
di satu sisi. Ada sisi lain yang justru sebaliknya. Umat Islam menjadi
begitu kompromis dengan apa pun. Termasuk dalam urusan yang sangat
mendasar, akidah. Tidak sedikit umat Islam yang ikut natalan, tahun
baruan, belajar jadi dukun, dan lain-lain. Niat mereka mungkin baik:
sebagai penghormatan agama lain dan pengobatan alternatif. Tapi caranya
keliru. Dan ini lagi-lagi berkait dengan persoalan ilmu.
Ada
hal lain yang juga menyusahkan umat Islam. Sudah menjadi trik umum di
kalangan penguasa bagaimana mengalihkan perhatian umat Islam terhadap
sebuah kebijakan. Agar umat tidak kritis dengan kasus korupsi misalnya,
tiba-tiba tersebar kasus pemakaian daging babi di sejumlah produk
makanan. Umat Islam heboh. Energi pun akhirnya teralihkan pada soal
daging babi. Selain soal babi, pernah juga beredar bagaimana shalat di
luar angkasa. Juga masalah daging kodok, dan lain-lain.
Bahkan,
celah ketidaktahuan ini pun bisa dipakai musuh Islam agar umat tidak
bersatu. Ketika partai Islam nyaris menang di suatu daerah, ada isu
khilafiah. Isu itu mengatakan bahwa partai Islam tersebut tidak mau
tahlilan. Tidak mau mendoakan orang yang sudah meninggal. Atau, kalau
partai Islam itu menang, maka tradisi yasinan akan dibubarkan.
Sayangnya, sebagian besar umat Islam pun percaya.
Itulah
di antara sebab kenapa umat Islam mundur dan yang lain bisa maju. Umat
selain Islam bisa maju karena bisa mengesampingkan ajaran agamanya yang
sudah kadaluarsa dan tidak lengkap. Sebaliknya, umat Islam justru mundur
ketika Alquran dan Sunnah tidak lagi jadi pedoman.
Lagi-lagi,
itu persoalan ilmu. Karena sulit mengamalkan Alquran dan Sunnah tanpa
memahami isinya. Dan wajar jika umat Islam jadi mainan orang lain. Dari
sekian ratus juta umat Islam Indonesia, berapa yang bagus baca Qurannya.
Berapa yang bisa memahami. Dan berapa yang mengaplikasikan Alquran
dalam kehidupan nyata. Prosentasenya menjadi teramat kecil.
Anehnya,
kesadaran mengejar ilmu tetap saja minim. Dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat lebih memilih jajan bakso daripada beli koran. Lebih memilih
tayangan hiburan daripada berita dan dialog. Begitu pun dalam majelis
taklim. Sulit sekali menggiring masyarakat ikut hadir dalam majelis ilmu
ini. Padahal tanpa dipungut bayaran sedikit pun.
Ada
beberapa sebab. Pertama, inilah mungkin pengaruh perlakuan penjajah
yang akhirnya membudaya dalam masyarakat. Belanda memang beda dengan
Inggris yang melepas jajahannya dalam keadaan pintar. Perpisahan mereka
pun secara baik-baik. Negeri jajahan Inggris lebih cepat maju ketimbang
jajahan Belanda. Bandingkan Indonesia dengan Malaysia.
Kedua,
dampak kebijakan pemerintah. Sejak masa orde baru, porsi anggaran
pendidikan teramat rendah. Tidak sampai lima persen. Itu pun cuma di
atas kertas. Belum lagi yang dikorupsi pejabat. Akibatnya, biaya dan
sarana pendidikan jadi sangat mahal.
Ketiga,
kurang memahami ajaran Islam. Seolah Islam cuma urusan akhirat.
Masyarakat pun beranggapan, “Buat apa tinggi-tinggi sekolah, toh tidak
dibawa ke akhirat. Yang penting bisa ngaji dan shalat. Salah paham ini
lebih parah buat kalangan muslimah. Buat apa berilmu tinggi, kan
akhirnya cuma sibuk di dapur.
Akibatnya,
Islam dan umatnya terus terpinggirkan dalam berbagai pentas: politik,
ekonomi, budaya, dan pendidikan. Umat Islam tak ubahnya seperti daun
pisang yang dikait orang lantaran diri tak berpayung di ketika hari
hujan. Manakala hujan usailah sudah, daun itu pun dicampakkan. Diinjak
pula orang nan lalu.
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar