mempercayai yang terbaik dalam diri seseorang
akan menarik keluar yang terbaik dari mereka
berbagi senyum kecil dan pujian sederhana
mungkin saja mengalirkan ruh baru pada jiwa yang nyaris putus asa
atau membuat sekeping hati kembali percaya
bahwa dia berhak dan layak untuk berbuat baik
***
Lelaki
 itu menyipitkan mata diterjang terik. Kakinya tersaruk seok dalam 
sengatan pasir. Dia datang dari jauh memikul beban hati yang memayahkan.
 Perjalanannya melelahkan. Tapi biara yang ditujunya tak jauh lagi. 
Jalan agak mendaki kini, tapi sekuncup harap telah bersemi di hati.
Di
 pintu biara, Rahib ahli ‘ibadah itu menyambutnya dengan wajah datar. 
Lisannya terus berkomat-kamit. Rahib itu masuk sebentar dan keluar 
dengan dua gelas logam di tangannya. Dia letakkan satu di hadapan si 
lelaki, dan gelas lain dia genggam dengan dua tangan. Dihirupnya 
dalam-dalam aroma yang menguar bersama asap.
“Rahib yang suci”, kata si lelaki. Dia berhenti sejenak lalu mengunjal nafasnya panjang-panjang. “Mungkinkah dosaku diampuni?”
Rahib itu tersenyum setengah menyeringai. “Memangnya apa khilafmu?”
Agak tercekat dia menjawab. “Aku telah membunuh”, katanya, “Sebanyak sembilanpuluh sembilan jiwa.”
Hampir saja gelas di tangan sang Rahib jatuh. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.
“Mungkinkah
 dosaku diampuni?”, lanjut si lelaki sambil menatap harap-harap. 
Tangannya cemas menggariki permukaan gelas logam. Dia lalu menunduk 
menanti sabda.
Tetapi Rahib itu memalingkan muka. Rautnya tampak 
tak suka. Lelaki itu menangkap mimik jijik di garis-garis wajah sang 
Rahib. Sayup dia menggumamkan sebuah ayat dalam Taurat. “Membunuh satu 
jiwa sama artinya membinasakan seluruh jiwa, memusnahkan segala 
kehidupan. Sembilanpuluh sembilan.. Sungguh dosa yang tak terperikan. 
Tak terampunkan.”
Entah mengapa si lelaki pembunuh tiba-tiba 
disergap benci yang bergulung-gulung pada si Rahib. Batinnya yang luka 
dan tersiksa oleh dosa serasa disiram cuka yang memedihkan mendengar 
gumam itu. Cara Rahib itu memperlakukannya, bersikap, berkata-kata, dan 
menjawab tanya seolah mereka dibatasi dinding tak tertembus. Si Rahib 
suci. Tanpa dosa. Dan dia adalah lelaki hina, najis, tak terampuni.
Sekuncup harap yang tadi bersemi, kini gugur disengat api.
Maka
 sekali lagi syaithan mengalahkannya. Dalam detikan saja, pedangnya 
telah memenggal si Rahib, membelahnya jadi dua. Dan dia disergap sesal 
yang jauh lebih menyakitkan. Genap sudah seratus nyawa. Darah sang Rahib
 yang mengalir merah terlihat bagai neraka menyala, siap membakarnya. 
Dia bergidik. Dia beringsut mundur. Nafasnya tersengal, jangganya terasa
 tercekik hebat, keringat dinginnya merembesi baju. Dengan tenaga yang 
dihimpun sepicak-sepicak, dia berlari. Terus berlari.
Untuk 
beberapa waktu, dia bersembunyi. Tapi dia tahu, yang dia takuti bukan 
apa yang ada di luar sana. Yang paling menakutkannya ada di dalam dada. 
Tak tampak. Tak pernah membiarkannya nyenyak. Tak pernah mengizinkannya 
hening.
Satu hari dia tak tahan lagi. Diberanikannya menemui 
orang yang dianggapnya mampu memberi jawab gelisah hatinya. Kali ini 
bukan rahib yang dipilihnya. Kali ini seorang ‘alim yang didatanginya. 
Dan lelaki berilmu itu menerimanya dengan senyum tulus.
“Allah 
itu Maha Pengampun saudaraku”, ujar sang ‘alim ramah. “Taubatmu pasti 
diterima. Hanya saja, selain menyesali segala yang telah berlalu dan 
menebusnya dengan kebaikan-kebaikan, engkau juga harus meninggalkan 
negeri yang selama ini kau tinggali. Pergilah ke negeri lain untuk 
memulai hidupmu yang baru. Engkau harus berhijrah.”
Lelaki 
pembunuh itu, kita tahu, benar-benar berhijrah. Tapi dia mati di 
perjalanan. Dan malaikat rahmatpun memenangkan perdebatannya dengan 
malaikat ‘adzab. Sebab ketika diukur jaraknya, lelaki itu sejengkal 
lebih dekat ke arah negeri pertaubatannya. Dia benar-benar telah 
meninggalkan kejahatan, meski baru sejengkal. Maka Allah memerintahkan 
agar dia dibawa ke surga.
***
Kebaikan itu hanya menyembul
 sedikit, mengintip di balik terbunuhnya seratus nyawa. Seorang rahib 
memang ahli ‘ibadah. Tetapi dia bukan ahli ilmu. Dia tak kuasa mengenali
 kebaikan yang yang tersembunyi. Begitulah kita hari-hari ini, banyak 
terpesona dan dengan mudah menyebut seseorang sebagai, “Ustadz!” Padahal
 boleh jadi dia bukan ahli ilmu. Dia bisa saja ‘Abid, ahli ‘ibadah. Atau
 juga Khathib, seorang yang fasih bicara. Atau bisa juga Katib, seorang 
yang pandai menulis. Atau sejauh-jauhnya Hafizh, orang yang pintar 
menghafal.
Adapun ‘ulama, adalah mereka yang benar-benar mengenal Allah dan takut kepadaNya.
Seperti
 ‘alim yang menuntun sang pembunuh untuk bertaubat. Dia lelaki jernih 
yang penuh prasangka baik. Jika si rahib lebih tertekan oleh kata 
“membunuh”, sang ahli ilmu lebih terkesan oleh kata “taubat”. Kebaikan 
itu memang belum wujud, tapi dia memperlakukan sang pembunuh dengan 
penuh cinta, mempercayai yang terbaik dalam dirinya, dan menjadikan 
lelaki itu mampu menyongsong jalan surga.
Itulah ‘ulama. Dalam 
dekapan ukhuwah kita belajar dari mereka untuk takut kepada Allah dan 
tak mudah-mudah memvonis pada sesama hamba. Dalam dekapan ukhuwah kita 
belajar untuk mengenali kebaikan yang mengintip, mempercayainya, dan 
memberinya kesempatan untuk tampil mengemuka.
Memiliki akhlaq 
keulamaan ini bukan tak mudah. Kita hanya perlu memiliki perasaan 
sewajarnya bahwa kita sendiri juga manusia. Kita juga bisa khilaf dan 
alpa. Tak ada manusia suci yang tak punya masa lalu, dan tak ada insan 
jahat yang tak punya masa depan. “Dia yang tak mampu memaafkan kesalahan
 orang lain”, demikian dikatakan oleh George Herbert, “Telah 
menghancurkan jembatan yang seharusnya dia lalui sendiri.”
Mempercayai
 yang terbaik dalam diri seseorang, akan mengeluarkan yang terbaik dari 
mereka. Dalam dekapan ukhuwah, mari kita percayai asas itu. Dan mari 
kita perlakukan saudara-saudara tercinta kita dengan asas yang sama. 
Johann Wolfgang von Goethe, pemikir Jerman yang sangat mengagumi 
Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam itu punya ungkapan yang menarik.
 “Perlakukan seseorang sebagaimana dia tampak saat ini”, tulisnya dalam 
Faust, “Dan kau akan menjadikannya lebih buruk. Namun jika kau 
memperlakukannya seolah dia telah menggapai potensinya dan mewujudkan 
citanya, kau akan menjadikannya sebagaimana dia yang seharusnya.”
Sungguh,
 setiap orang ingin hidupnya berarti. Semua orang ingin merasa dirinya 
penting dan punya makna. Kitapun demikian. Sebab itulah, dalam dekapan 
ukhuwah, asas ini berlaku untuk setiap orang, bahkan mereka yang tidak 
mempertunjukkannya. Mungkin saja, mereka sedang menunggu rangsang kecil 
dari kita untuk menjadi seseorang yang hebat. Mari bukakan kesempatan 
itu dengan mempercayai adanya kebaikan yang tersembunyi.
Sikap 
merasa lebih dan merasa suci jelas adalah lawan dari akhlaq keulamaan 
yang takut kepada Allah itu. Mereka yang merasa lebih, sulit mengenali 
kebajikan yang mengintip. Mereka dirabunkan oleh asap angan-angannya 
sendiri untuk menjadi lebih, padahal masih dalam khayalan.
Yang 
menggelikan adalah ketidakmampuan mereka untuk menghargai kebajikan yang
 mengintip biasanya diiringi kebanggaan atas apa yang tak mereka punya, 
dan keinginan dipuji atas apa yang belum mereka lakukan. Jika disebut 
kebaikan kecil yang dilakukan seseorang, mereka selalu memaparkan 
kebaikan yang lebih besar. Bukan untuk menjadikannya ‘ibrah apalagi 
‘amal diri, sebab dirinya sendiri selalu berlindung di balik ‘udzur 
“syaratnya belum terpenuhi”. Semua dilakukannya hanya untuk 
menenggelamkan kebaikan kecil itu dan membuatnya seakan tak bernilai.
Semua
 manusia adalah anak-anak Adam yang menjadi tempatnya salah dan lupa. 
Maka orang suci sejati bukan yang tak berdosa, melainkan mereka yang 
banyak beristighfar kepada Allah. Mereka sering disergap rasa bersalah 
dan berdosa. Lalu dengan istighfar itu mereka merasakan ketenteraman 
dalam naungan ampunanNya. Maka mereka tumbuh menjadi pemaaf, sebab 
mereka juga tumbuh dalam pemaafan Allah. “Adapun mereka yang kurang 
beristighfar”, begitu ditulis Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam Madaarijus 
Salikin, “Pastilah hatinya keras dan merasa suci. Dan itu membuat mereka
 mudah sakit hati, sulit menghargai, dan tak mampu memaafkan.”
Tentu
 saja kita boleh menambahi keterangan Ibnul Qayyim ini: mereka yang tak 
mampu mengenali kebaikan yang mengintip, bisa berakhir tragis seperti 
sang rahib dalam kisah kita di awal tulisan.
Maka mari kita 
belajar untuk menghargai kebaikan yang mengintip, atau mentakjubi 
keshalihan yang kecil dan sederhana. Membiasakan hal ini sungguh akan 
menjadi sebuah latihan jiwa yang berharga. Sebab ada tertulis, “Mereka 
yang tak bisa menghargai yang kecil, takkan mampu menghormati yang 
besar. Dan mereka yang tak bisa berterimakasih pada manusia, takkan 
mampu mensyukuri Allah.”
salim a. fillah
-www.safillah.co.cc-
Sumber :  http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2010/04/kebaikan-yang-mengintip/
 
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Senin, 07 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996 
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874 
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki   bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung   indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar