Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
dakwatuna.com - “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu (Muhammad) siarkan“. (Ad-Dhuhaa: 11)
Tahadduts
bin ni’mah merupakan istilah yang sudah lazim dipakai untuk
menggambarkan kebahagiaan seseorang atas kenikmatan yang diraihnya. Atas
anugerah itu ia perlu menceritakan atau menyebut-nyebut dan
memberitahukannya kepada orang lain sebagai implementasi rasa syukur
yang mendalam. Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut
kenikmatan pada ayat di atas, pertama kali memang ditujukan khusus untuk
Rasulullah saw. Namun, perintah dalam ayat ini tetap berlaku umum
berdasarkan kaedah “amrun lir Rasul Amrun li Ummatihi” (perintah yang
ditujukan kepada Rasulullah, juga perintah yang berlaku untuk umatnya
secara prioritas).
Ibnu Katsir mengemukakan dalam kitab
tafsirnya, berdasarkan korelasi ayat per ayat dalam surah Ad-Dhuha,
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu
petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia
memberikan kecukupan. Oleh karena itu, siarkanlah segala jenis
kenikmatan tersebut dengan memujinya, mensyukurinya, menyebutnya, dan
menceritakannya sebagai bentuk i’tiraf (pengakuan) atas seluruh nikmat
tersebut.”
Para ulama tafsir sepakat bahwa
pembicaraan ayat ini dalam konteks mensyukuri nikmat yang lebih tinggi
dalam bentuk sikap dan implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya,
memahami tahadduts bin ni’mah dalam arti mensyukuri segala nikmat yang
dianugerahkan oleh Allah dan menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud
menyebutkan, tahadduts bin ni’mah berarti mensyukuri nikmat,
menyebarkannya, menampakkan nikmat, dan memberitahukannya kepada orang
lain.
Dalam konteks itu, Ibnul Qayyim dalam bukunya Madrijus
Salikin mengemukakan korelasi makna antara memuji dan menyebut nikmat.
Menurut beliau, memuji pemberi nikmat bisa dibagikan dalam dua bentuk:
memuji secara umum dan memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah
dengan memuji sang pemberi nikmat sebagai yang dermawan, baik dan luas
pemberiannya. Sedangkan memuji yang bersifat khusus adalah dengan
memberitahukan dan menceritakan kenikmatan tersebut. Sehingga tahadduts
bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Zat Pemberi
nikmat.
Berdasarkan makna ayat di atas, mayoritas ulama salaf
menganjurkan agar memberitahukan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang
jika ia mampu menghindarkan diri dari sifat riya’ dan agar bisa
dijadikan contoh oleh orang lain. Sehingga secara hukum, tahadduts bin
ni’mah dapat dibagi kepada dua kategori: jika terhindar dari fitnah
riya’, ujub, dan tidak akan memunculkan kedengkian pada orang lain, maka
sangat dianjurkan untuk menyebut dan menceritakan kenikmatan yang
diterima oleh seseorang.
Namun, jika dikhawatirkan akan
menimbulkan rasa dengki, dan untuk menghindarkan kerusakan akibat
kedengkian dan tipu muslihat orang lain, maka menyembunyikan nikmat
dalam hal ini bukan termasuk sikap kufur nikmat. Lebih tegas Imam
Asy-Syaukani berpendapat bahwa tahadduts bin ni’mah bukan termasuk
bagian dari tafaakhur (berbangga-bangga) maupun takabbur yang sangat
dibenci oleh Allah swt. seperti dalam firmanNya, “Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
(Luqman: 18)
Tahadduts bin ni’mah dalam konteks yang lebih luas,
tidak hanya atas kenikmatan materi yang diterima seseorang. Atas
kesungguhan beribadah dan taufiq untuk menjalankan amal shalih juga
layak dan tidak ada salahnya untuk diceritakan dan diberitahukan kepada
orang lain. Ini sebagai sebuah ungkapan rasa syukur dan agar bisa ditiru
serta dijadikan contoh. Namun, tentu kepada mereka yang diharapkan
mengikuti kebaikan dan amal shalih tersebut.
Al-Hasan bin Ali
mengemukakan pernyataannya tentang hal itu, “Jika engkau mendapatkan
kebaikan atau melakukan kebaikan, maka sebutlah dan ceritakanlah di
depan saudaramu yang kamu percayai bahwa ia akan mengikuti jejak yang
baik tersebut.” Kebiasaan seperti ini pernah dilakukan oleh Abu Firas,
Abdullah bin Ghalib, seperti yang dituturkan oleh Imam Al-Qurthubi dalam
tafsirnya, “Setiap kali aku bangun pagi, aku biasa menyebut amal yang
aku lakukan di malam hari; aku sholat sekian, berdzikir sekian, membaca
Al-Qur’an sekian dan sebagainya.” Ketika para sahabatnya mempertanyakan
yang dilakukan oleh Abu Firas termasuk dalam kategori riya’, dengan
tenang ia menjawab, “Allah memerintahkan dalam ayat-Nya untuk
menceritakan kenikmatan, sedangkan kalian melarang untuk menyebut
kenikmatan?”
Di sini sangat jelas bahwa tahadduts bin ni’mah
merupakan salah satu kendali agar tidak terjerumus ke dalam kelompok
yang dikecam oleh Allah karena menyembunyikan nikmat dan mengingkarinya
serta tidak mengakui anugerah tersebut berasal dari Allah swt. Allah
berfirman, “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka
mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.”
(An-Nahl: 83).
Tentang penduduk Negeri Saba’ yang ingkar dan
enggan mensyukuri nikmat, Allah menggambarkan akhir kehidupan mereka
yang mendapat azab. “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan
Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan
dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari
rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.
(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka
banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun
yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit
dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena
kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu),
melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Saba’: 15-17)
Dalam
beberapa hadits Rasulullah dinyatakan bahwa Tahadduts dengan kenikmatan
yang diraih merupakan salah satu dari impelemtasi syukur seorang hamba
kepada Sang Pemberi nikmat, yaitu Allah. Dalam hal ini, At-Tirmidzi
menukil sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa ia
berkata, “Barangsiapa yang diberi kebaikan (kenikmatan), hendaklah ia
membalasnya; Jika ia tidak punya sesuatu untuk membalasnya, hendaklah ia
memuji pemberinya. Karena sesungguhnya apabila ia memuji berarti ia
telah mensyukuri dan berterima kasih kepadanya. Akantetapi, jika ia
menyembunyikannya, berarti ia telah mengingkari kebaikannya.” Dalam
hadits lain dijelaskan masing-masing bentuk implementasi syukur secara
lebih terperinci:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ :قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَنْ لَمْ
يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ
النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ
وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Dari
An-Nu’man bin Basyir berkata, “Rasulullah saw. berkhutbah di atas
mimbar menyampaikan sabdanya: ‘Barangsiapa tidak mensyukuri yang
sedikit, berarti tidak bisa mensyukuri yang banyak. Barangsiapa tidak
berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah.
Sesungguhnya menyebut-nyebut nikmat Allah adalah bersyukur dan
meninggalkannya adalah kufur. Bersatu akan membawa rahmat dan
bercerai-berai akan mendatangkan adzab’.” (Musnad Imam Ahmad, no. 17721)
Adalah
anugerah Allah jika kita diberi kemampuan dan taufiq untuk senantiasa
mensyukuri segala nikmatNya. Al-Hasan Al-Basri pernah berpesan,
“Perbanyaklah oleh kalian menyebut-nyebut nikmat, karena sesungguhnya
menyebut-nyebutnya sama dengan mensyukurinya.” Memang memperlihatkan
kenikmatan merupakan sesuatu yang sangat dipuji oleh Allah karena Allah
sangat cinta kepada hambaNya yang diberi nikmat lantas ia menampakkan
atau memperlihatkan nikmat tersebut dalam sikap atau penampilan.
Rasulullah
pernah menegur seorang sahabat yang berpenampilan jauh dan bertentangan
dengan kenikmatan yang diterimanya. Seperti yang dikisahkan oleh Imam
Al-Baihaqi bahwa salah seorang sahabat pernah datang menemui Rasulullah
saw. dengan berpakaian lusuh dan kumal serta berpenampilan yang membuat
sedih orang yang memandangnya. Melihat keadaan demikian, Rasulullah
bertanya, “Apakah kamu memiliki harta?” Sahabat tersebut menjawab, “Ya,
Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta yang cukup kepadaku.” Maka
Rasulullah berpesan, “Perlihatkanlah nikmat Allah tersebut dalam
penampilanmu.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)
Mudah-mudahan
kenikmatan yang semakin banyak mengalir mewarnai kehidupan kita, mampu
kita jadikan sebagai modal untuk memperkuat dan memperbaiki semangat
pengabdian kita kepada Allah dalam bentuk amal sholeh yang diridhoiNya.
Tahadduts bin ni’mah yang kita lakukan semata untuk mendapatkan
perhatian Allah, bukan perhatian dan pujian dari manusia. Namun begitu,
harapan dari tahadduts bin ni’mah tersebut semoga akan bisa
membangkitkan semangat orang lain untuk sama-sama menghadirkan kebaikan
dan kemaslahatan pada bangsa tercinta ini.
SUmber : http://www.dakwatuna.com/2008/tahadduts-bin-nimah-ceritakan-nikmat-yang-anda-dapat/
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Senin, 07 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar