Senin, 17 Oktober 2011

Kisah Dakwah Nabi Nuh

Oleh: Ulis Tofa, Lc

Kirim Print
Bertahun lamanya kaum Nabi Nuh a.s. menyembah berhala. Mereka menjadikan berhala-berhala itu sebagai Tuhan tempat meminta kebaikan dan tempat menolak bala. Berhala menjadi tempat bergantung segala sesuatu dalam kehidupan mereka. Mereka meminta dan memanggil berhala-berhala itu dengan beragam nama. Kadang dengan nama Wadda, Suwaa’, dan Yaghuts. Kadang dengan nama Ya’uq, atau Nasr –nama-nama berhala ini diwarisi masyarakat Arab di masa jahiliyah. Mereka berbuat yang demikian itu dikarenakan kejahilan dan menuruti hawa nafsu.

Masyarakat yang Dihadapi Nabi Nuh

Bertahun lamanya kaum Nabi Nuh a.s. menyembah berhala. Mereka menjadikan berhala-berhala itu sebagai Tuhan tempat meminta kebaikan dan tempat menolak bala. Berhala menjadi tempat bergantung segala sesuatu dalam kehidupan mereka. Mereka meminta dan memanggil berhala-berhala itu dengan beragam nama. Kadang dengan nama Wadda, Suwaa’, dan Yaghuts. Kadang dengan nama Ya’uq, atau Nasr –nama-nama berhala ini diwarisi masyarakat Arab di masa jahiliyah. Mereka berbuat yang demikian itu dikarenakan kejahilan dan menuruti hawa nafsu.

Asal muasal nama-nama berhala itu diambil dari nama-nama ulama mereka yang pernah hidup bersama mereka sebelumnya. Dengan dalih untuk mengenang jasa-jasa mereka dan untuk mengingatkan semangat peribadatan umat ketika itu, maka dibuatlah patung, gambar, simbol-simbol visualisasi fisik mereka. Namun lambat laun dengan bergantinya generasi, patung-patung itu justru disembah dan dijadikan tuhan.

Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (Nuh: 23).

Di kondisi masyarakat seperti itulah Nabi Nuh a.s. diutus. Nuh adalah orang yang sangat fasih dalam bertutur, cerdas akalnya, pemikirannya jauh ke depan, santun perilakunya, sangat sabar tatkala harus berdebat, memiliki kemampuan berargumentasi yang kuat, dan punya kekuatan meyakinkan lawan bicara. Dengan bekal itu Nabi Nuh mengajak kaumnya untuk kembali kepada Allah swt. Sayang, kaumnya menolak seruannya. Namun Nuh a.s. tetap memberi peringatan tentang dahsyatnya siksa pembalasan di hari kiamat. Dan kaumnya tetap membisu dan tuli. Nuh a.s. terus memotivasi mereka dengan imbalan pahala yang sangat besar jika mau beriman, namun mereka semakin menutup telinga dan mata.

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar (kiamat).” (Al A’raf: 59).

Kreatif dan Sabar dalam Berdakwah

Nuh a.s. tetap mendakwahi dan mendebat kaumnya dengan ulet dan sabar. Nuh mencurahkan kepedulian kepada mereka dengan tutur kata yang lembut. Nuh tidak putus asa mengajak mereka untuk beriman. Bahkan, Nuh menggunakan beragam metode dakwah. Nuh mendakwahi mereka siang dan malam. Sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Jika melihat peluang dakwah di malam hari, beliau lakukan dakwah di malam hari. Bila ada peluang dakwah secara terang-terangan, beliau menyampaikan dakwah secara terang-terangan.

Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang. Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan. Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.” (Nuh: 5-9).

Nuh menggiring nalar pemikiran mereka untuk mencerna rahasia alam raya, memikirkan keindahan semesta alam. Nuh menerangkan fenomena malam yang berangsur gulita. Langit yang menghampar penuh bintang. Bulan yang bersinar. Matahari yang memberikan cahaya. Bumi yang mengalir disela-selanya sungai-sungai dan menumbuhkan beragam tanaman. Semua itu ia terangkan dengan sangat fasih. Ia berbicara dengan dalil yang kuat. Ia menerangkan hakekat Tuhan Yang Satu. Tuhan Yang Kekuasaan-Nya tidak terbatas dan sangat mengagumkan. (Nuh: 14-20).

Demikian Nabi Nuh mendekati dan meyakinkan kaumnya. Dari usaha yang tidak kenal lelah itu, berimanlah sedikit orang dari kaumnya. Mereka menyambut dakwah Nuh a.s. Mereka membenarkan risalahnya. Mereka terdiri dari kaum yang lemah dan tak berpunya.

Iri dan Sombong Penyebab Penolakan Dakwah

Adapun orang-orang yang telah Allah swt. tutup hatinya, mereka tidak akan beriman. Karena potensi pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran mereka tidak difungsikan untuk meraih hidayah, mereka tidak mendapatkan cahaya tauhid. Mereka itu adalah para pemuka kaum, para elit yang memiliki kekuasaan dan jabatan. Tidak hanya menolak, bahkan mereka mengejek dan merendahkan martabat Nabi Nuh.

Para elit itu berkomentar, ”Kamu kan manusia biasa seperti kami, kamu salah seorang di antara kami. Kalau Allah swt. menginginkan rasul, pasti Dia akan mengutus malaikat. Dan karena itu kami pasti akan serta merta mendengarkan perkataannya. Kami akan segera memenuhi seruannya.”

“Kemudian siapa mereka para rakyat jelata itu yang mengikuti kamu? Mereka pekerja kasar dan tukang gembala gembel. Mereka yang telah mengikuti kamu adalah orang-orang dungu yang tidak menggunakan akalnya. Seandainya apa yang kamu bawa itu baik, pasti kami tidak akan didahului oleh mereka-mereka itu. Seandainya apa yang kamu katakan itu benar, pasti kami yang pintar dan intelektual ini akan lebih dahulu mengimani kamu.”

Mereka tak henti mendebat Nabi Nuh. Mereka terus memojokkan Nabi Nuh dan pengikutnya. Mereka mengejek. ”Kami tidak melihat kamu dan pengikutmu lebih utama dibandingkan kami. Dalam hal kepintaran, kefasihan, keluasaan wawasan, dalam hal menentukan yang membawa maslahat, dan pengetahuan tentang pridiksi masa depan. Kami mengira kalian adalah para pembohong!” (Yunus: 27).

Nabi Nuh menjawab dengan santun dan cerdas –meskipun omongan mereka sudah kelewat batas penghinaan. ”Bagaimana pendapat kalian, seandainya saya dalam kebenaran yang datangnya dari Tuhan-ku. Berlandasan hujjah nyata yang membenarkan dakwahku. Saya mendapatkan rahmat dan keutamaan dari Tuhan-ku. Maka, apakah saya bisa memaksa kalian, atau saya berkuasa membawa kalian kepada iman?” (Yunus: 28).

Mereka menjawab, ”Wahai Nuh, seandainya kamu menginginkan kami mendapat hidayah dan taufiq, kamu menginginkan dukungan dan kemuliaan dari kami, mengapa kamu jadikan pengikutmu yang lemah lagi tak berpunya itu sebagai pendukung? Kami tidak mungkin bersanding dengan mereka. Kami tidak mungkin berjalan dengan mereka. Keyakinan kami tidak mungkin sama dengan keyakinan mereka. Bagaimana mungkin kami mengikuti agama yang tidak membedakan antara si kaya dan si miskin, antara pejabat dengan rakyat?”

Bangga dengan Pendukung Dakwah

Nabi Nuh menjawab, ”Risalah yang aku bawa ini adalah untuk kalian semua tanpa terkecuali. Tidak ada pembedaan antara orang yang pintar atau yang biasa-biasa saja; orang yang terkenal atau yang tidak dikenal; orang berpunya atau miskin papa; pejabat atau rakyat. Maka bersegeralah kalian untuk menjawab seruanku pasti apa yang kalian kehendaki akan tercapai.”

“Dan bagaimana mungkin aku meremehkan kaum yang membelaku, sedangkan kalian menjadi penentang? Seruanku telah sampai di relung kalbu mereka. Mereka beriman, sedangkan kalian menolak, bahkan memusuhiku. Mereka pendukung risalah ini. Mereka menjadi penyeru dakwah ilallah. Bagaimana jika mereka mengadu di depan mahkamah Allah swt. dan menuntut saya? Mereka mengadu kepada Allah swt. bahwa aku telah membalas penerimaan mereka dengan kufur nikmat, membalas kebaikan mereka dengan pengingkaran. Ingatlah, kalian benar-benar kaum yang jahil!”

Dan (dia berkata), “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui”. (Hud: 29).

Debat antara Nabi Nuh dan penentangnya semakin meruncing. Pertentangan di antara mereka menghebat. Inilah yang menjadikan para penentangnya putus asa. Mereka berkata. “Hai Nuh, Sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. (Yunus: 32)

Nabi Nuh tersentak. Ia menjawab, ”Kalian memang benar-benar keterlaluan. Kalian tidak lagi menggunakan akal sehat kalian. Siapa saya ini sehingga saya bisa mendatangkan adzab kepada kalian atau menolak adzab dari kalian? Bukankah saya ini manusia seperti kalian semua yang diberi wahyu bahwa Tuhan kalian satu, maka saya sampaikan apa yang diperintahkan kepadaku. Saya memberi kabar gembira bagi yang memenuhi seruanku. Dan saya juga memberi peringatan kepada kalian dengan siksa yang pedih. Ketahuilah bahwa segala sesuatu tergantung dan dikembalikan kepada Allah swt. Jika Allah swt. berkehendak akan memberi hidayah kepada kalian. Atau jika Allah swt. berkehendak, akan langsung mengadzab kalian. Atau Allah swt. akan menangguhkan dan memberi tenggat waktu hidup untuk kalian, agar kemudian kalian diadzab lebih dahsyat lagi. (Yunus: 33-34).

Ibrah dari Kisah Nabi Nuh

1. Berdakwah adalah wajib bagi para rasul. Sepeninggal mereka kewajiban itu diwajibkan kepada para pengikutnya sesuai kemampuan masing-masing. Rasulullah saw. bersabda, ”Senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang menyeru dan menegakkan kebenaran, sampai datang kepada mereka ketentuan Allah (kemenangan).” (Bukhari, Sahih Bukhari, hal. 286).

2. Di dalam melaksanakan dakwah ilallah dibutuhkan ilmu tentang fiqh dakwah, yaitu pengetahuan tentang tahapan dakwah, sarana dakwah, metode dakwah, dan mengetahui latar belakang serta kondisi objek dakwah. Sebagaimana Rasulullah saw. pernah mencontohkan. Beliau pernah ditanya oleh beberapa sahabat dalam kesempatan berbeda dengan satu pertanyaan. Namun Beliau menjawab dengan beragam. Beliau menjawab amal yang paling dicintai Allah adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, karena sahabat yang bertanya ternyata tidak berbuat baik kepada orang tuanya. Jawaban untuk yang lain, shalat tepat waktu, karena Rasul mengetahui bahwa sahabat yang satu ini kurang memperhatikan masalah shalat berjama’ah tepat waktu. Pada kesempatan yang lain, beliau menjawab jihad fii sabilillah, karena sahabat yang tanya ternyata tidak sungguh-sungguh dalam berjihad.

3. Bangga dengan para pendukung dakwah. Tidak pandang bulu siapa pun mereka dan berapa pun jumlah mereka. Ketika Rasulullah saw. sedang duduk-duduk bersama orang mukmin yang dianggap rendah dan miskin oleh kaum Quraisy, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak bicara dengan Rasulullah. Tapi mereka enggan duduk bersama mukmin itu. Mereka mengusulkan supaya orang-orang mukmin itu diusir saja. Lalu turunlah ayat ini. ”Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim). (Al-An’am: 52).

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/kisah-dakwah-nabi-nuh/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.