Selasa, 18 Oktober 2011

Hijrah dan Pembentukan Masyarakat Madani

Oleh: H. Ade Khalifah

Kirim Print
Hijrah dalam kamus-kamus bahasa Arab berakar pada huruf ha-ja-ra, yang berarti pisah, pindah dari satu negeri ke negeri lain, berjalan di waktu tengah hari, igauan dan mimpi. Namun, dalam terminologi Islam, hijrah sering diartikan dengan meninggalkan negeri yang tidak aman menuju negeri yang aman demi keselamatan dalam menjalankan agama.

Dalam sejarah perjalanan dakwah, hampir semua para nabi, khususnya ulul azmi, pernah melakukan hijrah. Hijrah secara fisik yang dikenal dalam Islam adalah hijrah sebagian sahabat, yang terbanyak dari kalangan mustad’afin (orang-orang yang lemah secara politik dan ekonomi), ke negeri Habasyah sebanyak dua kali.

Hijrah pertama ini diikuti hanya oleh dua puluh orang. Di dalam rombongan ini terdapat Ruqayyah binti Muhammad (putri Rasulullah saw.) dan suaminya Utsman bin Affan. Mereka berlayar secara diam-diam menuju Habasyah dengan menggunakan kapal dagang. Kaum musyrik Mekah kemudian mengirim pasukan untuk mengejar mereka. Namun, kaum muslim telah berlayar setibanya pasukan di tepi laut. Peristiwa ini terjadi di bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.

Hijrah ke Habasyah ini dilakukan kaum muslim karena semakin meningkatnya intimidasi kaum Qurisy pada mereka. Setelah dua bulan tinggal di Habasyah, mereka kembali ke Mekah karena mengira intimidasi kaum Quraisy sudah jauh berkurang.

Namun, perkiraan itu salah. Sebab, pada kenyataannya kaum musyrik Mekah malah meningkatkan intimidasinya terhadap kaum muslim. Nabi Muhammad saw. kemudian menyarankan para sahabatnya untuk hijrah kembali ke Habasyah. Rencana hijrah kedua ini lebih berat karena pihak musuh sudah mencium rencana tersebut. Hal ini menyebabkan kaum muslim bergerak lebih cepat. Rombongan ini dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan sebanyak delapan puluh tiga pria dan tiga belas wanita berhasil berangkat hijrah ke Habasyah. Mereka tiba dengan selamat. Tetapi, tidak lama kemudian datang utusan dari Mekah yang dipimpin oleh ‘Amr bin al-‘Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka bermaksud meminta kaum muslim, sambil membawa banyak hadiah untuk Raja Najasyi. Terjadilah dialog antara Ja’far bin Abi Thalib dengan utusan dari kaum musyrik Mekah dihadapan Raja Najasyi. Namun, pada akhirnya kaum muslim berhasil meyakinkan Raja Najasyi akan kebenaran hijrah mereka, dan utusan kaum musyrik pun kembali ke Mekah tanpa hasil.

Rasulullah saw kemudian mengirim surat kepada Raja Najasyi dan menyerunya untuk masuk Islam. Raja Najasyi menerima seruan tersebut. Dan tatkala raja Najasyi ini meninggal dunia, Rasulullah sawpun melakukan shalat gaib untuknya.

Semakin lama tekanan dan intimidasi yang dialami oleh Rasulullah saw. dan kaum muslim semakin dahsyat. Hal inilah yang menyebabkan mereka hijrah Madinah. Jika hijrah ke Habasyah dilakukan secara kecil-kecilan oleh sejumlah sahabat, maka hijrah ke Madinah ini dilakukan dengan perbekalan dan persiapan yang matang dan memadai.

Namun, peristiwa yang sangat menentukan kesuksesan dakwah Islam, dan menjadi titik peralihan menuju kemenangan adalah ketika Rasulullah saw. dan para sahabatnya berhasil hijrah ke Madinah dengan selamat. Keberhasilan hijrah ini tidak terlepas dari beberapa peristiwa yang terjadi sebelumnya, yaitu proses sumpah setia atau bai’ah oleh beberapa orang dari Madinah. Peristiwa ini dikenal dengan Bai’atul ‘Aqabah al Ula wa Tsaniyah.

Bai’ah yang pertama dilakukan oleh sepuluh orang dari suku Khazraj dan dua orang dari suku Aus kepada Rasulullah saw. Bai’ah ini dilakukan ketika mereka ziarah ke Masjidil Haram. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-12 kenabian (tahun 621 M di bulan Juli) di Aqabah, Mina. Adapun teks bai’ahnya: “Kami tidak akan mempersekutukan Allah dengan apapun juga, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak akan berdusta dengan menutup-nutupi apa yang ada di depan dan di belakang kami, dan tidak akan membantah perintah nabi dalam hal kebajikan” (HR. al-Bukhari)

Sedangkan bai’ah yang kedua terjadi pada musim haji tahun ke-13 kenabian (tahun 622, bulan Juni) di tempat yang sama. Adapun isinya adalah, “Kalian membai’atku dengan berjanji untuk patuh dan setia kepadaku, baik dalam keadaan sibuk maupun senggang, memberi infak baik dalam keadaan lapang rezeki maupun sempit, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, teguh membela agama Allah tanpa memperhatikan perbedaan ras, tidak takut dicela orang lain, tetap membantu dan membelaku ketika aku berada di tengah-tengah kalian sebagaimana kalian membela diri dan anak isteri kalian. Jika kalian melaksanakan semua ini, kalian akan memdapatkan surga.” (HR. Ahmad bin Hanbal)

Peristiwa yang lainnya adalah kesepakatan para pemuka suku Quraiys untuk menghabisi kaum muslim dan Rasulullah saw. di Darun Nadwah. Namun, kesepakatan ini diketahui oleh Rasulullah saw. melalui wahyu yang turun kepadanya, “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (al-Anfal: 30)

Rasulullah saw. memerintahkan kepada kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah setelah turunnya ayat ini. Para sahabat mulai meninggalkan Mekah secara bergelombang. Rasulullah saw. sendiri adalah orang yang terakhir pergi ke Madinah.

Rasulullah saw. menyiapkan hijrah ini secara matang. Sebab, target utama kaum musyrik Mekah adalah mengagalkan hijrah kaum muslimin. Rasulullah saw. menyiapkan bekal, kendaraan, penunjuk jalan, strategi, dan rute yang akan ditempuh. Beliau juga meminta Abu Bakar ash-Shiddiq menemaninya, dan seorang pemandu jalan yang bernama Abdullah bin Uraiqit.

Rasulullah saw. meninggalkan rumah pada malam hari tanggal 27 bulan Shafar tahun ke-13 kenabian atau bertepatan dengan tanggal 12 atau 13 September tahun 622 M. Perjalanan awal keluar Mekah jusru menempuh jalan yang berlawanan dengan jalan menuju Madinah. Hal ini dimaksudkan untuk mengecoh para pengejar. Gua Tsur adalah tempat tujuan mereka. Di gua ini mereka bermalam selama tiga hari. Kaum musyrik Quraisy sempat mengejar, tetapi keberadaan Rasulullah saw. dan Abu Bakar di dalam gua tidak diketahui mereka.

Setelah berhasil lolos dari pengejaran kaum musyrik Mekah, perjalanan dilanjutkan kembali. Tetapi ternyata, para pemburu bayaran yang diiming-imingi hadiah besar oleh pihak Mekah terus mengintai mereka. Salah satu dari mereka adalah Suraqah bin Malik. Ia berhasil mengejar dan mendekati Rasulullah saw. dan Abu Bakar. Namun, setelah melihat mukzijat kenabian dari Rasulullah saw., Suraqah akhirnya tunduk.

Rasulullah saw. akhirnya tiba di Yatsrib (Madinah) pada hari Jum’at tanggal 12 Rabiul Awwal di tahun yang sama. Beliau disambut penduduk Madinah dengan meriah. Al-Barra bin ‘Azib seorang sahabat dari kaum Anshor mengatakan, “Orang pertama dari para sahabat yang datang ke Yatsrib ialah Mus’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Kedua orang inilah yangmengajarkan Al Qur’an kepada kami. Kemudian menyusul Ammar bin Yasir, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Umar bin al-Khaththab bersama kafilah yang terdiri dari dua puluh orang. Setelah itu, barulah Rasulullah saw datang menyusul. Saya belum pernah melihat banyak orang bergembira seperti saat mereka menyambut kedatangan beliau, sehingga kaum wanita, anak-anak, dan para hamba sahaya perempuan bersorak-sorai meneriakkan, “Itulah dia, Rasulullah saw telah datang.” (HR. al-Bukhari).

Kedatangan Rasulullah saw di kota Yatsrib ternyata membawa perubahan yang sangat besar bagi perkembangan Islam. Paling tidak, beliau berhasil menjadi juru damai bagi dua suku asli penduduk Yatsrib, yaitu suku Aus dan Khzaraj. Rasulullah saw. mempersaudarakan, menyatukan, dan mendamaikan mereka dengan ikatan iman dan Islam serta persaudaraan Islamiyah. Sehingga terhapuslah di hati mereka militansi kesukuan yang sempit. Sementara itu, para pendatang Muhajirin juga mulai mewarnai aktivitas di kota itu dengan perdagangan. Tak lama kemudian, kaum Muhajirin mampu menggeser dominasi ekonomi dan perdagangan kaum Yahudi.

Rasulullah saw. emudian meletakkan tiga hal yang menjadi tonggak pembentukan masyarakat baru, yaitu:

1. Memperkokoh hubungan kaum muslim dan Tuhannya dengan membangun masjid;

2. Memperkokoh hubungan intern umat Islam dengan mempersaudarakan kaum pendatang Muhajirin dari Mekah dengan penduduk asli Madinah, yaitu kaum Anshor;

3. Mengatur hubungan umat Islam dengan orang-orang diluar Islam, baik yang ada di dalam maupun di sekitar kota dengan cara mengadakan perjanjian perdamaian.

Melalui tiga hal di atas, Rasulullah saw. berhasil membangun masyarakat ideal. Masyarakat ini terwujud dalam suatu negara, yang beliau beri nama Madinah, artinya “kota” atau “tempat peradaban”. Di dalam masyarakat itu, Rasulullah saw. secara bertahap menerapkan sistem yang dapat melindungi mereka dengan kehidupan yang damai dan makmur. Pada akhirnya, disebabkan melihat suasana damai itu, banyak penduduk kota Madinah dan sekitarnya yang menyatakan masuk Islam.

Setelah terbentuknya negara Madinah, Islam mulai menguatkan eksistensinya di wilayah sekitar kota Madinah, sampai kota Mekah pun dapat dibebaskan. Dengan dibebaskannya Mekah tidak ada lagi hijrah ke Madinah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw, “Tidak ada hijrah setelah pembebasan (Mekah).” (HR. al-Bukhari)

Tetapi, menurut Munawar Khalil, hijrah dalam pengertian meninggalkan sesuatu yang buruk menuju sesuatu yang baik atau hijrah secara maknawiyah spiritual merupakan kewajiban bagi setiap muslim sepanjang hidupnya. Hijrah maknawiyah ini terus berlaku sepanjang masa. Dan mengingat pentingnya peristiwa hijrah ini, Umar ibnul Khaththab, berdasarkan usul Ali bin Abi Thalib, menetapkan peristiwa hijrah ini sebagai awal tahun penanggalan Islam.

Setelah mengalami perjalanan hijrah yang cukup melelahkan dan penuh ketegangan, Rasulullah saw. dan Abu Bakar akhirnya sampai di kota tujuan, Yatsrib. Kaum muslim yang menantikan mereka dengan cemas akhirnya merasa lega. Mereka menyambut Rasulullah saw. dan Abu Bakar dengan penuh suka cita. Mereka bahkan bersenandung, bernyanyi, dan bersyukur akan kedatangan Rasullah saw. dan Abu Bakar yang selamat dan tidak kurang suatu apapun jua.

Rasulullah saw. kemudian mengganti nama kota Yastrib dengan nama al-Madinah al-Munawarah atau lebih dikenal dengan Madinah. Kota ini kemudian menjadi tanah suci karena disucikan oleh Rasulullah saw., sebagaimana dalam sabdanya, “Rasulullah saw. telah mensucikan tanah antara dua laba (tanah berbatu hitam antara timur dan barat) Madinah.” (HR. Muslim). Kota ini terletak kurang lebih 350 km di utara kota Mekah.

Rasulullah saw. tiba pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 H atau 27 September 622 M di perkampungan Bani Najjar di Madinah. Beliau turun dari untanya di depan rumah Abu Ayub, seraya berkata, “Di rumah inilah, insya Allah”. Beliau kemudian masuk ke rumah Abu Ayub dan tinggal untuk sementara waktu.

Sebelum masuk kota Madinah, Rasullah saw. singgah di pemukiman Bani ‘Amr bin ‘Auf selama empat belas hari. Dalam waktu yang singkat tersebut beliau membangun masjid Quba. Masjid itu adalah menjadi masjid pertama yang dibangun dalam sejarah Islam. Mengenai masjid tersebut, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (at- Taubah: 108)

Setelah tiba di Madinah, Rasulullah saw. mulai membangun masyarakat baru, yakni masyarakat madani. Ada dua hal utama yang dikerjakan Rasulullah saw, yaitu: Pertama, menguatkan hubungan vertikal kaum muslim dengan Allah swt., melalui sarana masjid; Kedua, menguatkan hubungan horizontal sesama muslim melalui proses ta-akhi (persaudaraan), dan antara umat Islam dengan non Islam dengan Mii-tsaqul Madinah (Piagam Madinah).

Di dalam hadits dijelaskan, pekerjaan pertama yang dilakukan Rasululah saw. di Madinah adalah membangun masjid. Tempat yang dipilih adalah sebidang tanah milik dua orang anak asuh As’ad bin Zararah di Mirbad. Mereka sebenarnya ingin memberikan tanah itu secara cuma-cuma, tetapi Rasulullah saw. tetap membayarnya. Tanah itu sebelumnya ditumbuhi beberapa pohon kurma liar dan beberapa buah kuburan orang-orang musyrik.

Masjid itu berukuran kurang lebih seratus hasta, terdiri dari sebidang tanah segi empat sama sisi, dibatasi oleh bekas pelepah-pelepah kurma, dengan kiblat masih menghadap ke Masjidil Aqsha. Lantainya terdiri dari pasir dan kerikil, sedangkan tiang dan atapnya dari batang dan pelepah daun kurma. Rasulullah saw. ikut turun tangan membangun masjid bersama para sahabatnya. Mereka mengerjakannya sambil bersyair dan bersenandung.

Mengapa masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah saw. dan bukan yang lainnya? Sebab, Rasulullah mengetahui bahwa imanlah sesungguhnya inti kekuatan dari masyarakat madani yang hendak dibangun. Maka, masjid adalah sarana yang tepat untuk memelihara iman agar tetap kokoh dan mantap. Masjid akan melahirkan keimanan yang produktif, yang hidup dan menghidupkan, dan memberi manfaat bagi kehidupan seluruh alam. Adanya masjid menempa para sahabat untuk berjuang lebih lanjut, karena memang tantangan dakwah Islam selanjutnya akan lebih berat. Karena itu, mereka harus memiliki iman kokoh yang tidak melahirkan rasa takut dan gentar kecuali kepada Allah swt., “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap meadirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah.” (at-Taubah: 18)

Selain itu, masjid ini juga diharapkan menjadi tempat pembinaan umat secara keseluruhan, baik dalam rangka menyusun strategi dakwah maupun taktik lainnya. Dari masjid inilah lahir masyarakat baru yang dikenal dengan nama masyarakat madinah, nama itu menjadi acuan bagi peristilahan masyarakat madani (civil societ) yang sekarang ini sedang ngetrend.

Masyarakat madani adalah masyarakat yang harmonis dan seimbang, baik secara lahir maupun batin, juga dalam hubungan vertikal kepada Al-Kholik dan horizontal sesama makhluk, “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (an-Nuur: 36-38)

Masjid secara vertikal menguatkan hubungan seorang hamba kepada Tuhannya, dan secara horizontal menguatkan hubungan antar anggota masyarakat muslim. Proses ini berjalan secara paralel, yaitu seiring adanya pertemuan intens dalam sholat fardhu sehari semalam sebanyak lima kali dan sholat Jum’at sekali seminggu. Hal ini melahirkan barisan kaum muslimin yang kokoh dan kuat yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. Barisan ini kemudian menjadi pasukan yang mampu menaklukkan kekuatan pasukan kaum musyrik Mekah di berbagai peperangan. Barisan ini juga ditakuti oleh kabilah-kabilah di pedalaman, dan pada akhirnya mampu membalikkan kenyataan: mengusir tentara Romawi dan berhadapan dengan pasukan Rustum (seorang jenderal Persia). Beberapa saat sebelumnya, tidak terbersit sedikitpun di dalam benak kaum muslim bahwa mereka akan mampu melakukannya. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (ash-Shaff: 4)

Hal kedua yang Rasulullah saw. lakukan adalah melaksanakan strategi ‘ta-akhi bainal muhaajiriina wal anshaari’ (persaudaraan antara Muhajirin dan Anshor) yang dimaksudkan untuk menguatkan kesatuan dan persatuan di kalangan kaum muslim. Tujuan lain dari hal ini adalah untuk menguatkan hubungan antara pendatang dan penduduk asli, memusnahkan fanatisme kesukuan ala jahiliyah, dan menumbuhkan semangat pengabdian yang ditujukan hanya untuk Islam. Karena secara historis, orang-orang Anshar yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khajraz pernah saling bermusuhan. Darah yang belum kering, dendam yang belum padam, sirna dihapus oleh jiwa baru persaudaraan Islam.

Melalui persaudaraan ini, Rasulullah saw. berhasil menyatukan kaum muslimin tidak hanya pada tataran teoritis, namun juga pada tataran aplikasi. Pada kenyataannya, persaudaraan ini mengikat serta mempersatukan tidak hanya jiwa namun juga harta mereka. Mengenai hal ini al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut, “Setibanya kaum Muhajirin di Madinah, Rasulullah saw. mempersaudarakan antara Abdur Rahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Ketika itu, Sa’ad berkata kepadanya, “Aku termasuk orang Anshar yang mempunyai banyak harta kekayaan. Harta kekayaanku ini akan aku bagi dua, separuh untukmu dan separuh untukku. Aku juga mempunyai dua orang isteri, lihat mana yang paling baik untuk anda. Sebutkan namanya, maka ia akan segera kuceraikan, dan sehabis masa iddahnya kupersilahkan engkau menikah dengannya.” Mendengar hal itu, Abdur Rahman menjawab, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan kekayaan anda. Tunjukan saja kepadaku, dimanakah pasar kota kalian?” Abdur Rahman kemudian ditunjukkan pasar milik Bani Qainuqo. Maka mulailah Abdur Rahman berkerja, dan ketika pulang ia membawa gandum dan samin. Setiap pagi dia melakukan hal itu. Sampai pada satu hari beliau mendatangi Rasulullah saw. dengan pakaian yang bagus dan rapi. Rasulullah saw. pun berkata kepadanya, “Apakah engkau sudah mempunyai penghasilan?” Jawabnya, “Saya sudah menikah.” Rasulullah saw. bertanya lagi, “Berapa mas kawin yang engkau berikan kepada isterimu?” Ia menjawab lagi, “Setail uang emas.” (HR. al-Bukhari)

Sesungguhnya dialog yang terjadi antara Abdur Rahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Rabi’ melebihi dialog antar dua insan bersaudara. Akan tetapi, sesungguhnya ia merupakan dialog iman. Dari dialog ini terlihat sikap itsar atau rela berkorban, membagi, dan solidaritas, namun juga diimbangi dengan sikap ta’affuf atau harga diri yang tinggi, pantang menyerah, dan putus harapan. Antara itsar dan ta’affuf, antara membagi dan dan tidak putus asa adalah sinergi yang melahirkan dinamika dan produktivitas hidup. Hal ini melahirkan energi kuat yang menjadi penggerak kemenangan kaum muslim saat itu.

Namun, dua jiwa itu seakan hilang saat ini. Tidak ada lagi itsar dan ta’affuf. Kalaupun ada itsar namun ta’affuf mati, seakan-akan memberi makan orang kuat namun pemalas. Akibatnya, umat Islam dewasa ini menjadi mandul, kurang produktivitas, dan hina di mata musuhnya. Akan tetapi, generasi awal umat ini tidaklah demikian, sebagaimana Abdur Rahman bin ‘Auf yang mempunyai jiwa pantang menyerah. Hanya dalam waktu singkat ia sudah mampu menikah lagi dengan mahar yang cukup mahal. Abdur Rahman bin ‘Auf bersama Ustman bin Affan serta sahabat lainnya merupakan pebisnis ulung, yang pada akhirnya mampu menggusur dominasi ekonomi dan perdagangan kaum Yahudi di Madinah. Karena itu, memepertahankan martabat dan harga diri, tingginya solidaritas, dan kesiapan berkorban menjadi penentu bagi kemuliaan Islam dan umatnya. Di sisi lain, amat tercela bagi sebagian orang yang memeluk Islam sekaligus menelan Islam, yaitu orang-orang yang mencari makan atas nama Islam sehingga mengakibatkan hancurnya martabat dan kehormatan Islam di dunia ini.

Sesungguhnya Islam dibangun atas landasan persaudaraan sejati yang merupakan buah dari keimanan yang tinggi. Jika kita mengambil contoh dari Rasulullah saw. dan para sahabat, maka persaudaraan sejati semacam itu hanya terdapat pada manusia-manusia yang berjiwa bersih dan berakhlak mulia. Persaudaraan ini melahirkan cinta kasih, ibarat mata air yang memancar keluar dan mengalir dengan sendirinya. Hal ini tidak bisa dipaksakan dengan peraturan atau undang-undang apapun juga. Persaudaraan ini akan berkembang di dalam hati dan membebaskan fikiran manusia dari cengkeraman egoisme, kekikiran, serta akhlak dan budi pekerti yang rendah.

Inilah dia sesungguhnya gambaran masyarakat madani itu, satu tipe alternatif yang dicita-citakan masyarakat manusia sekarang ini. Masyarakat yang harmonis, penuh kasih sayang dan toleransi, serta rahmat bagi semua. Karena itulah, mengawali keberadaannya di kota Madinah, Rasulullah saw. mensosialisasikan slogan-slogannya, yaitu keselamatan, kesejahteraan, keamanan, kasih sayang, keadilan, dan persaudaraan.

Abdullah bin Salam, seorang rahib Yahudi yang masuk Islam, mengatakan, “Aku mendatangi Rasulullah saw. saat ia tiba di Madinah. Jelaslah bagiku wajahnya, dan tidak tampak padanya wajah seorang pendusta. Hal yang pertama kali aku dengar dari ucapan-ucapannya adalah:

“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambungkanlah persaudaraan, dan sholatlah di waktu malam sementara manusia tidur, maka kalian akan masuk surga Tuhanmu dengan sejahtera.” (HR.at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan ad-Daarimi)

“Tidak akan masuk surga seseorang yang tetangganya tidak tenteram dari gangguan-gangguannya.” (HR. Muslim)

“Seorang muslim adalah orang yang membuat muslim lainnya merasa aman dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)

“Tidak beriman seseorang daripadamu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)

“Orang-orang beriman seperti satu tubuh, apabila matanya sakit, sakit pulalah seluruh badannya, dan apabila kepalanya sakit, sakit pulalah seluruh tubuhnya.” (HR.Muslim)

“Janganlah kalian saling membenci, saling hasad, dan saling bertengkar. Tetapi, jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim meninggalkan (memusuhi) saudaranya melebihi tiga hari.” (HR. Bukhari)

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/hijrah-dan-pembentukan-masyarakat-madani/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.