Senin, 17 Oktober 2011

Aku Tahu Aku Memang Keliru

Oleh: Mochamad Bugi

Kirim Print
dakwatuna.com - Sudah lama Abu Jahal bersahabat akrab dengan Abu Dzar Al Ghiffari. Bahkan sebelum Islam masuk. Tidak heran, karena keduanya adalah saudagar yang sama-sama mengadu peruntungannya dengan berdagang. Keduanya terkenal sebagai kongsi dagang yang saling menguntungkan. Setiap kali Abu Dzar datang ke kota Mekkah, ia selalu membawa barang-barang dagangan yang hanya dijual dengan perantaraan Abu Jahal.

Tetapi hari itu alangkah herannya Abu Jahal ketika kedatangan Abu Dzar ternyata tidak disertai dengan barang apapun seperti biasanya. Apalagi uang perniagaan.

“Kau membawa barang dagangan, hai sahabatku,” Abu Jahal yang mempunyai nama asli Amr bin Hisyam ini bertanya.

“Seperti yang kau lihat, tidak,” Abu Dzar menjawab.

“Engkau membawa uang?” tanya Abu Jahal semakin bingung dan heran.

“Wah, juga tidak.”

Abu Jahal merengut mendengar jawaban sahabatnya itu. Dengan masih diliputi tanda tanya besar, ia berkata lagi, “Ada apa denganmu? Apa yang membuatmu datang jauh-jauh ke Mekkah tanpa membawa barang dagangan ataupun uang? Adakah tujuanmu yang lain?”

Abu Dzar tersenyum dan tetap bersikap tenang. “Sahabatku, Abu Jahal,” ujarnya, “Kali ini kedatanganku bukan untuk mengadu untung dalam perdagangan.”

Dahi Abu Jahal berkerut. “Lantas untuk apakah?”

“Aku ingin bertemu dengan kemenakanmu.”

“Hah, kau ingin bertemu dengan kemenakanku?” Abu Jahal tidak mengerti. Sungguh, tapi tampaknya ia sudah mulai curiga. “Siapa yang kaumaksud?”

“Muhammad.”

“Muhammad?”

“Ya. Kudengar dari beberapa sahabatku bahwa Muhammad, kemenakanmu itu telah diangkat menjadi seorang Rasul. Engkau harus bangga mempunyai kemenakan semulia itu, sahabatku.” Abu Dzar berkata dengan senyum, tapi kemudian merasa heran karena tidak mendapatkan jawaban apapun dari orang yang ada di hadapannya itu.

Sejurus kemudian, terlihat kerut di wajah Abu Jahal. Ia berkata dengan suara keras, “Sahabatku, dengarkanlah aku jika kau ingin selamat. Jangan kautemui dia! Sekali-kali jangan pernah menemui kemenakanku itu!”

“Kenapa kau berkata seperti itu?” tanya Abu Dzar Al Ghiffari.

Abu Jahal menarik nafas sejenak. Ia memandangi wajah Abu Dzar dan kemudian berkata, “Kautahu, Muhammad itu amat menarik. Ia sangat mempesona. Sekali berjumpa dengannya, aku jamin kau pasti akan benar-benar terpikat dengannya. Wajahnya bersih, perkataannya berisi mutiara indah dan selalu benar. Perilakunya amat lembut, dan sopan membacakan wahyu, semua kalimatnya menyentuh jiwa.”

Kali ini Abu Dzar yang ganti memandangi wajah Abu Jahal dengan lekat. “Aku tidak mengerti. Tapi, apa itu berarti kau yakin dia seorang Rasul?”

Abu Jahal mengangguk dengan tegas dan cepat. “Jelas. Mustahil rasanya jika ia bukan seorang Rasul. Otaknya teramat pintar-bahkan cerdas. Walaupun ia tidak bisa membaca ataupun menulis. Ia baik kepada semua orang tua ataupun muda, budi pekerti dan akhlaknya sangat mulia. Satu hal lagi yang perlu kauketahui, ia sangat tabah menghadapi apapun yang terjadi padanya. Ia mempunyai daya tarik yang hebat sekali.”

“Aku tidak habis mengerti terhadapmu, Abu Jahal sahabatku,” Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau bilang kau yakin bahwa kemenakanmu itu adalah seorang Rasul.”

“Yakin betul. Aku tidak pernah meragukannya sedikitpun.”

“Kau percaya bahwa ia benar?”

“Lebih dari sekadar percaya.”

“Tapi engkau melarangku untuk menemuinya…”

Abu Jahal mengangkat bahunya. “Begitulah….”

“Lalu, apakah engkau mengikuti ajaran agamanya?”

Abu Jahal tampak menarik kedua alisnya. Roman mukanya berubah merah. “Ulangi sekali lagi pertanyaanmu…”

“Engkau mengikuti agamanya, menjadi pemeluk Islam?” Abu Dzar kembali mengulangi perkataannya seperti yang diperintahkan oleh Abu Jahal.

Kali ini Abu Jahal begitu geram. “Sahabatku,” ujarnya dengan nada suara yang tertahan, “sampai detik ini, dan nanti-nantinya aku adalah Abu jahal dan tetap Abu Jahal. Aku bukan orang yang sinting. Otakku belum miring. Dibayar berapapun aku tidak akan menjadi pengikut Muhammad!”

“Lho, tapi bukankah kau yakin Muhammad itu benar?”

“Sahabatku, catat ini, walaupun aku yakin bahwa Muhammad itu memang benar, aku tetap akan melawan Muhammad sampai kapanpun jua. Sampai titik darah penghabisanku.” Abu Jahal menggerung.

“Apa sebabnya?”

“Kau tahu, sahabatku Abu Dzar Al Ghiffari, jika aku menjadi pengikut kemenakanku sendiri, maka kedudukan dan wibawaku akan hancur. Akan kuletakan di mana mukaku di hadapan bangsa Quraisy?”

Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya, “Pendirianmu keliru, sahabatku.”

“Aku tahu aku memang keliru.”

“Engkau akan kalah kelak oleh kekeliruanmu itu.”

“Baik, biar saja aku kalah. Bahkan aku tahu di akhirat kelak bakal dimasukkan ke dalam neraka jahim. Tapi aku tidak mau dikalahkan Muhammad di dunia, walaupun di akhirat sana aku pasti dikalahkan.”

Sambil berkata begitu, Abu Jahal beranjak meninggalkan Abu Dzar Al Ghiffari yang terdiam. Tampaknya, Abu Dzar tidak habis mengerti betapa anehnya perilaku dan sikap Abu Jahal itu dalam menerima kebenaran hanya karena berasal dari kemenakannya sendiri.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/aku-tahu-aku-memang-keliru/



Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.