Oleh: Mochamad Bugi
dakwatuna.com – Wanita
ini bernama Zainab atau biasa disebut Di’din. Tapi ia lebih sering
dipanggil dengan laqab (nama panggilan) Ummu Ruman. Wanita ini anak
perempuan dari Amir bin Uwaimir bin Abdullah Syams bin ‘Iqab. Nasabnya
berakhir di Kinanah.
Ummu Ruman tinggal di wilayah yang bernama
As-Sirat, yaitu sebuah dataran berkontur pegunungan dan berbukitan di
Jazirah Arabia. Ketika sampai usia akil balig, ia dinikahkan dengan
pemuda sedesanya yang bernama Harits bin Sakhbarah bin Jurtsumah
Al-Kaher. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang diberi nama
Ath-Thufail.
Kemudian Ummu Ruman dan anaknya, Ath-Thufail, dibawa
Harits pindah ke Makkah. Di Makkah, keluarga kecil ini tinggal dan
mendapat perlindungan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Sayang, Harits
tidak dikarunia Allah swt. dengan umur panjang. Ia meninggal setelah
setahun tinggal di Makkah. Abu Bakar kemudian menikahi Ummu Ruman dan
merawat Ath-Thufail. Ummu Ruman pun menjadi istri kedua Abu Bakar.
Dari
istri pertamanya, Abu Bakar memiliki dua orang anak, yaitu Asma dan
Abdullah. Dari pernikahan dengan Ummu Ruman, Abu Bakar pun mendapat dua
orang anak, yaitu Aisyah dan Abdurrahman. Selisih usia Asma dan Aisyah
sepuluh tahun. Ummu Ruman menyatukan Ath-Thufail, Asma, Abdullah,
Aisyah, dan Abdurrahman dalam asuhannya.
Ummu Ruman masuk Islam
ketika Abu Bakar masuk Islam. Jadi, ia termasuk salah satu as-sabiqunal
awwalun (kelompok pertama yang masuk Islam). Seluruh anak-anaknya
mengikuti jejaknya masuk Islam, kecuali Abdurrahman. Dengan begitu,
rumah Ummu Ruman adalah rumah kedua yang berada dalam naungan Islam
setelah rumah Rasulullah saw.
Berbagai
macam siksaan yang dilakukan kafir Quraisy kepada kaum muslimin di
Makkah juga menimpa diri Ummu Ruman. Apalagi ia aktif bahu-membahu
dengan suaminya, Abu Bakar, menyelamatkan orang-orang yang telah memeluk
Islam ketika itu dari gangguan kafir Quraisy.
Sebagai ibu, Ummu
Ruman sangat disiplin dan berhasil mendidik anak-anaknya. Sebagai
seorang istri, ia sangat menghormati hak-hak suaminya. Dan, ia adalah
seorang wanita yang menepati janji lagi bijak bestari. Sifat-sifat mulia
itu terekam dalam peristiwa Rasulullah saw. meminang Aisyah.
Muhammad
bin Amr menceritakan kepada kami. Ia berkata, Abu Salamah dan Yahya
menceritakan kepada kami, ketika Khadijah telah meninggal dunia, Khaulah
binti Hakim –istri Utsman bin Mazh’un—datang menemui Rasulullah saw.
dan berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah engkau menikah lagi?” Beliau
berkata, “Dengan siapa?” Khaulah berkata, “Apabila engkau mau, engkau
dapat menikahi seorang gadis, atau seorang janda.” Beliau bertanya,
“Siapakah gadis tersebut?” Khaulah menjawab, “Putri hamba Allah Azza wa
Jalla yang paling engkau cintai di muka bumi, Aisyah binti Abu Bakar.”
Beliau bertanya lagi, “Lalu siapakah janda tersebut?” Khaulah menjawab,
“Saudah binti Zam’ah. Ia telah beriman kepadamu dan mengikuti segala
yang engkau ucapkan.” Rasulullah berkata, “Kalau begitu pergilah kepada
keduanya, dan sebutkan namaku kepada mereka.”
Khaulah kemudian
datang ke rumah Abu Bakar, dan ketika masuk ia berkata, “Wahai Ummu
Ruman, kebaikan dan keberkahan apakah yang dicurahkan Allah Azza wa
Jalla kepada kalian?” Ummu Ruman bertanya, “Apakah itu?” Khaulah
menjawab, “Rasulullah saw. mengutusku meminang Aisyah untuk beliau.”
Ummu Ruman berkata, “Kalau begitu, tunggulah sampai Abu Bakar pulang.”
Setelah
Abu Bakar tiba, Khaulah menyampaikan maksud Rasulullah saw. Setelah
mendengan kabar itu, Abu Bakar berkata, “Tunggu sebentar.” Abu Bakar pun
keluar rumah. Ummu Ruman berkata kepada Khaulah, “Sesungguhnya Muth’im
bin Ady pernah menyebutkan nama Aisyah di hadapan putranya, dan demi
Allah, Abu Bakar tidak pernah menjanjikan sesuatu lalu melanggarnya.”
Abu
Bakar pergi menemui Muth’im bin Ady. Ternyata Muth’im menarik kembali
ucapannya karena khawatir anaknya masuk Islam. Setelah itu, Abu Bakar
berkata kepada Khaulah, “Panggillah Rasulullah saw. kemari.” Khaulah pun
pergi menjemput Rasulullah saw. Tak lama kemudian Abu Bakar menikahkan
Rasulullah saw. dengan putrinya, Aisyah, yang ketika itu berusia 6
tahun.
Tak lama setelah pernikahan itu, Rasulullah saw. mendapat
perintah untuk berhijrah. Abu Bakar diminta Rasulullah saw. mendampingi.
Abu Bakar segera menyampaikan hal itu kepada isterinya, Ummu Ruman.
Berita itu tidak membuat Ummu Ruman takut, meski ia harus tetap tinggal
di Makkah bersama dengan anak-anaknya di bawah ancaman mara bahaya yang
mungkin terjadi. Ummu Ruman justru berkata, “Sesungguhnya keluarga
Rasulullah saw. harus menjadi teladan kita.”
Setelah Abu Bakar
berangkat mendampingi Rasulullah saw. menuju Madinah, Ummu Ruman tetap
melakukan tugas dan perannya seperti biasa. Tak lama kemudian ia
menyusul hijrah ke Madinah bersama keluarganya dan keluarga Rasulullah
saw., Fathimah, Ummu Kaltsum, Saudah, Zaid bin Haritsah, Abu Rafi’,
hamba sahaya Rasulullah saw., Abdullah bin Ariqazh yang diutus Nabi
untuk membawa mereka semua ke Madinah. Thalhah bin Abdullah pun turut
serta dalam kafilah ini.
Ketika tiba di Madinah, Ummu Ruman
berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Bakar, tidakkah engkau mengingatkan
Rasulullah saw. tentang perkara Aisyah?” Maka Abu Bakar segera berangkat
menemui Rasulullah saw. dan berkata kepadanya, “Tidakkah engkau ingin
menggauli keluargamu, ya Rasulullah?”
Kisah selanjutnya Aisyah
sendiri yang menceritakannya. Aisyah r.a. berkata, “Nabi Muhammad saw.
menikahiku pada saat aku berusia 6 tahun. Kami kemudian pergi ke Madinah
dan tinggal di kediaman Bani Harits bin Khazraj, ketika itu saya tidak
enak badan dan rambut pun rontok. Ibuku –Ummu Ruman—kemudian
mendatangiku yang ketika itu aku berada di sebuah ayunan bersama
teman-temanku. Ia kemudian memanggilku. Aku pun mendatanginya meski
tidak tahu apa yang ia inginkan dariku.
Ia kemudian memegang
tanganku dan menghadangku di pintu rumah, hingga aku mulai merasa tidak
tenang. Ia kemudian mengambil sesuatu dari air dan mengusapkannya pada
wajah dan kepalaku. Ia kemudian memasukkanku ke sebuah rumah yang sudah
dipenuhi wanita-wanita Anshar. Mereka berkata, ‘Dengan segala kebaikan
dan keberkahan, dan rezeki yang baik.’ Ia kemudian menyerahkanku kepada
mereka dan segera mendandaniku, dan hal ini tidak membuatku merasa takut
kecuali kedatangan Rasulullah saw. Mereka kemudian menyerahkanku kepada
beliau, dan ketika itu aku berusia 9 tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab
Manaqib, hadits nomor 3605)
Hubungan Rasulullah saw. dan Aisyah
mendapat cobaan yang begitu dahsyat. Peristiwa ini juga berat dirasakan
oleh Ummu Ruman, ibu Aisyah. Pada tahun keenam Hijriah, kaum munafikin
menghembuskan fitnah yang menyerang kehormatan dan kemuliaan Aisyah.
Ketika pulang dari memerangi Bani Musthaliq, Aisyah tertinggal rombongan
Rasulullah saw. Ada seorang sahabat menemukan Aisyah dan mengantar
pulang ke Madinah.
Sesampai di Madinah Aisyah sakit. Ia meminta
izin kepada Rasulullah saw. untuk dirawat di rumah ibunya, Ummu Ruman.
Ketika itu sebenarnya sang ibu telah mendengar fitnah yang dihembuskan
oleh kaum munafikin terhadap kesucian Aisyah. Ia berusaha menyembunyikan
kabar itu dari anaknya.
Dari Masruq bin Ajda’ berkata, Ummu
Ruman menceritakan kepadaku seraya berkata, ‘Ketika kami sedang duduk
bersama Aisyah, tiba-tiba masuk seorang wanita Anshar dan berkata,
“Semoga Allah melakukan yang demikian terhadap fulan!” Ummu Ruman
kemudian berkata, “Siapakah orang itu?”
Wanita tersebut berkata,
“Ia adalah putraku yang menceritakan desas-desus itu.” Ummu Ruman
bertanya, “Apakah desas-desus tersebut.” Wanita itu pun menceritakan isu
yang merebak di tengah kota berupa tuduhan terhadap Aisyah r.a. Aisyah
kemudian berkata, “Apakah Rasulullah saw. telah mendengar berita
tersebut?” Ia berkata, “Ya.” Ia bertanya, “Dan Abu Bakar?” Wanita itu
menjawab, “Ya.” Mendengar itu, Aisyah pun jatuh pingsan.
Ketika
sadar, Aisyah menemukan dirinya didera demam yang sangat tinggi. Saya
–Ummu Ruman—lalu menghamparkan pakaiannya untuk menutupi tubuhnya.”
Tak
lama kemudian Rasulullah saw. datang dan bertanya, “Bagaimana kondisi
orang ini?” Ummu Ruman menjawab, “Ya Rasulullah , dia didera demam yang
sangat tinggi.” Beliau berkata, “Mungkin saja karena desas-desus yang
terkait dengan dirinya.” Ummu Ruman menjawab, “Ya.”
Aisyah
kemudian duduk dan berkata kepada Rasulullah saw., “Kalaupun aku
bersumpah, engkau tidak akan mempercayaiku. Dan bila aku mengatakannya,
niscaya engkau tidak akan memaafkanku. Perumpamaan diriku dan dirimu
bagaikan Ya’qub dan anak-anaknya yang berkata, ‘Dan Allah Maha Penolong
atas apa yang kalian ceritakan.’”
Ummu Ruman berkata, “Beliau
kemudian keluar dan tidak mengatakan apapun hingga Allah menurunkan
firmanNya tentang kesucian Aisyah. Aisyah kemudian berkata, ‘Segala puji
hanya untuk Allah semata, dan bukan pujian untuk seorang pun, juga
tidak untuk dirimu.” (HR. Bukhari dalam Kitab Maghazi, hadits nomor
3828).
Setelah peristiwa itu, di tahun keenam Hijriah itu juga,
Ummu Ruman wafat karena sakit yang dideritanya. Rasulullah saw. ikut
turun ke dalam kuburannya dan berdoa di sana. Beliau berkata,
“Barangsiapa yang ingin melihat wanita bidadari surga, hendaklah melihat
Ummu Ruman.”
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/ummu-ruman-seorang-bidadari-surga/
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Sabtu, 24 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar