Selasa, 08 September 2009

Membina Kepribadian Islami, Menuju Masyarakat Madani

Membina Kepribadian Islami, Menuju Masyarakat Madani[1]

(Sudut Pandang Dr. Abdul Halim Mahmud

dalam bukunya Minhaj al-Islâh al-Islâmi fi al-Mujtama’)

Prolog

Ketika wacana reformasi menjadi wacana yang hangat dalam komunitas kita (umat Islam), maka pandangan mayoritas kita akan tertuju ke Barat sebagai cermin kemajuan. Barat—sebagai peradaban baru yang mulai menghegemoni dunia sekitar 5-6 abad yang lalu—menjadi kiblat utama bagi umat Islam untuk mereformasi dan merekonstruksi bangunan peradaban yang dulu pernah jaya. Maka, metodologi dan wacana seputar reformasi yang beredar di Barat, menjadi isu dan kajian utama di kalangan umat Islam.

Padahal, kondisi sosial, ideologi, tradisi dan perbedaan titik tolak peradaban antara Islam-Barat bisa menjadi kendala dalam tataran “kontekstualisasi-aplikatif”nya. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap peradaban baru (Barat) tersebut?[2]

Secara global, Abdul Halim Mahmud (selanjutnya disebut AHM) memaparkan tiga paradigma yang muncul. (1) Menerima bulat-bulat. (2) Menolak mentah-mentah. (3) Menerima “peradaban material”nya (al-Hadlârah al-Mâdiyah), mengambil yang baik dari budaya berpikir (al-Hadlârah al-Nâdzariyah) mereka. Bagi AHM, ketiga pendapat di atas mempunyai kelemahan yang tidak memungkinkan untuk dipakai atau diikuti. Untuk yang pertama, ia mengatakan hal tidak mungkin, karena banyak sekali elemen dan bagian dari peradaban Barat yang menyimpang dari dasar ajaran Islam (walaupun selanjutnya dia tidak mendiskripsikan bagian yang dimaksud). Resistensi terhadap pendapat kedua muncul, karena sampai saat ini tidak ada seorangpun, satu masyarakatpun, atau bahkan negara manapun, yang tidak berinteraksi dan mengambil faedah dari peradaban Barat. Untuk paradigma ketiga, ia mengajukan pertanyaan sekaligus meragukan: Apa yang dimaksud dengan ‘baik’, dan standar siapa yang dipakai dalam menentukan kebaikan tersebut? Menurutnya, standar kebaikan tidak akan sama bagi lain orang, selama kerangka berpikir yang dipakai adalah rasionalitas.

Maka, sebagai penawaran alternatif, AHM membagi peradaban Barat ke dalam dua sisi; material (al-Qism al-Mâdî) dan spiritual (al-Qism al-Rûhî). Yang dimaksud sisi material adalah semua produk peradaban Barat yang dihasilkan melalui metode induktif, dan alam semesta sebagai objek kajiannya.[3] Sisi ini bebas nilai dan merupakan kebenaran bersama. Tidak ada embel-embel ideologis di dalamnya. Sedangkan sisi spritual adalah wilayah teologi, moral dan syari’ah. Sisi inilah sebenarnya yang banyak membentuk identitas suatu komunitas masyarakat, memberi warna dan memperjelas kepribadiannya.

Bertolak dari paparan di atas, AHM mengajak kita untuk kembali kepada ajaran-ajaran Islam (al-‘Audah ila al-Islam), memahaminya secara mendasar dan mengamalkannya. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas identitas dan memperkokoh kepribadian muslim, hingga nantinya terbentuk sebuah masyarakat madani.

Penyerahan Diri

Kepribadian Islami adalah hasil sebuah proses, harus diperjuangkan, bukan fitrah yang hadir sejak lahir. Hal ini sangat erat kaitannya dengan sejauh mana seorang muslim memahami dam menyelami esensi ajaran Islam.

Menurut Ibnu al-Anbâri (328 H.), kata ‘muslim’ secara terminologi berarti “Orang yang ikhlas beribadah kepada Tuhan.”[4] Islam adalah agama universal, baik ditinjau dari struktur bahasa, ataupun substansi makna yang terkandung. Islam tidak merujuk pada orang tertentu, seperti halnya agama Budha; Tidak terfokus pada masyarakat tertentu, seperti agama Yahudi; tidak terkait dengan daerah tertentu, seperti adanya agama Nasrani (Kristen); tidak juga dibatasi oleh ruang dan waktu. Al-Qur’an berkata: “Dan Kami tidak mengutusmu, kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam” (lihat juga Q.S al-Anbiyâ: 25, ali Imran: 67, Yunus: 72).

Kepasrahan diri kepada Allah ini, ketika tertanam dalam diri seorang muslim, maka berarti ajaran tauhid sudah mengkristal dalam jiwanya. Karena dalam keyakinan AHM, kepasrahan diri pada Allah, tauhid dan Islam adalah tiga terma yang saling terkait dan punya arti yang sama. Untuk lebih jelasnya simak beberapa ayat berikut:

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya, dari mereka yang menyerahkan dirinya kepada Allah semata” (al-Nisâ’: 125)

“Barang siapa yang Allah berkehendak untuk memberikan hidayah kepadanya, maka Allah akan melapangkan dadanya untuk Islam” (al-An‘âm: 125)

“Dan barang siapa menjadikan agama, selain Islam, maka tidak akan diterima (di sisi Allah), dan ia termasuk orang yang merugi di akhirat” (Ali Imran: 85)

Selanjutnya untuk memudahkan aplikasi dan realisasi praktek keislaman, AHM menjadikan Muhammad Saw. Sebagai tauladan dan cermin utama bagi masyarakat muslim. Ajaran, nilai dan identitas Islam dapat kita temukan dalam diri Muhammad. Aisyah r.a. berkata: “Akhlaqnya (Muhammad) adalah al-Qur’an.” Dan Allah berfirman: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada pada akhlaq yang mulia” (Q.S al-Qalam: 04).

Muhammad adalah stereotipe muslim integral, yang ‘shalatnya, ibadahnya, hidup dan matinya hanya untuk Allah semata’. Nah, untuk mencapai hal itu, apa yang seyogyanya menjadi landasan masyarakat muslim?

Dari Teori Menuju Aksi

Ada dua landasan untuk membentuk kepribadian Islami; ilmu dan ibadah. Keduanya saling berhubungan. Dengan kata lain, ilmu sebagai proses mencari kebenaran—yang banyak sekali kita temukan landasan teksnya dalan al-Qur’an—merupakan amal ibadah juga. Dan ibadah—sebagai tujuan utama terciptanya manusia (al-Dzariyât: 56)—tidak bisa lepas dari peran ilmu. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka akan semakin kokoh ‘penghargaan’ dia kepada Tuhan. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah, di antara hamba-hambaNya adalah mereka yang punya ilmu.”

Teks-teks al-Qur’an yang begitu kaya dengan anjuran, motivasi dan spirit untuk penerapan ilmu, menemukan realitasnya pada diri cendikiawan klasik yang memahami betul kandungan teks tersebut. Ini bisa kita lihat pada Ibnu Sina dengan ilmu kedokterannya, Ibnu Haitsam dengan meteorologinya, Al-Khuwarizmi dengan matematikanya, Ibnu Khaldun dengan sosiologinya, dan lain sebagainya. Hal ini juga diperkuat oleh kesadaran bahwa eksprimen keilmuan itu adalah beribadah.

Pada dataran selanjutnya, spirit ini ditranmisikan ke Eropa melalui peradaban Andalusia, sehingga melahirkan abad pencerahan (renaissance). Dahsyatnya, perkembangan begitu pesat terjadi, yang titik akhirnya adalah lahirnya industrialisasi, teknologi dan era baru sains di Eropa. Ironisnya, Islam yang mengaku sebagai “penyumbang saham” terhadap kemajuan tersebut, justru masih ‘berlari-lari di tempat’ dan tertinggal jauh di belakang.

Maka, perlu adanya re-kristalisasi ajaran dan nilai Islam dalam dinamika jiwa dan kehidupan bermasyarakat. Jika itu terjadi, akan muncul ‘fenomena baru’ dalam kepribadian mereka; jihad[5] dan kasih sayang (rahmat).

Jihad dalam Islam akan menemukan urgensinya, ketika kita sadari bahwa dakwah Islam adalah sebuah keharusan. Ajaran Islam itu universal, dan harus disebarluaskan. Amar ma’ruf nahi munkar hanya sekedar bagian kecil dari jihad, bukan segalanya. Jihad adalah media yang elastis dan felksibel, yang bisa dikondisikan sesuai dengan situasi sebuah masyarakat; bagi penguasa, jihad bisa berarti policy; bagi intelektual, jihad bisa diartikan mendidik; bagi kaum lemah, jihad bisa direalisasikan dalam bentuk ‘pengingkaran hati’; bagi kita, jihad bisa bermakna ‘belajar tanpa henti’.

Jika dalam pandangan beberapa kalangan (baik muslim maupun non-muslim) jihad lebih sering nampak dalam wajah kekerasan[6], ini bisa dikanter dengan sikap kasih sayang (rahmat), sehingga terjalin balance yang harmonis.

Kasih sayang adalah esensi sekaligus tujuan. Al-Qur’an berkata: “wamâ Arsalnâka illa Rahmatan li al-‘Alamîn” Dan Rasulullah bersabda: “Irhamû man fi al-Ardl, Yarhamkum man fi al-Samâ’” Seperti halnya jihad, rahmat bisa diapresiasikan dalam berbagai bentuk; dari Tuhan, rahmat bisa berupa ‘perhatian material’ kepada makhluqnya; dari seorang ibu, rahmat bisa berarti ‘belaian sepanjang hari’ bagi anaknya; dari tetangga ke tetangga, rahmat boleh jadi adalah menghargai dan saling menghormati; dll.

Epilog

Membangun masyarakat madani akan tercapai dengan dua dasar utama: Ilmu dan iman (ibadah). Mereformasi kepribadian muslim berarti menanamkan nilai-nilai Islam secara utuh dan integral dalam individu dan masyarakat. Jika ada kesadaran dan kemauan, insyaallah hal itu akan terwujud. “Katakanlah: “Inilah jalanku! Aku mengajak kepada Tuhan dengan sebenar-benarnya, aku dan orang yang mengikutiku. Maha suci Allah, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik” (Q.S Yusuf: 108)

Haiten/Kota kemenangan/Kairo



[1] Wacana tentang masyarakat madani, walaupun istilah 'resmi'nya bisa dibilang masih baru, tetapi konsepnya dapat dikatakan sudah lama. Cak Nur sering menyebut masyarakat Madinah di masa Nabi sebagai gambaran ideal masyarakat madani. Istilah ini mula-mula dimaksudkan sebagai pengganti istilah 'masyarakat sipil' yang merupakan padanan 'civil society' dalam bahasa Inggris.

Isu masyarakat madani adalah isu kelas menengah, yang merupakan akibat langsung daripada pertumbuhan pesat ekonomi kawasan Pasifik, khususnya juga di Indonesia, dalam dua dasawarsa menjelang "krismon". Maka, kelas menengah di Indonesia berkembang amat pesat. Dan inilah yang menimbulkan ketimpangan dalam struktur politik. Walaupun cara pemerintahan otoriter gaya Orde Baru kemarin itu turut memungkinkan pertumbuhan ekonomi itu, tetapi kemunculan kesadaran baru kelas menengah ini merupakan penentang paling kuat dari segala bentuk pemerintahan otoriter. (Waruno, 1999)

[2] Untuk menjawab pertanyaan tersebut, lihat “Globalisasi dan Peradaban Islam: Rancang Bangun Peradaban Islam” dan artikel lainnya tentang globalisasi dalam buku “Kontekstualisasi Islam dalam Peradaban” cet. I, FOSGAMA:2002.

[3] Di sini, AHM mengembalikan segala bentuk kemajuan Barat kepada jasa para cendikiawan muslim masa lalu, seperti Al-Farabi, Ibnu Ruyd, Ibnu sina, Ibnu Haitsam, Al-Kindi dan lain-lain, serta mengatakan bahwa semua itu adalah “hutang budaya” bagi peradaban Barat.

[4] Sekilas ada kesamaan dengan teologi inklusif Cak Nur. Tapi, bila kita lacak lebih jauh, ujung-ujungnya jauh sekali berbeda. Karena Cak Nur memakai pendekatan universal-inklusif, sedangkan pendekatan di sini lebih esklusif dan tekstual. Dalam teologi Cak Nur, semua agama mempunyai sisi kebenaran masing-masing, selama masih bertitik tolak pada ‘penyerahan diri pada Tuhan’. Teologi eksklusif menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) suatu agama menjadi monopoli agama tertentu. Karena itu, dalam perspektif "teologi inklusif," klaim bahwa hanya agamanya saja yang benar dan menjadi jalan keselamatan, adalah teologi yang salah. (simak buku “Teologi Inklusif Cak Nur”nya Sukidi, Kompas:2000)

[5] Makna jihad mempunyai spektrumnya luas, yaitu langkah-langkah strategis untuk merealisasikan cita-cita agama yang tidak lain adalah menciptakan dunia yang damai. (Din Syamsudin, 2001). Terdapat banyak kekeliruan di kalangan umat Islam tentang pengertian jihad. Kekeliruan pertama ialah tentang makna jihad itu sendiri yang sering dimengertikan sebagai peperangan mengangkat senjata yang membawa kepada pertumpahan darah dan pembunuhan. Yang kedua ialah tentang golongan yang menjadi sasaran jihad atau golongan yang harus diperangi itu.

Akhirnya, terminologi jihad ini mengalami penyempitan makna menjadi perang saja. Padahal, dikenal juga apa yang disebut jihad pada diri sendiri dalam tradisi sufi, atau mujahadah (olah jiwa), dalam tradisi intelektual: ijtihad (olah otak), dan dalam perang: jihad (olah fisik). Namun jika kita kembalikan jihad pada makna aslinya maka tiga pemahaman di atas tercakup pada kata jihad saja. Jadi, jihad tidak selalu identik dengan bentuk fisik (materi), namun juga mencakup perjuangan intelektual, emosional dan spiritual. (Guntur Romli, 2002)

[6] Ini terjadi karena beberapa fenomena di sekitar kita, seperti FPI (dengan aksi sweepingnya), Afghanista dengan gerakan Talibannya, dan Palestina dengan perlawanan Hamasnya.

Sumber : http://dicky_funny.tripod.com/madani.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.