Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan
ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan
diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah
beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan
barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya
petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi
bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan
Rasul-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan
sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam
keadaan muslim.[Ali ‘Imran: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا
وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa)
dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya
kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa': 1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki
amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah
dan Rasul-Nya, maka sungguh ia menang dengan kemenangan yang besar.”
[Al-Ahzaab: 70-71]
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur-an) dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa
sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang
diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama)
adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan
tempatnya di Neraka.
Amma ba’du:
Kepada saudara-saudaraku seiman dan se’aqidah...
Selayaknyalah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas
segala nikmat yag Allah karuniakan kepada kita yang semua itu wajib
untuk kita syukuri. Nikmat yang Allah berikan kepada kita sangatlah
banyaki, tidak dapat dan tidak akan dapat kita hitung. Maka kewajiban
seorang Muslim dan Muslimah adalah mensyukuri nikmat-nikmat yang Allah
karuniakan kepada kita. Di antaranya adalah nikmat Islam, nikmat iman,
nikmat sehat, nikmat rizki, dan lainnya yang Allah berikan kepada kita.
Mensyukuri nikmat-nikmat Allah adalah wajib hukumnya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Seandainya kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan
dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia sangat zhalim dan sangat
mengingkari (nikmat Allah).” [Ibrahim : 34]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan bahwa manusia sangat zhalim dan
sangat kufur karena mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang
diberikan kepada mereka.
Di antara nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah nikmat Islam,
iman, rizki, harta, umur, waktu luang, dan kesehatan untuk beribadah
kepada Allah dengan benar dan untuk menuntut ilmu syar’i.
Manusia diberikan dua kenikmatan, namun banyak di antara mereka yang
tertipu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.
“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”[1]
Banyak di antara manusia yang tidak mengguna-kan waktu sehat dan waktu
luangnya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak gunakan untuk belajar tentang
Islam, tidak ia gunakan untuk menimba ilmu syar’i. Padahal dengan
menghadiri majelis taklim yang mengajarkan Al-Quran dan As-Sunnah
menurut pemahaman para Shahabat, akan bertambah ilmu, keimanan, dan
ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga dapat menambah amal
kebaikannya.
Semoga melalui majelis taklim yang kita kaji dari kitab-kitab para ulama
Salaf, Allah memberikan hidayah kepada kita di atas Islam, ditetapkan
hati dalam beriman, istiqamah di atas Sunnah, serta diberikan hidayah
taufik oleh Allah untuk dapat melaksanakan syari’at Islam secara kaffah
(menyeluruh) dan kontinyu hingga kita diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam keadaan mentauhidkan Allah dan melaksanakan Sunnah. Semoga
Allah senantiasa memudahkan kita untuk selalu menuntut ilmu syar’i,
diberikan kenikmatan atasnya, dan diberikan pemahaman yang benar tentang
Islam dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.
Seorang Muslim tidak akan bisa melaksanakan agamanya dengan benar,
kecuali dengan belajar Islam yang benar berdasarkan Al-Qur-an dan
As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Agama Islam adalah agama
ilmu dan amal karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan
membawa ilmu dan amal shalih.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang
hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah
sebagai saksi.” [Al-Fat-h: 28]
Yang dimaksud dengan al-hudaa (petunjuk) dalam ayat ini adalah ilmu yang
bermanfaat. Dan yang dimaksud dengan diinul haqq (agama yang benar)
adalah amal shalih. Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran dari kebatilan,
menjelaskan Nama-Nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya,
hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, serta memerintahkan untuk
melakukan segala apa yang bermanfaat bagi hati, ruh, dan jasad.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ummat-nya agar
mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Ta’ala, mencintai-Nya,
berakhlak yang mulia, beradab dengan adab yang baik dan melakukan amal
shalih. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang ummatnya dari
perbuatan syirik, amal dan akhlak yang buruk, yang berbahaya bagi hati,
badan, dan kehidupan dunia dan akhiratnya. [2]
Cara untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah adalah dengan
menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu adalah jalan yang lurus untuk dapat
membedakan antara yang haq dan yang bathil, Tauhid dan syirik, Sunnah
dan bid’ah, yang ma’ruf dan yang munkar, dan antara yang bermanfaat dan
yang membahayakan. Menuntut ilmu akan menambah hidayah serta membawa
kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang Muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa
berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya harus
dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam. Karena itulah
menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi.
1. Menuntut Ilmu Syar’i Wajib Bagi Setiap Muslim Dan Muslimah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”[3]
Imam al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu terbagi dua:
Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu tentang shalat, zakat,
dan puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa
menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.
Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu tentang pembagian
berbagai hak, tentang pelaksanaan hukum hadd (qishas, cambuk, potong
tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang yang bersengketa, dan
semisalnya. Sebab, tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya dan
apabila diwajibkan bagi setiap orang tidak akan mungkin semua orang bisa
melakukannya, atau bahkan mungkin dapat menghambat jalan hidup mereka.
Karenanya, hanya beberapa orang tertentu sajalah yang diberikan
kemudahan oleh Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya.
Ketahuilah, menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan
menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.[4]
2. Menuntut Ilmu Syar’i Memudahkan Jalan Menuju Surga
Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk
Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ
اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ
عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ،
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ،
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ،
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ
طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ
بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ،
إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ،
وَحَفَّتْهُمُ الْـمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ،
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَـمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ.
“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin,
maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat.
Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan (dalam masalah
hutang), maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat.
Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah menutupi (aib)nya
di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba selama hamba
tersebut senantiasa menolong saudaranya. Barangsiapa yang meniti suatu
jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju
Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid)
untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan
ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat
mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat
yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak
dapat dikejar dengan nasabnya.” [5]
Di dalam hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla bahwa bagi
orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah
akan memudahkan jalan baginya menuju Surga.
“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna:
Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.
Kedua : Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang untuk
mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca,
menela’ah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami
(apa-apa yang dipelajari). Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan
seseorang untuk mendapatkan ilmu syar’i.
“Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna.
Pertama, Allah akan memudah-kan memasuki Surga bagi orang yang menuntut
ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu,
mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya.
Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari Kiamat
ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang
ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam.•
Juga dalam sebuah hadits panjang yang berkaitan tentang ilmu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ
طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ وَإِنَّ الْـمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ
أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ
لِلْعَالِـمِ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ حَتَّى الْـحِيْتَانُ فِى
الْـمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِـمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى
سَائِرِ الْكَوَاكِبِ. إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
لَـمْ يَرِثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَثُوا الْعِلْمَ
فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.
“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya
menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang
yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan
sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun
oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada
di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti
keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu
pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar
tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa
yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang
paling banyak.”[6]
Jika kita melihat para Shahabat radhiyallaahu anhum ajma’in, mereka
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Bahkan para Shahabat
wanita juga bersemangat menuntut ilmu. Mereka berkumpul di suatu tempat,
lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka untuk
menjelaskan tentang Al-Qur-an, menelaskan pula tentang Sunnah-Sunnah
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala juga memerintahkan
kepada wanita untuk belajar Al-Qur-an dan As-Sunnah di rumah mereka.
Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ
الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ
الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا وَاذْكُرْنَ مَا
يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
(bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan
laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai
Ahlul Bait, dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya. Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
al-Hikmah (Sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.”
[Al-Ahzaab: 33-34]
Laki-laki dan wanita diwajibkan menuntut ilmu, yaitu ilmu yang bersumber
dari Al-Qur-an dan As-Sunnah karena dengan ilmu yang dipelajari, ia
akan dapat mengerjakan amal-amal shalih, yang dengan itu akan
mengantarkan mereka ke Surga.
Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan
Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor,
Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang
berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik tentang Tauhid,
rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan mu’amalah dengan makhluk.
3. Majelis-Majelis Ilmu adalah Taman-Taman Surga
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْـجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا: يَا
رَسُوْلَ اللهِ مَا رِيَاضُ الْـجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ.
“Apabila kalian berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah
berdzikir.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang
dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah
dzikir (majelis ilmu).” [7]
‘Atha' bin Abi Rabah (wafat th. 114 H) rahimahullaah berkata,
“Majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis-majelis halal dan
haram, bagaimana harus membeli, menjual, berpuasa, mengerjakan shalat,
menikah, cerai, melakukan haji, dan yang sepertinya.” [8]
Ketahuilah bahwa majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu,
majelis yang di dalamnya diajarkan tentang tauhid, ‘aqidah yang benar
menurut pemahaman Salafush Shalih, ibadah yang sesuai Sunnah Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, muamalah, dan lainnya.
Buku yang ada di hadapan pembaca merupakan buku “Panduan Menuntut Ilmu”.
Di antara yang penulis jelaskan di dalamnya adalah keutamaan menuntut
ilmu, kiat-kiat dalam meraih ilmu syar’i, penghalang-penghalang dalam
memperoleh ilmu, adab-adab dalam menuntut ilmu, hal-hal yang harus
dijauhkan oleh para penuntut ilmu, perjalanan ulama dalam menuntut ilmu,
dan yang lainnya. Penulis jelaskan masalah menuntut ilmu karena masalah
ini sangatlah penting. Sebab, seseorang dapat memperoleh petunjuk,
dapat memahami dan mengamalkan Islam dengan benar apabila ia belajar
dari guru, kitab, dan cara yang benar. Sebaliknya, jika seseorang tidak
mau belajar, atau ia belajar dari guru yang tidak mengikuti Sunnah, atau
melalui cara belajar dan kitab yang dibacakan tidak benar, maka ia akan
menyimpang dari jalan yang benar.
Para ulama terdahulu telah menulis kitab-kitab panduan dalam menuntut
ilmu, seperti Imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan kitabnya Jaami’ Bayaanil
‘Ilmi wa Fadhlihi, Imam Ibnu Jama’ah dengan kitabnya Tadzkiratus Samii’,
begitu pula al-Khatib al-Baghdadi yang telah menulis banyak sekali
kitab tentang berbagai macam disiplin ilmu, bahkan pada setiap disiplin
ilmu hadits beliau tulis dalam kitab tersendiri. Juga ulama selainnya
seperti Imam Ibnul Jauzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (dalam Majmuu’
Fataawaa-nya dan kitab-kitab lainnya), Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
(dalam kitabnya Miftaah Daaris Sa’aadah dan kitab-kitab lainnya), dan
masih banyak lagi para ulama lainnya hingga zaman sekarang ini, seperti
Syaikh bin Baaz, Syaikh al-Albani, dan Syaikh al-‘Utsaimin
rahimahumullaah.
Dalam buku ini, penulis berusaha menyusunnya dari berbagai kitab para
ulama terdahulu hingga sekarang dengan harapan buku ini menjadi panduan
agar memudahkan kaum Muslimin untuk menuntut ilmu, memberikan semangat
dalam menuntut ilmu, beradab dan berakhlak serta berperangai mulia yang
seharusnya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu. Mudah-mudahan buku ini
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca sekalian, serta bagi kaum
Muslimin. Mudah-mudahan amal ini diterima oleh Allah Subhaanahu wa
Ta'ala dan menjadi timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat. Dan
mudah-mudahan dengan kita menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya,
Allah ‘Azza wa Jalla akan memudahkan jalan kita untuk memasuki
Surga-Nya. Aamiin.
Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para Shahabat beliau, serta
orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan kebaikan hingga hari
Kiamat.
[Disalin dari Muqaddimah buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan
Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan
Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
________
Footnotes
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6412), at-Tirmidzi
(no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258,344), ad-Darimi
(II/297), al-Hakim (IV/306), dan selainnya dari Shahabat Ibnu ‘Abbas
radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Lihat kitab Taisiir Karimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan
(hal. 295-296) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th.
1376 H) rahimahullaah, cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari
Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish
Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang
lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar,
Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu
‘anhum
[4]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas. Tentang
pembagian hukum menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil
‘Ilmi wa Fadhlihi (I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252,
325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no.
225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid), dari Shahabat Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
• Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/297) dan Qawaa’id wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 316-317).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu Dawud (no.
3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban
(no. 80 al-Mawaarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’
radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510), Ahmad
(III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Lihat takhrij lengkapnya dalam
Silsilah ash-Shahiihah (no. 2562).
[8]. Disebutkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal
Mutafaqqih (no. 40). Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal.
132).
Sumber : http://almanhaj.or.id
Share
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari) <---> Bagi yang membaca ini alangkah baiknya untuk membagikan pada yang lain, Ayo silahkan dishare.... Teruskan ilmu, jangan disimpan sendiri...
Sabtu, 14 April 2012
Doa Saat Sudah Berumur 40 Tahun
Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam atas hamba dan utusan-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam , keluarga dan para sahabatnya.
رَبِّ
أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى
وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي
ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada
ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau
ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak
cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS. Al-Ahqaf: 15)
Keistimewaan Umur 40 Tahun
Sebagian orang menyebut, umur empat
puluh tahun penuh teka-teki dan penuh misteri. Sehingga terbit sebuah
buku berjudul, "Misteri Umur 40 tahun" yang diterbitkan pustaka
al-tibyan – Solo, diterjemahkan dari buku berbahasa Arab, Ya Ibna
al-Arba'in, oleh Ali bin Sa'id bin Da'jam.
Seseorang yang sudah mencapai umur 40
tahun berarti akalnya sudah sampai pada tingkat kematangan berfikir
serta sudah mencapai kesempurnaan kedewasaan dan budi pekerti. Sehingga
secara umum, tidak akan berubah kondisi seseorang yang sudah mencapai
umur 40 tahun.
Al-Tsa'labi rahimahullah berkata,
"Sesungguhnya Allah menyebutkan umur 40 tahun karena ini sebagai
batasan bagi manusia dalam keberhasilan maupun keselamatannya."
Ibrahim al-Nakhai rahimahullah berkata,
"Mereka berkata (yakni para salaf), bahwa jika seseorang sudah mencapai
umur 40 tahun dan berada pada suatu perangai tertentu, maka ia tidak
akan pernah berubah hingga datang kematiannya." (Lihat: al-Thabaqat
al-Kubra: 6/277)
Allah Ta'ala telah mengangkat para nabi
dan Rasul-Nya, kebanyakan, pada usia 40 tahun, seperti kenabian dan
kerasulan Muhammad, Nabi Musa, dan lainnya 'alaihim al-Shalatu wa al-Sallam. Meskipun ada pengecualian sebagian dari mereka.
Imam al-Syaukani rahimahullah
berkata, "Para ahli tafsir berkata bahwa Allah Ta'ala tidak mengutus
seorang Nabi kecuali jika telah mencapai umur 40 tahun." (Tafsir Fathul
Qadir: 5/18)
Dengan demikian, usia 40 tahun memiliki
kekhususan tersendiri. Pada umumnya, usia 40 tahun adalah usia yang
tidak dianggap biasa, tetapi memiliki nilai lebih dan khusus.
Dihikayatkan, al-Khalil bin Ahmad
al-Farahidi adalah seorang laki-laki yang shalih, cerdas, sabar, murah
hati, berwibawa dan terhormat. Ia berkata, "manusia yang paling sempurna
akal dan pikirannya adalah apabila telah mencapai usia 40 tahun. Itu
adalah usia, di mana pada usia tersebut Allah Ta'ala mengutus Nabi
Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan pikiran manusia akan sangat jernih pada waktu sahur." (Lihat: al-Wafyat A'yan, Ibnu Khalkan: 2/245)
Disebutkan tentang biografi al-Hafidz
Jalaluddin al-Suyuthi, "Bahwa ketika mencapai umur 40 tahun ia
berkonsentrasi untuk beribadah dan memutuskan diri dari hubungan dengan
manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, dan ia berpaling
dari semua urusan dunia dan umat manusia, seakan-akan ia tidak pernah
kenal seorangpun dari mereka. Dan ia terus menyusun karya-karya
tulisnya. . ." (Syadzratu al-Dzahab: 8/51)
Al-Qur'an Menyebut Umur 40 Tahun
Cukuplah Al-Qur'an yang telah
menyebutkan umur 40 tahun dengan tegas itu menjadi perhatian. Sehingga
kita lihat, saat memasuki usia ini para ulama salaf mencapai kebaikan
amal mereka dan menjadikannya sebagai hari-hari terbaik dalam hidupnya.
Allah Ta'ala berfirman,
حَتَّى
إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ
أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى
وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي
ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Sehingga apabila dia telah dewasa
dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah
aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku
dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang
Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan)
kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri"." (QS. Al-Ahqaf: 15)
Umur 40 Tahun dan Syukur
Ayat di atas mengisyaratkan, saat sudah
menginjak usia 40 tahun hendaknya seseorang mulai meningkatkan rasa
syukurnya kepada Allah juga kepada orang tuanya. Ia memohon kepada-Nya,
agar diberi hidayah, taufik, dibantu, dan dikuatkan agar bisa menegakkan
kesyukuran ini. Karena segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini
adalah dengan kehendak dan izin-Nya, sehingga ia meminta hal itu
kepada-Nya. Ini sebagaimana doa yang diajarkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu 'Anhu, "Aku wasiatkan kepadamu wahai Mu'adz, Janganlah engkau tinggalkan untuk membaca sesudah shalat:
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِك ، وَشُكْرِك وَحُسْنِ عِبَادَتِك
"Ya Allah, bantulah aku untuk berdzikir, beryukur, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu." (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasai dengan sanad yang kuat)
Karena sesungguhnya seorang hamba pasti
sangat butuh kepada pertolongan Tuhannya dalam menjalankan perintah,
menjauhi larangan, dan sabar atas ketetapan-ketetapan takdir-Nya.
(Dinukil dari Subulus Salam, Imam al-Shan'ani)
Sebenarnya bersyukur itu sepanjang umur.
Dan dikhususkan pada umur 40 tahun ini karena pada saat usia ini
seseorang benar-benar harus sudah mengetahui segala nikmat Allah yang
ada padanya dan pada orang tuanya, lalu ia mensyukurinya.
Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam
tafsirnya berkata, "Allah Ta'ala menyebutkan orang yang sudah mencapai
umur 40 tahun, maka sesungguhnya telah tiba baginya untuk mengetahui
nikmat Allah Ta'ala yang ada padanya dan kepada kedua orang tuanya,
kemudian mensyukurinya."
Sesungguhnya hakikat syukur itu mencakup
tiga komponen; hati, lisan, dan anggota badan. Hati dengan mengakui
bahwa semua nikmat itu berasal dari pemberian Allah. Lisan dengan
menyebut-nyebut dan menyandarkan nikmat itu kepada-Nya serta memuji-Nya.
Sementara anggota badan adalah dengan menggunakan nikmat itu untuk taat
kepada-Nya, yakni untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Oleh karenanya, disebutkan dalam ayat, "Dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai."
Ditekankan Bersyukur Kepada Orang Tua
Saat seseorang berumur 40 tahun, maka ia
memiliki tanggungjawab di tengah keluarga dan masyarakat yang lebih
besar. Anak-anak memerlukan biaya yang lebih untuk pendidikan dan
lainnya. Sementara orang tuanya, pastinya sudah renta dan sangat
memerlukan bantuan dari anak-anaknya. Di sinilah sering seseorang
melupakan orang tuanya karena konsentrasinya yang lebih terhadap
keluarga dan anak-anaknya. Padahal seharusnya dengan bertambahnya umur
semakin membuat ia sadar akan jasa-jasa orang tuanya kepada dirinya.
Sehingga disebutkan dalam hadits, "Merugilah seseorang, merugilah
seseorang, merugilah seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya,
salah seorang atau kedua-duanya, tapi tidak bisa masuk surga (dengan
itu)." Dalam riwayat lain, "Tapi keduanya tidak bisa memasukkannya ke
dalam surga." (HR. Ahmad dan lainnya)
Ayat tentang kewajiban berbuat ihsan
kepada orang tua di atas diawali dengan perintah untuk mentahidkan
Allah, ikhlash ibadah kepada-Nya, dan istiqamah di atasnya. Seolah
menunjukkan, saat Allah perintahkan untuk mentauhidkan-Nya ada di antara
hamba yang menyambut dan ada pula yang menentang. Sama juga dengan
perintah berbakti kepada orang tua, ada manusia yang berbakti kepada
orang tuanya dan ada pula yang malah durhaka.
Juga mengisyaratkan, agar tidak
membedakan dan membentukan berbuat ihsan kepada orang tua dengan
mentauhidkan Allah. Sesungguhnya berbuat ihsan kepada kedua orang tua
itu bagian dari ibadah kepada Allah. Sehingga tidak boleh dalam berbuat
ihsan tersebut melanggar nilai-nilai ketauhidan. Walau besar hak orang
tua atas anak, tidak boleh mentaati keduanya dalam maksiat kepada Allah.
Karena tetaplah nikmat yang orang tua dapatkan itu berasal dari Allah
juga.
Bentuk berbuat ihsan kepada orang tua
yang diperintahkan dalam ayat tersebut mencakup segala bentuk berbuat
baik seperti memenuhi nafkah orang tua, memnuhi kebutuhannya, mentaati
perintahnya yang ma'ruf, menghidarkan dari bahaya, mengobatkannya jika
sakit, menghiburnya jika sedih, dan memohonkan ampun dan doa untuk
kedunya, serta yang lainnya.
Jangan Lupakan Keturunan
Sesudah seorang muslim diperintah
berbuat baik kepada orang yang di atasnya dan mengerjakan amal shalih
untuk dirinya, janganlah ia lupa terhadap anak keturunanya. Ia juga
wajib memperhatikan pendidikan dan pengarahan mereka, agar menjadi orang
yang taat kepada Allah Ta'ala. Karena mereka adalah amanat yang harus
diarahkan untuk taat kepada Tuhan-Nya.
Dan sesungguhnya di antara balasan baik
dari amal shalih mereka adalah diperbaiki keturunan mereka. Baiknya
orang tua akan berefek kepada perbaikan anak. Ini juga menjadi
pelajaran, dalam melakukan pendidikan kepada anak haruslah orang tua
memulai dari menshalihkan diri mereka dengan ilmu dan amal. Di samping
supaya bisa menjadi teladan, baiknya anak keturunan juga menjadi balasan
bagi dirinya.
Syaikh al-Sa'di berkata dalam
menafsirkan ayat di atas, "Sesungguhnya baiknya orang tua dengan ilmu
dan amal termasuk sebab yang besar untuk baiknya anak-anak mereka."
Selain itu, berdoa sebagai bagian dari
tawakkal kepada Allah dalam usaha tidak boleh dianggap ringan. Karena
hati manusia itu berada di antara dua jari dari jemari Allah Ta'ala yang
diarahkan kepada Dia kehendaki. Oleh sebab itu, kita dapatkan doa dari
para Nabi dan orang-orang shalih untuk keshalihan anak-anak mereka.
Silahkan baca: Doa Agar Dikaruniakan Anak Shalih.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, ada seorang lelaki yang mengadikan tentang anaknya kepada Thalhah bin Musharrif Radhiyallahu 'Anhu, maka Thalhah berkata kepadanya, "Minta tolonglah dalam masalah anakmu dengan ayat,
رَبِّ
أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى
وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي
ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada
ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau
ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak
cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS. Al-Ahqaf: 15)
Memperbaharui Taubat
Usia 40 tahun haruslah menjadi titik
tolak dan perbaharuan taubat penyesalan seseorang atas dosa-dosa dan
kufur nikmat selama hidupnya. Karena pada usia ini benar-benar telah
merasakan banyaknya nikmat dan tidak sebandingnya rasa syukur
terhadapnya. Maka pengakuan dosa pasti akan mengalir dari orang yang mau
merenungkan masa lampaunya, sehingga dari itu lahir penyesalan, tumbuh
istighfar dan taubat kepada Allah.
Oleh sebab itu, disebutkan dalam doa di atas,
إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS. Al-Ahqaf: 15)
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, "Dan di dalamnya terdapat petunjuk bagi orang yang sudah
berusia 40 tahun agar memperbaharui taubat dan inabah kepada Allah 'Azza wa Jalla serta
bertekad kuat atasnya." Dia harus terus meninggakatkannya saat usianya
menginjak 40 tahun sampai ajal menjemputnya. Wallahu Ta'ala A'lam.
Sumber : [PurWD/voa-islam.com]
Share
Doa Agar Dikaruniakan Anak Shalih
Kehadiran
anak pasti sangat dinantikan oleh pasangan suami istri. Terlebih bagi
mereka yang usia pernikahannya sudah berlalu beberapa tahun. Untuk
mendapatkan keturunan, apapun akan diusahakan.
Usaha
memang harus diupayakan, namun berdoa juga tidak boleh ditinggalkan.
Bahkan orang yang hanya mengedepankan usaha tanpa berdoa terkategori
orang sombong. Seolah-olah usahanya lah yang bisa merealisasikan
kemauannya tanpa peran Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagai pencipta.
Usaha memang harus diupayakan, namun berdoa juga tidak boleh ditinggalkan.
Dalam Al-Qur'an ada beberapa doa yang dipanjatkan oleh hamba-hamba Allah yang shalih agar dikaruniakan dzurriyah tayyibah yang menjadi qurrata a'yun.
Dari doa mereka tersebut, Allah berkenan mengabulkan dan mengaruniakan
keturunan yang shalih. Apalah artinya seorang anak, jika akhirnya ia
menjadi musuh Allah. Memang di masa kecilnya ia menjadi permata, namun
ketika sudah besar ia menjadi bencana.
1. Doa Nabi Ibrahim 'alaihis salam
Anak
shalih yang dimohon Ibrahim dalam doanya adalah anak yang taat kepada
Allah sebagai ganti dari kaumnya yang dia tinggalkan karena sudah tak
bisa lagi diharapkan akan beriman. Kemudian Allah karuniakan seorang ghulaam haliim (seorang anak yang amat sabar), yaitu Ismail 'alaihis salam. Dialah anak pertama Nabi Ibrahim berdasarkan kesepakan kaum muslimin, bahkan disepakati juga oleh Ahlul kitab.
Anak shalih yang dimohon Ibrahim dalam doanya adalah anak yang taat kepada Allah sebagai ganti dari kaumnya yang dia tinggalkan karena sudah tak bisa lagi diharapkan akan beriman.
2. Doa Nabi Zakaria 'alaihis salam
Doa ini
dipanjatkan oleh Nabi Zakaria setelah melihat kondisi Maryam yang
mengabdikan dirinya di Mihrab hanya untuk Ibadah kepada Allah. "Setiap
Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di
sisinya. Zakaria berkata: 'Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?' Maryam menjawab: 'Makanan itu dari sisi Allah'. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab." (QS. Ali Imran: 37)
Setelah
Nabi Zakaria melihat karunia Allah atas Maryam berupa makanan dan
buah-buahan musim dingin pada musim panas dan buah-buahan musim panas
pada musim dingin tanpa usaha dan bekerja, maka dia pun berharap,
bermunajat, dan berdoa kepada Allah agar dikaruniakan anak, walaupun
usianya sudah tua sementara istrinya sudah tua dan mandul. Namun
demikian dia tidak berputus asa dan berdoa dengan doa di atas.
Dzurriyah Thayyibah maknanya adalah anak yang shalih, berakhlak, dan beradab agar sempurna nikmat dien dan dunianya.
Kemudian
Allah mengabulkan doanya dengan kelahiran Yahya, yang membenarkan
kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari
hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang shaleh.
3. Doa 'ibadur rahman (hamba-hamba Allah yang shalih)
"Ya
Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan
kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa," (QS. Al-Furqan: 74).
Istri dan keturunan yang menjadi qurrata a'yun (penyenang hati), adalah yang senantiasa taat kepada Allah dan beribadah kepada-Nya semata, Dzat yang tiada sekutu bagi-Nya.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah memaknakan "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami),"
adalah yang taat kepada Allah, karena tiada sesuatu yang lebih membuat
senang pandangan seorang mukmin dari pada melihat orang yang dicintainya
dalam ketaatan.
Sumber : (PurWD/voa-islam.com)
Share
Kamis, 12 April 2012
Syarat-syarat Istighfar dan Etika-etikanya
Istighfar yang diterima oleh Allah SWT harus memenuhi syarat-syarat dan etikanya; yaitu, antara lain:
1. Syarat yang pertama adalah: niat yang benar dan ikhlas semata ditujukan kepada Allah SWT. Karena Allah SWT tidak menerima amal perbuatan manusia kecuali jika amal itu dilakukan dengan ikhlas semata untuk-Nya. Allah SWT berfirman:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" [QS. Al Bayyinah: 5].
Dan sabda Rasulullah Saw :
"Seluruh amal perbuatan manusia ditentukan oleh niatnya. Dan orang yang beramal mendapatkan balasan atas amalnya itu sesuai dengan apa yang diniatkannya". Hadits muttafaq alaih.
2. Syarat kedua adalah: agar hati dan lidah secara serempak melakukan istighfar. Sehingga tidak boleh lidahnya berkata: aku beristighfar kepada Allah SWT, sementara hatinya ingin terus melakukan maksiat. Dari Ibnu Abbas r.a. diriwayatkan, ia berkata: "orang yang beristighfar kepada Allah SWT dari suatu dosa sementara ia masih terus menajalankan dosa itu maka ia seperti orang yang sedang mengejek Rabbnya!"
Rabi'ah berkata: istighfar kita butuh kepada istighfar lagi! Jika istighfar kita hanya dengan lidah saja, tidak disertai dengan hati.
3. Di antara adab yang melengkapi istighfar itu adalah: agar ia berada dalam keadaan suci, sehingga ia berada dalam kondisi yang paling sempurna, zhahir dan bathin. Seperti dalam hadits Ali bin Abi Thalib, ia berkata: Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. (dan apa yang diucapkan oleh Abu Bakar itu adalah benar adanya) meriwayatkan kepadaku bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabsda:
"Tidak ada seseorang yang berbuat dosa, kemudian ia bangun dan bersuci serta memperbaiki bersucinya, kemudian ia beristighfar kepada Allah SWT, kecuali Allah SWT pasti mengampuninya" [Al Hafizh berkata: hadits ini diriwaytkan oleh Ahmad dan yang empat dan Ibnu Hibban mensahihkannya. Fathul Bari: 11/ 98. Sedangkan dalam Jami' Shagir dinisbahkan kepada Abi Daud dan Tirmizi. Sementara Al Albani menyebutkannya dalam Dha'if al Jami' (5006)]. Kemudian Rasulullah Saw membaca ayat :
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [QS. Ali Imran: 135].
Dalam hadits Abu Bakar secara marfu' dikatakan:
"Tidak ada orang yang dianggap terus melakukan dosa jika ia langsung beristighfar dan meminta taubat, meskipun dalam satu hari ia dapat mengulang (dosa itu) sampai tujuh puluh kali " [Dalam Fathul Bari: Hadits dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmizi juga].
4. Di antara adab itu adalah: agar ia ber istighfar kepada Allah SWT, dan ia berada dalam kondisi takut dan mengharap. Karena Allah SWT menyifati diri-Nya dengan firman-Nya:
"Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya" [QS. Ghafir: 3].
Dan firman Allah SWT :
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. Al Maidah: 98].
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka zhalim, dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksaan-Nya" [QS. ar-Ra'd: 6].
"Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. al Hijr: 49].
Ayat-ayat semacam ini banyak, dan seluruhnya menanamkan keseimbangan dalam hati antara takut dan mengharap. Tidak ada yang merasa aman dari balasan Allah SWT, kecuali mereka yang merugi. Dan tidak ada yang putus asa dari rahmat Allah SWT kecuali orang-orang kafir.
Oleh karena itu orang yang melakukan dosa tidak seharusnya meninggalkan istighfar, sebanyak dan sebesar apapun dosa yagn telah ia perbuat. Karena ampunan Allah SWT lebih besar dari dosanya itu, rahmat-Nya lebih luas, dan ampunanNya lebih besar.
Dalam hadits qudsi yang terkenal, yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Dzar dari Nabi Saw dari Rabbnya Azza wa Jalla:
"Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa pada malam dan siang hari, dan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka minta ampunlah kepada-Ku niscaya Aku ampuni kalian ".
5. Di antara adab itu adalah: agar ia memilih waktu yang utama. Seperti saat menjelang subuh. Seperti firman Allah SWT :
" Dan yang memohon ampun di waktu sahur" [QS. Ali Imran: 17].
"Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)" [QS. adz-Dzariaat: 18].
Dan ketika anak-anak Ya'qub berkata kepada ayah mereka: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)". Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. Yusuf: 97-98].
Para mufassir berkata: beliau menunda istighfar itu hingga waktu menjelang subuh, karena pada saat itu, doa lebih dekat untuk dikabulkan, jauh dari ria, lebih bersih bagi hati, dan ia adalah waktu tajalli Ilahi pada sepertiga terakhir dari waktu malam.
6. Di antara adab itu adalah: istighfar dalam shalat. Pada saat bersujud, sebelum salam atau setelah salam.
Rasulullah Saw telah mengajarkan Abu Bakar untuk mengucapkan sebelum salam: "Wahai Allah, sesungguhnya aku telah berbuat zalim kepada diriku dengan kezaliman yang banyak, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau, maka ampunilah daku dengan ampunan dari-Mu, dan kasihilah aku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi ampunan dan Maha Penyayang ".
7. Di antara adab itu adalah: agar ia berdo'a bagi dirinya sendiri dan bagi kaum mu'minin, sehingga ia masuk dalam kelompok mereka, semoga Allah SWT menyayanginya dan mengampuninya dengan berkah mereka dan dengan masuk dalam kelompok mereka.
Oleh karena itu kita dapati para nabi tidak hanya ber istighfar kepada diri mereka. Namun juga bagi diri mereka, bagi kedua orang tua mereka, serta bagi kaum mu'minin dan mu'minat seperti terdapat dalam do'a Nur dan Ibrahim serta nabi-nabi lainnya.
Di antara do'a Nuh itu adalah:
"Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan" [QS. Nuuh: 28].
Dan dari do'a Ibrahim adalah:
"Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang -orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)" [ QS. Ibrahim: 41].
8. Di antara adab itu adalah: agar ia berdo'a dan ber istighfar dengan redaksi yang disebutkan dalam al Quran dan sunnah. Karena ia adalah redaksi yang terbaik, paling besar nilainya, paling luas maknanya serta paling merasuk dalam hati. Berbeda halnya dengan redaksi-redaksi doa dan wirid lain yang dibuat oleh manusia, di sana tidak ada kemanusiaan susunan kalimat al Quran serta keindahan kata-kata yang digunakan dalam hadits.
Dan dalam ber istighfar dan berdo'a dengan al Quran dan hadits itu mendapatkan dua balasan:
Balasana doa dan istighfar.
Balasan mengikuti al Quran dan sunnah.
Di antara redaksi-redaksi doa al Quran adalah; doa yang diucapkan oleh Adam, Nuh, Ibrahim dan nabi-nabi serta rasul-rasul yang lain. Di antaranya adalah:
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi" [QS. al A'raaf: 23].
"Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali, " Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" [QS. al Mumtahanah: 4-5].
"Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum kafir " [QS. Ali Imran: 147].
"Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang" [QS. Al Hasyr: 10].
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu"; maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti" [QS. Ali Imran: 193].
Dan dalam hadits terdapat do'a dengan redaksi yang bermacam-macam. Di antaranya adalah sayyidul istihgfar yang telah kami sebutkan sebelumnya. Di antaranya adalah:
"Wahai Tuhanku, ampunilah kesalahanku, kebodohanku serta tindakanku yang berlebihan dalam urusanku".
Di antaranya adalah:
"Ya Allah, jauhkanlah daku dari kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahanku dengan air, salju dan embun. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahan seperti baju yang putih dibersihkan dari kotoran". Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abi Hurairah dan diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari A'isyah. Dan adalah Rasulullah Saw berdo'a dengan do'a itu setelah takbiratul ihram dalam shalat, serta sebelum membaca surah Al Fatihah.
Di antaranya adalah:
"Ya Allah, ampunilah kesalahanku, luaskanlah rumahmu dan berilah keberkahan dalam rezekiku". diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi serta ia menilainya sebagai hadits hasan, dan Abu Ya'la serta periwayat yang lain dari Abi Musa.
Sumber : http://media.isnet.org/
Share
1. Syarat yang pertama adalah: niat yang benar dan ikhlas semata ditujukan kepada Allah SWT. Karena Allah SWT tidak menerima amal perbuatan manusia kecuali jika amal itu dilakukan dengan ikhlas semata untuk-Nya. Allah SWT berfirman:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" [QS. Al Bayyinah: 5].
Dan sabda Rasulullah Saw :
"Seluruh amal perbuatan manusia ditentukan oleh niatnya. Dan orang yang beramal mendapatkan balasan atas amalnya itu sesuai dengan apa yang diniatkannya". Hadits muttafaq alaih.
2. Syarat kedua adalah: agar hati dan lidah secara serempak melakukan istighfar. Sehingga tidak boleh lidahnya berkata: aku beristighfar kepada Allah SWT, sementara hatinya ingin terus melakukan maksiat. Dari Ibnu Abbas r.a. diriwayatkan, ia berkata: "orang yang beristighfar kepada Allah SWT dari suatu dosa sementara ia masih terus menajalankan dosa itu maka ia seperti orang yang sedang mengejek Rabbnya!"
Rabi'ah berkata: istighfar kita butuh kepada istighfar lagi! Jika istighfar kita hanya dengan lidah saja, tidak disertai dengan hati.
3. Di antara adab yang melengkapi istighfar itu adalah: agar ia berada dalam keadaan suci, sehingga ia berada dalam kondisi yang paling sempurna, zhahir dan bathin. Seperti dalam hadits Ali bin Abi Thalib, ia berkata: Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. (dan apa yang diucapkan oleh Abu Bakar itu adalah benar adanya) meriwayatkan kepadaku bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabsda:
"Tidak ada seseorang yang berbuat dosa, kemudian ia bangun dan bersuci serta memperbaiki bersucinya, kemudian ia beristighfar kepada Allah SWT, kecuali Allah SWT pasti mengampuninya" [Al Hafizh berkata: hadits ini diriwaytkan oleh Ahmad dan yang empat dan Ibnu Hibban mensahihkannya. Fathul Bari: 11/ 98. Sedangkan dalam Jami' Shagir dinisbahkan kepada Abi Daud dan Tirmizi. Sementara Al Albani menyebutkannya dalam Dha'if al Jami' (5006)]. Kemudian Rasulullah Saw membaca ayat :
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [QS. Ali Imran: 135].
Dalam hadits Abu Bakar secara marfu' dikatakan:
"Tidak ada orang yang dianggap terus melakukan dosa jika ia langsung beristighfar dan meminta taubat, meskipun dalam satu hari ia dapat mengulang (dosa itu) sampai tujuh puluh kali " [Dalam Fathul Bari: Hadits dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmizi juga].
4. Di antara adab itu adalah: agar ia ber istighfar kepada Allah SWT, dan ia berada dalam kondisi takut dan mengharap. Karena Allah SWT menyifati diri-Nya dengan firman-Nya:
"Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya" [QS. Ghafir: 3].
Dan firman Allah SWT :
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. Al Maidah: 98].
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka zhalim, dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksaan-Nya" [QS. ar-Ra'd: 6].
"Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. al Hijr: 49].
Ayat-ayat semacam ini banyak, dan seluruhnya menanamkan keseimbangan dalam hati antara takut dan mengharap. Tidak ada yang merasa aman dari balasan Allah SWT, kecuali mereka yang merugi. Dan tidak ada yang putus asa dari rahmat Allah SWT kecuali orang-orang kafir.
Oleh karena itu orang yang melakukan dosa tidak seharusnya meninggalkan istighfar, sebanyak dan sebesar apapun dosa yagn telah ia perbuat. Karena ampunan Allah SWT lebih besar dari dosanya itu, rahmat-Nya lebih luas, dan ampunanNya lebih besar.
Dalam hadits qudsi yang terkenal, yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Dzar dari Nabi Saw dari Rabbnya Azza wa Jalla:
"Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa pada malam dan siang hari, dan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka minta ampunlah kepada-Ku niscaya Aku ampuni kalian ".
5. Di antara adab itu adalah: agar ia memilih waktu yang utama. Seperti saat menjelang subuh. Seperti firman Allah SWT :
" Dan yang memohon ampun di waktu sahur" [QS. Ali Imran: 17].
"Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)" [QS. adz-Dzariaat: 18].
Dan ketika anak-anak Ya'qub berkata kepada ayah mereka: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)". Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. Yusuf: 97-98].
Para mufassir berkata: beliau menunda istighfar itu hingga waktu menjelang subuh, karena pada saat itu, doa lebih dekat untuk dikabulkan, jauh dari ria, lebih bersih bagi hati, dan ia adalah waktu tajalli Ilahi pada sepertiga terakhir dari waktu malam.
6. Di antara adab itu adalah: istighfar dalam shalat. Pada saat bersujud, sebelum salam atau setelah salam.
Rasulullah Saw telah mengajarkan Abu Bakar untuk mengucapkan sebelum salam: "Wahai Allah, sesungguhnya aku telah berbuat zalim kepada diriku dengan kezaliman yang banyak, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau, maka ampunilah daku dengan ampunan dari-Mu, dan kasihilah aku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi ampunan dan Maha Penyayang ".
7. Di antara adab itu adalah: agar ia berdo'a bagi dirinya sendiri dan bagi kaum mu'minin, sehingga ia masuk dalam kelompok mereka, semoga Allah SWT menyayanginya dan mengampuninya dengan berkah mereka dan dengan masuk dalam kelompok mereka.
Oleh karena itu kita dapati para nabi tidak hanya ber istighfar kepada diri mereka. Namun juga bagi diri mereka, bagi kedua orang tua mereka, serta bagi kaum mu'minin dan mu'minat seperti terdapat dalam do'a Nur dan Ibrahim serta nabi-nabi lainnya.
Di antara do'a Nuh itu adalah:
"Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan" [QS. Nuuh: 28].
Dan dari do'a Ibrahim adalah:
"Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang -orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)" [ QS. Ibrahim: 41].
8. Di antara adab itu adalah: agar ia berdo'a dan ber istighfar dengan redaksi yang disebutkan dalam al Quran dan sunnah. Karena ia adalah redaksi yang terbaik, paling besar nilainya, paling luas maknanya serta paling merasuk dalam hati. Berbeda halnya dengan redaksi-redaksi doa dan wirid lain yang dibuat oleh manusia, di sana tidak ada kemanusiaan susunan kalimat al Quran serta keindahan kata-kata yang digunakan dalam hadits.
Dan dalam ber istighfar dan berdo'a dengan al Quran dan hadits itu mendapatkan dua balasan:
Balasana doa dan istighfar.
Balasan mengikuti al Quran dan sunnah.
Di antara redaksi-redaksi doa al Quran adalah; doa yang diucapkan oleh Adam, Nuh, Ibrahim dan nabi-nabi serta rasul-rasul yang lain. Di antaranya adalah:
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi" [QS. al A'raaf: 23].
"Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali, " Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" [QS. al Mumtahanah: 4-5].
"Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum kafir " [QS. Ali Imran: 147].
"Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang" [QS. Al Hasyr: 10].
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu"; maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti" [QS. Ali Imran: 193].
Dan dalam hadits terdapat do'a dengan redaksi yang bermacam-macam. Di antaranya adalah sayyidul istihgfar yang telah kami sebutkan sebelumnya. Di antaranya adalah:
"Wahai Tuhanku, ampunilah kesalahanku, kebodohanku serta tindakanku yang berlebihan dalam urusanku".
Di antaranya adalah:
"Ya Allah, jauhkanlah daku dari kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahanku dengan air, salju dan embun. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahan seperti baju yang putih dibersihkan dari kotoran". Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abi Hurairah dan diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari A'isyah. Dan adalah Rasulullah Saw berdo'a dengan do'a itu setelah takbiratul ihram dalam shalat, serta sebelum membaca surah Al Fatihah.
Di antaranya adalah:
"Ya Allah, ampunilah kesalahanku, luaskanlah rumahmu dan berilah keberkahan dalam rezekiku". diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi serta ia menilainya sebagai hadits hasan, dan Abu Ya'la serta periwayat yang lain dari Abi Musa.
Sumber : http://media.isnet.org/
Share
Gubernur Zuhud Yang Menjadi Kuli Di Pasar
Di antara sejumlah peperangan yang paling dahsyat adalah Perang Khandaq. Kala itu kaum Yahudi Madinah melakukan persekongkolan dengan musyrikin Makkah yang terdiri atas berbagai golongan, dan bergabung menjadi satu untuk menghancurkan umat Islam di Madinah.
Blokade dilakukan oleh tentara gabungan itu, didukung dengan sabotase dari dalam oleh orang-orang Yahudi. Umat Madinah sudah mulai dihinggapi kelelahan dan putus asa, kelaparan dan kehilangan semangat, sementara setiap saat tentara musuh bakal menyerbu dengan sengit.
Dalam kekalutan itulah muncul sebuah nama ke permukaan, nama yang tadinya tidak terlalu diperhitungkan milik seorang mualaf muda kelahiran negeri Persia. Ia adalah Salman yang dijuluki al Farisi sesuai tanah tumpah darahnya. Pemuda ini menyarankan agar digali parit panjang dan dalam melingkari kota Madinah.
Rasulullah menyambut gagasan itu dengan gembira. Dan itulah awal kebangkitan semangat umat Islam untuk mempertahankan kedaulatannya dan awal kehancuran musuh-musuh umat Islam.
Sejak itu nama Salman al Farisi mencuat naik. Di zaman pemerintahan Umar bin Khaththab, Salman mendaftarkan diri untuk ikut dalam ekspedisi militer ke Persia. Ia ingin membebaskan bangsanya dari genggaman kelaliman Kisra Imperium Persia yang mencekik rakyatnya dengan penindasan dan kekejaman. Untuk membangun istana Iwan Kisra saja, ribuan rakyat jelata terpaksa dikorbankan, tidak setitik pun rasa iba terselip di hati sang raja.
Di bawah pimpinan Panglima Sa’ad bin Abi Waqash, tentara muslim akhirnya berhasil menduduki Persia, dan menuntun rakyatnya dengan bijaksana menuju kedamaian Islam. Di Qadisiyah, keberanian dan keperwiraan Salman al Farisi sungguh mengagumkan sehingga kawan dan lawan menaruh menaruh hormat padanya.
Tapi bukan itu yang membuat Salman meneteskan air mata keharuan pada waktu ia menerima kedatangan kurir Khalifah dari Madinah. Ia merasa jasanya belum seberapa besar, namun Khalifah telah dengan teguh hati mengeluarkan keputusan bahwa Salman diangkat menjadi amir negeri Madain.
Umar secara bijak telah mengangkat seorang amir yang berasal dari suku dan daerah setempat. Oleh sebab itu ia tidak ingin mengecewakan pimpinan yang memilihnya, lebih-lebih ia tidak ingin dimurkai Allah karena tidak menunaikan kewajibannya secara bertanggung jawab.
Maka Salman sering berbaur di tengah masyarakat tanpa menampilkan diri sebagai amir. Sehingga banyak yang tidak tahu bahwa yang sedang keluar masuk pasar, yang duduk-duduk di kedai kopi bercengkrama dengan para kuli itu adalah sang gubernur.
Pada suatu siang yang terik, seorang pedagang dari Syam sedang kerepotan mengurus barang bawaannya. Tiba-tiba ia melihat seorang pria bertubuh kekar dengan pakaian lusuh. Orang itu segera dipanggilnya; “Hai, kuli, kemari! Bawakan barang ini ke kedai di seberang jalan itu.” Tanpa membantah sedikitpun, dengan patuh pria berpakaian lusuh itu mengangkut bungkusan berat dan besar tersebut ke kedai yang dituju.
Saat sedang menyeberang jalan, seseorang mengenali kuli tadi. Ia segera menyapa dengan hormat, “Wahai, Amir. Biarlah saya yang mengangkatnya.” Si pedagang terperanjat seraya bertanya pada orang itu, “Siapa dia?, mengapa seorang kuli kau panggil Amir?”. Ia menjawab, “Tidak tahukah Tuan , kalau orang itu adalah gubernur kami?”. Dengan tubuh lemas seraya membungkuk-bungkuk ia memohon maaf pada ‘ kuli upahannya’ yang ternyata adalah Salman al Farisi .
“Ampunilah saya, Tuan. Sungguh saya tidak tahu. Tuan adalah amir negeri Madain, “ ucap si pedagang. “ Letakkanlah barang itu, Tuan. Biarlah saya yang mengangkutnya sendiri.” Salman menggeleng, “Tidak, pekerjaan ini sudah aku sanggupi, dan aku akan membawanya sampai ke kedai yang kau maksudkan.”
Setelah sekujur badannya penuh dengan keringat, Salman menaruh barang bawaannya di kedai itu, ia lantas berkata, “Kerja ini tidak ada hubungannya dengan kegubernuranku. Aku sudah menerima dengan rela perintahmu untuk mengangkat barang ini kemari. Aku wajib melaksanakannya hingga selesai. Bukankah merupakan kewajiban setiap umat Islam untuk meringankan beban saudaranya?”
Pedagang itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti bagaimana seorang berpangkat tinggi bersedia disuruh sebagai kuli. Mengapa tidak ada pengawal atau tanda-tanda kebesaran yang menunjukkan kalau ia seorang gubernur?.
Ia barangkali belum tahu, begitulah seharusnya sikap seorang pemimpin menurut ajaran Islam. Tidak bersombong diri dengan kedudukannya, malah merendah di depan rakyatnya. Karena pada hakekatnya, ketinggian martabat pemimpin justru datang dari rakyat dan bawahannya.
(Sumber: Kisah Orang-orang Sabar Karangan Nasiruddin M. Ag/Pz)
Share
Blokade dilakukan oleh tentara gabungan itu, didukung dengan sabotase dari dalam oleh orang-orang Yahudi. Umat Madinah sudah mulai dihinggapi kelelahan dan putus asa, kelaparan dan kehilangan semangat, sementara setiap saat tentara musuh bakal menyerbu dengan sengit.
Dalam kekalutan itulah muncul sebuah nama ke permukaan, nama yang tadinya tidak terlalu diperhitungkan milik seorang mualaf muda kelahiran negeri Persia. Ia adalah Salman yang dijuluki al Farisi sesuai tanah tumpah darahnya. Pemuda ini menyarankan agar digali parit panjang dan dalam melingkari kota Madinah.
Rasulullah menyambut gagasan itu dengan gembira. Dan itulah awal kebangkitan semangat umat Islam untuk mempertahankan kedaulatannya dan awal kehancuran musuh-musuh umat Islam.
Sejak itu nama Salman al Farisi mencuat naik. Di zaman pemerintahan Umar bin Khaththab, Salman mendaftarkan diri untuk ikut dalam ekspedisi militer ke Persia. Ia ingin membebaskan bangsanya dari genggaman kelaliman Kisra Imperium Persia yang mencekik rakyatnya dengan penindasan dan kekejaman. Untuk membangun istana Iwan Kisra saja, ribuan rakyat jelata terpaksa dikorbankan, tidak setitik pun rasa iba terselip di hati sang raja.
Di bawah pimpinan Panglima Sa’ad bin Abi Waqash, tentara muslim akhirnya berhasil menduduki Persia, dan menuntun rakyatnya dengan bijaksana menuju kedamaian Islam. Di Qadisiyah, keberanian dan keperwiraan Salman al Farisi sungguh mengagumkan sehingga kawan dan lawan menaruh menaruh hormat padanya.
Tapi bukan itu yang membuat Salman meneteskan air mata keharuan pada waktu ia menerima kedatangan kurir Khalifah dari Madinah. Ia merasa jasanya belum seberapa besar, namun Khalifah telah dengan teguh hati mengeluarkan keputusan bahwa Salman diangkat menjadi amir negeri Madain.
Umar secara bijak telah mengangkat seorang amir yang berasal dari suku dan daerah setempat. Oleh sebab itu ia tidak ingin mengecewakan pimpinan yang memilihnya, lebih-lebih ia tidak ingin dimurkai Allah karena tidak menunaikan kewajibannya secara bertanggung jawab.
Maka Salman sering berbaur di tengah masyarakat tanpa menampilkan diri sebagai amir. Sehingga banyak yang tidak tahu bahwa yang sedang keluar masuk pasar, yang duduk-duduk di kedai kopi bercengkrama dengan para kuli itu adalah sang gubernur.
Pada suatu siang yang terik, seorang pedagang dari Syam sedang kerepotan mengurus barang bawaannya. Tiba-tiba ia melihat seorang pria bertubuh kekar dengan pakaian lusuh. Orang itu segera dipanggilnya; “Hai, kuli, kemari! Bawakan barang ini ke kedai di seberang jalan itu.” Tanpa membantah sedikitpun, dengan patuh pria berpakaian lusuh itu mengangkut bungkusan berat dan besar tersebut ke kedai yang dituju.
Saat sedang menyeberang jalan, seseorang mengenali kuli tadi. Ia segera menyapa dengan hormat, “Wahai, Amir. Biarlah saya yang mengangkatnya.” Si pedagang terperanjat seraya bertanya pada orang itu, “Siapa dia?, mengapa seorang kuli kau panggil Amir?”. Ia menjawab, “Tidak tahukah Tuan , kalau orang itu adalah gubernur kami?”. Dengan tubuh lemas seraya membungkuk-bungkuk ia memohon maaf pada ‘ kuli upahannya’ yang ternyata adalah Salman al Farisi .
“Ampunilah saya, Tuan. Sungguh saya tidak tahu. Tuan adalah amir negeri Madain, “ ucap si pedagang. “ Letakkanlah barang itu, Tuan. Biarlah saya yang mengangkutnya sendiri.” Salman menggeleng, “Tidak, pekerjaan ini sudah aku sanggupi, dan aku akan membawanya sampai ke kedai yang kau maksudkan.”
Setelah sekujur badannya penuh dengan keringat, Salman menaruh barang bawaannya di kedai itu, ia lantas berkata, “Kerja ini tidak ada hubungannya dengan kegubernuranku. Aku sudah menerima dengan rela perintahmu untuk mengangkat barang ini kemari. Aku wajib melaksanakannya hingga selesai. Bukankah merupakan kewajiban setiap umat Islam untuk meringankan beban saudaranya?”
Pedagang itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti bagaimana seorang berpangkat tinggi bersedia disuruh sebagai kuli. Mengapa tidak ada pengawal atau tanda-tanda kebesaran yang menunjukkan kalau ia seorang gubernur?.
Ia barangkali belum tahu, begitulah seharusnya sikap seorang pemimpin menurut ajaran Islam. Tidak bersombong diri dengan kedudukannya, malah merendah di depan rakyatnya. Karena pada hakekatnya, ketinggian martabat pemimpin justru datang dari rakyat dan bawahannya.
(Sumber: Kisah Orang-orang Sabar Karangan Nasiruddin M. Ag/Pz)
Share
Rabu, 11 April 2012
KEAJAIBAN HUJAN
Hujan
merupakan salah satu perkara terpenting bagi kehidupan di muka bumi. Ia
merupakan sebuah prasyarat bagi kelanjutan aktivitas di suatu tempat.
Hujan–yang memiliki peranan penting bagi semua makhluk hidup, termasuk
manusia–disebutkan pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an mengenai informasi
penting tentang hujan, kadar dan pengaruh-pengaruhnya.
Informasi ini, yang tidak
mungkin diketahui manusia di zamannya, menunjukkan kepada kita bahwa
Al-Qur’an merupaka kalam Allah. Sekarang, mari kita kaji
informasi-informasi tentang hujan yang termaktub di dalam Al-Qur’an.
Kadar Hujan
Di dalam ayat kesebelas
Surat Az-Zukhruf, hujan dinyatakan sebagai air yang diturunkan dalam
“ukuran tertentu”. Sebagaimana ayat di bawah ini:
“Dan yang
menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu kami
hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan
dikeluarkan (dari dalam kubur).” (QS. Az-Zukhruf, (43):11)
“Kadar” yang disebutkan
dalam ayat ini merupakan salah satu karakteristik hujan. Secara umum,
jumlah hujan yang turun ke bumi selalu sama. Diperkirakan sebanyak 16
ton air di bumi menguap setiap detiknya. Jumlah ini sama dengan jumlah
air yang turun ke bumi setiap detiknya. Hal ini menunjukkan bahwa hujan
secara terus-menerus bersirkulasi dalam sebuah siklus seimbang menurut
“ukuran” tertentu.
Pengukuran lain yang
berkaitan dengan hujan adalah mengenai kecepatan turunya hujan.
Ketinggian minimum awan adalah sekitar 12.000 meter. Ketika turun dari
ketinggian ini, sebuah benda yang yang memiliki berat dan ukuran sebesar
tetesan hujan akan terus melaju dan jatuh menimpa tanah dengan
kecepatan 558km/jam. Tentunya, objek apapun yang jatuh dengan kecepatan
tersebut akan mengakibatkan kerusakan. Dan apabila hujan turun dengan
cara demikian, maka seluruh lahan tanaman akan hancur, pemukiman,
perumahan, kendaraan akan mengalami kerusakan, dan orang-orang pun tidak
dapat pergi keluar tanpa mengenakan alat perlindungan ekstra. Terlebih
lagi, perhitungan ini dibuat untuk ketinggian 12.000 meter, faktanya
terdapat awan yang memiliki ketinggian hanya sekitar 10.000 meter.
Sebuah tetesan hujan yang jatuh pada ketinggian ini tentu saja akan
jatuh pada kecepatan yang mampu merusak apa saja.
Namun tidak demikian
terjadinya, dari ketinggian berapapun hujan itu turun, kecepatan
rata-ratanya hanya sekitar 8-10 km/jam ketika mencapai tanah. Hal ini
disebabkan karena bentuk tetesan hujan yang sangat istimewa.
Keistimewaan bentuk tetesan hujan ini meningkatkan efek gesekan atmosfer
dan mempertahankan kelajuan tetesan-tetesan hujan krtika mencapai
“batas” kecepatan tertentu. (Saat ini, parasut dirancang dengan
menggunakan teknik ini).
Tak sebatas itu saja
“pengukuran” tentang hujan. Contoh lain misalnya, pada lapisan
atmosferis tempat terjadinya hujan, temperatur bisa saja turun hingga
400oC di bawah nol. Meskipun demikian, tetesan-tetesan hujan
tidak berubah menjadi partikel es. (Hal ini tentunya merupakan ancaman
mematikan bagi semua makhluk hidup di muka bumi.) Alasan tidak
membekunya tetesan-tetesan hujan tersebut adalah karena air yang
terkandung dalam atmosfer merupakan air murni. Sebagaimana kita ketahui,
bahwa air murni hampir tidak membeku pada temperatur yang sangat rendah
sekalipun.
Pembentukan Hujan
Bagaimana hujan terbentuk
tetap menjadi misteri bagi manusia dalam kurun waktu yang lama. Hanya
setelah ditemukannya radar cuaca, barulah dapat dipahami tahapan-tahapan
pembentukan hujan. Pembentukan hujan terjadi dalam tiga tahap. Pertama,
“bahan mentah” hujan naik ke udara. Kemudian terkumpul menjadi awan.
Akhirnya, tetesan-tetesan hujan pun muncul.
Tahapan-tahapan ini secara
terperinci telah tertulis dalam Al-Qur’an berabad-abad tahun lalu
sebelum informasi mengenai pembentukan hujan disampaikan:
“Allah, dialah yang
mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah
membentangkannya di langit menurut yang di kehendakinya, dan
menjadikannya bergumpal-gumpal: lalu kamu lihat hujan keluar dari
celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambanya
yang di kehendakinya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.” (QS. Ar-Rum,
(40):48)
Sekarang, mari kita lihat
pada tiga tahapan yang disebutkan dalam Al-Qur’an:
Tahap Pertama: “
Allah, dialah yang mengirimkan angin…..”
Gelembung-gelembung udara
yang tidak terhitung jumlahnya dibentuk oleh buih-buih di lautan yang
secara terus-menerus pecah dan mengakibatkan partikel-partikel air
tersembur ke udara menuju ke langit. Partikel-partikel ini –yang kaya
akan garam– kemudian terbawa angin dan bergeser ke atas menuju atmosfer.
Partikel-partikel ini (disebut aerosol) membentuk awan dengan
mengumpulkan uap air (yang naik dari lautan sebagai tetesan-tetesan oleh
sebuah proses yang dikenal dengan “JebakanAir”) di sekelilingnya.
Tahap Kedua :
“…..lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di
langit menurut yang di kehendakinya, dan menjadi bergumpal-gumpal…..”
Awan terbentuk dari uap air
yang mengembun di sekitar kristal-kristal garam atau partikel-partikel
debu di udara. Karena tetesan-tetesan air di sini sangat kecil (dengan
diameter antara 0,01-0,02 mm), awan mengapung di udara dan menyebar di
angkasa. Sehingga langit tertutup oleh awan.
Tahap Ketiga :
“….lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan
itu turun.”
Partikel-partikel
air yang mengelilingi kristal-kristal garam dan partikel-partikel debu
mengental dan membentuk tetesan-tetesan hujan. Sehingga, tetesan-tetesan
tersebut, yang menjadi lebih berat dari udara, meninggalkan awan dan
mulai jatuh ke tanah sebagai hujan.
Setiap tahap dalam
pembentukan hujan disampaikan dalam Al-Qur’an. Terlebih lagi,
tahapan-tahapan tersebut dijelaskan dalam runtutan yang benar. Seperti
halnya fenomena alam lain di dunia, lagi-lagi Al-Qur’an lah yang
memberikan informasi yang paling tepat tentang fenomena ini, selain itu,
Al-Qur’an telah memberitahukan fakta-fakta ini kepada manusia
berabad-abad sebelum sains sanggup mengungkapnya.
Share
DUNIA ELEKTRON YANG MENAKJUBAN
Sebuah
atom, terlalu kecil untuk dilihat dengan mata telanjang, terdiri dari
inti dan elektron yang berputar di sekitar inti.
Share
Proton merupakan inti bermuatan positif dan
neutron tidak bermuatan, inti itu sendiri selalu bermuatan positif.
Sedangkan elektron yang berputar di sekitar inti sebanyak satu juta kali
putaran per detik SELALU bermuatan negatif.
Salah satu karakteristik terpenting yang
membuat atom begitu menakjubkan adalah putaran dari electron yang tanpa
henti.
Elektron dalam atom, yang tidak pernah berhenti
berputar sejak saat penciptaan mereka, TERUS BERPUTAR TANPA
TERPUTUS DENGAN KECEPATAN YANG SAMA, tidak peduli berapa banyak
waktu berlalu atau dari bagian apa substansi mereka.
Setiap atom memiliki jumlah elektron yang
berbeda. Misalnya, hanya ada 1 elektron dalam atom hidrogen, 2 elektron
dalam atom helium dan 92 elektron dalam atom uranium.
Elektron-elektron tersebut berputar pada tujuh
orbit yang terpisah. Dalam atom yang berat, sekitar 100 elektron
didistribusikan di antara tujuh orbit tersebut. Sejumlah elektron
berputar dengan kecepatan luar biasa pada orbit yang sama, atau bahkan
ada elektron yang menyeberang antar orbit. TETAPI MEREKA TIDAK
PERNAH bertabrakan.
Hal Ini adalah salah satu aspek yang paling
menakjubkan dari elektron. Tak ada satupun dari seratus atau lebih
elektron pada tujuh orbit berbeda, yang berputar satu juta kali tiap
detiknya, yang pernah bertabrakan dengan elektron yang lain, berhenti
berputar atau putarannya menjadi lambat. Setiap elektron masing-masing
mengontrol gerakannya yang menakjubkan itu agar tetap pada jalannya
sendiri, dalam harmoni yang menakjubkan, dan telah melakukannya sejak
penciptaan alam semesta.
Ada hal lain yang menakjubkan di sini. Agar
elektron dapat berputar pada orbit yang berbeda mereka harus memiliki
massa yang berbeda, seperti planet-planet. Tapi anehnya semua elektron
MEMILIKI MASSA DAN UKURAN YANG SAMA. Hal inilah yang hingga saat ini
belum diketahui mengapa tingkat energi dari partikel-partikel identik
ini berbeda dan mengapa mereka berputar dalam orbit yang berbeda
(padahal massa dan ukurannya sama).
Elektron menempati tempat mereka di orbitnya
dengan suatu perintah khusus dan berpindah tempat bila perlu, juga
dengan cara yang sama. Mereka terlindungi secara special, maka dengan
demikian mereka tidak pernah berbenturan, karena pada hakikatnya mereka
berada di bawah kendali tunggal dari Alloh Yang Maha Kuasa, yang
Menciptakan dan Selalu Mengawasi mereka setiap saat.
Setiap atom telah diciptakan lebih dari 15
miliar tahun yang lalu dan sampai saat ini masih tetap patuh menjalankan
aturan sama yang menakjubkan tersebut.
Selama 15 miliar tahun, tidak ada satupun
elektron berputar pada orbit yang salah, tak ada satupun yang merubah
kecepatan atau bertabrakan dengan elektron yang lain, karena setiap
elektron berada dalam pengetahuan Tuhan kita dan setiap elektron
bergerak atas perintah-Nya.
Itu sebabnya, jika dikaji dari sisi pengetahuan
dan penciptaan, mulai dari galaksi raksasa hingga ke dunia yang tak
terlihat di dalam atom, semuanya adalah satu dan sama. Mereka semua ada
karena Tuhan kita Allah memerintahkan mereka untuk "Jadilah!"
Aku berlindung kepada Alloh dari godaan syetan
yang terkutuk
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap
sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya:
"kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Surat An-Nahl: 40)
Share
Tatkala Hati Membeku
Pernah nggak kita merenung?, sudah berapa kali kita pernah menangis karena takut pada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, merasa ngeri ketika ingat nerakanya atau terkenang dengan bertumpuk-tumpuknya dosa yang pernah kita lakukan? Sudah berapa kali shalat yang kita kerjakan begitu kita nikmati karena kita bisa merenungi makna-makna ayat-ayat Al-Qur’an yang kita baca?……….
Itu tentu sangat sulit!……. mungkin seperti itu jawaban sebagian dari kita. Pernah nggak kita berfikir apa yang menjadi sebab hal itu. Penyebabnya nggak lain adalah bekunya hati kita yang menyebabkan kita sulit untuk menangis serta tidak bisa khusuk dalam shalat.
Berikut ini adalah beberapa penyebab kebekuan hati yang kita alami. Sehingga kalau kita sudah mengetahui penyebabnya, kita bisa menterapi hati kita yang sudah terlanjur cool banget.
Bergaul yang tidak Berfaedah.
Teman punya pengaruh yang signifikan pada diri kita. Dia akan memberikan warna dalam kepribadian kita. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memberi perumpamaan. Teman yang tidak baik itu seperti Pandai Besi, andai tidak terbakarpun, minimal kita, yang mau tidak mau pasti mendapatkan udara yang panas. Karena itu kita harus mampu mengendalikan diri dengan baik agar tidak terjebak dalam pergaulan yang tidak bermanfaat.
Berbicara Yang tidak Perlu.
Sering sekali kita membicarakan hal-hal yang kadang-kadang tidak ada manfaatnya, baik untuk dunia maupun akhirat kita. Hati-hati dengan lisan kita, salah omong urusannya berabe. Apakah kita lupa bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan lidah hany satu dan telinga ada dua, dengan tujuan yaitu supaya kita lebih banyak diam untuk mendengar daripada bicara.
Namun kita sangat sering melupakan hal ini apalagi kalau sedang asyik berbicara, kita lupa untuk mendengar. Jadi perlu pengendalian kata agar tidak percuma dan sia-sia. Karena itu kebisaan gossip mesti dikurangi dan dihilangkan…..!!!
Memandang Yang tidak Perlu.
Tidak mengatur pandangan yang kita lakukan akan menimbulkan tiga dampak negatif yaitu; Terkena panah Iblis yang beracun. Oleh karena itu Nabi menyatakan, yang artinya: “Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Alloh maka Alloh akan menggantinya dengan yang lebih baik” (HR: Ahmad). Setan masuk seiring pandangan untuk menyalakan api syahwat. Membuat hati lupa dan menyibukkannya sehingga terjerumus ke dalam mengikuti hawa nafsu dan kelalaian.
Berlebih-lebihan dalam Makan.
Imam Syafi’i rahimahulloh mengatakan: “Selama 16 tahun aku hanya pernah kenyang sekali saja, yang akhirnya kumuntahkan. Karena kenyang itu membuat badan terasa berat, hati menjadi keras, kepandaian menjadi hilang, menyebabkan ngantuk dan membuat orang loyo dalam beribadah”. (diwan Imam Syafi’I hal. 14). Sehingga makan itu sekedarnya saja, kalau bisa jangan sampai kekenyangan. Tidak sehat dan membuat malas.
Tidur yang Berlebihan.
Coba kita renungkan komentar Nabi shalallahu’alaihi wa salam tentang orang yang tidur satu malam penuh, bangun-bangun sudah pagi tanpa shalat malam “Itulah orang yang telinganya atau kedua telinganya dikencingi syetan.” (HR: Bukhari dan Muslim).
Menghina Ulama.
“Daging para ulama itu beracun”, demikian pesan para ulama kita. Terlebih lagi bila kita menghina dan menggunjingkan mereka karena karena ilmu syar’i yang mereka miliki. Jadi sebaiknya kita berhati-hati dalam hal ini.
Tidak Membaca Al Qur’an dengan Merenungi Maknanya.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS: Muhammad: 24).
Orang yang tidak merenungi ayat – ayat Al Qur’an tidak hanya satu atau dua gembok yang mengunci hatinya? Bahkan dalam hati tersebut terdapat banyak gembok. Banyak kan!! Kira-kira ada berapa gembok di hati kita, kalo gitu.
Tidak Merenungi Kematian, Alam Kubur, Surga, dan Neraka.
Nabi memerintahkan kita untuk berziarah kubur, agar kita teringat akan akhirat. Nabi juga memerintahkan untuk banyak mengingat kematian yang merupakan penghancur kesenangan hidup (HR: Abu Daud). Mengapa? Karena mengingat mati adalah mesin penggerak untuk beramal shalih yang ada dalam diri orang beriman.
Tidak Mengkaji Kehidupan Umat Terdahulu Yang Sholeh (Sahabat dan 2 Generasi Setelahnya).
Mereka merupakan manusia terbaik yang dekat dengan masa kenabian. Seluruh keutamaan terkumpul dalam diri mereka. Lihatlah kekhusyua’an mereka dalam shalat, shalat malam mereka, shalat berjamaah mereka, bhakti mereka kepada orang tua, zuhud mereka, antusias mereka dalam mencari ilmu, dan sebagainya. “Siapakah kita dibandingkan mereka?,” Itulah kesimpulannya. Karena kurang mengetahui kehidupan mereka, maka hati kita jadi keras, sombong, ujub, udah merasa beramal dan berjasa besar terhadap Islam.
Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala cairkan hati-hati kita yang mulai membeku karena Dialah yang mengendalikan hati-hati hamba-Nya.
(Sumber Rujukan: Tazkiyatun Nufus, dll)
http://arsipmoslem.wordpress.com/2007/03/17/tatkala-hati-membeku/
Share
Itu tentu sangat sulit!……. mungkin seperti itu jawaban sebagian dari kita. Pernah nggak kita berfikir apa yang menjadi sebab hal itu. Penyebabnya nggak lain adalah bekunya hati kita yang menyebabkan kita sulit untuk menangis serta tidak bisa khusuk dalam shalat.
Berikut ini adalah beberapa penyebab kebekuan hati yang kita alami. Sehingga kalau kita sudah mengetahui penyebabnya, kita bisa menterapi hati kita yang sudah terlanjur cool banget.
Bergaul yang tidak Berfaedah.
Teman punya pengaruh yang signifikan pada diri kita. Dia akan memberikan warna dalam kepribadian kita. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam memberi perumpamaan. Teman yang tidak baik itu seperti Pandai Besi, andai tidak terbakarpun, minimal kita, yang mau tidak mau pasti mendapatkan udara yang panas. Karena itu kita harus mampu mengendalikan diri dengan baik agar tidak terjebak dalam pergaulan yang tidak bermanfaat.
Berbicara Yang tidak Perlu.
Sering sekali kita membicarakan hal-hal yang kadang-kadang tidak ada manfaatnya, baik untuk dunia maupun akhirat kita. Hati-hati dengan lisan kita, salah omong urusannya berabe. Apakah kita lupa bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan lidah hany satu dan telinga ada dua, dengan tujuan yaitu supaya kita lebih banyak diam untuk mendengar daripada bicara.
Namun kita sangat sering melupakan hal ini apalagi kalau sedang asyik berbicara, kita lupa untuk mendengar. Jadi perlu pengendalian kata agar tidak percuma dan sia-sia. Karena itu kebisaan gossip mesti dikurangi dan dihilangkan…..!!!
Memandang Yang tidak Perlu.
Tidak mengatur pandangan yang kita lakukan akan menimbulkan tiga dampak negatif yaitu; Terkena panah Iblis yang beracun. Oleh karena itu Nabi menyatakan, yang artinya: “Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Alloh maka Alloh akan menggantinya dengan yang lebih baik” (HR: Ahmad). Setan masuk seiring pandangan untuk menyalakan api syahwat. Membuat hati lupa dan menyibukkannya sehingga terjerumus ke dalam mengikuti hawa nafsu dan kelalaian.
Berlebih-lebihan dalam Makan.
Imam Syafi’i rahimahulloh mengatakan: “Selama 16 tahun aku hanya pernah kenyang sekali saja, yang akhirnya kumuntahkan. Karena kenyang itu membuat badan terasa berat, hati menjadi keras, kepandaian menjadi hilang, menyebabkan ngantuk dan membuat orang loyo dalam beribadah”. (diwan Imam Syafi’I hal. 14). Sehingga makan itu sekedarnya saja, kalau bisa jangan sampai kekenyangan. Tidak sehat dan membuat malas.
Tidur yang Berlebihan.
Coba kita renungkan komentar Nabi shalallahu’alaihi wa salam tentang orang yang tidur satu malam penuh, bangun-bangun sudah pagi tanpa shalat malam “Itulah orang yang telinganya atau kedua telinganya dikencingi syetan.” (HR: Bukhari dan Muslim).
Menghina Ulama.
“Daging para ulama itu beracun”, demikian pesan para ulama kita. Terlebih lagi bila kita menghina dan menggunjingkan mereka karena karena ilmu syar’i yang mereka miliki. Jadi sebaiknya kita berhati-hati dalam hal ini.
Tidak Membaca Al Qur’an dengan Merenungi Maknanya.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS: Muhammad: 24).
Orang yang tidak merenungi ayat – ayat Al Qur’an tidak hanya satu atau dua gembok yang mengunci hatinya? Bahkan dalam hati tersebut terdapat banyak gembok. Banyak kan!! Kira-kira ada berapa gembok di hati kita, kalo gitu.
Tidak Merenungi Kematian, Alam Kubur, Surga, dan Neraka.
Nabi memerintahkan kita untuk berziarah kubur, agar kita teringat akan akhirat. Nabi juga memerintahkan untuk banyak mengingat kematian yang merupakan penghancur kesenangan hidup (HR: Abu Daud). Mengapa? Karena mengingat mati adalah mesin penggerak untuk beramal shalih yang ada dalam diri orang beriman.
Tidak Mengkaji Kehidupan Umat Terdahulu Yang Sholeh (Sahabat dan 2 Generasi Setelahnya).
Mereka merupakan manusia terbaik yang dekat dengan masa kenabian. Seluruh keutamaan terkumpul dalam diri mereka. Lihatlah kekhusyua’an mereka dalam shalat, shalat malam mereka, shalat berjamaah mereka, bhakti mereka kepada orang tua, zuhud mereka, antusias mereka dalam mencari ilmu, dan sebagainya. “Siapakah kita dibandingkan mereka?,” Itulah kesimpulannya. Karena kurang mengetahui kehidupan mereka, maka hati kita jadi keras, sombong, ujub, udah merasa beramal dan berjasa besar terhadap Islam.
Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala cairkan hati-hati kita yang mulai membeku karena Dialah yang mengendalikan hati-hati hamba-Nya.
(Sumber Rujukan: Tazkiyatun Nufus, dll)
http://arsipmoslem.wordpress.com/2007/03/17/tatkala-hati-membeku/
Share
Dasyatnya….. Cinta!!!!
“Cinta”, layaknya makanan pokok, istilah yang satu ini tidak pernah pudar sepanjang jaman. Selalu hadir dimanapun dan kemanapun kita berpaling. Betapa Dasyatnya Fitnah Cinta…. sehingga orang yang sedang dilanda cinta lazimnya akan terfokus untuk mendapatkan yang dicintainya. Akibatnya, tidak sedikit yang menjadi lalai dari mencintai Alloh serta Rasul-Nya.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Patutkah kamu mengambil dia (iblis) dan turunan-turunannya sebagai wali selain daripada-Ku , sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Alloh) bagi orang-orang yang zalim.” (QS: Al-Kahfi: 50).
Sesunguhnya seseorang yang bercita-cita tinggi tidak akan terpengaruh oleh cinta yang bisa menghalangi ketenangan, membuat tidur tidak bisa nyenyak, membuat bingung akal pikiran, dan bahkan bisa membuat gila. Betapa sering terjadi seseorang yang sedang dimabuk cinta menghabiskan harta dan mengorbankan jiwa serta kehornatannya demi yang dicintainya. Bahkan ia rela mengorbankan agama dan dunianya.
Cinta sanggup membuat tuan menjadi pelayan, dan penguasa menjadi budak. Anda lihat, banyak orang yang sudah terlanjur masuk dalam jerat cinta ingin keluar darinya. Akan tetapi, hal itu mustahil. Betapa banyak fitnah cinta yang menjebloskan orang-orang yang bersangkutan ke dalam Neraka Jahim, menjerumuskan mereka pada siksa yang sangat pedih, dan membuat nereka meneguk air nereka yang panas mendidih. Wallohu A’lam
(Sumber Rujukan: ‘Uluwwul Himmah, oleh Muhammad Ismail Al-Muqoddam; dan Lihat juga; Raudhat Al-Muhibbin wa Nuzhatul musytaqin, oleh Ibnul Qoyyim, hal 182-190; disarikan oleh Gani)
http://arsipmoslem.wordpress.com/2007/05/21/dasyatnya-cinta/
Share
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Patutkah kamu mengambil dia (iblis) dan turunan-turunannya sebagai wali selain daripada-Ku , sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Alloh) bagi orang-orang yang zalim.” (QS: Al-Kahfi: 50).
Sesunguhnya seseorang yang bercita-cita tinggi tidak akan terpengaruh oleh cinta yang bisa menghalangi ketenangan, membuat tidur tidak bisa nyenyak, membuat bingung akal pikiran, dan bahkan bisa membuat gila. Betapa sering terjadi seseorang yang sedang dimabuk cinta menghabiskan harta dan mengorbankan jiwa serta kehornatannya demi yang dicintainya. Bahkan ia rela mengorbankan agama dan dunianya.
Cinta sanggup membuat tuan menjadi pelayan, dan penguasa menjadi budak. Anda lihat, banyak orang yang sudah terlanjur masuk dalam jerat cinta ingin keluar darinya. Akan tetapi, hal itu mustahil. Betapa banyak fitnah cinta yang menjebloskan orang-orang yang bersangkutan ke dalam Neraka Jahim, menjerumuskan mereka pada siksa yang sangat pedih, dan membuat nereka meneguk air nereka yang panas mendidih. Wallohu A’lam
(Sumber Rujukan: ‘Uluwwul Himmah, oleh Muhammad Ismail Al-Muqoddam; dan Lihat juga; Raudhat Al-Muhibbin wa Nuzhatul musytaqin, oleh Ibnul Qoyyim, hal 182-190; disarikan oleh Gani)
http://arsipmoslem.wordpress.com/2007/05/21/dasyatnya-cinta/
Share
Kematian Datang Tanpa Permisi
Kematian itu milik semua orang. Dan kematian itu datangnya tiba-tiba. Malaikat maut yang bertugas mencabut nyawa itu tidak pernah ber-assalaamu’alaikum atau ber-kulonuwun (permisi) pada orang yang akan ia cabut nyawanya. Kita tidak tahu kapan ia datang, dan jika ia datang pun kita tak bisa menolaknya. Padahal jika kita mati, babak baru hidup kita pun dimulai. Waktu hidup, kita bisa mempersiapkan diri untuk hari kiamat, tapi jika sudah mati, kesempatan itu musnah sudah.
Sudah waktunya kita untuk segera beramal, jangan sampai kita menyesal. Al-Hasan berkata, “Mengherankan. Orang masih sempat tertawa padahal di belakangnya ada kobaran api (neraka), dan masih sempat-sempatnya bersenang-senang padahal kematian dari belakangnya. “
Dalam kenyataannya ada dua macam akhir hidup, yaitu akhir hidup yang baik atau husnul-khotimah dan akhir hidup yang buruk atau su’ul-khotimah. Husnul-khotimah adalah akhir kehidupan seseorang yang beriman kepada Allah dan percaya pada hari berbangkitnya manusia dengan bermodalkan taqwa. Jadi iman dan taqwa adalah faktor utama untuk menuju husnul-khotimah. Dan ketaqwaan yang berujud amal sholih itu adalah wujud dari keimanan. Contoh husnul-khotimah adalah seseorang yang mati dalam memperjuangkan kalimat Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala atau sesorang yang akhir amalannya dalam taat pada Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Siapa saja yang mengucapkan ‘Laa ilaaha illaLlaah’ pada akhir hidupnya untuk mencari ridha Allah, maka ia akan masuk surga. Siapa saja yang berpuasa pada akhir hidupnya untuk mencari ridha Allah , maka dia akan masuk surga. Dan siapa saja yang bersedekah pada akhir hidupnya untuk mencari ridha Allah, maka ia akan masuk surga. “(HR: Ahmad V/391).
Sedangkan su’ul-khotimah ialah apabila sewaktu akan meninggal dunia seseorang didominasi oleh perasaan was-was yang disebabkan keragu-raguan atau keras kepala atau ketergantungan terhadap kehidupan dunia yang akibatnya ia harus masuk ke neraka secara kekal kalau tidak diampuni oleh Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala.
Sebab-sebab su’ul-khotimah secara ringkas antara lain adalah perasaan ragu dan sikap keras kepala yang disebabkan oleh perbuatan bid’ah (perkara dalam agama yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallahui ‘alaihi wa sallam), menunda-nunda taubat, banyak berangan-angan tentang kehidupan duniawi, senang dan membiasakan maksiat, bersikap munafik, dan bunuh diri.
Ibnu Qayyim menyebutkan dari salah seorang saudagar bahwa seseorang di antara kerabatnya sebelum meninggal dunia ditalqin untuk mengucapkan kalimat tauhid, Laa ilaaha illaLlaah. Namun ia justru mengucapkan, ” Barang ini murah. Barang pembelian itu bagus. Yang ini begini, yang itu begitu….” dan begitu seterusnya hingga ia mati.
Beliau menyebutkan pula bahwa ada seorang lelaki penggemar musik sedang dalam keadaan kritis lalu ditalqin agar mengucapkan kalimat tauhid, Laa ilaaha illaLlaah. Tetapi ia justru menyenandungkan lagu, “Naanana…naanana…” hingga ia mati.
Ibnu Rajab Al-Hambaly mengutip ucapan Abdul Aziz bin Abu Rawwad sebagai berikut, “Aku pernah melihat seorang lelaki yang dituntun untuk membaca kalimat syahadat menjelang ajalnya. Namun tragisnya, kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya adalah kalimat yang justru mengingkari kalimat syahadat, sehingga ia mati dalam keadaan seperti itu. Ketika kutanyakan siapa dia sebenarnya, ternyata dia adalah peminum minuman keras” Abdul-Aziz lalu berkata pada para pelayat, ” Takutlah kalian dari berbuat dosa. Sebab dosa-dosa itulah yang mencampakkan dia seperti itu. “
Syaikh Al-Qahthany bercerita, ” Pernah aku memandikan mayat. Baru saja kumulai, mendadak warna kulit si mayat berubah jadi hitam legam, padahal sebelumnya putih bersih. Dengan rasa takut aku keluar dari tempat memandikan. Lalu aku bertemu dengan seorang laki-laki. Aku bertanya,”Mayat itu milikmukah ?” Ia jawab, ” Ya,” Aku bertanya lagi, “Apa ia ayahmu?” Ia menjawab, ” Ya.” Aku bertanya, ” Kenapa ayahmu itu sampai begini?” Ia menjawab, ” Sewaktu hidupnya ia tidak sholat.” Maka aku katakan kepadanya, ” Urusi sendiri ayahmu, dan mandikanlah ia ! “
Ibnu Qayyim berkata, ” Abu Abdullah Muhammad bin Zubair Al-Haiany bercerita pada kami, bahwa suatu hari selepas Ashar ia keluar rumah untuk berjalan-jalan di taman. Menjelang matahari tergelincir, ia meratakan sebuah kuburan. Tiba-tiba ia melihat sebuah bola api yang telah menjadi bara dan di tengahnya ada mayat. Dia usap-usap matanya seraya bertanya pada dirinya, apakah hal ini mimpi atau kenyataan. Setelah melihat dinding-dinding kota Madinah, ia baru sadar bahwa hal ini suatu kenyataan.
Dengan rasa takut dan tubuh gemetar, ia pulang. Ketika keluarganya menyuguhi makanan, ia tidak kuasa memakannya. Setelah cari info ke sana ke mari, akhirnya diperoleh jawaban bahwa kuburan itu adalah kuburan penguasa yang zalim yang suka korupsi yang kebetulan mati hari itu.”
Kita mohon perlindungan Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala dari su’ul-khotimah. Kita tidak tahu bagaimana akhir hidup kita nanti, apakah baik atau buruk. Karena itu hendaknya kita instropeksi diri terhadap iman dan taqwa kita.
Orang-orang sholih zaman dahulu pun takut akan keburukan akhir hidup mereka. Sufyan Ats-Tsaury sering menangis sendiri dan berkata, ” Aku begitu takut kalau dalam suratan takdir aku tercatat sebagai orang yang celaka. Atau imanku lepas ketika akan menghadapi maut.”
Ketika ajal hampir menjemputnya, Ibrahim An-Nakha-i menangis seraya berkata, ” Bagaimana aku tidak menangis pada saat aku menanti utusan Tuhanku, apakah membawa berita bahwa aku ke sorga, ataukah ke neraka ?”
Ketika Abu ‘Athi’ah menjelang wafat, ia menangis dan ketakutan. Orang-orang bertanya, ” Mengapa Anda ketakutan ?” Dia menjawab, ” Bagaimana mungkin aku tidak takut pada detik-detik seperti ini dan kemudian aku akan dibawa ke mana, aku tidak tahu. ” Begitulah kehidupan orang-orang saleh terdahulu. Walau pun sudah terkenal kesalehannya, namun tetap saja mereka takut pada su-ul khotimah.
Lalu bagaimana dengan kita ? Sudah pantaskah kita untuk tidak merasa takut akan su’ul-khotimah ? Padahal mereka, para salafush-sholih, yang tentu lebih baik agamanya dari kita pun masih merasa takut akan su’ul-khotimah.
Lalu jika kita ingin mati dengan husnul-khotimah dan tanpa su’ul-khotimah, apa yang harus dilakukan? Simak hadits ini: Dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, yang artinya: “Setiap diri yang telah dihembuskan nyawanya, maka Allah telah menentukan tempatnya di surga atau di neraka” Lalu ada seorang shahabat yang bertanya, ” Ya Rasululloh, kalau begitu apakah tidak sebaiknya kita pasrah pada apa yang telah ditentukan kepada kita dan kita tidak usah beramal ?” Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Beramallah! Masing-masing akan diberikan kemudahan trehadap apa yang telah diciptakan untuknya. Adapun yang termasuk orang-orang yang bahagia, maka Alloh akan memudahkannya melakukan amalan orang-orang yang bahagia. dan adapun yang termasuk orang-orang yang celaka, maka Alloh akan memudahkannya melakukan amalan orang-orang yang celaka.” Kemudian beliau membaca firman Alloh: ” Adapun orang-orang yang memberikan (hartanya pada jalan Alloh) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami kan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (QS: Al-Lail: 5-10 )” (HR: Al-Bukhary dan Muslim)
Begitulah jawabannya. Tetap saja kita diperintahkan untuk beramal sholih, walaupun celaka atau bahagianya kita telah ditentukan sejak kita masih di rahim ibu. Sebab siapa saja yang bertaqwa dan beriman, Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala akan memudahkan beginya jalan menuju bahagia. Dan tentu saja kita juga harus menjauhi amal-amal buruk agar Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala menghindarkan kita dari jalan yang celaka.
Tentu saja, beramal sholih dan menjauhi maksiat itu ada cara-cara yang jitu untuk melakukannya. Siapa yang mengetahui cara-cara tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan tentu ia akan bahagia. Maka sudah sewajarnya kita berlomba-lomba mencari tahu cara-cara tersebut lewat bertanya, membaca buku-buku agama, dan tentu saja dari materi-materi di majelis pengajian. Wallahu ‘Alam.
Sumber : http://arsipmoslem.wordpress.com
Share
Sudah waktunya kita untuk segera beramal, jangan sampai kita menyesal. Al-Hasan berkata, “Mengherankan. Orang masih sempat tertawa padahal di belakangnya ada kobaran api (neraka), dan masih sempat-sempatnya bersenang-senang padahal kematian dari belakangnya. “
Dalam kenyataannya ada dua macam akhir hidup, yaitu akhir hidup yang baik atau husnul-khotimah dan akhir hidup yang buruk atau su’ul-khotimah. Husnul-khotimah adalah akhir kehidupan seseorang yang beriman kepada Allah dan percaya pada hari berbangkitnya manusia dengan bermodalkan taqwa. Jadi iman dan taqwa adalah faktor utama untuk menuju husnul-khotimah. Dan ketaqwaan yang berujud amal sholih itu adalah wujud dari keimanan. Contoh husnul-khotimah adalah seseorang yang mati dalam memperjuangkan kalimat Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala atau sesorang yang akhir amalannya dalam taat pada Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Siapa saja yang mengucapkan ‘Laa ilaaha illaLlaah’ pada akhir hidupnya untuk mencari ridha Allah, maka ia akan masuk surga. Siapa saja yang berpuasa pada akhir hidupnya untuk mencari ridha Allah , maka dia akan masuk surga. Dan siapa saja yang bersedekah pada akhir hidupnya untuk mencari ridha Allah, maka ia akan masuk surga. “(HR: Ahmad V/391).
Sedangkan su’ul-khotimah ialah apabila sewaktu akan meninggal dunia seseorang didominasi oleh perasaan was-was yang disebabkan keragu-raguan atau keras kepala atau ketergantungan terhadap kehidupan dunia yang akibatnya ia harus masuk ke neraka secara kekal kalau tidak diampuni oleh Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala.
Sebab-sebab su’ul-khotimah secara ringkas antara lain adalah perasaan ragu dan sikap keras kepala yang disebabkan oleh perbuatan bid’ah (perkara dalam agama yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallahui ‘alaihi wa sallam), menunda-nunda taubat, banyak berangan-angan tentang kehidupan duniawi, senang dan membiasakan maksiat, bersikap munafik, dan bunuh diri.
Ibnu Qayyim menyebutkan dari salah seorang saudagar bahwa seseorang di antara kerabatnya sebelum meninggal dunia ditalqin untuk mengucapkan kalimat tauhid, Laa ilaaha illaLlaah. Namun ia justru mengucapkan, ” Barang ini murah. Barang pembelian itu bagus. Yang ini begini, yang itu begitu….” dan begitu seterusnya hingga ia mati.
Beliau menyebutkan pula bahwa ada seorang lelaki penggemar musik sedang dalam keadaan kritis lalu ditalqin agar mengucapkan kalimat tauhid, Laa ilaaha illaLlaah. Tetapi ia justru menyenandungkan lagu, “Naanana…naanana…” hingga ia mati.
Ibnu Rajab Al-Hambaly mengutip ucapan Abdul Aziz bin Abu Rawwad sebagai berikut, “Aku pernah melihat seorang lelaki yang dituntun untuk membaca kalimat syahadat menjelang ajalnya. Namun tragisnya, kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya adalah kalimat yang justru mengingkari kalimat syahadat, sehingga ia mati dalam keadaan seperti itu. Ketika kutanyakan siapa dia sebenarnya, ternyata dia adalah peminum minuman keras” Abdul-Aziz lalu berkata pada para pelayat, ” Takutlah kalian dari berbuat dosa. Sebab dosa-dosa itulah yang mencampakkan dia seperti itu. “
Syaikh Al-Qahthany bercerita, ” Pernah aku memandikan mayat. Baru saja kumulai, mendadak warna kulit si mayat berubah jadi hitam legam, padahal sebelumnya putih bersih. Dengan rasa takut aku keluar dari tempat memandikan. Lalu aku bertemu dengan seorang laki-laki. Aku bertanya,”Mayat itu milikmukah ?” Ia jawab, ” Ya,” Aku bertanya lagi, “Apa ia ayahmu?” Ia menjawab, ” Ya.” Aku bertanya, ” Kenapa ayahmu itu sampai begini?” Ia menjawab, ” Sewaktu hidupnya ia tidak sholat.” Maka aku katakan kepadanya, ” Urusi sendiri ayahmu, dan mandikanlah ia ! “
Ibnu Qayyim berkata, ” Abu Abdullah Muhammad bin Zubair Al-Haiany bercerita pada kami, bahwa suatu hari selepas Ashar ia keluar rumah untuk berjalan-jalan di taman. Menjelang matahari tergelincir, ia meratakan sebuah kuburan. Tiba-tiba ia melihat sebuah bola api yang telah menjadi bara dan di tengahnya ada mayat. Dia usap-usap matanya seraya bertanya pada dirinya, apakah hal ini mimpi atau kenyataan. Setelah melihat dinding-dinding kota Madinah, ia baru sadar bahwa hal ini suatu kenyataan.
Dengan rasa takut dan tubuh gemetar, ia pulang. Ketika keluarganya menyuguhi makanan, ia tidak kuasa memakannya. Setelah cari info ke sana ke mari, akhirnya diperoleh jawaban bahwa kuburan itu adalah kuburan penguasa yang zalim yang suka korupsi yang kebetulan mati hari itu.”
Kita mohon perlindungan Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala dari su’ul-khotimah. Kita tidak tahu bagaimana akhir hidup kita nanti, apakah baik atau buruk. Karena itu hendaknya kita instropeksi diri terhadap iman dan taqwa kita.
Orang-orang sholih zaman dahulu pun takut akan keburukan akhir hidup mereka. Sufyan Ats-Tsaury sering menangis sendiri dan berkata, ” Aku begitu takut kalau dalam suratan takdir aku tercatat sebagai orang yang celaka. Atau imanku lepas ketika akan menghadapi maut.”
Ketika ajal hampir menjemputnya, Ibrahim An-Nakha-i menangis seraya berkata, ” Bagaimana aku tidak menangis pada saat aku menanti utusan Tuhanku, apakah membawa berita bahwa aku ke sorga, ataukah ke neraka ?”
Ketika Abu ‘Athi’ah menjelang wafat, ia menangis dan ketakutan. Orang-orang bertanya, ” Mengapa Anda ketakutan ?” Dia menjawab, ” Bagaimana mungkin aku tidak takut pada detik-detik seperti ini dan kemudian aku akan dibawa ke mana, aku tidak tahu. ” Begitulah kehidupan orang-orang saleh terdahulu. Walau pun sudah terkenal kesalehannya, namun tetap saja mereka takut pada su-ul khotimah.
Lalu bagaimana dengan kita ? Sudah pantaskah kita untuk tidak merasa takut akan su’ul-khotimah ? Padahal mereka, para salafush-sholih, yang tentu lebih baik agamanya dari kita pun masih merasa takut akan su’ul-khotimah.
Lalu jika kita ingin mati dengan husnul-khotimah dan tanpa su’ul-khotimah, apa yang harus dilakukan? Simak hadits ini: Dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, yang artinya: “Setiap diri yang telah dihembuskan nyawanya, maka Allah telah menentukan tempatnya di surga atau di neraka” Lalu ada seorang shahabat yang bertanya, ” Ya Rasululloh, kalau begitu apakah tidak sebaiknya kita pasrah pada apa yang telah ditentukan kepada kita dan kita tidak usah beramal ?” Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Beramallah! Masing-masing akan diberikan kemudahan trehadap apa yang telah diciptakan untuknya. Adapun yang termasuk orang-orang yang bahagia, maka Alloh akan memudahkannya melakukan amalan orang-orang yang bahagia. dan adapun yang termasuk orang-orang yang celaka, maka Alloh akan memudahkannya melakukan amalan orang-orang yang celaka.” Kemudian beliau membaca firman Alloh: ” Adapun orang-orang yang memberikan (hartanya pada jalan Alloh) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami kan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (QS: Al-Lail: 5-10 )” (HR: Al-Bukhary dan Muslim)
Begitulah jawabannya. Tetap saja kita diperintahkan untuk beramal sholih, walaupun celaka atau bahagianya kita telah ditentukan sejak kita masih di rahim ibu. Sebab siapa saja yang bertaqwa dan beriman, Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala akan memudahkan beginya jalan menuju bahagia. Dan tentu saja kita juga harus menjauhi amal-amal buruk agar Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala menghindarkan kita dari jalan yang celaka.
Tentu saja, beramal sholih dan menjauhi maksiat itu ada cara-cara yang jitu untuk melakukannya. Siapa yang mengetahui cara-cara tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan tentu ia akan bahagia. Maka sudah sewajarnya kita berlomba-lomba mencari tahu cara-cara tersebut lewat bertanya, membaca buku-buku agama, dan tentu saja dari materi-materi di majelis pengajian. Wallahu ‘Alam.
Sumber : http://arsipmoslem.wordpress.com
Share
Keutamaan Menjenguk Orang Sakit
Mengunjungi dan membesuk orang sakit merupakan
kewajiban setiap muslim, utamanya orang yang sangat jelas hubungannya
dengan dirinya, seperti kerabat dekat, tetangga, saudara senasab,
sahabat dan yang semisalnya. Menjenguk orang sakit adalah di antara amal
shalih yang paling utama yang dapat mendekatkan kita kepada Alloh Subhannahu
wa Ta’ala, kepada ampunan, rahmat dan SorgaNya.
Rasululloh shallAllohu ‘alaihi wasallam bersabda, yang
artinya: “Apabila seorang laki-laki menjenguk saudara muslimnya
(yang sedang sakit), maka (seakan-akan) dia berjalan sambil memetik
buah-buahan Sorga sehingga dia duduk, apabila sudah duduk maka
diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila menjenguknya di pagi
hari maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar mendapat rahmat
hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya di sore hari, maka tujuh
puluh ribu malaikat mendo’akannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi
tiba.” (HR: At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan sanad
shahih).
Terakhir, hendaknya yang membesuk mendo’akan si sakit: “Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membersihkanmu dari dosa-dosa, Insya Alloh.” (HR: Al-Bukhari).
(sumber Rujukan: Al-Hadiqatul Yani’ah minal ‘Ulumin Nafi’ah, Syaikh Ibrahim bin Jarullah Al-Jarullah)
Share
Mengunjungi orang sakit merupakan perbuatan mulia, di
dalamnya terdapat keutamaan yang sangat agung, pahala yang sangat besar
dan ia adalah salah satu hak setiap muslim terhadap muslim lainnya.
(HR: Muslim).
Terakhir, hendaknya yang membesuk mendo’akan si sakit: “Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membersihkanmu dari dosa-dosa, Insya Alloh.” (HR: Al-Bukhari).
(sumber Rujukan: Al-Hadiqatul Yani’ah minal ‘Ulumin Nafi’ah, Syaikh Ibrahim bin Jarullah Al-Jarullah)
Share
Pengunjung Terakhir Akan Datang
Sungguh! Ia tak datang karena haus akan hartamu,
karena ingin ikut nimbrung makan, minum bersamamu, meminta bantuanmu
untuk membayar hutangnya, memintamu memberikan rekomendasi kepada
seseorang atau untuk memuluskan upaya yang tidak mampu ia lakukan
sendiri.!! Pengunjung ini datang untuk misi penting dan terbatas serta
dalam masalah terbatas. Kamu dan keluargamu bahkan seluruh penduduk bumi
ini tidak akan mampu menolaknya dalam merealisasikan misinya tersebut!
Untuk menemuimu, ia tidak butuh pintu masuk, izin, dan membuat
perjanjian terlebih dahulu sebelum datang. Ia datang kapan saja waktunya
dan dalam kondisi bagaimanapun; dalam kondisimu sedang sibuk ataupun
sedang luang, sedang sehat ataupun sedang sakit, semasa kamu masih kaya
ataupun sedang dalam kondisi melarat, ketika kamu sedang bepergian atau
pun tinggal di tempatmu.!!
Saudaraku! Pengunjungmu ini tidak memiliki hati yang gampang luluh. Ia tidak bisa terpengaruh oleh ucapan-ucapan dan tangismu bahkan oleh jeritanmu dan perantara yang menolongmu. Ia tidak akan memberimu kesempatan untuk mengevaluasi perhitungan-perhitunganmu dan meninjau kembali perkaramu! Kalau pun kamu berusaha memberinya hadiah atau menyogoknya, ia tidak akan menerimanya sebab seluruh hartamu itu tidak berarti apa-apa baginya dan tidak membuatnya mundur dari tujuannya!
Sungguh! Ia hanya menginginkan dirimu saja, bukan orang lain! Ia menginginkanmu seutuhnya bukan separoh badanmu! Ia ingin membinasakanmu! Ia ingin kematian dan mencabut nyawamu! Menghancurkan raga dan mematikan tubuhmu! Dia lah malaikat maut!!! Alloh subhanahu wata’ala berfirman, yang artinya: “Katakanlah, ‘Malaikat Maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” (QS: As-Sajadah: 11)
Dan firman-Nya, yang artinya: “Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” (QS: Al-An’am: 61)
Kereta Usia
Tahukah kamu bahwa kunjungan Malaikat Maut merupakan sesuatu yang pasti? Tahukah kamu bahwa kita semua akan menjadi musafir ke tempat ini? Sang musafir hampir mencapai tujuannya dan mengekang kendaraannya untuk berhenti? Tahukah kamu bahwa perputaran kehidupan hampir akan terhenti dan ‘kereta usia’ sudah mendekati rute terakhirnya? Sebagian orang shalih mendengar tangisan seseorang atas kematian temannya, lalu ia berkata dalam hatinya, “Aneh, kenapa ada kaum yang akan menjadi musafir menangisi musafir lain yang sudah sampai ke tempat tinggalnya?”
Berhati-hatilah!
Semoga anda tidak termasuk orang yang Alloh subhanahu wata’ala sebutkan, artinya: “Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila Malaikat (Maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka?” (QS: Muhammad: 27) Atau firman-Nya, yang artinya: “(Yaitu) orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata), ‘Kami sekali-kali tidak ada mengerjakan sesuatu kejahatan pun.” (Malaikat menjawab), “Ada, sesungguh-nya Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan. “Maka masuklah ke pintu-pintu neraka Jahannam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombong-kan diri itu.” (QS: An-Nahl: 28-29)
ahukah kamu bahwa kunjungan Malaikat Maut kepadamu akan mengakhiri hidupmu? Menyudahi aktivitasmu? Dan menutup lembaran-lembaran amalmu?
Tahukah kamu, setelah kunjungan-nya itu kamu tidak akan dapat lagi melakukan satu kebaikan pun? Tidak dapat melakukan shalat dua raka’at? Tidak dapat membaca satu ayat pun dari kitab-Nya? Tidak dapat bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, beristighfar walau pun sekali? Tidak dapat berpuasa sehari? Bersedekah dengan sesuatu meskipun sedikit? Tidak dapat melakukan haji dan umrah? Tidak dapat berbuat baik kepada kerabat atau pun tetangga?
‘Kontrak’ amalmu sudah berakhir dan engkau hanya menunggu perhitungan dan pembalasan atas kebaikan atau keburukanmu!!
Alloh subhanahu wata’ala berfirman, yang artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikan lah aku (ke dunia).” Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak. Sesungguh-nya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS: Al-Mu’minun: 99-100)
Persiapkan Dirimu!
Mana persiapanmu untuk menemui Malaikat Maut? Mana persiapanmu menyongsong huru-hara setelahnya; di alam kubur ketika menghadapi pertanyaan, ketika di Padang Mahsyar, ketika hari Hisab, ketika ditimbang, ketika diperlihatkan lembaran amal kebaikan, ketika melintasi Shirath dan berdiri di hadapan Alloh Al-Jabbar? Dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasululloh shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidak seorang pun dari kamu melainkan akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak ada penerjemah antara dirinya dan Dia, lalu ia memandang yang lebih beruntung darinya, maka ia tidak melihat kecuali apa yang telah diberikannya dan memandang yang lebih sial darinya, maka ia tidak melihat selain apa yang telah diberikannya. Lalu memandang di hadapannya, maka ia tidak melihat selain neraka yang berada di hadapan mukanya. Karena itu, takutlah api neraka walau pun dengan sebelah biji kurma dan walau pun dengan ucapan yang baik.” (Muttafaqun ‘alaih)
Berhitunglah Atas Dirimu!
Saudaraku, berhitunglah atas dirimu di saat senggangmu, berpikirlah betapa cepat akan berakhirnya masa hidupmu, bekerjalah dengan sungguh-sungguh di masa luangmu untuk masa sulit dan kebutuhanmu, renungkanlah sebelum melakukan suatu pekerjaan yang kelak akan didiktekan di lembaran amalmu.
Di mana harta benda yang telah kau kumpulkan? Apakah ia dapat menyelamatkanmu dari cobaan dan huru-hara itu? Sungguh, tidak! Kamu akan meninggalkannya untuk orang yang tidak pernah menyanjungmu dan maju dengan membawa dosa kepada Yang tidak akan memberikan toleransi padamu!
(Sumber Rujukan: Az-Zâ’ir Al-Akhîr karya Khalid bin Abu Shalih)
dari blog : http://arsipsiroh.wordpress.com
Share
Kalau pun kamu tinggal di istana-istana yang menjulang, berlindung di
benteng-benteng yang kokoh dan di menara-menara yang kuat, mendapatkan
penjagaan dan pengamanan yang super ketat, kamu tidak dapat mencegahnya
masuk untuk menemuimu dan menuntaskan urusannya denganmu!!
Saudaraku! Pengunjungmu ini tidak memiliki hati yang gampang luluh. Ia tidak bisa terpengaruh oleh ucapan-ucapan dan tangismu bahkan oleh jeritanmu dan perantara yang menolongmu. Ia tidak akan memberimu kesempatan untuk mengevaluasi perhitungan-perhitunganmu dan meninjau kembali perkaramu! Kalau pun kamu berusaha memberinya hadiah atau menyogoknya, ia tidak akan menerimanya sebab seluruh hartamu itu tidak berarti apa-apa baginya dan tidak membuatnya mundur dari tujuannya!
Sungguh! Ia hanya menginginkan dirimu saja, bukan orang lain! Ia menginginkanmu seutuhnya bukan separoh badanmu! Ia ingin membinasakanmu! Ia ingin kematian dan mencabut nyawamu! Menghancurkan raga dan mematikan tubuhmu! Dia lah malaikat maut!!! Alloh subhanahu wata’ala berfirman, yang artinya: “Katakanlah, ‘Malaikat Maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” (QS: As-Sajadah: 11)
Dan firman-Nya, yang artinya: “Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” (QS: Al-An’am: 61)
Kereta Usia
Tahukah kamu bahwa kunjungan Malaikat Maut merupakan sesuatu yang pasti? Tahukah kamu bahwa kita semua akan menjadi musafir ke tempat ini? Sang musafir hampir mencapai tujuannya dan mengekang kendaraannya untuk berhenti? Tahukah kamu bahwa perputaran kehidupan hampir akan terhenti dan ‘kereta usia’ sudah mendekati rute terakhirnya? Sebagian orang shalih mendengar tangisan seseorang atas kematian temannya, lalu ia berkata dalam hatinya, “Aneh, kenapa ada kaum yang akan menjadi musafir menangisi musafir lain yang sudah sampai ke tempat tinggalnya?”
Berhati-hatilah!
Semoga anda tidak termasuk orang yang Alloh subhanahu wata’ala sebutkan, artinya: “Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila Malaikat (Maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka?” (QS: Muhammad: 27) Atau firman-Nya, yang artinya: “(Yaitu) orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata), ‘Kami sekali-kali tidak ada mengerjakan sesuatu kejahatan pun.” (Malaikat menjawab), “Ada, sesungguh-nya Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan. “Maka masuklah ke pintu-pintu neraka Jahannam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombong-kan diri itu.” (QS: An-Nahl: 28-29)
ahukah kamu bahwa kunjungan Malaikat Maut kepadamu akan mengakhiri hidupmu? Menyudahi aktivitasmu? Dan menutup lembaran-lembaran amalmu?
Tahukah kamu, setelah kunjungan-nya itu kamu tidak akan dapat lagi melakukan satu kebaikan pun? Tidak dapat melakukan shalat dua raka’at? Tidak dapat membaca satu ayat pun dari kitab-Nya? Tidak dapat bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, beristighfar walau pun sekali? Tidak dapat berpuasa sehari? Bersedekah dengan sesuatu meskipun sedikit? Tidak dapat melakukan haji dan umrah? Tidak dapat berbuat baik kepada kerabat atau pun tetangga?
‘Kontrak’ amalmu sudah berakhir dan engkau hanya menunggu perhitungan dan pembalasan atas kebaikan atau keburukanmu!!
Alloh subhanahu wata’ala berfirman, yang artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikan lah aku (ke dunia).” Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak. Sesungguh-nya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS: Al-Mu’minun: 99-100)
Persiapkan Dirimu!
Mana persiapanmu untuk menemui Malaikat Maut? Mana persiapanmu menyongsong huru-hara setelahnya; di alam kubur ketika menghadapi pertanyaan, ketika di Padang Mahsyar, ketika hari Hisab, ketika ditimbang, ketika diperlihatkan lembaran amal kebaikan, ketika melintasi Shirath dan berdiri di hadapan Alloh Al-Jabbar? Dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasululloh shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidak seorang pun dari kamu melainkan akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak ada penerjemah antara dirinya dan Dia, lalu ia memandang yang lebih beruntung darinya, maka ia tidak melihat kecuali apa yang telah diberikannya dan memandang yang lebih sial darinya, maka ia tidak melihat selain apa yang telah diberikannya. Lalu memandang di hadapannya, maka ia tidak melihat selain neraka yang berada di hadapan mukanya. Karena itu, takutlah api neraka walau pun dengan sebelah biji kurma dan walau pun dengan ucapan yang baik.” (Muttafaqun ‘alaih)
Berhitunglah Atas Dirimu!
Saudaraku, berhitunglah atas dirimu di saat senggangmu, berpikirlah betapa cepat akan berakhirnya masa hidupmu, bekerjalah dengan sungguh-sungguh di masa luangmu untuk masa sulit dan kebutuhanmu, renungkanlah sebelum melakukan suatu pekerjaan yang kelak akan didiktekan di lembaran amalmu.
Di mana harta benda yang telah kau kumpulkan? Apakah ia dapat menyelamatkanmu dari cobaan dan huru-hara itu? Sungguh, tidak! Kamu akan meninggalkannya untuk orang yang tidak pernah menyanjungmu dan maju dengan membawa dosa kepada Yang tidak akan memberikan toleransi padamu!
(Sumber Rujukan: Az-Zâ’ir Al-Akhîr karya Khalid bin Abu Shalih)
dari blog : http://arsipsiroh.wordpress.com
Share
Langganan:
Postingan (Atom)
Ayo bersedekah setiap hari
“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.
Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,
sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”
(HR Bukhary 5/270)
Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.
Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.
Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :
1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa
Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan
Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :
1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-
2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-
3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-
4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-
5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-
Penolong Misterius
Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.
"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.
Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.
Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.
"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.
Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.
Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.
"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.
Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.
"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.
"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.
Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.
"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.
"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.
Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.
Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?
Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.
Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!
"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.
Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.
"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.
"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.
"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.
"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.
"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.
Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.
"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."
"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.
Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.
"Sekarang pulanglah!" kata Ali.
Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.
"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.
Ali tersenyum dan mengangguk.
"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.
"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.
Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.
Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.
Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.
"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"
"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.
Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.
Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.