Sabtu, 28 November 2009

Ketika Allah Mencintai Hambanya


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ- رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ : » إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِن اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيْذَنَُّّه « رواه البخاري

“Dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘ Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: ‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh! Aku telah mengumumkan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepada-Ku dengan sesuatu, yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya, dan senantiasalah hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya; bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, dan penglihatannya yang digunakannya untuk melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan; jika dia meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan melindunginya”. (H.R.al-Bukhâriy)

Riwayat Singkat Periwayat Hadits
Dia adalah sayyid al-Huffâzh, seorang shahabat yang agung, Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu . Mengenai nama aslinya, demikian pula dengan nama ayahnya banyak sekali pendapat tentang hal itu dan masih diperselisihkan oleh para ulama. Namun pendapat yang paling rajih/kuat, bahwa namanya adalah ‘Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausiy. Beliau masuk Islam pada tahun penaklukan Khaibar, yakni permulaan tahun 7 H.

Imam adz-Dzahabiy berkata: “Dia banyak menimba ilmu yang baik dan penuh berkah dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Tidak ada orang yang mendapatkan kelebihan seperti itu seperti dirinya. Juga, tidak ada orang yang lebih banyak dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam darinya. Hal ini dikarenakan dirinya senantiasa ber-mulâzamah dengan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam (mengikuti beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dan bersama-sama dengannya). Hadit-hadits yang diriwayatkannya mencapai 5374 hadits”.

Imam al-Bukhâriy meriwayatkan dari Abu Hurairah juga bahwa dia berkata: “sesungguhnya kalian pernah berkata: ‘sesungguhnya Abu Hurairah banyak sekali meriwayatkan hadits dari Rasululullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Kalau begitu, kenapa orang-orang Muhajirin dan Anshar tidak meriwayatkan dari Rasulullah sebanyak yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah?’. Sesungguhnya saudara-saudaraku dari kaum Muhajirin tersebut disibukkan oleh aktivitas jual-beli mereka di pasar-pasar, sementara aku senantiasa ber-mulâzamah dengan beliau untuk mengisi perutku. Jadi, aku bisa hadir manakala mereka tidak hadir dan aku ingat manakala mereka lupa. Demikian pula dengan saudara-saudaraku dari kaum Anshar, mereka sibuk mengurusi harta-harta perdagangan mereka sementara aku ini adalah seorang miskin yang terdaftar dalam deretan orang-orang miskin ash-Shuffah (sebutan buat kaum papa yang tinggal di masjid Nabawiy dimana ada suatu tempat khusus buat mereka-red) sehingga aku selalu tanggap dan mengingat manakala mereka lupa.

Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam telah bersabda dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy dari Abu Hurairah sendiri: “Sesungguhnya tidak akan ada seseorang yang membentangkan pakaiannya hingga aku menyelesaikan semua ucapanku ini, kemudian dia mengumpulkan pakaiannya tersebut (menempelkannya ke tubuhnya) melainkan dia telah menangkap semua apa yang aku katakan”. Lalu aku membentangkan kain diatasku hingga bilamana Rasulullah menyelesaikan ucapannya, aku telah mengumpulkannya (menempelkannya) ke dadaku, lantas aku tidak lagi lupa sedikitpun dari ucapan beliau tersebut.

Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H.

Catatan: Kisah ini menegaskan bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tidak berbicara karena dorongan hawa nafsu tetapi adalah karena wahyu yang diwahyukan kepadanya (Q.,s. 53/an-Najm: 3-4), maka ucapan beliau tersebut sudah pasti benar dan terjadi -atas izin Allah- serta keistimewaan semacam ini hanya dimiliki oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam saja dan tidak dimiliki oleh siapapun setelah beliau. Disamping itu, kisah ini juga menunjukkan bahwa para shahabat adalah generasi yang merupakan sebaik-baik abad dimana mereka selalu berlomba-lomba di dalam berbuat kebajikan apalagi dalam membenarkan dan melakukan suatu janji yang dijanjikan oleh Rasulullah yang sudah pasti benar dan terjadi. Banyak peristiwa yang menunjukkan hal itu, salah satunya adalah apa yang ditunjukkan oleh Abu Hurairah diatas. Jadi, tidak lebih dari itu. Wallahu a’lam.

PENJELASAN KEBAHASAAN

Ungkapan : [Innallâha Ta’âla Qâla: Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman] ; ini merupakan salah satu redaksi Hadîts Qudsiy.

Ungkapan : [man ‘âdâ lî waliyyan: ‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku..] : terdapat variasi lafazh, diantaranya: “man âdzâ lî waliyyan” ; “man ahâna lî waliyyan faqad bârazanî bi al-Muhârabah” . Kata “al-Waliy” diambil dari kata al-Muwâlâh , makna asalnya adalah al-Qurb (dekat) sedangkan makna asal kata “al-Mu’âdâh” ( kata benda dari kata kerja ‘âdâ ) adalah al-Bu’d (jauh); Jadi, kata “al-Waliy” artinya orang yang dekat kepada Allah, melakukan keta’atan dan meninggalkan perbuatan maksiat.

Ungkapan : [faqad âdzantuhû bi al-Harb: maka sungguh! Aku telah mengumumkan perang terhadapnya] : yakni maka sungguh Aku telah memberitahukan kepadanya bahwa Aku akan memeranginya sebagaimana dia memerangi-Ku dengan cara memusuhi para wali-Ku.

Ungkapan : [wa mâ taqarraba ilayya ‘abdî bisyay-in ahabbu ilayya mimmaf taradltuhû ‘alaihi: Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya] : manakala Dia Ta’ala menyebutkan bahwa memusuhi para wali-Nya berarti memusuhi-Nya, maka Dia juga menyebutkan setelah itu kriteria-kriteria para wali-Nya yang haram dimusuhi dan wajib loyal terhadapnya (dijadikan wali); yaitu bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan sarana yang dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya dimana sarana utamanya adalah melaksanakan farâ-idl (ibadah-ibadah wajib).

Ungkapan : [fa idzâ ahbabtuhû kuntu sam’ahu al-Ladzî yasma’u bihî, wa basharahu al-Ladzî yubshiru bihî, wa yadahu al-Latî yabthisyu bihâ wa rijlahu al-Latî yamsyî bihâ: bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, dan penglihatannya yang digunakannya untuk melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan] : maksudnya adalah bahwa barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam bertaqarrub kepada Allah dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib yang diembankan kepadanya, kemudian menambahnya dengan ibadah-ibadah sunnah, maka Allah akan mendekatkan dirinya kepada-Nya, meningkatkan derajat iman nya kepada derajat ihsân ; maka ketika itu, dia dalam beribadah kepada Allah menjadi selalu ber-murâqabah (menjadikan dirinya selalu di bawah pengawasan Allah) seakan-akan dia melihat-Nya. Karenanya pula, hatinya menjadi penuh oleh ma’rifat kepada Allah, mahabbah (mencintai)-Nya, mengagungkan-Nya, takut kepada-Nya, senang dekat dengan-Nya dan merindukan-Nya. Maka, jadilah orang yang sedemikian terisi ma’rifah kepada Allah di hatinya melihat-Nya dengan ‘ain bashîrah (pandangan batin)-nya; maka jika dia bicara, dia berbicara karena Allah, sesuai dengan yang diridlai oleh-Nya dan atas taufiq-Nya; jika mendengar, dia mendengar karena-Nya sesuai dengan yang diridlai-Nya dan atas taufiq-Nya; jika melihat, dia melihat karena-Nya sesuai dengan yang diridlai-Nya dan atas taufiqNya dan jika memukul/melakukan kekerasan, maka dia memukul/melakukan kekerasan karena-Nya dalam hal yang diridlai-Nya dan atas taufiq-Nya.

Ungkapan : [wa la-in sa-alanî la-u’thiannahû …: jika dia meminta kepadaKu niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan kepadaKu niscaya Aku akan melindunginya] : yakni bahwa orang yang dicintai dan dekat di sisi Allah memiliki kedudukan khusus yang konsekuensinya bila dia meminta sesuatu kepada-Nya, pasti akan Dia berikan untuknya; jika meminta perlindungan kepada-Nya dari sesuatu, pasti Dia melindungi dirinya darinya dan jika dia berdoa kepada-Nya, pasti Dia mengabulkannya; dengan demikian dia menjadi orang yang selalu terkabul doanya karena kemuliaan dirinya di sisi Allah.

BEBERAPA PELAJARAN DAN HUKUM TERKAIT

1. Melakukan perbuatan-perbuatan ta’at baik yang wajib-wajib maupun yang sunnah-sunnahnya dan menjauhi diri dari semua bentuk maksiat baik yang kecil maupun yang besar akan membuat seorang hamba pantas menjadi salah seorang wali Allah yang dicintai-Nya dan mencintai-Nya, Dia Ta’ala mencintai orang yang dicintai oleh para wali-Nya, mengumumkan perang terhadap orang yang memusuhi, mengganggu, membenci, memojokkan dan menghadang mereka dengan suatu kejahatan atau gangguan. Allah-lah yang akan menolong dan membantu para wali-Nya tersebut.

2. Wajib menunjukkan sikap loyal terhadap para wali Allah dan mencintai mereka serta haram memusuhi mereka. Demikian pula, wajib memusuhi musuh-musuh-Nya dan haram menunjukkan sikap loyal terhadap mereka. Allah berfirman: “…janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia…”. (Q.,s. al-Mumtahanah: 1) , Dan firmanNya: “Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. (Q.,s. al-Mâ-idah: 56)
Dalam kedua ayat tersebut, Allah memaparkan bahwa sifat dari orang-orang yang dicintai dan mencintai-Nya adalah bahwa mereka itu merasa hina dihadapan orang-orang beriman dan merasa bangga dan penuh percaya diri (‘izzah) dihadapan orang-orang Kafir.

3. Hadits diatas juga menunjukkan bahwa para wali Allah ada dua macam:
Pertama, mereka yang bertaqarrub kepada-Nya dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib ; ini merupakan derajat kaum Muqtashidûn, Ashhâb al-Yamîn (orang-orang yang menempuh jalan yang lurus dan menjadi golongan kanan). Melaksanakan ibadah-ibadah wajib merupakan amalan yang paling utama sebagaimana diucapkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu : “seutama-utama amalan adalah melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah, menjauhi apa yang diharamkan-Nya serta niat yang jujur semata-mata mengharap ridla-Nya”.
Kedua, mereka yang bertaqarrub kepadaNya, disamping melaksanakan ibadah-ibadah wajib tersebut, juga bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah-ibadah sunnah dan keta’atan dan menghindari semua yang dilarang; hal-hal inilah yang memastikan seorang hamba mendapatkan mahabbah Allah (kecintaan dari-Nya) sebagaimana dalam sabda Rasulullah diatas: “dan senantiasalah hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepadaKu dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.

4. Orang yang dicintai oleh Allah, maka Dia akan menganugerahinya mahabbah terhadap-Nya, mena’ati-Nya, bergiat dalam berzikir dan beribadah kepada-Nya, menenteramkan hatinya untuk selalu melakukan amalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya. Dengan anugerah itu, maka orang tersebut berhak menjadi orang yang dekat dengan-Nya dan mendapatkan keberuntungan di sisi-Nya. Allah Ta’ala berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang mutad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.,s. al-Mâ-idah: 54).

5. Hal yang paling penting dan menjadi tuntutan setiap hamba adalah mendapatkan mahabbah dari-Nya sebab orang yang mendapatkannya maka dia akan mendapatkan dua kebaikan; dunia dan akhirat. Sebagai seorang mukmin sejati yang sangat ingin untuk menjadi salah seorang dari para wali Allah tentu berupaya mendapatkan tuntutan yang amat berharga ini tetapi untuk merealisasikannya diperlukan beberapa hal:
a. Melaksanakan ibadah-ibadah wajib yang sudah diwajibkan oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang terdapat dalam penggalan hadits diatas: “Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya”. Yaitu, dengan membetulkan dan meluruskan at-Tauhîd, melaksanakan shalat wajib, zakat wajib, puasa Ramadlan, haji ke Baitullah al-Haram, birr al-Wâlidain (berbakti kepada kedua orangtua), menyambung rahim (silaturrahim), berakhlaq yang mulia seperti jujur, dermawan, bertutur kata yang manis, tawadlu’ dan lain-lainnya.
b. Menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan, baik kecil maupun besar, dan dari apa saja hal-hal makruh yang sebenarnya mampu dilakukannya.
c. Bertaqarrub kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah mulai dari shalat, sedekah, puasa, amalan-amalan kebajikan, dzikir, membaca al-Qur’an, amar ma’ruf nahi munkar dan lain-lainnya. Diantara yang patut disinggung berkenaan dengan ibadah-ibadah tersebut adalah:
1.memperbanyak baca al-Qur’an diiringi dengan tafakkur dan renungan, mendengarnya diiringi dengan tadabbur dan pemahaman, menghafal ayat-ayatnya yang mudah, mengulang-ulanginya serta senantiasa menjaganya agar tidak lupa. Tentunya, tidak ada suatu ucapanpun yang lebih manis bagi para pencinta selain ucapan orang yang dicintainya; maka Kalamullah adalah lebih utama untuk dicintai karena memberikan kenyamanan tersendiri bagi hati mereka dan merupakan puncak dari sumua tuntutan mereka. Diantara sarana yang dapat membantu terlaksananya hal tersebut -disamping doa, tekad bulat dan keinginan keras- adalah konsistensi dalam membaca al-Qur’an sebanyak satu juz di dalam sehari semalam dan semampunya berupaya agar tidak lalai dari konsistensi tersebut.
2.memperbanyak dzikir kepada Allah Ta’ala baik melalui lisan maupun hati sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku (selalu) di sisi sangkaan (baik) hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku (selalu) bersamanya manakala dia mengingat-Ku; jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya di dalam diri-Ku; jika dia mengingat-Ku di hadapan khalayak (orang banyak), maka Aku mengingatnya pula di hadapan khalayak yang lebih baik dari mereka (malaikat)”. Allah berfirman: “…maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepadamu”.(Q.,s. al-Baqarah: 152)

6. Bahwa adalah bohong belaka bila ada pengakuan yang menganggap selain cara berbuat keta’atan dan berloyalitas kepada Allah yang disyariatkanNya melalui lisan Rasul-Nya, dapat menyampaikan seseorang kepada mahabbah Allah dan menjadi wali-Nya sepertihalnya orang-orang Musyrik yang menyembah selain Allah dengan anggapan bahwa mereka semata hanya ingin mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan cara tersebut sebagai yang dikisahkan oleh Allah tentang mereka dalam firman-Nya (artinya):"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (Q.,s.az-Zumar: 3). Demikian pula, sebagai yang diceritakan oleh Allah berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani, bahwa mereka berkata dalam firman-Nya (artinya) : "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". (Q.,s. al-Mâ-idah: 18) padahal mereka ngotot mendustai para Rasul-Nya, melanggar larangan-Nya serta meninggalkan kewajiban-kewajiban yang diembankan-Nya kepada mereka.
Jadi, setiap orang yang menempuh selain jalan yang sudah disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan mencapai wilâyatullâh (kewalian yang dianugerahkan oleh Allah) dan mahabbah-Nya.

7. Setiap Muslim sangat menginginkan agar doanya dikabulkan, amalannya diterima, permintaannya diberi serta mendapatkan perlindungan dari-Nya. Hal ini semua adalah tuntutan yang amat berharga dan anugerah yang agung yang tidak akan dapat dicapai kecuali oleh orang yang menempuh jalan menuju wilâyatullâh, yaitu melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan-Nya plus ibadah-ibadah sunnah seoptimal mungkin diiringi dengan niat yang tulus (an-Niyyah al-Khâlishah), mengikuti Nabi serta berjalan diatas manhajnya (al-Mutâba’ah).

(Disadur dari tulisan berjudul asli: “Taqarrab yuhibbukallâh” karya Syaikh Nâshir asy-Syimâliy)




Share

Jumat, 13 November 2009

Siapa menjamin umur sampai Dzuhur?

بِســمِ اللهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيـم

Segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu

Teruntuk saudara-saudaraku yang telah Ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien, dan Nabi Muhammad sebagai Nabi Rasul Allah.

Kuucapkan salam atas kalian

ألسـلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Wahai kalian yang telah Ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah.


Sepeninggal Sulaiman Ibnu Abdul Malik, Khalifah ketujuh dari Bani Ummayah, rakyat memba’it Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah sebagai penerus dinasti yang dibangun oleh Shahabi Mu’awiyah bin Abu Sofyan.

Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz pernah menjabat gubernur Madinah. Beliau mempunyai beberapa orang anak, diantaranya Abdul Malik Ibnu Umar. Dia masih muda, tetapi ketaqwaan dan kezuhudannya senantiasa menghiasai lembaran hidupnya.

Suatu saat, ketika Umar sampai di rumah sepulang mengurusi pemakaman jenazah Sulaiman Ibnul Abdul Malik, datanglah Abdul Malik menghampirinya. Ia bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, gerangan apakah yang mendorong anda membaringkan diri di siang bolong ini?”

Umar bin Abdul Aziz tersentak dan kaget tatkala sang putra memanggilnya dengan Amirul Mukminin, bukan dengan panggilan ayah sebagaimana biasanya. Ini mengisyaratkan bahawa puteranya ingin mempertanyakan tanggung jawab ayahnya sebagai pemimpin negara bukan sebagai kepala keluarga.

“Aku letih dan butuh isthirahat!”, jawab sang ayah.

“Pantaskah anda beristhirahat padahal banyak rakyat yang tertindas?”, kata sang anak dengan bijak.

“Wahai anakku,“ Umar bin Abdul Aziz , “semalaman suntuk aku menjaga pamanmu. Nanti setelah shalat dzuhur aku akan mengembalikan hak-hak orang yang teraniaya.”

“Wahai Amirul Mukminin”, Abdul Malik berkata, “Siapakah yang menjamin anda hidup sampai dzuhur, jika Allah menaqdirkanmu mati sekarang?”

Mendengar ucapan anaknya tersebut, Umar semakin terperangah. Beliau memerintahkan anaknya mendekat, maka diciumlah anak itu sembari berkata,” Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakan padaku anak yang telah membuatku menegakkan agama.”

Selanjutnya beliau peruntahkan juru bicaranya mengumumkan kepada seluruh rakyat,“ Barangsiapa yang merasa terzhalimi, hendaknya mengadukan nasibnya kepada khalifah!”

Luar biasa . Nasihat itu begitu akurat. Datang pada saat yang tepat. Maka catat besar-besar nasihat ini, kalau perlu ditempelkan di ruang belajar dan ruang kerjamu.

“Siapakah yang menjamin anda hidup sampai dzuhur, jika Allah menaqdirkanmu mati sekarang?”




Ya Allah….
janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)."

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."


سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


Teruntuk saudara-saudaraku yang telah Ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien, dan Nabi Muhammad sebagai Nabi Rasul Allah.

Kuucapkan salam penutup atas kalian


وألسـلام عليكم ورحمة الله وبركاته



Sumber :
Deadline Your Life Ingat Mati Agar Hidup Lebih Berarti. Solikhin Abu ‘Izzuddin; Solo; Pustaka Iltizam; 2007

Jumat, 06 November 2009

Laki-laki dan Keledai

Suatu ketika seorang laki-laki beserta anaknya membawa seekor keledai ke pasar. Di tengah jalan, beberapa orang melihat mereka dan menyengir, “Lihatlah orang-orang dungu itu. Mengapa mereka tidak naik ke atas keledai itu?”

Laki-laki itu mendengar perkataan tersebut. Ia lalu meminta anaknya naik ke atas keledai. Seorang perempuan tua melihat mereka, “Sudah terbalik dunia ini! Sungguh anak tak tahu diri! Ia tenang-tenang di atas keledai sedangkan ayahnya yang tua dibiarkan berjalan.”

Kali ini anak itu turun dari punggung keledai dan ayahnya yang naik. Beberapa saat kemudian mereka berpapasan dengan seorang gadis muda. “Mengapa kalian berdua tidak menaiki keledai itu bersama-sama?”

Mereka menuruti nasehat gadis muda itu. Tidak lama kemudian sekelompok orang lewat. “Binatang malang…, ia menanggung beban dua orang gemuk tak berguna. Kadang-kadang orang memang bisa sangat kejam!”

Sampai disini ayah dan anak itu sudah muak. Mereka memutuskan untuk memanggul keledai itu. Melihat kejadian itu, orang-orang tertawa terpingkal-pingkal. “Lihat, manusia keledai memanggul keledai!,” sorak mereka.

Jika Anda berusaha menyenangkan semua orang, bisa jadi Anda tak akan dapat menyenangkan siapa pun. Kita harus yakin dengan apa yang menjadi keputusan kita. Tidak semua komentar itu kita turuti.

Ayo bersedekah setiap hari

“Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat.

Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”,

sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)”

(HR Bukhary 5/270)

Lihat catatan keuangan anda/keuangan perusahaan anda !
Apakah pengeluaran lebih besar dari pemasukan? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang pailit.
Apakah pengeluaran dan pemasukan seimbang? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang rugi.
Apakah pemasukan lebih besar dari pengeluaran? Jika Ya, berarti anda termasuk orang yang beruntung.
Hari ini mesti lebih baik dari ari kemarin dan hari esok meski lebih baik dari hari ini.

Perbanyak infaq anda jika anda mengalami kerugian, jangan berhenti berinfaq ketika anda meraih keuntungan yang banyak. Justeru semakin banyak untung, akan semakin keranjingan berinfaq.

Ayo salurkan sebagian rezeki anda kepada orang-orang yang ada di sekitar anda, atau juga bisa melalui program yang kami tawarkan berikut ini :

1. Zakat
2. Infaq/shadaqah
3. Wakaf
4. Anak Yatim
5. Buka Puasa

Salurkan sebagian rezeki anda melalui salah satu nomor rekening berikut :
--> Bank BRI Syariah No Rek. 1041682996
--> Bank Muamalat No Rek. 3560009874
--> Bank Mandiri No Rek. 114-00-0594415-5
--> Bank BCA No Rek. 8110330589
Semua atas nama Wagimin.

Mohon konfirmasinya seberapapun harta yang anda infaqkan

Bila sudah ditransfer mohon konfirmasi via WA ke nomor 082354458007 caranya :


1. Zakat
Ketik : ZAKAT_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : ZAKAT 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.011,-

2. Infaq/shadaqah
Ketik : INFAQ_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 2.000.022,-

3. Waqaf
Ketik : WAQAF_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : INFAQ 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 5.000.000,-

4. Anak Yatim
Ketik : YATIM_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 3.000.033,-

5. Buka Puasa
Ketik : PUASA_tanggal_nama_Asal_Bank_jumlah
Contoh : YATIM 01012011 Hamba Allah di Surabaya BRI Syariah Rp. 1.000.033,-

Terimakasih atas partisipasinya kepada rekan-rekan yang telah berbagi terutama buat mereka yang belum melakukan konfirmasinya, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik dan menjadi amalan yang akan memperberat amal kebaikan di yaumil akhir.

Penolong Misterius

Ketika senja telah turun mengganti siang dengan malam, seorang laki-laki bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi panggilan adzan yang bergaung indah memenuhi angkasa.

"Allahu Akbar!" suara lelaki itu mengawali shalatnya.

Khusyuk sekali ia melaksanakan ibadah kepada Allah. Tampak kerutan di keningnya bekas-bekas sujud. Dalam sujudnya, ia tenggelam bersama untaian-untaian do'a. Seusai sholat, lama ia duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Ia terpaku dengan air mata mengalir, memohon ampunan Allah.

Dan bila malam sudah naik ke puncaknya, laki-laki itu baru beranjak dari sajadahnya.

"Rupanya malam sudah larut...,"bisiknya.

Ali Zainal Abidin, lelaki ahli ibadah itu berjalan menuju gudang yang penuh dengan bahan-bahan pangan. Ia pun membuka pintu gudang hartanya. Lalu, dikeluarkannya karung-karung berisi tepung, gandum, dan bahan-bahan makanan lainnya.

Di tengah malam yang gelap gulita itu, Ali Zainal Abidin membawa karung-karung tepung dan gandum di atas punggungnya yang lemah dan kurus. Ia berkeliling di kota Madinah memikul karung-karung itu, lalu menaruhnya di depan pintu rumah orang-orang yang membutuhkannya.

Di saat suasana hening dan sepi, di saat orang-orang tertidur pulas, Ali Zainal Abidin memberikan sedekah kepada fakir miskin di pelosok Madinah.

"Alhamdulillah..., harta titipan sudah kusampaikan kepada yang berhak,"kata Ali Zainal Abidin. Lega hatinya dapat menunaikan pekerjaan itu sebelum fajar menyingsing. Sebelum orang-orang terbangun dari mimpinya.

Ketika hari mulai terang, orang-orang berseru kegirangan mendapatkan sekarung tepung di depan pintu.

"Hah! Siapa yang sudah menaruh karung gandum ini?!" seru orang yang mendapat jatah makanan.

"Rezeki Allah telah datang! Seseorang membawakannya untuk kita!" sambut yang lainnya.

Begitu pula malam-malam berikutnya, Ali Zainal Abidin selalu mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin. Dengan langkah mengendap-endap, kalau-kalau ada yang memergokinya tengah berjalan di kegelapan malam. Ia segera meletakan karung-karung di muka pintu rumah orang-orang yang kelaparan.

"Sungguh! Kita terbebas darikesengsaraan dan kelaparan! Karena seorang penolong yang tidak diketahui!" kata orang miskin ketika pagi tiba.

"Ya! Semoga Allah melimpahkan harta yang berlipat kepada sang penolong...," timpal seorang temannya.

Dari kejauhan, Ali Zainal Abidin mendengar semua berita orang yang mendapat sekarung tepung. Hatinya bersyukur pada Allah. Sebab, dengan memberi sedekah kepada fakir miskin hartanya tidak akan berkurang bahkan, kini hasil perdagangan dan pertanian Ali Zainal Abidin semakin bertambah keuntungan.

Tak seorang pun yang tahu dari mana karung-karung makanan itu? Dan siapa yang sudah mengirimkannya?

Ali Zainal Abidin senang melihat kaum miskin di kotanya tidak mengalami kelaparn. Ia selalu mencari tahu tentang orang-orang yang sedang kesusahan. Malam harinya, ia segera mengirimkan karung-karung makanan kepada mereka.

Malam itu, seperti biasanya, Ali Zainal Abidin memikul sekarung tepung di pundaknya. Berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan. Tiba-tiba tanpa di duga seseorang melompat dari semak belukar. Lalu menghadangnya!

"Hei! Serahkan semua harta kekayaanmu! Kalau tidak...," orang bertopeng itu mengancam dengan sebilah pisau tajam ke leher Ali Zainal Abidin.

Beberapa saat Ali terperangah. Ia tersadar kalau dirinya sedang di rampok. "Ayo cepat! Mana uangnya?!" gertak orang itu sambil mengacungkan pisau.

"Aku...aku...," Ali menurunkan karung di pundaknya, lalu sekuat tenaga melemparkan karung itu ke tubuh sang perampok. Membuat orang bertopeng itu terjengkang keras ke tanah. Ternyata beban karung itu mampu membuatnya tak dapat bergerak. Ali segera menarik topeng yang menutupi wajahnya. Dan orang itu tak bisa melawan Ali.

"Siapa kau?!" tanya Ali sambil memperhatikan wajah orang itu.

"Ampun, Tuan....jangan siksa saya...saya hanya seorang budak miskin...,"katanya ketakutan.

"Kenapa kau merampokku?" Tanya Ali kemudian.

"Maafkan saya, terpaksa saya merampok karena anak-anak saya kelaparan," sahutnya dengan wajah pucat.

Ali melepaskan karung yang menimpa badan orang itu. Napasnya terengah-engah. Ali tak sampai hati menanyainya terus.

"Ampunilah saya, Tuan. Saya menyesal sudah berbuat jahat..."

"Baik! Kau kulepaskan. Dan bawalah karung makanan ini untuk anak-anakmu. Kau sedang kesusahan, bukan?" kata Ali.

Beberapa saat orang itu terdiam. Hanya memandangi Ali dengan takjub.

"Sekarang pulanglah!" kata Ali.

Seketika orang itu pun bersimpuh di depan Ali sambil menangis.

"Tuan, terima kasih! Tuan sangat baik dan mulia! Saya bertobat kepada Allah...saya berjanji tidak akan mengulanginya," kata orang itu penuh sesal.

Ali tersenyum dan mengangguk.

"Hai, orang yang tobat! Aku merdekakan dirimu karena Allah! Sungguh, Allah maha pengampun." Orang itu bersyukur kepada Allah. Ali memberi hadiah kepadanya karena ia sudah bertobat atas kesalahannya.

"Aku minta, jangan kau ceritakan kepada siapapun tentang pertemuanmu denganku pada malam ini...," kata Ali sebelum orang itu pergi." Cukup kau doakan agar Allah mengampuni segala dosaku," sambung Ali.

Dan orang itu menepati janjinya. Ia tidak pernah mengatakan pada siapa pun bahwa Ali-lah yang selama ini telah mengirimkan karung-karung makanan untuk orang-orang miskin.

Suatu ketika Ali Zainal Abidin wafat. Orang yang dimerdekakan Ali segera bertakziah ke rumahnya. Ia ikut memandikan jenazahnya bersama orang-orang.

Orang-orang itu melihat bekas-bekas hitam di punggung di pundak jenazah Ali. Lalu mereka pun bertanya.

"Dari manakah asal bekas-bekas hitam ini?"

"Itu adalah bekas karung-karung tepung dan gandum yang biasa diantarkan Ali ke seratus rumah di Madinah," kata orang yang bertobat itu dengan rasa haru.

Barulah orang-orang tahu dari mana datangnya sumber rezeki yang mereka terima itu. Seiring dengan wafatnya Ali Zainal Abidin, keluarga-keluarga yang biasa di beri sumbangan itu merasa kehilangan.

Orang yang bertobat itu lalu mengangkat kedua tangan seraya berdo'a," Ya Allah, ampunilah dosa Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Saw.